Share

POV SALMA

Bab  : 7

POV SALMA

"Auuu … sakit, Bu," ucap Fera yang baru pulang. Tiba-tiba jatuh terpeleset saat masuk ke dalam rumah.

 Setelah melihat statusnya di media sosial yang habis makan mewah di restoran, kini pulang membawa banyak barang belanjaan. Aku yang bingung mengatur uang belanja yang tak seberapa, mereka malah bersenang-senang di luar dengan memakai uang Mas Rama.

"Yaudah, bangun! Duh, kamu kok bisa jatuh gini sih," ujar Ibu sambil berusaha membangunkan Fera yang terjatuh. Kemudian merapikan barang-barangnya.

Aku menahan tawa ketika melihat Fera jatuh karena terpeleset. Lagian, biasa slanang-slonong sih, jadi gak lihat kalau lantai masih basah habis dipel.

"Kamu sengaja ya, Mbak, lantainya dikasih pelicin begini, biar aku jatuh, iya kan?" Tuding Fera kepadaku.

"Makanya, kalau masuk itu mengucapkan salam dulu, tahu kan aku lagi megang pel, ya jangan salahkan aku dong," ucapku santai, tapi sepertinya Fera semakin gemas denganku.

"Salma, kamu itu Mbok ya, minta maaf gitu lo, bukan membela diri terus, udah salah kok gak mau disalahkan, ntar aku aduin sama Rama, baru tau rasa kamu!" Ibu merepet sambil menuntun Fera duduk dikursi.

"Ya ampun, Vino, itu kenapa makan es krim sampai kececeran begitu. Salma, ini tolong di bersihin dong! Lantainya kotor nih, Vino makan es krim belepotan!" ucap Ibu sambil merapikan baju baru yang habis dibelinya. Padahal Vino ada didekat mereka, kenapa aku yang disuruh.

"Nih, bersihin sendiri! Aku gak mau rumahku berantakan, tolong beresin, kalau masih dibiarin, aku buang baju-baju itu keluar!" ucapku sambil melemparkan kain pel yang sedari tadi kupegang di depan mereka.

Vino makan es krim padahal ada Sania di belakangku, tak sedikitpun mereka menawarkan pada Sania. Benar-benar membuatku emosi.

Kulihat Ibu melongo, melihat aksiku tadi jelas dia kaget. Memang selama ini aku selalu menurut apa yang diperintahkan. Aku masih menghargai Mas Rama yang begitu menyayanginya. Namun sepertinya makin kesini, sikapnya makin semena-mena.

"Mbak, kamu disini posisinya cuma mantu. Kok kurang ajar begitu ya, sama Ibu kamu berani melempar pel di depannya. Emang kamu gak takut, jika Mas Rama tahu?" ujar Fera sambil berkacang pinggang. Mulai ngelunjak juga dia.

Aku hanya tersenyum sinis mendengarkan ocehan Fera, lalu menuntun Sania masuk ke dalam kamar. Hatiku benar-benar bergemuruh rasanya. Di dalam kamar aku masih mendengar repetan Ibu yang membuat kuping ini panas.

"Jadi mantu kok, gak ada sopan-sopannya sama mertua. Kamu lihat kan, Fer, Mas mu itu begitu menyayangi Ibu. Apapun permintaan Ibu pasti dituruti, kalau Ibu mau minta ganti mantu juga pasti dituruti. Emangnya Salma gak takut itu, kalau Ibu sampai minta ganti mantu sama Mas mu?" repetan masih kudengar dari dalam kamar.

Seketika aku bergidik ngeri mendengar ucapan Ibu. Kalau dulu sempet bangga melihat Mas Rama memperlakukan Ibu yang begitu manisnya. Tapi sekarang? Silahkan saja, Bu, dengan senang hati ku kembalikan anakmu ke pangkuanmu.

"Tenang, Bu, nanti kita ngomong ke Mas Rama saja. Mas Rama kan ganteng, Bu, mapan lagi. Pasti masih banyak yang mau kok, masih banyak juga yang ngejar-ngejar Mas Rama." 

"Mah, kok nenek sama tante Fela malah-malah telus sih," ucap cadel anakku yang juga mendengarkan suara sumbang mereka.

