Home / Fantasi / Sang Dewi / Bab 2 : Bidadari Jatuh dari Langit

Share

Bab 2 : Bidadari Jatuh dari Langit

last update Last Updated: 2024-05-28 23:54:48

Li Jing merupakan aktor papan atas dunia perfilman. Wajahnya tampan, memiliki kulit putih bersih serta tubuh yang gagah. Tingginya kira-kira 185 cm.

Aktor asal China itu kini harus di sebuah pulau yang terkenal dengan keindahan pantainya, Bali. Selain karena urusan syuting pembuatan film, Li Jing juga di Indonesia untuk menghadiri Asian Film Awards yang rencananya akan digelar beberapa pekan ke depan. Dalam acara bergengsi tersebut turut diundang para aktor dan aktris kelas ternama dunia untuk menerima penghargaan.

Malam ini, Li Jing datang pada sebuah acara jumpa pers untuk promo drama kolosal Xiaxian terbarunya. Dia tidak sendiri ada beberapa aktor dan aktris lain yang akan menerima wawancara. Mereka semua terlibat dalam pembuatan film.

Mata sipit Li Jing sudah sangat akrab dengan lampu kamera wartawan, bahkan bibir tipisnya selalu tersenyum kala menjawab berbagai pertanyaan seputar perannya sebagai tokoh utama. Semua semata-mata karena dia seorang publik figur yang harus menjaga citra agar menarik lebih banyak penonton.

Acara jumpa pers segera berlangsung, sesi foto dan pemberian tanda tangan untuk penggemar pun telah dilakukan. Li Jing segera melangkah keluar dari gedung, sementara beberapa pengawal mengamankan jalannya menuju ke dalam mobil bmw berwarna hitam. Setelah masuk dan menutup pintu kendaraan, dia menyalakan mesin, lalu mengemudi meninggalkan halaman.

Tangan kiri Li Jing membuka beberapa kancing bagian atas kemeja putihnya serta melonggarkan kerah. Embusan napas lega keluar dari hidung lancip pria tersebut. Dia memandangi pinggiran kota yang sepi, sebelum akhirnya memarkir mobil di tepi jalan dan melangkah turun.

Pepohonan rindang di sekitar menjadikan udara terasa dingin, tetapi Li Jing justru naik ke kap, kemudian duduk bersantai menatap sang bulan.

Tiba-tiba saja dia teringat pada Ying Fei, gadis yang sedang disukainya. Saat ini dia memang tidak mampu menyatakan cinta. Katakanlah Li Jing memang pria yang kaku, pendiam dan terkesan kurang ekspresi, bahkan tak bisa menunjukkan perhatian khusus, apalagi membuat Ying Fei terkesima dengan kata-kata romantis seperti dalam drama. Namun, meski begitu, Li Jing selalu memikirkan Ying Fei, berharap sang pujaan hati akan menyadari perasaannya dan segera membalas.

Ketika Li Jing masih larut dalam lamunan, ada cahaya melesat jatuh dari langit hingga seketika perhatian pria tersebut teralih.

Bintang? Mungkinkah bisa sampai ke bumi? Batin Li Jing. Tentu saja dia tahu bahwa benda langit tersebut pasti meleleh jika sampai ke bumi, tetapi yang tadi masih bersinar sewaktu akan menyentuh tanah.

Rasa ingin tahu membuat Li Jing tak berdiam diri. Pria itu segera melompat turun dari kap, lalu berlari secepat mungkin. Memasuki kawasan mata air, dia harus melangkah hati-hati sebab banyak rumput ilalang yang tumbuh lebat menghalangi, bisa-bisa menginjak hewan berbisa yang sedang bersembunyi.

Seketika Li Jing terpaku saat melihat jemari tangan sesosok wanita muncul ke permukaan. Tangan itu meraih batu besar di tepi mata air, kemudian mengangkat kepala dari air dan menyandarkannya di atas batu tadi. Sosok yang tak lain dan tak bukan adalah Larasati.

Bidadari itu sempat membuka mata sebentar, sebelum terpejam kembali. Kepalanya perlahan merosot, lalu tenggelam ke dalam air seiring dengan lepasnya kedua tangan dari batu.

Sadar ada yang membutuhkan pertolongan, Li Jing menyambar pergelangan tangan Larasati sehingga ketika ditarik tubuh lencir bidadari tersebut dapat terangkat ke daratan. Li Jing pun merebahkannya di rerumputan.

Penampilan Larasati sangat aneh di mata Li Jing. Rambutnya panjang teruai dengan hiasan sumping di belakang telinga, mengenakan gaun lebar semacam sutra berwarna gading dilengkapi kain selendang yang mengikat di pinggangnya, juga kulit Larasati yang memancarkan cahaya silau walau perlahan mulai meredup.

Makhluk apa ini? Dalam hati, Li Jing bertanya.

Dia makin sulit menebak setelah melihat luka serius yang mengalirkan cairan berwarna putih keemasan di bagian dada dan lengan Larasati. Meski begitu Li Jing tak ambil pusing lantaran telah berniat meninggalkan. Jadi, dia berbalik, lantas mengayunkan tungkai. Namun, belum terlalu jauh, harus terhenti oleh kekhawatiran yang memaksa untuk menoleh kembali Larasati di belakang.

Tak apakah jika kutinggalkan sendiri? Dia masih terluka? Sejenak Li Jing memikirkan.

Mau tak mau Li Jing menghampiri Larasati. Dia duduk mengangkat tubuh bidadari tersebut ke dalam bopongan, lalu membawanya melangkah menuju ke mobil.

Setelah menempatkan Larasati di samping kursi kemudi, Li Jing segera menyalakan mesin sebelum akhirnya mobil melaju dengan kecepatan sedang.

“Lelana!” lirih Larasati yang tengah mengigau. “Lelana, jangan tinggalkan aku.”

Untuk sesaat, Li Jing menoleh bidadari itu, sebelum terfokus pada jalanan di depan kembali. Akan tetapi, lagi-lagi Larasati mengigau sehingga pria tersebut segera menempelkan jemari tangan kirinya ke kening Larasati.

“Suhu badannya tinggi sekali!” Li Jing agak terkejut.

“Sebaiknya aku bawa ke rumah sakit saja,” pikirnya seraya mengalihkan perhatian ke depan. “Tapi dia bukan manusia.”

“Sebenarnya siapa kau ini?” Lirikan mata pria itu pun menunjukkan kekesalan.

Sementara itu, alam bawah sadar Larasati menghadirkan bayangan masa lalunya ketika masih gadis, dia yang sedang sakit bersandar di bahu sesosok kusir tampan pada sebuah kereta kuda. Sebelah kiri tangan pria tersebut memegangi bahu Larasati agar tak terjatuh. Sekilas mimpi berganti dengan peperangan besar antara dua kerajaan. Peristiwa berdarah yang mengakibatkan mayat-mayat para prajurit tergeletak di mana-mana. Di antara mereka ada yang tinggal kepala, ada pula yang organ dalamnya terburai hingga dikerubuti lalat, bahkan ada yang hancur hingga tak dikenali.

“Tidak!” jerit Larasati muda yang menangisi kematian sesosok pria tampan di pangkuannya. Sayatan menganga pada bagian dada dari sosok berpenampilan ningrat tersebut terus mengalirkan cairan merah berbau anyir.

Kenangan buruk telah melekat dalam ingatan Larasati, menyempurnakan rasa sakit di seluruh jiwa raganya saat ini. Air mata yang bercucuran di pipi bidadari tersebut makin membuat Li Jing tak mengerti dengan apa yang terjadi sebelum Larasati dia temukan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Dewi   Bab 102 : Tamat

    Kembalinya sang Atmajaya Wimala ke Agnicaya dengan membawa Shima Dahyang cukup mengejutkan para dewa, tak terkecuali Randita. Bagaimana tidak, Mandala mengumumkan jika dia akan menikahi Dewi Agung dari Candracaya tersebut sesuai tanggal yang telah ditentukan, padahal mereka berdua tak pernah terlihat menjalin hubungan. Kekecewaan seketika tersirat dari mata Randita yang berdiri di antara para bidadari. Selain luka karena patah hati, dia juga tak menyangka bahwa Hastapati, ayahnya, berada di belakang Mandala dan Shima Dahyang untuk memberi dukungan penuh. Randita benar-benar tak bisa menahan air matanya agar tak terjatuh sehingga lekas berbalik. Masalah kehadiran Rara Kinasih masih tak bisa dia terima, kini sudah bertambah kenyataan pahit lagi. Kini, langkah wanita itu makin berat oleh beban kebencian dalam hati. Hanya Shima Dahyanglah satu-satunya yang menyadari ekspresi wajah Randita. Meski demikian, sang Dewi Agung tetap menebar senyum pada semua para makhluk abadi langit di aul

  • Sang Dewi   Bab 101: Keputusan Sepihak

    Pagi itu, Shima Dahyang keluar dari kediaman dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sang Atmajaya Wimala yang sedang mengelus-elus tubuh harimau putih di bawah pohon cempaka. Meski semula masih merasa canggung, wanita yang mengenakan kemban berwarna gading serta bawahan sutra bermotif batik tersebut mengayunkan tungkai menghampiri mereka berdua."Lukamu sudah baik-baik saja?" tanyanya.Mandala yang tak bergeming tersenyum menyikapi. "Menyerap sebagian intisari dari dewi berusia ribuan tahun, membuatku merasa lebih bugar," jawabnya.Embusan napas lelah keluar dari hidung Shima Dahyang. "Kau tak pernah berubah, entah sebagai Atmajaya Wimala atau Jaka Lelana selalu mempermainkanku.""Aku tidak bermaksud mempermainkamu," sahut sang Dewa. "Situasilah yang membuatku terpaksa melakukan semua.""Apa ini sebuah penjelasan?" Sebelah alis Shima Dahyang meninggi.Mandala sendiri segera berdiri, kemudian berbalik untuk menatap lawan bicaranya itu. Tentu saja, dia tahu bahwa Shima Dahyang menye

  • Sang Dewi   Bab 100: Penyembuhan

    Pada waktu Shima Dahyang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan Randita, Rara Kinasih palsu memijakkan kaki di kediaman Dewi Agung yang masih berada di sekitar Taman Arutala. Pemandangan tirai-tirai berwarna merah jambu yang berkibaran tertiup angin menyambut sang Atmajaya Wimala. Beberapa aksesori bebatuan kristal berbentuk padma serta perabotan dari emas putih juga menghiasi ruangan tersebut. Walau begitu perhatian Mandala hanya terfokus pada cermin ukir di atas meja. Tanpa menunggu lagi, dia pun memegang gagang benda pusaka itu untuk melihat bayangan diri sendiri. Seketika cermin mengeluarkan cahaya silau, lantas menampilkan wujud sepasang kekasih dari alam berbeda yang memiliki paras serupa dengan Mandala dan Shima Dahyang. Pria di cermin memeluk wanita yang tengah terluka parah penuh sayatan, seakan-akan menegaskan bahwa cinta mereka tak terpisahkan hingga akhir. Namun, sayang sebelum semua menjadi lebih jelas, terdengar langkah kaki Shima Dahyang memasuki ruangan sehingga Ra

  • Sang Dewi   Bab 99: Penyamaran

    Atas undangan Shima Dahyang, Rara Kinasih datang ke Candracaya. Dia langsung diarahkan memasuki Taman Arutala oleh Sekar Langit, meski selanjutnya harus berjalan sendiri untuk menemui sang Dewi Agung. Sebelumnya, putri dari istri pertama Hastapati tersebut telah mengantongi informasi seputar si adik yang tinggal di sana sebagai pelayan, bahkan pada kesempatan kali ini, dia berharap bertemu Rara Kinasih guna memberi pelajaran karena telah berani naik ke kayangan. Benar saja, Randita berpapasan dengan sesosok peri yang membawa nampan berisi daging mentah sewaktu melewati pohon bunga cempaka putih. Tanpa basa-basi, lantas bidadari bergaun biru tersebut menarik lengan kanan wanita dari arah berlawanan sampai-sampai berbalik menatap dirinya, sementara nampan pelayan tersebut langsung jatuh ke tanah. "Rara Kinasih!" gerutunya, tetapi setelah diamati ternyata sosok di hadapan memiliki wajah berbeda dari si adik. "Kau bukan Rara Kinasih?" "Randita!" Demikian, sang Atmajaya Wimala ya

  • Sang Dewi   Bab 98: Memperhatikan

    Dua hari sudah sang Atmajaya Wimala tinggal di Candracaya dalam wujud Rara Kinasih, walau masih sulit mendapatkan kepercayaan Shima Dahyang, setidaknya kini dia selalu berada dekat dengan wanita yang telah membuat hatinya galau itu. Bagi Mandala, hal ini sudah cukup membuatnya merasa tenang daripada hanya berdiam diri di Taman Asmaradahana untuk menikmati kegelisahan. Karena semenjak kebangkitan Larasati, perasaan cinta kian hari justru kian menyiksa batin sehingga mau tak mau sang Dewa harus menghalalkan segala cara agar bisa bertemu. Layaknya pelayan, sore ini Rara Kinasih berjalan menghampiri Shima Dahyang yang sedang duduk sembari mengelus manja harimau putih di Taman Arutala. Tak lupa pria tersebut juga membawa cawan berisi ramuan, yang setelah bersimpuh, dia letakkan ke meja batu ukir. "Ternyata Sang Dewi sangat menyukai kucing besar," celetuknya. Keangkuhan terlihat jelas saat Shima Dahyang tersenyum menyikapi. "Kalau kau setia, aku juga akan menyukaimu." Sebab tak tahu har

