LOGIN"Kau ingin aku menjual tubuhku, Dylan?" Mata hazel Vivianne berkaca-kaca. "Kupikir, saat meninggalkanku dulu, kau sudah berbuat kejam. Ternyata, kelakuanmu sekarang jauh lebih keji lagi," ujarnya kecewa.
"Vi ...." Sorot mata Dylan berubah sendu. Tampak penyesalan dan rasa bersalah di sana. "Bukan itu maksudku," ucapnya pelan. "Lalu apa, hm?" Vivianne mengangkat dagu, seakan menantang pria berparas rupawan itu. "Aku tidak bisa melelang keperawananku di situs hiburan Las Vegas, karena kau sudah merenggutnya lima tahun lalu. Anggap saja, 25 ribu dollar adalah bayaran yang harus kuterima sebagai ganti kesucian yang sudah kuberikan padamu dulu!" cetus Vivianne panjang lebar. "Haha ...." Dylan tertawa getir. "Tidak ada perjanjian tertulis tentang itu dulu. Apa kau lupa kalau kau menyerahkannya secara sukarela, Vi? Jadi, permintaanmu barusan tidak valid." Vivianne mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Seandainya bisa, dia pasti menghajar Dylan habis-habisan saat ini juga. Sayangnya Vivianne tak bisa melakukan hal itu. Dia tak mau berurusan dengan polisi. "Aku tidak sanggup lagi. Aku lelah." Vivianne mengempaskan napas panjang. Kepalan tangannya mengendur. Dia tak punya tenaga lagi untuk melawan. Bagaimanapun, aktor sekaya dan setenar Dylan, bukanlah tandingannya. Vivianne memilih untuk menyerah. "Ikutlah denganku. Jadilah asisten pribadiku, Vi. Akan kucukupi semua kebutuhanmu. Kau tak perlu tinggal di tempat kumuh ini lagi," rayu Dylan. Vivianne menggeleng lesu. "Entahlah. Aku sedang tak bisa berpikir," desahnya. "Tidak apa-apa. Tenangkan dirimu dulu. Besok, datanglah ke sini, tepat jam delapan pagi." Dylan menyodorkan selembar kartu nama dan meletakkannya di telapak tangan Vivianne. "Kau tak perlu membawa apapun. Karena aku sudah menyiapkan semua." Dylan berbisik tepat di daun telinga Vivianne, menimbulkan gelenyar aneh di seluruh tubuh gadis itu. "Apa maksudmu?" tanya Vivianne setelah beberapa detik berlalu. Dia harus menetralkan degup jantung dan salah tingkahnya lebih dulu sebelum menimpali Dylan. "Nanti kau akan tahu. Ingat, Sayang. Jam delapan tepat." Nada bicara Dylan terdengar begitu lembut. Perlakuan manisnya tak berhenti sampai di sana. Dylan mengecup kening Vivianne cukup lama, hangat dan dalam, seakan tengah mencurahkan seluruh perasaan cintanya pada sang mantan kekasih. "Sampai jumpa besok, Vi." Dylan mengangguk sambil memamerkan senyum menawan. Tak dapat dipungkiri, Vivianne terpaku. Dia tenggelam dalam pesona Dylan yang luar biasa, sampai-sampai tak sadar jika sang aktor sudah meninggalkan apartemen. Keesokan harinya, Vivianne memutuskan untuk mendatangi alamat yang tertera di kartu nama Dylan. Satu sisi, dia merasa penasaran. Sedangkan di sisi lain, Vivianne ingin membuktikan, apakah Dylan mengingkari janji seperti lima tahun lalu, atau memang bersungguh-sungguh. Vivianne mendapatkan jawabannya saat pintu lift pribadi menuju penthouse Dylan terbuka. Pria tampan itu berdiri di sana, beberapa meter dari hadapannya. "Selamat datang, Vi," sambut Dylan yang terlihat luar biasa dalam balutan kemeja putih sederhana dan celana hitam, namun entah bagaimana, kesederhanaan itu justru menonjolkan pesonanya. Vivianne ragu untuk melangkah, tubuhnya kaku di depan lift. Tatapannya berkelana, seolah mencari alasan untuk segera pergi. Namun, sebelum dia sempat mundur, Dylan mengulurkan tangan dengan tenang. Sentuhan hangat jemarinya meraih tangan Vivianne. Tanpa banyak kata, Dylan menuntunnya perlahan, membawanya masuk ke dalam ruang tamu yang megah. Lampu kristal di langit-langit berkilau, seolah menyambut kedatangan Vivianne. “Tak perlu takut,” bujuk Dylan setengah berbisik. "Duduklah dulu. Aku sudah menbuatkan minuman selamat datang untukmu," ujarnya kemudian seraya berlalu. Bagaikan terhipnotis, Vivianne mengangguk tanpa membantah. Dia duduk dengan anggun di sofa berlapis beludru mewah. Beberapa menit kemudian, Dylan kembali dengan langkah tenang. Sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Di tangannya, dua gelas kristal berisi sampanye berkilau di bawah cahaya lampu gantung. Dylan menyerahkan salah satunya pada Vivianne, yang sempat ragu untuk menerimanya. Namun tatapan Dylan terlalu kuat untuk dihindari, sehingga Vivianne akhirnya meraih gelas itu dengan tangan bergetar. “Bersulang, Sayang,” ucap Dylan pelan tapi penuh penekanan. Gelasnya dia angkat, lalu disentuhkan perlahan pada gelas Vivianne hingga denting halus terdengar. “Untuk kerja sama kita,” lanjut Dylan, senyumnya kian dalam, membuat Vivianne tak tahu apakah dia sedang masuk