"Mungkin mereka lelah, Nak, biarin aja. Mendingan sekarang Sania maen dulu gi! Mama mau lanjut nyuci dulu." ucapku kepada anak semata wayangku dengan tersenyum, lantas Sania pergi main ke depan rumah. Sudah biasa memang.

Aku merebahkan diri sebentar, merenungi peristiwa empat tahun yang lalu. Setelah terucapnya ijab qobul, membuatku sangat begitu bahagia. Kupikir menikah dengan Mas Rama akan membuatku merasa istimewa, karena dia begitu menyayangi Ibunya. Namun ternyata Ibu mengendalikan semua, termasuk urusan nafkah dan juga rumah tanggaku.

Mas Rama tak pernah menolak permintaan Ibu bahkan saat tak ada uang dia akan berusaha meminjam kesana-kemari untuk dikirimkan jika Ibu mengeluhkan uang. 

Dulu memang aku bekerja sebelum menikah dengan Mas Rama. Namun Mas Rama memintaku resign, agar bisa jadi Ibu rumah tangga seutuhnya. Padahal posisiku tadinya cukup bagus, manajer marketing adalah jabatanku waktu itu. 

Manis bukan? 

Dengan alasan pengabdian, aku memilih resign dari pekerjaanku. Lalu memutuskan untuk membeli rumah, dan ini adalah murni dari hasil tabunganku sendiri. Karena waktu itu Mas Rama tak punya tabungan sama sekali. 

Miris.

Ku seka air mata yang membasahi pipi, cukup sudah penderitaanku selama ini. Aku harus bangkit, ada Sania yang harus aku prioritaskan. Ini rumahku dan aku ratu disini. Aku tak boleh lemah menghadapi mereka. Ku tekan dada ini kuat-kuat, rasanya sungguh sakit. Kuhembuskan nafasku pelan lalu melepaskannya. Berharap lepas juga sebongkah batu di dalam sini. 

Aku melangkah keluar dari kamar, niatnya untuk mencuci baju. Setelah itu ingin pergi ketempat Rani, teman kerjaku dulu. Dia memilih resign karena membantu bisnis suaminya. Aku tak boleh berdiam diri terus seperti ini.

Sambil memasukkan baju kedalam mesin cuci, lamat-lamat ku dengar suara dari kamar sebelah.

"Bu, lihat, ini bagus gak?"

"Kamu cocok banget tahu Fer, pakai baju itu. Coba lihat Ibu juga suka pake ini, warnanya kalem. Bahannya adem juga."

Ck! Dua manusia yang menjadi orang kaya baru disini. 

"Eh, Mbak! Lagi nyuci ya, ini dong digiling sekalian," ujar Fera yang tiba-tiba mendatangiku. Lantas menaruh baju-bajunya di depanku.

"Cuci sendiri, aku tak sudi jadi babumu!" ucapku sambil melempar baju-baju itu ke mukanya. Apalagi sih, maunya anak ini?

"Mbak, kamu sadar gak sih. Kamu itu istri Mas Rama, artinya menantu Ibu. Kalau Mbak Salma gak bisa melayani kami disini, untuk apa Mas Rama punya istri kalau gitu. Gak ngerti banget sih!" ucap Fera. Lancang sekali ucapannya.

Plakk! 

"Jangan kurang ajar kamu disini, ini rumahku. Kalau kamu tidak suka atau ingin seenaknya sendiri. Lebih baik kamu pergi dari sini!" ucapku setelah memberi tanda merah bekas tanganku di pipinya. Ya, aku menamparnya. Kesal sekali rasanya, lama-lama semakin menjadi tak tahu diri. 

"Ibu …." Lirih Fera sembari memegang pipinya.

"Kurang ajar, menantu sialan, berani-beraninya kamu tampar anakku!" 

Sambil lari tergopoh Ibu mendekatiku. Sepertinya mau membalas tamparan Fera. Aku yang mulai menyadari keadaan segera mencari pelindung. Fera kujadikan tameng sehingga dia yang terkena pukulan tangan Ibu.

Saking kencangnya, Fera terhuyung hingga tanpa sadar keningnya terbentur tepat di sudut meja yang ada di sebelah mesin cuci. Lumayan lancip memang, hingga kening Fera mengeluarkan banyak darah.

"Fera!"

Seketika Ibu langsung panik melihat anak kesayangannya terluka, mengeluarkan darah.

"Fera, bangun, Nak, ayo, Ibu obati dulu, sini Nak." Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.

Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status