LOGINCahaya matahari menerobos masuk melalui balkon kamar yang terbuka. Menelusup masuk ke kelopak mata VIvianne yang perlahan terbuka.
Gadis itu refleks bangkit. Gerakan yang terlalu cepat, membuat kepalanya berdenyut. Vivianne mengerang pelan sambil memegangi pelipis. Saat itulah dia baru menyadari bahwa pakaiannya berganti. Kemeja putihnya kini berubah menjadi gaun tidur berbahan satin, berwarna pink lembut. Vivianne seketika menegang. Dalam pikirannya, itu pasti baju milik Rosie, dan Dylan dengan kurang ajarnya memakaikan gaun tidur itu pada Vivianne. "Dylan sialan!" umpatnya kesal. Vivianne buru-buru melepas baju berbahan tipis itu. Namun baru saja kainnya sampai di leher, terdengar suara yang berasal dari sisi lain kamar. Vivianne tersentak. Dia menoleh cepat, dan napasnya seketika tercekat. Dari balik kepulan uap tipis, Dylan muncul—rambutnya masih basah, beberapa helai menempel di dahi. Ia hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan di pinggang, membiarkan butiran air menetes dari kulitnya ke lantai marmer. "Selamat pagi, Vi. Kau sudah bangun rupanya," sapa Dylan sambil memamerkan senyuman menggoda. Sontak Vivianne membuang muka. Dia masih belum terbiasa melihat otot perut yang tercetak sempurna serta dada bidang yang dulu pernah menjadi sandarannya. "Oh, kau sudah melepas baju tidurmu? Apa kita akan melakukannya sekarang? Kebetulan aku juga belum berpakaian," goda Dylan. Namun, hal itu menyulut api amarah dalam dada Vivianne. "Apa menurutmu aku semurahan itu?" sinisnya. Dylan tergelak lalu berkata, "Aku hanya bercanda, Sayang. Jangan terlalu serius." Vivianne kembali membuang muka seraya mendengkus kesal. "Lagipula, untuk apa kau melepas gaun tidur itu di sini, hm?" tanya Dylan lembut. Vivianne menunduk, merasa malu sekaligus kesal pada dirinya sendiri. “Aku tidak bermaksud ... ehm, maksudku, aku tidak sudi memakai pakaian perempuan lain!" jelasnya ketus, meski salah tingkah. "Itu gaun tidur baru. Aku memesannya minggu lalu," beber Dylan santai. Dia kemudian berjalan menuju ranjang, dan duduk di tepiannya sambil menikmati ekspresi Vivianne yang terkejut. "Minggu lalu?" ulang Vivianne lirih. "Jadi, kau berniat membelikannya untuk Nona Rosie?" terkanya. Bukannya menjawab, Dylan malah terbahak. "Kau tahu, Vi? Aku bahagia sekali pagi ini. Kau tidur di ranjangku semalam, dan sekarang kau dilanda cemburu." "Aku tidak cemburu! Aku hanya tidak suka dijadikan alat balas dendam," ralat Vivianne dengan muka bersungut-sungut. Dia cepat-cepat memakai gaun tidurnya kembali. "Apapun yang kau pikirkan tentangku, semuanya salah, Vi. Aku tidak menjadikanmu sebagai alat. Tapi ...." Dylan sengaja menggantungkan kalimatnya. "Tapi, apa?" desak Vivianne tak sabar. Dylan tak langsung bicara. Dia malah menggeser duduknya hingga lebih dekat pada Vivianne. Satu lututnya dia tekuk, seolah lupa jika dirinya hanya mengenakan handuk, tanpa apapun di dalamnya. Vivianne meneguk ludah susah payah. Keringat dingin membasahi pelipisnya. "Ka-kau mau apa?" tanyanya terbata. "Kau tahu? Tadi malam tidurmu seperti orang pingsan. Ingin sekali aku menyentuhmu seperti dulu. Tapi, aku sadar. Kali ini aku harus memulai segala sesuatu dengan benar," ungkap Dylan. "Kau bicara apa? Aku tidak mengerti!" ujar Vivianne salah tingkah. "Tidakkah kau sadar, Vi? Aku sudah merencanakan pertemuan kita sejak lama," tutur Dylan. "Aku menyiapkan segalanya sedetil mungkin, sampai kau berhasil masuk ke dalam hidupku." "A-apa?" "Dan, aku memang berhasil. Bahkan Rosie juga sudah mengetahui keberadaanmu, meski yang dia tahu, kau hanyalah asisten pribadiku," lanjut Dylan. "Bukankah aku memang asisten pribadimu?" Vivianne mengernyit curiga. Dylan mengendikkan bahu. "Untuk saat ini, memang iya. Tapi, tidak untuk seterusnya.” Vivianne menatap pria bermata biru itu lekat-lekat, mencoba menebak arah pembicaraannya. “Apa maksudmu?” tanya Vivianne pelan, meski hatinya mulai berdebar tak karuan. "Dengar, Sayang ...." Kalimat Dylan terhenti saat dia mengecup lembut bibir ranum Vivianne yang belum tersentuh lipstik. "Ada tugas besar yang sedang kusiapkan untukmu," sambung