ke dalam perjanjian … atau perangkap. "Kerjasama?" ulang Vivianne. "Maksudku, untuk pekerjaan barumu,” dalih Dylan tenang. Vivianne hanya bisa mengangguk, karena memang tak memiliki kata-kata untuk menyanggah. "Mulai besok, kau yang mengatur jadwalku, mendampingiku, melindungiku dari … hal-hal yang tidak perlu. Dan sebagai imbalannya, akan kupenuhi seluruh kebutuhan hidupmu." Vivianne tertawa lirih. "Lucu sekali," gumamnya. "Apa yang lucu?" Dylan mengernyit tak mengerti. "Kau berbicara seolah-olah aku telah setuju," jawab Vivianne. “Memang aku menganggap kau setuju,” sahut Dylan cepat, mencondongkan tubuh ke arahnya. “Sejak kau meneguk sampanye tadi, itu tandanya kau setuju.” Tubuh Vivianne menegang. Seringai Dylan membangkitkan instingnya. Bahwa ada sesuatu yang tak beres di balik semua ini. Akan tetapi, Vivianne tak ingin menampik. Dalam hati, dia bertekad untuk mengikuti arah permainan mantan kekasihnya itu. "Baiklah, aku setuju," putus Vivianne pada akhirnya. "Terima kasih, Vi. Kujamin, kau tak akan menyesal menerima pekerjaan ini," tutur Dylan sembari mendekatkan wajah. Bibir ranum Vivianne sudah menggodanya sedari tadi, dan Dylan sudah tak tahan untuk melumatnya. Namun, sebelum niatnya terlaksana, pintu lift tiba-tiba terbuka. Seorang wanita cantik keluar dari sana dengan langkah anggun dan percaya diri. Wanita itu tertegun sejenak melihat sosok Vivianne yang berada begitu dekat dengan Dylan. "Apakah ini alasan kenapa aku sulit sekali menghubungimu sejak semalam?" sindir sang wanita yang tak lain adalah Rosie Duvall, tunangan Dylan.Tak hanya sang sutradara yang terkejut. Beberapa kru dan artis yang duduk di sekitar meja mereka pun demikian. Semua mata tertuju pada Rosie. Namun, hal itu tak membuat Rosie terganggu. Dia malah melanjutkan amarahnya. "Kukira kau wanita baik-baik. Ternyata kau tak berbeda dengan penggemar-penggemar gila Dylan di luar sana!" bentak Rosie. "Hentikan, Rose! Kau membuatku malu!" hardik Dylan. Aktor tampan itu berdiri, lalu menarik Vivianne agar berada di belakangnya. Satu tangannya terus menggenggam pergelangan Vivianne. Betapa sakitnya hati Rosie melihat Dylan pasang badan, menjadi tameng demi melindungi Vivianne. "Kau serius melakukan ini padaku, Dylan?" desis Rosie. Bibirnya bergetar menahan emosi yang semakin tak terbendung. "Aku melakukan yang seharusnya! Vivianne adalah teman masa kecilku. Saat kecil dulu, kami bertetangga dan ayah kami saling berteman!" beber Dylan. Dia sedikit menambahkan bumbu kebohongan, tentang kedua ayah mereka yang berteman. Pada kenyataannya, ayah
Aroma menyengat memasuki indra penciuman Vivianne. Pusing mulai melanda akibat bau menusuk itu. Dalam posisi panik, dia berusaha melepaskan diri, menjauhkan wajahnya dari orang-orang misterius itu. Namun, rasa pening yang menyergap, membuat kekuatan Vivianne menghilang. Tenaganya seperti habis tersedot. Vivianne tak mempunyai pilihan selain pasrah. Beruntung, saat dirinya hendak menyerah, terdengar teriakan nyaring yang entah darimana asalnya. "Lepaskan dia, atau akan kutelepon polisi!" sentak suara yang Vivianne mengenalinya sebagai milik Liam. Beberapa pria tadi langsung membeku. Satu pria yang masih membungkam Vivianne dengan saputangan, segera melepaskan tangannya dan menjauh. Hampir saja Vivianne terjatuh jika saja Liam tidak sigap menangkapnya. "Vi, apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu khawatir. Vivianne menggeleng lemah. Sesaat kemudian, dia mengalihkan tatapannya ke arah pria-pria asing itu. "Apa mau kalian?" desisnya pelan. Pria-pria tersebut tak menjawab. Mereka ma
"Dylan! Aku tahu kau di dalam. Aku melihatmu masuk tadi!" seru seseorang yang tak lain adalah Liam. Vivianne dan Dylan sempat saling pandang sejenak sebelum Dylan memutuskan untuk membuka pintu ruangan dalam rumah utama yang dialihfungsikan menjadi tempat wardrobe itu. "Ada apa?" tanya Dylan tanpa basa-basi. "Kau terlalu gegabah." Liam berbisik lirih, memastikan Vivianne tak mendengar kalimatnya. "Jangan ikut campur, Liam. Tugasmu adalah menjerat Rosie! Bukan menguntit Vivianne terus-terusan!" Dylan balas berbisik. Liam yang berdiri berhadapan dengan Dylan itu memiringkan kepala, agar dapat melihat Vivianne yang mematung beberapa meter di belakang mereka. Liam lalu kembali pada posisinya semua, sejajar dengan Dylan. "Untuk apa kau menyeretnya kemari?" desisnya. "Bukan urusanmu!" tegas Dylan. Liam tersenyum miring. "Baiklah, kalau itu maumu. Jangan salahkan aku seandainya Rosie nekat dan berbuat lebih gila. Jangan sampai Vivianne terluka lebih parah lagi," peringatnya.
