Sudah dua jam sejak Dylan keluar dari penthouse bersama Rosie. Sejak itu pula Vivianne tak bisa berkonsentrasi. Padahal ada banyak file dan dokumen yang harus dipelajari. Dia juga harus menyusun jadwal baru untuk mantan kekasih sekaligus atasannya itu.
"Astaga, bagaimana ini?" Vivianne mengacak-acak rambut saat otaknya tak bisa diajak berpikir. Meskipun demikian, dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Vivianne dikenal dengan sosok pekerja keras serta ulet. Dia tak mau gangguan emosi membuat profesionalismenya berkurang. "Aku akan mulai dari mengatur jadwal," ucap Vivianne pada diri sendiri, berniat untuk membuka laptop pribadinya. Akan tetapi, baru dia ingat kalau dirinya tidak membawa apapun saat datang ke apartemen mewah ini. "Ah, laptopku ketinggalan di rumah," keluh Vivianne. Hampir saja dia berniat untuk keluar dari ruang kerja. Vivianne bermaksud hendak pulang sebentar ke apartemennya sendiri, untuk mengambil barang-barangnya yang dianggap penting. Namun, baru beberapa langkah, terdengar ponselnya berbunyi. Vivianne merogoh tas selempang yang sedari dia datang ke penthouse, tak terlepas sama sekali dari pundaknya. Alisnya bertaut saat mengeluarkan ponsel dan mendapati sebuah pesan yang datang dari nomor tak dikenal. Setelah dibuka, barulah Vivianne tahu bahwa itu adalah nomor Dylan. [Selama aku keluar, jangan pergi ke mana-mana. Semua kebutuhanmu sudah kupenuhi, termasuk laptop dan ponsel baru.] Demikian isi pesan itu. Vivianne sontak menegang. "Darimana Dylan tahu kalau aku hendak keluar dan mengambil laptop?" desisnya merinding sambil menyapu pandangan ke sekeliling. Perasaan Vivianne mengatakan bahwa dirinya kini sedang diawasi. "Kurang ajar! Apa kau memata-mataiku, Dylan!" seru Vivianne seraya menyisir setiap sudut ruang kerja, bermaksud mencari kamera tersembunyi. Akan tetapi, dia tak menemukan apapun. Vivianne malah menemukan kardus berukuran sedang yang tergeletak di depan rak buku. Awalnya, dia tak ingin membukanya, tapi tulisan pada kardus itu membuatnya penasaran. Deretan huruf yang ditulis menggunakan spidol, terangkai jelas di sana. [Untuk Vivianne.] Buru-buru Vivianne membuka kardus cokelat itu lalu mengeluarkan isinya, sebuah laptop dan ponsel mahal keluaran terbaru. "Astaga!" gumamnya tak percaya. Untuk sementara, datangnya dua benda elektronik bernilai mahal itu membuat Vivianne lupa akan kegundahannya. Dia asyik mengoperasikan laptop dan ponsel baru, sambil mempelajari dokumen dan menyusun jadwal. Vivianne sampai tak sadar jika waktu terus berjalan. Dia menyadari ketika hari berubah malam saat dinding ruang kerja yang terbuat dari kaca tebal itu meneruskan cahaya senja dari matahari yang hampir terbenam. "Ini sudah jam setengah tujuh malam?" ucap Vivianne. Buru-buru dirinya merapikan meja kerja, membereskan pekerjaan, lalu keluar dari ruangan itu sambil membawa laptop dan ponsel barunya. Vivianne berniat untuk pulang ke apartemennya sendiri dan kembali ke penthouse megah ini besok pagi. Dia tak menghiraukan paksaan Dylan tadi yang menyuruhnya tinggal di kamar utama malam ini. Namun, saat Vivianne memencet tombol di samping lift pribadi, pintu lift itu tak kunjung terbuka. Berkali-kali Vivianne mencoba, tetap saja gagal. Sampai terdengar suara panggilan dari interkom yang berada di sisi lain lift. "Selamat malam, penghuni penthouse 6001?" Vivianne bergegas mendekatkan bibirnya di interkom. "Iya, tolong aku. Aku terjebak di sini! Lift-nya tak berfungsi!" lapornya panik. "Maaf, Nona. Berdasarkan laporan, Tuan Woods mengaktifkan penuh panel keamanannya sampai besok pagi," ujar suara di balik interkom, yang merupakan pegawai pengelola gedung. "Apa maksudnya itu?" Vivianne menggeleng tak mengerti. "Tuan Woods berkuasa penuh atas akses keluar masuk penthouse, dalam hal ini lift pribadi, Nona. Sebaiknya anda menghubungi Tuan Woods lebih dulu supaya beliau bisa membukakan akses itu untuk anda," jelas pegawai itu. "Sialan!" umpat Vivianne yang tak