Beranda / Romansa / Sandiwara Liar Sang Aktor / Perjanjian Atau Perangkap?

Share

Perjanjian Atau Perangkap?

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-11 16:00:40

"Kau ingin aku menjual tubuhku, Dylan?" Mata hazel Vivianne berkaca-kaca. "Kupikir, saat meninggalkanku dulu, kau sudah berbuat kejam. Ternyata, kelakuanmu sekarang jauh lebih keji lagi," ujarnya kecewa.

"Vi ...." Sorot mata Dylan berubah sendu. Tampak penyesalan dan rasa bersalah di sana. "Bukan itu maksudku," ucapnya pelan.

"Lalu apa, hm?" Vivianne mengangkat dagu, seakan menantang pria berparas rupawan itu.

"Aku tidak bisa melelang keperawananku di situs hiburan Las Vegas, karena kau sudah merenggutnya lima tahun lalu. Anggap saja, 25 ribu dollar adalah bayaran yang harus kuterima sebagai ganti kesucian yang sudah kuberikan padamu dulu!" cetus Vivianne panjang lebar.

"Haha ...." Dylan tertawa getir. "Tidak ada perjanjian tertulis tentang itu dulu. Apa kau lupa kalau kau menyerahkannya secara sukarela, Vi? Jadi, permintaanmu barusan tidak valid."

Vivianne mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Seandainya bisa, dia pasti menghajar Dylan habis-habisan saat ini juga. Sayangnya Vivianne tak bisa melakukan hal itu. Dia tak mau berurusan dengan polisi.

"Aku tidak sanggup lagi. Aku lelah." Vivianne mengempaskan napas panjang. Kepalan tangannya mengendur. Dia tak punya tenaga lagi untuk melawan.

Bagaimanapun, aktor sekaya dan setenar Dylan, bukanlah tandingannya. Vivianne memilih untuk menyerah.

"Ikutlah denganku. Jadilah asisten pribadiku, Vi. Akan kucukupi semua kebutuhanmu. Kau tak perlu tinggal di tempat kumuh ini lagi," rayu Dylan.

Vivianne menggeleng lesu. "Entahlah. Aku sedang tak bisa berpikir," desahnya.

"Tidak apa-apa. Tenangkan dirimu dulu. Besok, datanglah ke sini, tepat jam delapan pagi." Dylan menyodorkan selembar kartu nama dan meletakkannya di telapak tangan Vivianne.

"Kau tak perlu membawa apapun. Karena aku sudah menyiapkan semua." Dylan berbisik tepat di daun telinga Vivianne, menimbulkan gelenyar aneh di seluruh tubuh gadis itu.

"Apa maksudmu?" tanya Vivianne setelah beberapa detik berlalu. Dia harus menetralkan degup jantung dan salah tingkahnya lebih dulu sebelum menimpali Dylan.

"Nanti kau akan tahu. Ingat, Sayang. Jam delapan tepat." Nada bicara Dylan terdengar begitu lembut.

Perlakuan manisnya tak berhenti sampai di sana. Dylan mengecup kening Vivianne cukup lama, hangat dan dalam, seakan tengah mencurahkan seluruh perasaan cintanya pada sang mantan kekasih.

"Sampai jumpa besok, Vi." Dylan mengangguk sambil memamerkan senyum menawan.

Tak dapat dipungkiri, Vivianne terpaku. Dia tenggelam dalam pesona Dylan yang luar biasa, sampai-sampai tak sadar jika sang aktor sudah meninggalkan apartemen.

Keesokan harinya, Vivianne memutuskan untuk mendatangi alamat yang tertera di kartu nama Dylan. Satu sisi, dia merasa penasaran. Sedangkan di sisi lain, Vivianne ingin membuktikan, apakah Dylan mengingkari janji seperti lima tahun lalu, atau memang bersungguh-sungguh.

Vivianne mendapatkan jawabannya saat pintu lift pribadi menuju penthouse Dylan terbuka. Pria tampan itu berdiri di sana, beberapa meter dari hadapannya.

"Selamat datang, Vi," sambut Dylan yang terlihat luar biasa dalam balutan kemeja putih sederhana dan celana hitam, namun entah bagaimana, kesederhanaan itu justru menonjolkan pesonanya.

Vivianne ragu untuk melangkah, tubuhnya kaku di depan lift. Tatapannya berkelana, seolah mencari alasan untuk segera pergi.

Namun, sebelum dia sempat mundur, Dylan mengulurkan tangan dengan tenang. Sentuhan hangat jemarinya meraih tangan Vivianne.

Tanpa banyak kata, Dylan menuntunnya perlahan, membawanya masuk ke dalam ruang tamu yang megah. Lampu kristal di langit-langit berkilau, seolah menyambut kedatangan Vivianne.

“Tak perlu takut,” bujuk Dylan setengah berbisik. "Duduklah dulu. Aku sudah menbuatkan minuman selamat datang untukmu," ujarnya kemudian seraya berlalu.

Bagaikan terhipnotis, Vivianne mengangguk tanpa membantah. Dia duduk dengan anggun di sofa berlapis beludru mewah.