Di belakang batas set, Vivianne berdiri tenang dengan ipad di tangan. Namun, matanya tak lepas dari sosok pria yang satu jam lalu mengajaknya menikah. Pria itu tampak begitu serius dengan adegan yang dilakoninya. Walaupun gerakannya sederhana, tapi setiap gerak-geriknya mampu menghipnotis siapapun yang melihat. Dalam satu scene, Dylan hanya perlu memakai kacamata, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling padang rumput yang terbentang di belakang rumah utama Ranch. Setelah itu, Rosie masuk dan mengalungkan kedua tangan di leher kokoh Dylan. Keduanya saling tatap, sorot lekat yang menunjukkan kemesraan tak dibuat-buat. Vivianne hanya mampu diam dan menarik napas panjang. Mencoba untuk menetralkan perasaan dalam dada yang begitu bergemuruh. Apalagi saat melihat keduanya mendekatkan wajah. Bibir Dylan sudah hampir menyentuh bibir merah Rosie, dan .... "Cut!" seru sang sutradara. "Luar biasa sekali! Aku suka chemistry kalian," pujinya. Vivianne memejamkan mata sambil tanpa s
"Sudahlah. Tak ada gunanya menyesali masa lalu," hibur Vivianne. "Semua sudah terjadi, dan buktinya aku masih baik-baik saja sampai sekarang ...." Vivianne tampak memikirkan kalimatnya barusan, dan buru-buru meralatnya. "Well, tidak begitu baik sih, sebenarnya. Aku punya luka jahitan di kepala, rambutku juga jadi sedikit botak," guraunya. "Ya, ampun." Dylan meraup wajahnya kasar. Dia menjadi semakin merasa bersalah. "Hei, Dylan. Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu kepikiran," ujar Vivianne. "Walaupun pada kenyataannya, kau memang memporak-porandakan hidupku," imbuhnya sambil terkekeh. "Please, Vi." Dylan menatap Vivianne dengan sorot memelas. "Kau memanfaatkanku, memaksaku melakukan sesuatu yang tak kusuka dan membuatku jadi perempuan jahat," ungkap Vivianne mencurahkan isi hati. "Tapi di sisi lain, aku merasa senang bisa membantumu. Aku suka melihatmu tersenyum tanpa beban. Mengingatkanku akan Dylan yang dulu selalu tulus dan berpikiran positif," sambung Vivianne. "Vi .
Dengan jantung berdebar, Vivianne setengah berlari menuju trailer Dylan. Sesampainya di sana, diketuknya pintu caravan bercat putih itu. Cukup lama Vivianne menungguh sampai terdengar selot pintu bergeser. Dylan menyembulkan kepala dengan rambut acak-acakan. "Vi, ada apa? Apa sudah waktunya syuting?" tanya Dylan sambil memicingkan mata. "A-aku, be-belum! Ini masih pukul tiga. Kru tadi mengatakan kita harus menunggu senja untuk mendapatkan latar belakang dan gambar yang bagus," jelas Vivianne sedikit terbata. "Lantas? Apa yang kau lakukan di sini?" Dylan mengernyit bingung. "Apa Nona Rosie bersamamu?" cecar Vivianne. "Tidak. Kenapa memangnya?" Dylan balik bertanya. "Oh, jadi kau sendirian?" Vivianne kembali berusaha memastikan. "Kau mau masuk?" Dylan mengangkat satu alisnya seraya membuka daun pintu lebar-lebar. "Bilang saja kau ingin menemaniku di sini, Vi. Jangan berputar-putar," ledeknya. "Tidak! Bukan itu! Ah, sudahlah!" Vivianne berdecak kesal. Segera saja dia mem







