Bab : 6
Duh, ini pasti gara-gara Salma yang gak masak di rumah, sehingga mereka makan diluar. Seketika nafasku terasa sesak, mereka yang pergi makan tapi aku yang mendadak pusing, entah apa yang kupikirkan.
Dengan berjalan gontai aku menuju kantin dekat kantor. Makan pun rasanya jadi pahit. Kok pahit sih? Ah, kenapa aku jadi selebai ini? Harusnya aku senang melihat Ibu dan juga Fera bersenang-senang di luaran sana.
Ah, aneh lama-lama aku ini, mikir apa sih. "Emang kamu kerja kan buat membahagiakan Ibumu kan, Rama, terus apa yang kamu bingungkan, uang kan masih bisa dicari, semangat lah!" Aku membatin menyemangati diriku sendiri.
Tiba-tiba aku teringat Salma, harusnya Salma bantuin aku kerja juga. Tugas istri kan memang membantu dan mengabdi pada suami, sedangkan aku anak laki-laki tugasku mengabdi pada Ibu. Ya kan anak laki-laki memang punya Ibunya. Hmm, ide yang bagus, aku harus ngomong sama Salma nanti.
Memang dari pada nganggur terus di rumah, kerjaannya cuma rebahan doang mending bantuin aku kerja. Bisa bantu mencari uang untuk menyenangkan Ibu. Tenang, Bu, anak lanangmu ini akan selalu berusaha membahagiakanmu.
Jam istirahat sudah selesai, aku pun kembali ke ruanganku untuk melanjutkan pekerjaan yang menumpuk. "Ayo semangat, Rama, kerja yang bener, biar tak pulang terlalu malam nanti!" Aku membatin lagi agar selalu semangat menyelesaikan pekerjaanku.
****************
Ketika sedang sibuk berkutat dengan segudang laporan, gawaiku berdering. Aku berdecak kesal, siapa sih yang ganggu, orang lagi kerja juga di telepon. Kulihat layar, ternyata yang telpon adalah Ibu.
"Rama, tolong Fera! Rama, hmmmm …." Ibu bicara dengan panik dan menangis sesenggukan. Ada masalah apalagi ini?
"Ada apa, Bu, tolong ngomongnya yang jelas!" ucapku yang ikutan panik karena mendengar tangisan Ibu.
"Fera, Rama … Fera jidatnya berdarah," ujar Ibu yang masih menangis.
"Kok bisa?" tanyaku.
"Ini semua gara-gara Mbak Salma, Mas, Mbak Salma yang bikin aku seperti ini. Tolongin aku, Mas, Mbak Salma harus dibalas, hmmm …." ujar Fera sambil menangis.
"Tapi sekarang gimana? Masih berdarah? Emang parah?" ujarku yang memberondong pertanyaan karena ikutan panik.
"Udah diobatin sama Ibu, Mas, aku gak terima, pokoknya nanti Mas Rama pulang harus menghukum Mbak Salma!" ucap Fera lantang, sepertinya kesal sekali.
"Udahlah, yang penting sekarang udah gak berdarah lagi kan? Istirahat aja, biar cepet sembuh, udah, Mas mau lanjut kerja dulu!" ucapku sambil menutup telepon.
"Ada apa, bro?" tanya Aldo. Mungkin dia penasaran dengan kepanikanku barusan. Ruangan kita berjejer, jelaslah dia mendengar pembicaraanku tadi.
"Fera, bro, adik gue, katanya jidatnya berdarah, entahlah, sepertinya dia berantem sama Salma atau gimana masih belum tahu gue, yang jelas, Fera nangis kesel sama Salma,"
"Berarti adek lo sekarang juga berada dirumah lo, bareng sama ibu lo, gitu?
Aku menganggukan kepala dengan lemah, Aldo malah menggelengkan kepalanya. Apa coba maksudnya. Sepertinya heran dengan jawabanku, ah, Aldo kadang memang suka aneh.
"Gue aja yang berdua doang sama bini gue, kadang ada cekcoknya, ini lagi, udah ada mertua, ditambah ipar lagi, gimana kabarnya Salma, ya," ujar Aldo
"Lah, kok larinya malah ke Salma, ini Fera, bro, adik gue jidatnya terluka, karena ulah Salma katanya,"
"Jangan langsung menelan kabar mentah-mentah begitu, bro, sebaiknya tanya juga dengan Salma, gimana kejadiannya, biar nanti kamu dapat menyimpulkan sendiri,"
"Kasian banget ya, Salma diapit sama dua harimau, berharap satu dapat jadi penolong, eh, malah ikutan jadi buaya," Aldo berucap sambil menahan tawa menutup mulutnya. Sialan memang, kadang mulutnya suka ketus gitu kayak emak-emak, aneh.