Dylan. "Kau mengerti, kan? Aku tidak mau membuang dua puluh lima ribu dollar-ku dengan percuma." Vivianne langsung menepis tangan Dylan yang masih menempel di pipinya. "Jadi, kau memang sengaja melunasi utangku hanya untuk menjebakku?" terkanya sinis. "Karena hanya itu satu-satunya cara supaya kau bersedia takluk dalam genggamanku, Vi," sesal Dylan. "Aku tahu kau tak akan pernah mau berurusan denganku lagi, sejak aku meninggalkanmu dulu." "Aku membutuhkan bantuanmu, Vi. Tak ada yang dapat menolongku kecuali kamu," ucap Dylan setengah memohon, membuat Vivianne sedikit goyah. Tak dapat dipungkiri, Dylan adalah cinta pertama. Akarnya menancap kuat ke sudut hati Vivianne yang terdalam. "Kau ... kau ingin aku melakukan apa?" tanya Vivianne lirih. Tangannya terulur tanpa sadar, menyentuh dada bidang Dylan yang masih terasa lembab. Sejenak, Dylan membeku. Jemari lentik Vivianne yang membelai permukaan kulitnya, membuat hasrat yang susah payah Dylan pendam, muncul kembali. "Bantu aku untuk memutuskan pertunangan dengan Rosie," jawab Dylan sembari menatap Vivianne lekat-lekat dengan sorot sayu.Tak hanya sang sutradara yang terkejut. Beberapa kru dan artis yang duduk di sekitar meja mereka pun demikian. Semua mata tertuju pada Rosie. Namun, hal itu tak membuat Rosie terganggu. Dia malah melanjutkan amarahnya. "Kukira kau wanita baik-baik. Ternyata kau tak berbeda dengan penggemar-penggemar gila Dylan di luar sana!" bentak Rosie. "Hentikan, Rose! Kau membuatku malu!" hardik Dylan. Aktor tampan itu berdiri, lalu menarik Vivianne agar berada di belakangnya. Satu tangannya terus menggenggam pergelangan Vivianne. Betapa sakitnya hati Rosie melihat Dylan pasang badan, menjadi tameng demi melindungi Vivianne. "Kau serius melakukan ini padaku, Dylan?" desis Rosie. Bibirnya bergetar menahan emosi yang semakin tak terbendung. "Aku melakukan yang seharusnya! Vivianne adalah teman masa kecilku. Saat kecil dulu, kami bertetangga dan ayah kami saling berteman!" beber Dylan. Dia sedikit menambahkan bumbu kebohongan, tentang kedua ayah mereka yang berteman. Pada kenyataannya, ayah
Aroma menyengat memasuki indra penciuman Vivianne. Pusing mulai melanda akibat bau menusuk itu. Dalam posisi panik, dia berusaha melepaskan diri, menjauhkan wajahnya dari orang-orang misterius itu. Namun, rasa pening yang menyergap, membuat kekuatan Vivianne menghilang. Tenaganya seperti habis tersedot. Vivianne tak mempunyai pilihan selain pasrah. Beruntung, saat dirinya hendak menyerah, terdengar teriakan nyaring yang entah darimana asalnya. "Lepaskan dia, atau akan kutelepon polisi!" sentak suara yang Vivianne mengenalinya sebagai milik Liam. Beberapa pria tadi langsung membeku. Satu pria yang masih membungkam Vivianne dengan saputangan, segera melepaskan tangannya dan menjauh. Hampir saja Vivianne terjatuh jika saja Liam tidak sigap menangkapnya. "Vi, apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu khawatir. Vivianne menggeleng lemah. Sesaat kemudian, dia mengalihkan tatapannya ke arah pria-pria asing itu. "Apa mau kalian?" desisnya pelan. Pria-pria tersebut tak menjawab. Mereka ma
"Dylan! Aku tahu kau di dalam. Aku melihatmu masuk tadi!" seru seseorang yang tak lain adalah Liam. Vivianne dan Dylan sempat saling pandang sejenak sebelum Dylan memutuskan untuk membuka pintu ruangan dalam rumah utama yang dialihfungsikan menjadi tempat wardrobe itu. "Ada apa?" tanya Dylan tanpa basa-basi. "Kau terlalu gegabah." Liam berbisik lirih, memastikan Vivianne tak mendengar kalimatnya. "Jangan ikut campur, Liam. Tugasmu adalah menjerat Rosie! Bukan menguntit Vivianne terus-terusan!" Dylan balas berbisik. Liam yang berdiri berhadapan dengan Dylan itu memiringkan kepala, agar dapat melihat Vivianne yang mematung beberapa meter di belakang mereka. Liam lalu kembali pada posisinya semua, sejajar dengan Dylan. "Untuk apa kau menyeretnya kemari?" desisnya. "Bukan urusanmu!" tegas Dylan. Liam tersenyum miring. "Baiklah, kalau itu maumu. Jangan salahkan aku seandainya Rosie nekat dan berbuat lebih gila. Jangan sampai Vivianne terluka lebih parah lagi," peringatnya.
Di belakang batas set, Vivianne berdiri tenang dengan ipad di tangan. Namun, matanya tak lepas dari sosok pria yang satu jam lalu mengajaknya menikah. Pria itu tampak begitu serius dengan adegan yang dilakoninya. Walaupun gerakannya sederhana, tapi setiap gerak-geriknya mampu menghipnotis siapapun yang melihat. Dalam satu scene, Dylan hanya perlu memakai kacamata, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling padang rumput yang terbentang di belakang rumah utama Ranch. Setelah itu, Rosie masuk dan mengalungkan kedua tangan di leher kokoh Dylan. Keduanya saling tatap, sorot lekat yang menunjukkan kemesraan tak dibuat-buat. Vivianne hanya mampu diam dan menarik napas panjang. Mencoba untuk menetralkan perasaan dalam dada yang begitu bergemuruh. Apalagi saat melihat keduanya mendekatkan wajah. Bibir Dylan sudah hampir menyentuh bibir merah Rosie, dan .... "Cut!" seru sang sutradara. "Luar biasa sekali! Aku suka chemistry kalian," pujinya. Vivianne memejamkan mata sambil tanpa s
"Sudahlah. Tak ada gunanya menyesali masa lalu," hibur Vivianne. "Semua sudah terjadi, dan buktinya aku masih baik-baik saja sampai sekarang ...." Vivianne tampak memikirkan kalimatnya barusan, dan buru-buru meralatnya. "Well, tidak begitu baik sih, sebenarnya. Aku punya luka jahitan di kepala, rambutku juga jadi sedikit botak," guraunya. "Ya, ampun." Dylan meraup wajahnya kasar. Dia menjadi semakin merasa bersalah. "Hei, Dylan. Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu kepikiran," ujar Vivianne. "Walaupun pada kenyataannya, kau memang memporak-porandakan hidupku," imbuhnya sambil terkekeh. "Please, Vi." Dylan menatap Vivianne dengan sorot memelas. "Kau memanfaatkanku, memaksaku melakukan sesuatu yang tak kusuka dan membuatku jadi perempuan jahat," ungkap Vivianne mencurahkan isi hati. "Tapi di sisi lain, aku merasa senang bisa membantumu. Aku suka melihatmu tersenyum tanpa beban. Mengingatkanku akan Dylan yang dulu selalu tulus dan berpikiran positif," sambung Vivianne. "Vi .
Dengan jantung berdebar, Vivianne setengah berlari menuju trailer Dylan. Sesampainya di sana, diketuknya pintu caravan bercat putih itu. Cukup lama Vivianne menungguh sampai terdengar selot pintu bergeser. Dylan menyembulkan kepala dengan rambut acak-acakan. "Vi, ada apa? Apa sudah waktunya syuting?" tanya Dylan sambil memicingkan mata. "A-aku, be-belum! Ini masih pukul tiga. Kru tadi mengatakan kita harus menunggu senja untuk mendapatkan latar belakang dan gambar yang bagus," jelas Vivianne sedikit terbata. "Lantas? Apa yang kau lakukan di sini?" Dylan mengernyit bingung. "Apa Nona Rosie bersamamu?" cecar Vivianne. "Tidak. Kenapa memangnya?" Dylan balik bertanya. "Oh, jadi kau sendirian?" Vivianne kembali berusaha memastikan. "Kau mau masuk?" Dylan mengangkat satu alisnya seraya membuka daun pintu lebar-lebar. "Bilang saja kau ingin menemaniku di sini, Vi. Jangan berputar-putar," ledeknya. "Tidak! Bukan itu! Ah, sudahlah!" Vivianne berdecak kesal. Segera saja dia mem