Beberapa menit kemudian, Dylan kembali dengan langkah tenang. Sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Di tangannya, dua gelas kristal berisi sampanye berkilau di bawah cahaya lampu gantung.

Dylan menyerahkan salah satunya pada Vivianne, yang sempat ragu untuk menerimanya. Namun tatapan Dylan terlalu kuat untuk dihindari, sehingga Vivianne akhirnya meraih gelas itu dengan tangan bergetar.

“Bersulang, Sayang,” ucap Dylan pelan tapi penuh penekanan. Gelasnya dia angkat, lalu disentuhkan perlahan pada gelas Vivianne hingga denting halus terdengar.

“Untuk kerja sama kita,” lanjut Dylan, senyumnya kian dalam, membuat Vivianne tak tahu apakah dia sedang masuk ke dalam perjanjian … atau perangkap.

"Kerjasama?" ulang Vivianne.

"Maksudku, untuk pekerjaan barumu,” dalih Dylan tenang.

Vivianne hanya bisa mengangguk, karena memang tak memiliki kata-kata untuk menyanggah.

"Mulai besok, kau yang mengatur jadwalku, mendampingiku, melindungiku dari … hal-hal yang tidak perlu. Dan sebagai imbalannya, akan kupenuhi seluruh kebutuhan hidupmu."

Vivianne tertawa lirih. "Lucu sekali," gumamnya.

"Apa yang lucu?" Dylan mengernyit tak mengerti.

"Kau berbicara seolah-olah aku telah setuju," jawab Vivianne.

“Memang aku menganggap kau setuju,” sahut Dylan cepat, mencondongkan tubuh ke arahnya. “Sejak kau meneguk sampanye tadi, itu tandanya kau setuju.”

Tubuh Vivianne menegang. Seringai Dylan membangkitkan instingnya. Bahwa ada sesuatu yang tak beres di balik semua ini.

Akan tetapi, Vivianne tak ingin menampik. Dalam hati, dia bertekad untuk mengikuti arah permainan mantan kekasihnya itu.

"Baiklah, aku setuju," putus Vivianne pada akhirnya.

"Terima kasih, Vi. Kujamin, kau tak akan menyesal menerima pekerjaan ini," tutur Dylan sembari mendekatkan wajah.

Bibir ranum Vivianne sudah menggodanya sedari tadi, dan Dylan sudah tak tahan untuk melumatnya.

Namun, sebelum niatnya terlaksana, pintu lift tiba-tiba terbuka. Seorang wanita cantik keluar dari sana dengan langkah anggun dan percaya diri. Wanita itu tertegun sejenak melihat sosok Vivianne yang berada begitu dekat dengan Dylan.

"Apakah ini alasan kenapa aku sulit sekali menghubungimu sejak semalam?" sindir sang wanita yang tak lain adalah Rosie Duvall, tunangan Dylan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Hubungan Spesial

    Cahaya matahari menerobos masuk melalui balkon kamar yang terbuka. Menelusup masuk ke kelopak mata VIvianne yang perlahan terbuka.Gadis itu refleks bangkit. Gerakan yang terlalu cepat, membuat kepalanya berdenyut. Vivianne mengerang pelan sambil memegangi pelipis. Saat itulah dia baru menyadari bahwa pakaiannya berganti. Kemeja putihnya kini berubah menjadi gaun tidur berbahan satin, berwarna pink lembut.Vivianne seketika menegang. Dalam pikirannya, itu pasti baju milik Rosie, dan Dylan dengan kurang ajarnya memakaikan gaun tidur itu pada Vivianne. "Dylan sialan!" umpatnya kesal.Vivianne buru-buru melepas baju berbahan tipis itu. Namun baru saja kainnya sampai di leher, terdengar suara yang berasal dari sisi lain kamar.Vivianne tersentak. Dia menoleh cepat, dan napasnya seketika tercekat. Dari balik kepulan uap tipis, Dylan muncul—rambutnya masih basah, beberapa helai menempel di dahi. Ia hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan di pinggang, membiarkan butiran air menetes dar

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Dua Sisi Dylan

    Sudah dua jam sejak Dylan keluar dari penthouse bersama Rosie. Sejak itu pula Vivianne tak bisa berkonsentrasi. Padahal ada banyak file dan dokumen yang harus dipelajari. Dia juga harus menyusun jadwal baru untuk mantan kekasih sekaligus atasannya itu. "Astaga, bagaimana ini?" Vivianne mengacak-acak rambut saat otaknya tak bisa diajak berpikir. Meskipun demikian, dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Vivianne dikenal dengan sosok pekerja keras serta ulet. Dia tak mau gangguan emosi membuat profesionalismenya berkurang. "Aku akan mulai dari mengatur jadwal," ucap Vivianne pada diri sendiri, berniat untuk membuka laptop pribadinya. Akan tetapi, baru dia ingat kalau dirinya tidak membawa apapun saat datang ke apartemen mewah ini. "Ah, laptopku ketinggalan di rumah," keluh Vivianne. Hampir saja dia berniat untuk keluar dari ruang kerja. Vivianne bermaksud hendak pulang sebentar ke apartemennya sendiri, untuk mengambil barang-barangnya yang dianggap penting. Namun, baru beberapa l

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Asisten Atau Pasangan?

