Share

Aku Mau Tubuhmu

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-07 10:01:08

Dylan melepaskan belitan tangannya dari tubuh Vivianne. Dia membungkuk menahan sakit.

Vivianne memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dengan cepat ia meraih tasnya di sofa, lalu melesat cepat menuju pintu. Tangannya sempat bergetar saat memutar kenop, tapi akhirnya pintu itu terbuka.

"Vi!" panggil Dylan dengan suara serak. Wajahnya tegang, keringat bercucuran, tapi tatapannya masih mengikuti gadis itu penuh keputusasaan. "Jangan pergi… bukan seperti ini…"

Vivianne menoleh sejenak. Sorot matanya berkaca, namun ia menguatkan hati. "Kau sudah membuat pilihanmu, Dylan. Dan aku pun sudah membuat pilihanku."

Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar dan menutup pintu dengan suara dentuman halus. Keheningan langsung menyelimuti ruangan.

Seorang perwakilan agensi yang tadi mengarahkan Vivianne, tampak berdiri beberapa meter di depannya. "Nona Diaz? Apakah pertemuannya sudah selesai?" tanya pria bersetelan rapi itu dengan sorot heran.

Vivianne tak menjawab. Dia malah berjalan cepat melewati si pria tanpa menoleh.

"Hei, Nona! Apakah anda sudah diterima?" kejar pegawai agensi itu.

Namun, Vivianne tetap tak memedulikannya dan berlari kecil memasuki lift yang kebetulan pintunya baru terbuka.

"Anda harus memasukkan laporan dulu ke sistem sebelum menandatangani kontrak dengan klien, Nona Diaz!" Seruan si pria terdengar samar, sebab pintu lift mulai menutup sempurna.

"Ya, Tuhan!" Vivianne menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sungguh tak pernah dia sangka jika akan dipertemukan kembali dengan Dylan.

Padahal, sejak berita pertunangan aktor tampan yang tersebar di berbagai media itu, Vivianne memilih untuk menyerah dan mengubur angannya untuk bisa bertemu dan bersanding bersama Dylan. "Mimpi apa aku semalam?" keluhnya.

Langkahnya lunglai keluar dari lift. Lesu gerakannya melintasi lobi lalu menghentikan taksi. Sepanjang perjalanan pulang ke apartemen, Vivianne terlihat kaku dan membisu. Pikirannya penuh oleh adegan semi panas yang tadi dia lakoni bersama Dylan.

"Ah, sial! Bodohnya aku!" Vivianne memukuli dahi, sampai-sampai sopir taksi meliriknya dari spion tengah. Akan tetapi, pria itu tak mengatakan apa-apa.

Sesampainya di apartemen, Vivianne langsung merebahkan diri di sofa ruang tamu. Tanpa sadar, dia tertidur di sana.

Entah berapa lama matanya terpejam, Vivianne terbangun ketika mendengar suara gedoran kencang dari arah pintu masuk.

"Astaga!" ujarnya sembari mengusap dada. Sempat diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore sebelum beranjak berdiri. "Ya, ampun! Aku tertidur selama itu?" gumamnya tak percaya sambil membuka pintu.

Baru saja Vivianne memutar kenop, tiba-tiba daun pintu terdorong keras dari luar. Vivianne sampai terhuyung ke samping dan hampir terjatuh. Beruntung dia sempat berpegangan pada gantungan mantel yang terletak di samping pintu.

"Sudah habis kesabaran kami menghadapimu, Vivianne Diaz!" bentak seseorang yang tadi sempat membuat gadis itu hampir terjatuh.

Saat itu, barulah Vivianne menyadari bahwa pelakunya adalah seorang orang penagih utang bersama dua orang temannya yang sebulan lalu pernah mendatangi apartemen.

"Kenapa kalian datang sekarang? Jatuh temponya masih lima hari lagi!" protes Vivianne.

"Kau tidak membayar pokok sama sekali. Apalagi bunganya! Jadi, jatuh tempo itu tidak berlaku!" bantah orang itu.

"Aku tidak punya uang sekarang. Kembalilah lima hari lagi," tawar Vivianne.

"Kau kira kami bodoh? Majikan kami tidak akan bersedia menunggu selama itu. Kami tidak mau mengambil risiko kau melarikan diri!" tolak si penagih utang.

"Aku bersumpah tidak akan berbuat macam-macam! Lima hari lagi, kumohon!" pinta Vivianne mengiba.

Sayang, permohonannya tak didengar. Tiga pria bertubuh tinggi besar itu merangsek masuk dan hendak memporak-porandakan perabot Vivianne.

Satu orang berniat mengambil laptop yang tergeletak di meja ruang tamu.

"Letakkan barang-barang itu!" Tiba-tiba terdengar seseorang berseru.

Sontak, semuanya menoleh ke arah suara. Tampak seorang pria tinggi tegap, memakai penutup wajah berwarna hitam. Hanya terlihat mata biru cerahnya yang menyorot tajam kepada para penagih utang.

"Dylan," desis Vivianne lirih. Tentu saja dia mengenali sosok rupawan itu meski Dylan menyembunyikan wajahnya.

"Hubungi majikan kalian! Aku sudah melunasi seluruh utang Nona Diaz, beserta bunganya!" tegas Dylan.

Pria-pria itu saling berpandangan sebelum sibuk memeriksa ponsel masing-masing. Sesaat kemudian, salah satu di antara mereka mengangguk. "Benar, dia sudah melunasinya," bisiknya.

"Hm!" Pria yang memegang laptop, segera mengembalikan benda itu ke tempatnya semula.

"Baiklah, Nona Diaz! Kurasa sekarang kita sudah tak mempunyai masalah. Senang berbisnis denganmu!" ucap sang penagih utang dengan entengnya seraya berbalik meninggalkan apartemen sederhana Vivianne. Dia sempat melirik sekali pada Dylan, tetapi tak mengatakan apapun.

Gadis cantik itu sempat menghela napas lega. Namun, dadanya kembali sesak tatkala menyadari bahwa Dylan tengah berjalan mendekat.

"Kau tidak berterima kasih padaku?" tanya Dylan. Matanya mengerling nakal, sengaja menggoda Vivianne.

"Aku tidak meminta bantuanmu!" elak Vivianne ketus.

"Ah, tapi sayangnya kau harus berterima kasih. Uang yang sudah kuhabiskan untuk membayar utangmu tadi cukup besar. Dua puluh lima ribu dollar. Bayangkan, Vi. Aku tidak mau rugi," tutur Dylan kalem.

"Sialan!" geram Vivianne. "Apa maumu, hah! Kenapa kau membantuku jika ada maksud lain? Kau ingin menjebakku, begitu?" tudingnya.

"Tidak. Bukan menjebak, Sayang." Dylan tersenyum penuh arti. Tangannya terulur, menurunkan telunjuk Vivianne yang mengarah kepadanya.

"Anggap saja, aku memberimu utang untuk menutupi utangmu pada rentenir itu," jelas Dylan.

"Baik, akan kubayar! Tapi beri aku waktu," timpal Vivianne.

Dylan langsung menggeleng. "Tidak ada waktu lagi. Kau harus membayarnya, mulai detik ini."

Vivianne terkesiap. Gugup melanda, hingga bola matanya bergerak tak beraturan, sampai tatapannya tertuju pada laptop dan ponsel. Satu-satunya barang berharga yang dia punya.

"Ini, ambillah. Kucicil dulu dengan dua barang ini!" Vivianne menyerahkan laptop dan ponselnya pada Dylan.

"Aku tidak mau! Untuk apa laptop dan ponsel butut itu?" tolak Dylan.

Muka Vivianne berubah merah padam. Marah dan terhina atas perkataan Dylan. "Kurang ajar! Lalu, apa maumu, hah?" sentaknya emosi.

"Aku mau ...." Dylan mencondongkan tubuh, mendekatkan wajahnya pada wajah Vivianne. "Tubuhmu."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Hubungan Spesial

    Cahaya matahari menerobos masuk melalui balkon kamar yang terbuka. Menelusup masuk ke kelopak mata VIvianne yang perlahan terbuka.Gadis itu refleks bangkit. Gerakan yang terlalu cepat, membuat kepalanya berdenyut. Vivianne mengerang pelan sambil memegangi pelipis. Saat itulah dia baru menyadari bahwa pakaiannya berganti. Kemeja putihnya kini berubah menjadi gaun tidur berbahan satin, berwarna pink lembut.Vivianne seketika menegang. Dalam pikirannya, itu pasti baju milik Rosie, dan Dylan dengan kurang ajarnya memakaikan gaun tidur itu pada Vivianne. "Dylan sialan!" umpatnya kesal.Vivianne buru-buru melepas baju berbahan tipis itu. Namun baru saja kainnya sampai di leher, terdengar suara yang berasal dari sisi lain kamar.Vivianne tersentak. Dia menoleh cepat, dan napasnya seketika tercekat. Dari balik kepulan uap tipis, Dylan muncul—rambutnya masih basah, beberapa helai menempel di dahi. Ia hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan di pinggang, membiarkan butiran air menetes dar

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Dua Sisi Dylan

    Sudah dua jam sejak Dylan keluar dari penthouse bersama Rosie. Sejak itu pula Vivianne tak bisa berkonsentrasi. Padahal ada banyak file dan dokumen yang harus dipelajari. Dia juga harus menyusun jadwal baru untuk mantan kekasih sekaligus atasannya itu. "Astaga, bagaimana ini?" Vivianne mengacak-acak rambut saat otaknya tak bisa diajak berpikir. Meskipun demikian, dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Vivianne dikenal dengan sosok pekerja keras serta ulet. Dia tak mau gangguan emosi membuat profesionalismenya berkurang. "Aku akan mulai dari mengatur jadwal," ucap Vivianne pada diri sendiri, berniat untuk membuka laptop pribadinya. Akan tetapi, baru dia ingat kalau dirinya tidak membawa apapun saat datang ke apartemen mewah ini. "Ah, laptopku ketinggalan di rumah," keluh Vivianne. Hampir saja dia berniat untuk keluar dari ruang kerja. Vivianne bermaksud hendak pulang sebentar ke apartemennya sendiri, untuk mengambil barang-barangnya yang dianggap penting. Namun, baru beberapa l

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Asisten Atau Pasangan?

    "Ck! Kau selalu saja curiga." Dylan memperlihatkan dengan jelas raut tak sukanya."Siapa yang tak curiga melihat posisi kalian yang sangat dekat seperti itu?" sahut Rosie ketus.Bukannya khawatir mendengar protes keras sang tunangan, Dylan malah tersenyum miring. "Namanya Vivianne. Dia yang akan menjadi asisten pribadiku mulai hari ini," ungkapnya seraya mengulurkan tangan pada Vivianne.Sebagai sesama wanita, Vivianne tentu dilema. Jika dia menerima uluran tangan Dylan, tentu hal itu pasti akan menyakiti Rosie. Apalagi Rosie tampak begitu terkejut. Namun, rupanya Dylan tak suka menunggu. Dia langsung menarik telapak tangan Vivianne dan menggenggamnya erat tanpa permisi."Hei!" Vivianne panik, berusaha melepaskan tangannya. Akan tetapi, genggaman Dylan jauh lebih kuat."Aa-apaan kau, Dylan!" seru Rosie."Tidak apa-apa, Vi. Rosie harus tahu siapa dirimu," ujar Dylan enteng. Dia tetap fokus pada Vivianne, meskipun Rosie sudah melayangkan protes keras."Permainan apa lagi ini!" seru Ros

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Perjanjian Atau Perangkap?

    "Kau ingin aku menjual tubuhku, Dylan?" Mata hazel Vivianne berkaca-kaca. "Kupikir, saat meninggalkanku dulu, kau sudah berbuat kejam. Ternyata, kelakuanmu sekarang jauh lebih keji lagi," ujarnya kecewa. "Vi ...." Sorot mata Dylan berubah sendu. Tampak penyesalan dan rasa bersalah di sana. "Bukan itu maksudku," ucapnya pelan. "Lalu apa, hm?" Vivianne mengangkat dagu, seakan menantang pria berparas rupawan itu. "Aku tidak bisa melelang keperawananku di situs hiburan Las Vegas, karena kau sudah merenggutnya lima tahun lalu. Anggap saja, 25 ribu dollar adalah bayaran yang harus kuterima sebagai ganti kesucian yang sudah kuberikan padamu dulu!" cetus Vivianne panjang lebar. "Haha ...." Dylan tertawa getir. "Tidak ada perjanjian tertulis tentang itu dulu. Apa kau lupa kalau kau menyerahkannya secara sukarela, Vi? Jadi, permintaanmu barusan tidak valid." Vivianne mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Seandainya bisa, dia pasti menghajar Dylan habis-habisan saat ini juga. Sayangnya Vi

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Aku Mau Tubuhmu

    Dylan melepaskan belitan tangannya dari tubuh Vivianne. Dia membungkuk menahan sakit.Vivianne memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dengan cepat ia meraih tasnya di sofa, lalu melesat cepat menuju pintu. Tangannya sempat bergetar saat memutar kenop, tapi akhirnya pintu itu terbuka."Vi!" panggil Dylan dengan suara serak. Wajahnya tegang, keringat bercucuran, tapi tatapannya masih mengikuti gadis itu penuh keputusasaan. "Jangan pergi… bukan seperti ini…"Vivianne menoleh sejenak. Sorot matanya berkaca, namun ia menguatkan hati. "Kau sudah membuat pilihanmu, Dylan. Dan aku pun sudah membuat pilihanku."Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar dan menutup pintu dengan suara dentuman halus. Keheningan langsung menyelimuti ruangan.Seorang perwakilan agensi yang tadi mengarahkan Vivianne, tampak berdiri beberapa meter di depannya. "Nona Diaz? Apakah pertemuannya sudah selesai?" tanya pria bersetelan rapi itu dengan sorot heran. Vivianne tak menjawab. Dia malah berjalan cep

  • Sandiwara Liar Sang Aktor   Semua Tentangmu

    Vivianne mematung selama beberapa detik. Sulit baginya untuk percaya bahwa yang ada dihadapannya ini adalah laki-laki yang sama yang meninggalkannya begitu saja setelah Vivianne menyerahkan segalanya, lima tahun lalu. "Kau ... klien itu?" tanyanya dengan suara bergetar. "Iya, ini aku, Vi. Apa kau merindukanku?" Dylan balas bertanya. Nadanya terdengar begitu lembut dan hangat. "Rindu?" Vivianne tertawa getir. "Kenapa aku harus merindukan pria brengsek sepertimu?" Berbeda dengan Dylan, air muka Vivianne menyorotkan amarah dan kekecewaan yang teramat sangat. "Kau masih marah, Vi?" Dylan masih dengan wajah tak bersalahnya. Vivianne kembali tergelak. "Serius, kau bertanya hal bodoh seperti itu padaku?" timpalnya sengit. Menyesal rasanya Vivianne memenuhi panggilan wawancara dari agensi profesional yang membuka lowongan melalui iklan lowongan khusus di internet. Vivianne mengira bahwa dia akan mendapatkan pekerjaan yang nyaman dan menjanjikan. Pada kenyataannya, dia malah berte

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status