Share

BAB 8. Bertemu Rani

Bab  : 8

POV SALMA

"Fera, bangun Nak, ayo, Ibu obatin dulu, sini Nak," Ibu tergopoh sambil menuntun Fera duduk di kursi. Lantas melirik sinis ke arahku.

 Aku tercengang, membeku. Melihat kejadian tadi yang begitu cepat.

"Hmmm … Ibu, sakit Bu, awas kamu Mbak, ini semua gara-gara kamu, aku aduin nanti sama Mas Rama! Sambil menangis Salma berucap.

"Biarin aja, Sal, habis ini telpon Mas mu aja, Mas mu harus tau kelakuan istrinya itu." Ibu berujar sembari membersihkan luka di kening Fera.

Sudah pastilah aku yang disalahkan, padahal tadi adalah kecelakaan yang dibuat oleh sang Ibu tercinta. Namun aku lega, darahnya sudah berhenti sehingga tak banyak merepotkanku nantinya. 

"Rama, tolong Fera, Rama, hmmmm …," sang mertua mulai mengadu sama anak tercintanya sembari menangis tersedu.

"Ini semua gara-gara Mbak Salma, Mas, Mbak Salma yang bikin aku seperti ini. Tolongin aku, Mas, Mbak Salma harus dibalas, hmmmm …." Fera pun tak kalah pintar memainkan dramanya.

"Terserahlah kalian mau berbuat apa, lanjutkan dan mainkanlah dramamu sesedih mungkin!" gumamku yang masih bisa didengar oleh mereka.

Aku pusing melihat mereka selebay itu. Lebih baik segera menyelesaikan pekerjaanku. Agar tak lagi bertambah pusing nantinya.

***

Tepat pukul 15.00 WIB aku sudah bersiap dan Sania juga sudah rapi. Ku keluarkan motor matic kesayangan untuk meluncur ke rumah Rani. Ibu dan Fera masih mengurung diri dikamarnya. Sepertinya mereka masih tidur. Biarlah, aku tak peduli dengan apa yang mereka lakukan.

"Ma, kita mau ke rumah tante Lani, ya?" tanya anak tercintaku.

"Iya, Sayang. Nanti Sania disana gak boleh nakal ya," ucapku sambil menoel hidungnya.

Sepertinya Sania senang sekali diajak jalan, semenjak Mas Rama sibuk dengan urusannya sendiri kita jarang sekali jalan-jalan bareng. Terserahlah, Mas, aku sudah tak peduli lagi dengan urusanmu. Saat ini prioritasku hanya Sania.

"Hai, cantik, duh … lama gak kesini tante jadi kangen nih," Rani langsung menggendong Sania ketika kita baru sampai di rumahnya.

"Sepertinya sibuk sekali sampai melupakan diriku, ayo masuk," ujar Rani setelah aku memarkir motor, kemudian mengajakku masuk ke dalam rumah.

Rani memperhatikan penampilanku secara detail. Mungkin dia heran dengan perubahanku. Entahlah, semenjak menikah dengan Mas Rama memang aku sudah tak begitu memperhatikan penampilan. Boro-boro memikirkan itu, ah, bodohnya aku selama ini.

Sungguh, miris.

"Sania mau es krim gak?" tawar Rani.

"Mau banget, tante." 

"Mbok, tolong bawa Sania ke dapur, suruh dia memilih disana apa yang dia suka, aku mau ngobrol dengan Salma dulu ya," titah Salma kepada asistennya. Sepertinya dia memahami apa maksud kedatanganku.

"Iya, Bu, ayo sayang!" ajak asisten Rani sembari menuntun Sania ke belakang.

"Sepertinya ada sesuatu yang aku tak tahu," ujar Rani menyelidik.

Aku hanya menghembuskan nafasku pelan, sungguh sesak rasanya.

"Aku ingin kerja lagi, Ran, bagaimana kalau aku kerja denganmu saja," ujarku akhirnya.

Mata Rani membulat, mungkin heran dengan permintaanku yang secara tiba-tiba.

"Tunggu, ntar dulu, mantan manajer marketing, seorang ibu rumah tangga bahagia nan harmonis, datang meminta pekerjaan denganku. Bisa diceritakan apa yang terjadi denganmu?" 

Begitulah Rani, dia memang begitu peka. Dulu dia adalah teman kantor yang paling care denganku. Memang aku biasa curhat dengannya, hingga akhirnya menikah dan kita punya kesibukan masing-masing sehingga jarang sekali berkomunikasi.

Aku menceritakan masalah rumah tanggaku dengan Rani. Begitu juga masalah dengan Ibu mertua dan juga Ipar. Rani hanya melongo heran ketika mendengar ceritaku. Wajar saja, karena dulu semua orang bilang bahwa kita adalah pasangan harmonis, mana menyangka kalau akhirnya rumah tanggaku pun sedang dalam masalah.

"Aku heran sama kamu, Sal, kok bisa bertahan sampe sejauh ini, jika Rama memperlakukan kamu seperti itu? " ujar Rani sambil geleng-geleng kepala.

"Aku masih memikirkan Sania, Ran, walaupun begitu mas Rama sangat menyayangi Sania. Entahlah, tapi sepertinya sekarang aku juga sudah lelah dengan pernikahan yang sudah tak sehat ini," ucapku lirih.

Sungguh, hanya itu yang kupikirkan. Semenjak kedatangan mertua dirumah, serta ipar yang juga terus mengganggu hidupku, pelan-pelan rasa ini sudah terkikis. Tergerus oleh sikap mereka dan juga mas Rama sendiri.

"Lalu kamu mau mengorbankan dirimu sendiri, sampai kapan? Kamu masih muda, Sal, dulu karirmu cemerlang. Aku yakin kamu pasti bisa tanpa Rama. Aku hanya tak mau kamu mati pelan-pelan ditangan mereka,"

Aku menyenggol Rani, dia hanya terkekeh geli. Ya kali mati pelan-pelan, aku juga masih bisa membela diriku sendiri.

"Aku punya cara sendiri untuk menghadapi mereka, Ran. Kamu tenang saja, setelah misiku tercapai aku akan mengusir semuanya dari rumahku. Termasuk berpisah dengan mas Rama."

Rani menepuk pundakku pelan, "Kamu pasti bisa, Sal, aku yakin selain pintar kamu juga kuat." 

Aku tersenyum ke arahnya, setelah menceritakan semuanya dengan Rani rasanya hatiku begitu lega. Seakan semua hilang tanpa beban. Dari dulu memang dia adalah sahabat terbaikku.

"Besok datanglah kesini, Sal. Aku ingin kamu membantu bisnisku mulai besok, kebetulan stok barang digudang sedang banyak-banyaknya, sedangkan pengeluaran barang saat ini sedang menurun. Aku percaya, marketing handal sepertimu pasti bisa mengatasinya," ucap Rani yakin.

"Makasih ya, Ran, mau memberi kesempatan untukku," ucapku penuh haru.

"Aku juga makasih, Sal, dengan adanya kamu pasti usahaku semakin maju," ucap Rani sembari menggenggam tanganku.

"Aku akan berusaha semampuku, Ran." 

Rani mempunyai usaha di bidang fashion. Beraneka macam baju hingga sepatu adalah produknya. Semoga nanti aku bisa bekerja dengan baik.

"Sania nanti harus ikut denganmu, jangan sampai ditinggal dirumah. Aku gak mau jika sampai disakiti sama iparmu. Lagian aku jadi ada hiburannya jika ada Sania,"

"Yeee … emang apaan buat hiburan."

Aku dan Rani lantas tertawa bareng karena ucapanku.

Rani dan suaminya memang tergolong sukses, dilihat dari usahanya yang semakin maju. Namun sampai sekarang mereka masih belum dikaruniai keturunan. Sudah berbagai macam cara dilakukan, bahkan sudah beberapa rumah sakit dia sambangi.

 Kondisi rahimnya baik-baik saja, juga suaminya pun tak ada masalah. Namun untuk urusan anak memang mutlak kuasa Allah. Bersyukur sekali rasanya diriku yang sudah memiliki Sania, walaupun rumah tanggaku sedang tak baik-baik saja.

Rani dan pasangannya hidup harmonis, hanya saja belum dikaruniai keturunan. Masalah rumah tangga memang berbeda-beda. Contohnya ya, aku dan Rani ini.

Tak terasa hari sudah semakin sore, akhirnya aku pun pamit pulang. Begitulah jika sudah ngobrol dengan Rani, saking asyiknya hingga lupa waktu.

"Sayang, salim dulu sama tante Rani,"

"Sini cium dulu ah, keponakan tante. Gemes ihh," Rani mencium pipi Sania dengan gemasnya. Semoga cepat diberi momongan ya Allah. 

"Pamit dulu ya, Ran." ucapku sembari memeluknya.

Aku melajukan motor kesayanganku dengan hati yang begitu damai. Sejenak lupa dengan masalah yang melanda di rumah. Rasanya beban seakan terangkat. Tunggu kejutan-kejutan dariku, Ibu dan saudariku sayang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status