    "Ck! Kau selalu saja curiga." Dylan memperlihatkan dengan jelas raut tak sukanya."Siapa yang tak curiga melihat posisi kalian yang sangat dekat seperti itu?" sahut Rosie ketus.Bukannya khawatir mendengar protes keras sang tunangan, Dylan malah tersenyum miring. "Namanya Vivianne. Dia yang akan menjadi asisten pribadiku mulai hari ini," ungkapnya seraya mengulurkan tangan pada Vivianne.Sebagai sesama wanita, Vivianne tentu dilema. Jika dia menerima uluran tangan Dylan, tentu hal itu pasti akan menyakiti Rosie. Apalagi Rosie tampak begitu terkejut. Namun, rupanya Dylan tak suka menunggu. Dia langsung menarik telapak tangan Vivianne dan menggenggamnya erat tanpa permisi."Hei!" Vivianne panik, berusaha melepaskan tangannya. Akan tetapi, genggaman Dylan jauh lebih kuat."Aa-apaan kau, Dylan!" seru Rosie."Tidak apa-apa, Vi. Rosie harus tahu siapa dirimu," ujar Dylan enteng. Dia tetap fokus pada Vivianne, meskipun Rosie sudah melayangkan protes keras."Permainan apa lagi ini!" seru Ros

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Perjanjian Atau Perangkap?

    "Kau ingin aku menjual tubuhku, Dylan?" Mata hazel Vivianne berkaca-kaca. "Kupikir, saat meninggalkanku dulu, kau sudah berbuat kejam. Ternyata, kelakuanmu sekarang jauh lebih keji lagi," ujarnya kecewa. "Vi ...." Sorot mata Dylan berubah sendu. Tampak penyesalan dan rasa bersalah di sana. "Bukan itu maksudku," ucapnya pelan. "Lalu apa, hm?" Vivianne mengangkat dagu, seakan menantang pria berparas rupawan itu. "Aku tidak bisa melelang keperawananku di situs hiburan Las Vegas, karena kau sudah merenggutnya lima tahun lalu. Anggap saja, 25 ribu dollar adalah bayaran yang harus kuterima sebagai ganti kesucian yang sudah kuberikan padamu dulu!" cetus Vivianne panjang lebar. "Haha ...." Dylan tertawa getir. "Tidak ada perjanjian tertulis tentang itu dulu. Apa kau lupa kalau kau menyerahkannya secara sukarela, Vi? Jadi, permintaanmu barusan tidak valid." Vivianne mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Seandainya bisa, dia pasti menghajar Dylan habis-habisan saat ini juga. Sayangnya Vi

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Aku Mau Tubuhmu

    Dylan melepaskan belitan tangannya dari tubuh Vivianne. Dia membungkuk menahan sakit.Vivianne memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dengan cepat ia meraih tasnya di sofa, lalu melesat cepat menuju pintu. Tangannya sempat bergetar saat memutar kenop, tapi akhirnya pintu itu terbuka."Vi!" panggil Dylan dengan suara serak. Wajahnya tegang, keringat bercucuran, tapi tatapannya masih mengikuti gadis itu penuh keputusasaan. "Jangan pergi… bukan seperti ini…"Vivianne menoleh sejenak. Sorot matanya berkaca, namun ia menguatkan hati. "Kau sudah membuat pilihanmu, Dylan. Dan aku pun sudah membuat pilihanku."Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar dan menutup pintu dengan suara dentuman halus. Keheningan langsung menyelimuti ruangan.Seorang perwakilan agensi yang tadi mengarahkan Vivianne, tampak berdiri beberapa meter di depannya. "Nona Diaz? Apakah pertemuannya sudah selesai?" tanya pria bersetelan rapi itu dengan sorot heran. Vivianne tak menjawab. Dia malah berjalan cep

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Semua Tentangmu

    Vivianne mematung selama beberapa detik. Sulit baginya untuk percaya bahwa yang ada dihadapannya ini adalah laki-laki yang sama yang meninggalkannya begitu saja setelah Vivianne menyerahkan segalanya, lima tahun lalu. "Kau ... klien itu?" tanyanya dengan suara bergetar. "Iya, ini aku, Vi. Apa kau merindukanku?" Dylan balas bertanya. Nadanya terdengar begitu lembut dan hangat. "Rindu?" Vivianne tertawa getir. "Kenapa aku harus merindukan pria brengsek sepertimu?" Berbeda dengan Dylan, air muka Vivianne menyorotkan amarah dan kekecewaan yang teramat sangat. "Kau masih marah, Vi?" Dylan masih dengan wajah tak bersalahnya. Vivianne kembali tergelak. "Serius, kau bertanya hal bodoh seperti itu padaku?" timpalnya sengit. Menyesal rasanya Vivianne memenuhi panggilan wawancara dari agensi profesional yang membuka lowongan melalui iklan lowongan khusus di internet. Vivianne mengira bahwa dia akan mendapatkan pekerjaan yang nyaman dan menjanjikan. Pada kenyataannya, dia malah berte

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status