  • Sang Dewi   Bab 97: Rara Kinasih

    Sesuai titah Shima Dahyang, Sekar Langit menemui sesosok peri, lalu bersama-sama mengantar Rara Kinasih menuju Taman Arutala. Di sana terdapat sebuah bangunan berornamen emas. Pun sesaat setelah mereka bertiga memasuki salah satu ruangan kamar di dalamnya, Sekar Langit berbalik untuk berhadapan dengan Rara Kinasih di belakang, sementara si peri segera undur diri. "Di sinilah Dewi akan tinggal," jelas wanita berambut panjang bergelombang itu. "Di sebelah, merupakan kamar milik Dewi Agung. Sang Dewi sangat membenci kebisingan, jadi mohon agar Anda selalu menjaga sikap." Senyum menghiasi wajah Rara Kinasih yang lantas mengangguk. "Saya mengerti." Akan tetapi, kemudian mata tajam Sekar Langit beralih fokus ke arah luar dari tirai. "Kumbang Lanang biasanya berkeliaran di sekitar sini," katanya. "Rara Dewi harus lebih berhati-hati karena mungkin dia akan agresif pada penghuni baru." "Tak perlu khawatir, saya bisa bisa melindungi diri sendiri," balas Rara Kinasih. Sekar Langit percaya

  • Sang Dewi   Bab 96: Menghapus Kenangan

    Sembari duduk pada sebuah batu kristal, Shima Dahyang mengelus puncak kepala harimau putih yang sedang menunjukkan sikap manja. Matanya begitu teduh ketika beralih memperhatikan sekitar, di mana banyak pantulan cahaya putih menembus Taman Arutala. Meski meski sekian lama tak dapat singgah untuk menenangkan diri seperti sekarang, dia seakan-akan tak merasakan adanya perubahan. Perlahan, sang Dewi Agung berdiri, lantas berjalan ke tengah-tengah sehingga bayangan dirinya tergambar jelas pada lantai sebening air. Pandangannya memang tertuju pada langit-langit, tetapi ingatannya menerawang ke masa-masa sulit kala hidup sebagai manusia fana. Kutukan raja asura berkepala kambing memang menjadi kenyataan, Shima Dahyang mengalami penderitaan sewaktu menjalani kehidupan Larasati yang jatuh cinta kepada Jaka Lelana, bahkan hingga berstatus abadi pun masih dipermainkan oleh sang Atmajaya Wimala. Itulah alasan mengapa wanita tersebut tak mengambil sikap setelah kembali menemukan kesejatian dir

  • Sang Dewi   Bab 95: Bangunnya Shima Dahyang

    Begitu menyakitkannya hidup yang Larasati alami, cinta telah membuatnya terluka hingga begitu dalam. Walau terpuruk, kali kini, dia sudah mengikhlas apa yang terjadi, bahkan berniat melepas segala keterikatan duniawi. Setiap langkah pada perbukitan terjal menuju puncak gunung kian pasti, hatinya mantap untuk menyerahkan semua masalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada takdir yang bisa ditolak, tetapi yoga brata bisa membawa siapa saja menuju kedamaian, meski harus lenyap dari semesta alam. Dari kejauhan, Li Jing menatap kepergian bidadari itu untuk selamanya. Memang berat jika dia harus melepas si sahabat, sayangnya Larasati kukuh pada pendirian sehingga pria tersebut tak mampu menghentikannya. Maylano demikian, anak itu sungguh tidak menginginkan nyonyanya pergi secepat ini. Namun, bagaimanapun dia mengerti bahwa penderitaan cinta Larasati begitu dalam, mau tak mau Maylano harus membiarkannya memutuskan jalan demi menemukan kebahagiaan. "Hei, bocah, pergilah denganku ke China, a

  • Sang Dewi   Bab 94: Memutuskan Segala Ikatan

    Seakan-akan seperti mengulang masa lalu, sang Atmajaya Wimala duduk di samping Larasati yang telah direbahkan pada kasur awan. Dengan kekuatan adikodrati, pria tersebut mengarahkan tangan kanan sehingga perlahan darah merah Sujatmika tertarik keluar melalui mulut Larasati, lantas melayang di udara. Namun, setelah membuangnya ke sembarang arah, Mandala justru terbatuk-batuk sampai percikan cairan berwarna putih melekat pada telapak tangannya. Selain menahan nyeri di dada, pandangan Mandala sedikit kabur, walau begitu tetap memutuskan berdiri dan melangkah pergi. Sesaat kemudian, Larasati membuka mata sampai-sampaiterkejut ketika menemukan diri sedang berada di Taman Asmaradahana. Bergegas bidadari itu beralih ke posisi duduk. Saat bola matanya bergerak memindai ke sekitar, dia melihat darah merah yang membekas pada lantai awan. Sejenak pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sewaktu diculik Sujatmika, sebelum mengalihkan perhatian dan malah menemukan berca

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status