dapat menahan kekesalan. Ternyata Dylan sudah mengantisipasi hal ini sejak awal, dan itu membuatnya sebal setengah mati. "Aku tidak akan menyerah dan tunduk pada keinginanmu, Dylan!" pekiknya nyaring. "Aku tidak akan masuk ke kamar utama. Aku tidak sudi kau sentuh, apalagi harus melayani kebejatanmu!" maki Vivianne, seolah tak puas mengungkapkan kekesalan. Dengan penuh emosi, Vivianne duduk bersila di depan lift pribadi. Dia bertekad untuk berdiam di sana sampai Dylan datang. Sayangnya, tubuh memiliki batasannya sendiri. Vivianne yang seharian sibuk berkutat dengan dokumen, belum lagi perut kosong sejak pagi, membuatnya kelelahan. Lelah berujung pada kantuk yang tak bisa ditahan. Susah payah Vivianne tetap membuka mata, meski pada akhirnya terlelap jua. Vivianne tertidur. Tanpa sadar, punggungnya bersandar pada pintu lift dengan kepala menunduk. Hingga pukul sebelas malam, pintu lift tiba-tiba terbuka, sehingga Vivianne terguling ke belakang. Punggungnya menabrak ujung sepatu Dylan. Anehnya, Vivianne tak terbangun. Dia malah melanjutkan tidurnya, meringkuk di lantai lift. “Hilang akal, kau ini,” gerutu Dylan setengah kesal, setengah tak percaya. Dia berjongkok, memperhatikan wajah yang kini tampak begitu rapuh—berbeda jauh dari Vivianne yang selalu keras kepala di hadapannya. Perlahan, tangannya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari wajah Vivianne dengan gerakan lembut. Sentuhan ringan itu membuat Vivianne menggeliat kecil, menggumamkan sesuatu yang nyaris tak terdengar. Dylan menarik napas panjang, lalu tanpa banyak pikir, dia mengangkat tubuh Vivianne ke dalam pelukannya. Langkah Dylan mantap meniti anak tangga menuju lantai dua. Dia lalu membuka pintu kamar utama dan membaringkan Vivianne hati-hati di ranjangnya. "Akhirnya, tercapai juga keinginanku, Sayang." Dylan tersenyum samar, sembari membuka kancing kemeja Vivianne satu persatu.Cahaya matahari menerobos masuk melalui balkon kamar yang terbuka. Menelusup masuk ke kelopak mata VIvianne yang perlahan terbuka.Gadis itu refleks bangkit. Gerakan yang terlalu cepat, membuat kepalanya berdenyut. Vivianne mengerang pelan sambil memegangi pelipis. Saat itulah dia baru menyadari bahwa pakaiannya berganti. Kemeja putihnya kini berubah menjadi gaun tidur berbahan satin, berwarna pink lembut.Vivianne seketika menegang. Dalam pikirannya, itu pasti baju milik Rosie, dan Dylan dengan kurang ajarnya memakaikan gaun tidur itu pada Vivianne. "Dylan sialan!" umpatnya kesal.Vivianne buru-buru melepas baju berbahan tipis itu. Namun baru saja kainnya sampai di leher, terdengar suara yang berasal dari sisi lain kamar.Vivianne tersentak. Dia menoleh cepat, dan napasnya seketika tercekat. Dari balik kepulan uap tipis, Dylan muncul—rambutnya masih basah, beberapa helai menempel di dahi. Ia hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan di pinggang, membiarkan butiran air menetes dar
Sudah dua jam sejak Dylan keluar dari penthouse bersama Rosie. Sejak itu pula Vivianne tak bisa berkonsentrasi. Padahal ada banyak file dan dokumen yang harus dipelajari. Dia juga harus menyusun jadwal baru untuk mantan kekasih sekaligus atasannya itu. "Astaga, bagaimana ini?" Vivianne mengacak-acak rambut saat otaknya tak bisa diajak berpikir. Meskipun demikian, dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Vivianne dikenal dengan sosok pekerja keras serta ulet. Dia tak mau gangguan emosi membuat profesionalismenya berkurang. "Aku akan mulai dari mengatur jadwal," ucap Vivianne pada diri sendiri, berniat untuk membuka laptop pribadinya. Akan tetapi, baru dia ingat kalau dirinya tidak membawa apapun saat datang ke apartemen mewah ini. "Ah, laptopku ketinggalan di rumah," keluh Vivianne. Hampir saja dia berniat untuk keluar dari ruang kerja. Vivianne bermaksud hendak pulang sebentar ke apartemennya sendiri, untuk mengambil barang-barangnya yang dianggap penting. Namun, baru beberapa l