"Sialan, lo, apa maksudmu ngomong begitu," ucapku ketus dengan melempar buku ke arahnya.
"Bro, gue titip Salma ya, kalau mau dibalikin ke orang tuanya, balikin dia dengan cara baik-baik. Kalau mau ayo gue anterin, kasian anak orang, bro," ujar Aldo dengan tatapan nanar ke arahku. Apalagi ini maksudnya?
"Salma bini gue, bro, gak usah ngomong begitu. Ah, lama-lama otak lo miring juga, udah ah, gue mau lanjut kerja, ngomong sama lo terus bisa-bisa gue ikutan sarap lagi kayak lo," ucapku sambil menepiskan tangan kearah Aldo.
Gara-gara Aldo nih, kerjaanku jadi tertunda. Ingin melanjutkan lagi tapi sudah kehilangan mood. Kurenggangkan otot yang mulai kaku, lalu menghembuskan nafas kuat, untuk mengurangi sesak di dalam sini.
Sambil menggerakan jariku dengan lincah di depan komputer, pikiranku melayang berada di rumah. Apa gerangan yang dilakukan Salma hingga Fera menangis sesenggukan karena jidatnya terluka.
Tak habis pikir dengan ulah Salma, benarkah Salma yang melukainya? Ah, tapi tak mungkin juga kan Fera dan Ibu berbohong. Seketika dilema menyelimuti diri.
Aku mengerang frustasi. Sungguh, sepertinya masalah tak pernah habis di dalam hidupku. Kenapa mereka tak bisa akur. Ah, Salma, seharusnya membuat Ibu dan Fera betah dirumah, bukannya malah begini.
Biarlah, semoga nanti aku dapat menyelesaikannya. Yang penting sekarang harus fokus dulu mengerjakan ini semua. Aku tak mau nanti berantakan lagi seperti kemarin. Bisa-bisa melayang pergi dari sini karena kena amuk Pak Hendi.
**************
Akhirnya selesai juga pekerjaanku. Besok pagi tinggal menyerahkan ke Pak Hendi. Ah, lega rasanya. Ku tengok kanan kiri, ternyata udah sepi. Iyalah sepi, udah malam. Bahkan office boy pun juga sudah tak menampakkan hidungnya.
Tadi sempat ada beberapa panggilan, Ibu dan Fera entah beberapa kali menelpon, Namun ku abaikan. Rasanya aku tak mau mendengar dulu keluhan mereka karena pekerjaanku tadi juga masih menumpuk. Biarlah, biar mereka menyelesaikan sendiri dulu masalahnya. Kumatikan komputer lantas bergegas ingin segera pulang. Rasanya sungguh melelahkan untuk hari ini.
"Tumben baru pulang, Pak," kata Pak Satpam dengan membukakan pintu keluar gerbang.
"Iya, lembur, Pak." ucapku singkat.
Kupacu kuda besiku dengan cepat, agar segera sampai rumah. Jalanan lengang dengan gemerlapnya lampu malam memancarkan indah cahayanya.
Ah, akhirnya sampai rumah juga. Aku sudah terbiasa membawa kunci cadangan agar tak repot jika nantinya pulang malam. Seperti sekarang ini, pasti semua sudah tertidur pulas. Ketika hendak masuk ke kamar, kudengar selentingan orang lagi tertawa ria sambil berbicara.
Aku penasaran, siapa gerangan yang masih bercanda jam segini. Ku pertajam pendengaran, sepertinya memang dari arah kamarku. Ketika kubuka pintu kamar, nampak sekali pemandangan yang membuatku sangat kesal.
Tanpa sadar tanganku mengepal menahan emosi. Dengan tatapan nanar aku mengingat kejadian tadi siang yang membuatku panik setengah mati. Lalu sekarang?
"Salma! Telponan dengan siapa kamu?" ucapku ketus ke arah Salma.
"Mas Rama, hmmmm …." Suara tangisan Fera langsung membuat kepalaku berdenyut.
Tuhan … tolong tenggelamkan aku ke dasar bumi sekarang juga.
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege