Share

BAB 3 Lika Liku Panjang

PoV OKI FARIANI

2 Pekan Sebelum Lamaran

“Seriusan Oki? Ini calon suami kamu? Serem iih ...” aku langsung cemberut mendengar komentar Rina ketika aku memperlihatkan foto Mas Herdi.

“Oo ... Oki suka sama gorila ya?” timpal Mas Edi, instruktur senam, membuat mukaku makin bertekuk.

“Kalian kok jahat sih, Mas Herdi kan calon suami aku, bagaimana pun rupa dia tolong hargai, jangan dibuli!”

“Oki, lo yakin gak dipelet sama si Herdi itu? Kalian kayak Beauty and the Beast tau gak sih!” seru Rina lagi, masih tidak berkedip melihat foto Mas Herdi berulang kali, seperti tak percaya aku rela diperistri manusia dengan rupa dan bentuk tubuhnya seperti itu.

“Seinget gue, pacar-pacar lo sebelumnya ganteng-ganteng dan bagus-bagus badannya, kenapa lo malah nikah sama si Herdi itu? Berapa berat badannya? 150 kilo??” kali ini Endang turut menimpali juga.

“Sumpah, parah lo Ki ... ‘bos’ yang punya Lamborghini aja lo tolak mentah-mentah, lah kenapa malah mau nikah sama cowok kayak begini? Emang dia sekaya apa sih?”

“Ah, udah dong jangan kayak gitu, emangnya nikah itu harus melihat fisik dan harta? Aku marah nih sama kalian!” ketusku sambil membawa tas, “Aku pulang duluan ya!”

Aku meninggalkan Rina, Mas Edi, Endang, dan yang lainnya dengan wajah muram. Bagaimana pun aku kecewa dengan penilaian mereka ke Mas Herdi yang hanya melihat fisiknya saja.

Aku tahu Mas Herdi secara fisik sangat gendut, berewokan, kulit gelap, pakaian yang dikenakannya pun sama sekali tidak fashionable, malahan pernah beberapa kali datang ke rumah Mas Herdi, aku melihatnya hanya pakai kaos putih yang sudah robek di sana sini. Tapi, gak adil kan Mas Herdi hanya dinilai dari fisiknya saja seperti itu.

Aku rela ‘ribut’ dengan rekan-rekanku di Gym tempatku bekerja hanya karena Mas Herdi, yaa ... mungkin karena hatiku sendiri sebenarnya sedang berusaha berdamai, benarkah aku rela seseorang seperti Mas Herdi menjadi suamiku? Aku sedang butuh dukungan, tapi teman-teman malah makin memojokkanku, sampai-sampai aku merasa bodoh sekali kalau mau menikah dengan Mas Herdi.

Aku memang pernah didekati oleh beberapa member gym. Mereka bukan orang biasa, mobil Lamborghini, booking cafe beberapa jam hanya untuk mentraktirku dan teman-teman gym, sekali traktir makan habis jutaan Rupiah, itu semua bukan hal sulit buat mereka.

Tapi aku tidak melihat pernikahan sebagai transaksi bisnis, maka aku menolak niat orang-orang ‘besar’ itu, bahkan sekadar berpacaran dengan mereka pun aku tidak mau.

Sebuah chat masuk tiba-tiba, dari Mas Herdi.

“Mas sudah di parkiran.”

Mas Herdi tak pernah mau keluar dari mobil untuk bertemu teman-teman kerjaku di sini. Dia hanya mengantar jemputku di parkiran. Aku paham, mungkin Mas Herdi takut kena bulian, dengan badan dan wajah seperti itu, bakal habis dia kalau berani memperkenalkan diri ke teman-temanku di sini yang sangat menjaga makanan, penampilan, dan kebugaran.

Ah, kakiku sudah pegal sekali sebenarnya, memakai heels memang cantik tapi melelahkan, sayangnya ... parkiran Mas Herdi tak pernah dekat dengan pintu, dia memilih tempat di ujung sehingga aku harus berjalan cukup jauh untuk mencapai mobilnya.

Aku membuka pintu mobil dengan wajah lesu, masih teringat kata-kata Rina tadi mengenai Mas Herdi. Benarkah aku rela menjadikan pria ini sebagai suamiku?

Aku menatap Mas Herdi, berewok di sekitar mulutnya membuatku geli. Sudah sering kuingatkan untuk dicukur, tapi dia hanya bilang “Iya iya” saja, “Nanti, sekalian pas mendekati hari lamaran,” kilahnya.

Tak lama, deru mobil pun melaju, membelah jalanan ibukota yang mulai padat merayap dengan berbagai kendaraan di sore ini, membentuk kemacetan yang cukup panjang.

Sepanjang lika-liku kisahku hingga bisa menerima niat Mas Herdi untuk datang melamar ke keluargaku 2 pekan lagi. Sungguh, jalan hidup siapa yang tahu?

*****

Sebenarnya, awal bertemu Mas Herdi pun aku juga merasa seram. Badannya tinggi, mungkin sekitar 180 cm, sedangkan berat badannya melampaui angka 150 kg, dan kulitnya gelap, jadi memang awal melihatnya aku sempat takut juga.

Kami tak sengaja kenalan dari temannya teman, lalu jadi dekat setelah ada seorang pria yang hampir meminangku, member di tempat gym ini juga, Feri namanya, seorang asisten dosen di salah satu perguruan tinggi swasta Jakarta sekaligus pendakwah muda.

Aku sudah sering menemani Feri mengisi acara di berbagai kota, berdakwah layaknya ustadz selebriti, Feri juga serius terhadapku, sudah bertemu dengan Tante dan Omku menyatakan niatnya menikahiku, aku sudah merasa nyaman sebenarnya, namun keluarga Feri ternyata tak setuju karena mengetahui aku hanya lulusan SMA saja.

Nah, di saat aku galau itulah Mas Herdi mulai mendekat.

Sebenarnya waktu itu, demi memperbaiki citraku di mata keluarga Feri, aku sempat melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, mengambil S1 kelas karyawan yang hanya masuk 2 kali seminggu, kebetulan kampusnya tak jauh dari rumah Mas Herdi.

Mas Herdi menyelinap masuk dalam hari-hariku saat itu, ia menjadi ‘pahlawan’ yang mengantar jemput aku ke mana pun aku pergi, baik ke tempat kerja maupun ke tempat kuliah. Mas Herdi juga menjadi tempat curhatku ketika hubunganku dengan Feri merenggang.

Feri beberapa kali memberi pernyataan yang membuatku memicingkan mata. Dia memintaku untuk terus putih, wajahku harus terus mulus, tidak boleh menghitam, tidak boleh jerawatan kalau nanti menjadi istrinya.

Aku katakan bahwa aku hanya manusia biasa, sebagus apapun perawatan kecantikan yang kujalani, segala kemungkinan bisa terjadi. Pernyataan-pernyataan Feri yang aneh seperti itu, ditambah pernyataan mamanya yang ingin Feri didampingi seorang istri bertitel agar sepadan dengan gelar S2 Feri, membuatku luka.

Sampai akhirnya, Mas Herdi menyatakan rasa sukanya padaku dan bahkan mengaku siap langsung melamarku lebih cepat daripada Feri, jika aku setuju.

“Lha Mas, kalau kamu serius mau melamar aku, memangnya keluarga kamu bisa menerima aku yang cuma lulusan SMA? Kayaknya ... waktu aku main ke rumah Mas Herdi, aku merasa keluarga Mas Herdi kurang sreg sama aku deh.”

Aku pernah mempertanyakan hal ini pada Mas Herdi. Aku curiga, jangan-jangan keluarga mas Herdi sama saja dengan keluarga Feri yang dulu bersikeras ingin meminangku tapi nyatanya malah merendahkanku.

Aku pernah datang ke rumah Mas Herdi untuk berkenalan dengan keluarganya, aku membawakan martabak untuk bapak, juga hampers berisi jaket untuk Tiwi, dan tas untuk ibunya Mas Herdi. Tapi kulihat ekspresi mereka seperti hmm ... bagaimana ya menjelaskannya, seperti kurang suka padaku.

Mas Herdi saat itu menatapku sambil menjawab, “Bapak, Ibu, dan Tiwi adikku nerima kamu apa adanya Oki, mereka suka banget sama kamu,” serunya meyakinkan. Aku sampai degdegan, takutnya disangka aku sedang memberi harapan.

“Tapi jujur Mas, aku belum ada perasaan apa-apa lho ya sama Mas Herdi, aku selama ini menganggap Mas Herdi sebagai teman baik aja!”

Mas Herdi tertawa, dia bilang cinta itu bisa ada karena terbiasa. Aku ikut tertawa. Hampir tidak mungkin bisa tumbuh rasa cinta untuk Mas Herdi di hatiku. Dia benar-benar bukan tipeku.

Namun kehadiran Mas Herdi di saat aku galau setelah mendapat penghinaan dari keluarga Feri, memang laksana oase di padang tandus. Aku juga jadi berani keluar dari kelas karyawan perkuliahanku, aku tak ingin melakukan sesuatu hanya untuk pencitraan orang lain.

Lucunya, begitu aku bersikap tegas tidak ingin lanjut lagi menerima lamarannya, Feri justru makin agresif mengejar, mencoba meyakinkanku bahwa keluarganya sudah berubah dan mau menerimaku. Hatiku seperti ingin percaya dengan perkataannya.

“Mas Herdi, sepertinya Feri kali ini akan benar-benar datang melamarku, dia bilang sudah meyakinkan keluarganya untuk menerimaku,” mendengar curhatanku itu, mata Mas Herdi langsung terbelalak.

“Jangan percaya! Bohong itu, nanti kamu malah akan direndahkan lagi sama keluarga si Feri! Lihat saja ... aku yang akan lamar kamu lebih dulu, Oki!”

“Jangan begitu Mas Herdi, aku kan belum pernah menyatakan menerima perasaan Mas Herdi, jujur aku masih menyimpan rasa ke Feri, bagaimana pun dia yang lebih dulu menyatakan niatnya untuk melamar aku, lagipula aku kan sudah tegaskan ... hubunganku sama Mas Herdi selama ini hanya teman baik saja.”

Mendengar pernyataanku itu, Mas Herdi terlihat stres, aku bersikeras ingin berteman saja dengannya, dan menolak tawarannya untuk melamarku.

Malam itu Mas Herdi membawa mobil dengan ugal-ugalan, terlihat sekali ia kesal karena aku berniat menerima kembali Feri ke dalam hidupku.

*****

Beberapa hari setelahnya, di siang hari, Mas Herdi meneleponku lewat video call, menunjukkan wajahnya yang bersimbah air mata sedang menangis sesenggukan di ruang kantornya.

“Lho Mas, kenapa nangis?” aku langsung auto panik melihat pria dengan badan sebesar itu menangis berderai-derai di depan kamera hp.

“Tolong terima Mas, pliiis! Pliiiss ... kasih Mas kesempatan, Mas akan buktikan bisa jadi yang terbaik untukmu, Oki ...”

Kalimat gombalan itu malah membuatku sedikit mual. Namun kulihat ekspresi wajah Mas Herdi sangat serius.

“Mas mending bunuh diri aja kalau Oki gak terima niat Mas untuk melamar kamu!”

Aku terkesiap tiba-tiba, terkejut mendengar begitu mudahnya Mas Herdi mengancam nyawanya sendiri demi aku? Aku bergidik.

“Buat apa Mas mengancam seperti itu? Aku kan sering bilang bahwa kita selama ini hanya berteman, Mas Herdi pun setuju kan ...” ucapku.

Mas Herdi masih membiarkan wajahnya yang penuh air mata dan ingus memenuhi layar hapeku, mau kumatikan video call nya, tapi kasihan.

“Aku minta baik-baik sekali lagi yaa Mas, kita temenan aja ... oke?” ucapku sekali lagi, merayu Mas Herdi agar tidak lagi menangis.

Namun aku sudah menyusun rencana untuk tidak lagi bertemu dengan Mas Herdi, aku tak mau jadi PHP (Pemberi Harapan Palsu) bagi Mas Herdi yang selama ini sudah baik padaku.

*****

“Maaf, Oki, ini ibunya Herdi, Oki tau Herdi pergi ke mana? Sudah seminggu ini Herdi pergi dari rumah.”

Deg!

Sebuah chat dari ibu Mas Herdi membuat jantungku berdegup kencang. Yaa Allah, sudah seminggu Mas Herdi pergi dari rumahnya?

Aku langsung mengingat-ingat, memang sudah seminggu sejak Mas Herdi video call sambil menangis di kantornya itu aku tak lagi menanggapi telepon masuk dari Mas Herdi. Menurutku, aku harus menghindar dari Mas Herdi sebisa mungkin, agar tidak jadi PHP. Tapi, aku tak tahu Mas Herdi pergi keluar rumahnya,  jangan-jangan ...

“Oki, ibu takut ... tolong cari tahu Herdi di mana ya.”

Chat masuk lagi dari nomor Ibu Mas Herdi. Aku segera membalasnya.

“Sabar ya Bu, Oki akan cari tahu Mas Herdi sedang di mana. Insya Allah Mas Herdi gak kenapa-napa, Ibu jangan khawatir ya!” Kukirim chat ke ibu Mas Herdi agar ia tak lagi panik, tapi sebenarnya aku yang sedang panik.

Aku langsung menjauh dari ruang gym, setelah izin pada Rina terlebih dahulu. Aku menuju lantai 4 ke kediaman istri owner, lebih tenang di sana, aku tak bisa fokus jika sambil mendengar musik bersuara besar dari ruangan tempat para member sedang berzumba bersama.

Setelah sampai di lantai 4, aku langsung menghubungi nomor Mas Herdi. Tidak ada tanda tersambung.

Kucoba telepon sekali lagi. Masih tidak tersambung.

Aku coba hubungi Mas Herdi via chat.

“Mas Herdi, kamu di mana?”

Hanya tanda centang satu yang terlihat.

Pikiranku terbersit hal-hal yang kurang baik. Bagaimana kalau Mas Herdi ternyata melakukan hal bodoh seperti yang waktu itu dia ancamkan? Mungkinkah ia benar-benar bunuh diri? Astaghfirullah, tidak mungkin kan?

Aku terus mencoba memburu nomor Mas Herdi, tapi berkali-kali kutelepon, tidak ada nada sambung sama sekali. Duh, aku harus bagaimana?

Sebuah chat masuk lagi ke hapeku, kali ini dari Tiwi, adiknya Mas Herdi yang masih berkuliah. Meski baru sekali dikenalkan oleh Mas Herdi, tapi Tiwi pernah beberapa kali mengirim chat padaku, termasuk chat kali ini.

“Kak Oki ... Kak Oki lagi berantem sama Mas Herdi ya? Sudah seminggu Mas Herdi ga pulang.”

Yaa Allah, Tiwi juga ikut mencari mas Herdi melalui aku. Bagaimana aku tahu di mana Mas Herdi? Terakhir kali seminggu yang lalu aku mengangkat video call Mas Herdi, setelah itu aku tak pernah mau lagi mendengar suaranya. Tapi ... aaargh, ini salahku kalau sampai Mas Herdi ada kenapa-napa.

Aku mengupas kulit kering di bibirku, kebiasaan yang kulakukan kalau sedang panik. Aku cuma bisa menunggu Mas Herdi menghubungiku, setidaknya ia membalas chat ku, tapi bagaimana ia bisa baca chat ku sedangkan hapenya saja ia matikan.

“Nggak berantem kok Tiwi, Kak Oki Cuma ingin menjauh sebentar dari Mas Herdi.”

Akhirnya kucoba membalas chat Tiwi.

“Kak Oki jangan tinggalin Mas Herdi, Mas Herdi serius banget lho sama Kak Oki.”

Tiwi kembali membalas. Membuatku menggigit bibir bawahku sendiri.

Duh, bagaimana ini? Gara-gara aku, anak orang jadi patah hati. Aku tak sangka bakal sampai begini kejadiannya. Apakah aku harus mengalah dan menerima maksud Mas Herdi untuk melamarku? Tapi ...

Keraguan menyelimutiku, untungnya kemudian aku bisa bernafas lega ketika akhirnya Mas Herdi meneleponku. Aku sampai terkesiap melihat hapeku berdering dengan foto Mas Herdi terpampang.

“Halo? Mas Herdi di mana?”

“Oki, kamu serius gak ada rasa sama Mas? Kamu benar-benar mau balikan lagi sama Feri?” suara Mas Herdi terdengar lirih, aku jadi gak tega.

“Iya Mas, kemungkinan kali ini aku dan keluargaku akan menerima lamaran Feri. Keluarga Feri juga sudah berkata bisa menerima aku apa adanya.”

Mas Herdi terdiam.

“Kalau begitu aku punya satu hadiah terakhirku untuk kamu, plis kamu terima yaa Oki!”

Begitu mendengar ucapan ‘hadiah terakhir’, hatiku langsung meleleh. Akhirnya aku mengizinkan Mas Herdi untuk datang ke rumah.

Malam itu juga, Mas Herdi bertemu denganku untuk memberi hadiah terakhirnya. Aku cukup terkejut, begitu kubuka bungkusan kadonya, ternyata pemberian terakhir Mas Herdi itu adalah sebuah bedak branded yang harganya mencapai empat ratus ribu Rupiah.

“Disimpan baik-baik ya Oki, ini perasaan Mas ke kamu!”

Aku sungguh tak enak hati menerima hadiah semahal itu.

*****

“Kak Oki, bisa temenin aku belanja gak hari ini?”

Beberapa hari setelah pertemuan terakhir dengan Mas Herdi, sebuah chat dari Tiwi masuk.

Aduh, aku makin tak enak hati, apakah Tiwi sudah berharap besar aku menjadi kakak iparnya ya? Bagaimana cara aku menyampaikan ke Tiwi bahwa aku dan Mas Herdi tidak akan menjalin hubungan yang lebih serius?

“Boleh Tiwi, belanja di mana?”

“Mas Herdi sama aku nanti jemput Kak Oki yaa, jam 10.”

“Ooh, oke deh kalau begitu.”

Aku terpaksa bersiap-siap. Padahal sebenarnya hari ini aku mau ber-weekend di rumah saja. Ya sudahlah, daripada Tiwi kecewa, dia sudah meminta langsung untuk ditemani belanja. Aku pun bersiap-siap.

“Waah, Kak Oki bedaknya pakai brand ini?” Tiwi terlihat kaget begitu melihat aku touch up menggunakan bedak branded yang diberikan Mas Herdi.

“Oh iya, ini Mas Herdi yang kasih,” ucapku enteng.

Sekilas, aku melihat air muka Tiwi berubah, terlihat tidak suka. Air muka itu terus berlanjut hingga di bioskop, dan bahkan ketika kami berbelanja.

“Tiwi lagi perlu baju apa?” Aku mencoba membantu memilihkan keperluan Tiwi. Rupanya Tiwi sedang mencari baju untuk ngampus. Setelah lima belas menit memilih-milih, akhirnya pilihan jatuh ke baju berwarna kuning cerah.

Aku meminta kartu kredit Herdi untuk membayarkan belanjaan Tiwi, menurutku sudah semestinya seorang abang membayarkan belanjaan adiknya, tega banget kalau adik membeli pakai uang sendiri. Tapi sungguh mengejutkan, kartu kredit Mas Herdi itu ternyata sudah sampai batas limitnya.

Tiwi terlihat kecewa tidak jadi membeli baju kuning cerah itu, aku menaruh kembali baju kuning itu di tempatnya sambil merasa bingung ... Tiwi kan minta ditemani belanja tapi kok ternyata tidak bawa uang sama sekali, hmm ... apa benar dia sudah ngarep aku jadi kakak iparnya? Minta aku yang belikan kah? Duh, aku harus tegas, tidak boleh PHP lagi.

Aku coba membesarkan hati Tiwi, lain waktu aku antar kalau Tiwi mau belanja lagi. Wajah Tiwi sudah tertekuk.

Hmm ... suasana tidak enak langsung tercipta. Aku merasa harus berhati-hati dengan Mas Herdi maupun keluarganya, khawatir mereka salah paham mengenai hubungan aku dan Mas Herdi yang sebenarnya hanya sebatas pertemanan. Aku harus membuat garis batas tegas sejak saat ini.

*****

Aku menunggu kabar dari Feri mengenai kapan dia dan keluarganya akan datang untuk melamarku.

Tapi bagai petir di siang bolong, Feri malah mengabarkan bahwa ia ada proyek di kota Padang, lebih mengejutkan lagi, Feri mengatakan bahwa keluarganya telah menjodohkannya dengan seorang perempuan bergelar dokter.

Apa maksudnya memberitahu aku bahwa dirinya dijodohkan dengan wanita lain? Padahal tidak lama sebelumnya ia menyatakan bahwa keluarganya telah bersedia menerimaku apa adanya. Apakah itu hanyalah kebohongan semata?

Aku terpuruk dan down sekali atas perlakuan Feri itu, rasanya ingin marah dan melampiaskan kekecewaan tapi tak mengerti harus bagaimana. Feri tak lagi bisa kuhubungi setelah ia sampai di kota Padang.

Dan, setelah itu arah angin berubah 180 derajat. Mas Herdi memanfaatkan dengan sangat baik momen keterpurukanku ini dengan gerakan cepat. Sekalipun aku masih belum bisa menerima niatnya, ia langsung membawa bapak dan ibu datang ke rumah ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mella Lina
waduh, ini si herdi bisa-bisaan aja jebak Oki, pake air mata buaya mau bunuh diri segala, minjem hp ibu dan adeknya, paraah
goodnovel comment avatar
Arumratry Wn
byk sekali kalimat2 yg body shaming ya, jd penasaran secantik apa oki itu dan seburuk apa mas hendri. :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status