"Ck! Kau selalu saja curiga." Dylan memperlihatkan dengan jelas raut tak sukanya."Siapa yang tak curiga melihat posisi kalian yang sangat dekat seperti itu?" sahut Rosie ketus.Bukannya khawatir mendengar protes keras sang tunangan, Dylan malah tersenyum miring. "Namanya Vivianne. Dia yang akan menjadi asisten pribadiku mulai hari ini," ungkapnya seraya mengulurkan tangan pada Vivianne.Sebagai sesama wanita, Vivianne tentu dilema. Jika dia menerima uluran tangan Dylan, tentu hal itu pasti akan menyakiti Rosie. Apalagi Rosie tampak begitu terkejut. Namun, rupanya Dylan tak suka menunggu. Dia langsung menarik telapak tangan Vivianne dan menggenggamnya erat tanpa permisi."Hei!" Vivianne panik, berusaha melepaskan tangannya. Akan tetapi, genggaman Dylan jauh lebih kuat."Aa-apaan kau, Dylan!" seru Rosie."Tidak apa-apa, Vi. Rosie harus tahu siapa dirimu," ujar Dylan enteng. Dia tetap fokus pada Vivianne, meskipun Rosie sudah melayangkan protes keras."Permainan apa lagi ini!" seru Ros
"Kau ingin aku menjual tubuhku, Dylan?" Mata hazel Vivianne berkaca-kaca. "Kupikir, saat meninggalkanku dulu, kau sudah berbuat kejam. Ternyata, kelakuanmu sekarang jauh lebih keji lagi," ujarnya kecewa. "Vi ...." Sorot mata Dylan berubah sendu. Tampak penyesalan dan rasa bersalah di sana. "Bukan itu maksudku," ucapnya pelan. "Lalu apa, hm?" Vivianne mengangkat dagu, seakan menantang pria berparas rupawan itu. "Aku tidak bisa melelang keperawananku di situs hiburan Las Vegas, karena kau sudah merenggutnya lima tahun lalu. Anggap saja, 25 ribu dollar adalah bayaran yang harus kuterima sebagai ganti kesucian yang sudah kuberikan padamu dulu!" cetus Vivianne panjang lebar. "Haha ...." Dylan tertawa getir. "Tidak ada perjanjian tertulis tentang itu dulu. Apa kau lupa kalau kau menyerahkannya secara sukarela, Vi? Jadi, permintaanmu barusan tidak valid." Vivianne mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Seandainya bisa, dia pasti menghajar Dylan habis-habisan saat ini juga. Sayangnya Vi
Dylan melepaskan belitan tangannya dari tubuh Vivianne. Dia membungkuk menahan sakit.Vivianne memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dengan cepat ia meraih tasnya di sofa, lalu melesat cepat menuju pintu. Tangannya sempat bergetar saat memutar kenop, tapi akhirnya pintu itu terbuka."Vi!" panggil Dylan dengan suara serak. Wajahnya tegang, keringat bercucuran, tapi tatapannya masih mengikuti gadis itu penuh keputusasaan. "Jangan pergi… bukan seperti ini…"Vivianne menoleh sejenak. Sorot matanya berkaca, namun ia menguatkan hati. "Kau sudah membuat pilihanmu, Dylan. Dan aku pun sudah membuat pilihanku."Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar dan menutup pintu dengan suara dentuman halus. Keheningan langsung menyelimuti ruangan.Seorang perwakilan agensi yang tadi mengarahkan Vivianne, tampak berdiri beberapa meter di depannya. "Nona Diaz? Apakah pertemuannya sudah selesai?" tanya pria bersetelan rapi itu dengan sorot heran. Vivianne tak menjawab. Dia malah berjalan cep
Vivianne mematung selama beberapa detik. Sulit baginya untuk percaya bahwa yang ada dihadapannya ini adalah laki-laki yang sama yang meninggalkannya begitu saja setelah Vivianne menyerahkan segalanya, lima tahun lalu. "Kau ... klien itu?" tanyanya dengan suara bergetar. "Iya, ini aku, Vi. Apa kau merindukanku?" Dylan balas bertanya. Nadanya terdengar begitu lembut dan hangat. "Rindu?" Vivianne tertawa getir. "Kenapa aku harus merindukan pria brengsek sepertimu?" Berbeda dengan Dylan, air muka Vivianne menyorotkan amarah dan kekecewaan yang teramat sangat. "Kau masih marah, Vi?" Dylan masih dengan wajah tak bersalahnya. Vivianne kembali tergelak. "Serius, kau bertanya hal bodoh seperti itu padaku?" timpalnya sengit. Menyesal rasanya Vivianne memenuhi panggilan wawancara dari agensi profesional yang membuka lowongan melalui iklan lowongan khusus di internet. Vivianne mengira bahwa dia akan mendapatkan pekerjaan yang nyaman dan menjanjikan. Pada kenyataannya, dia malah berte