Saat membuka mata, Larasati menemukan diri telah berada di sebuah kamar besar bercat gading. Melihat pakaiannya telah diganti, dia terkejut. Segera beralih dari posisi merebah ke posisi duduk. Lupa bahwa dia sedang terluka, sehingga merasakan sakit di bagian dada, lalu menyentuhnya dengan sebelah tangan. Pertarungan sengit di istana langit melawan Sujatmika, tersaji dalam ingatan Larasati. Namun, sebelum berakhir telah buyar karena kedatangan seseorang dari pintu yang terbuka.
"Kau sudah sadar?" tanya Li Jing sembari menghentikan langkah tak jauh di depan. Tak ada jawaban, Larasati justru terdiam dan memperhatikan pria berwajah lancap tersebut dari ujung kaki sampai ujung kepala. Siapa dia? Apa yang menolongku semalam? Batinnya. "Di mana rumahmu? Biar aku antar kau pulang." Li Jing bersikap dingin. Larasati masih tak mengatakan sepatah kata, dia tidak ingin Li Jing tahu bahwa dirinya bukan manusia. Hingga pria tersebut mengembuskan napas lelah dan berbalik. "Aku tak punya rumah," ungkap Larasati. Mata sipit Li Jing meliriknya. "Kau tidak gegar otak, 'kan?" Lagi-lagi Larasati terdiam dan seolah-olah tak ingin menjelaskan apapun. "Baiklah, karena kau terluka, boleh tinggal sementara di rumahku sampai sembuh." Li Jing mengalihkan padangan, lalu melanjutkan langkah yang sempat tertunda. "Sungguh, tak pernah ada yang berani bersikap seperti ini padaku!" Larasati mengumpat kesal. Beberapa saat kemudian, bidadari bergaun tidur satin itu memilih turun dari ranjang dan melangkah keluar dari pintu yang terbuka. Dituruninya setiap anak tangga dengan hati-hati sembari mengelilingkan pandangan. Rumah mewah berperabotan mahal serta pernak-pernik seperti kristal, tersaji di hadapan. Merasa asing Larasati menghampiri vas berisi bunga palsu penuh rasa penasaran, tetapi saat akan menyentuhnya, tiba-tiba dia mendengar suara berisik. Seketika perhatian bidadari berambut terurai tersebut teralih hingga berbalik, lalu melangkah mendekat pada televisi. Namun, saat akan memeriksa, benda berbentuk persegi panjang itu berkedip dan memperlihatkan orang-orang yang sedang sengit bertarung. Larasati pun memundurkan diri untuk menjaga jarak aman. Dia mengira bahwa orang-orang di dalam layar sedang mengibaskan pedang pada dirinya, jadi segera menghindar seraya mengeluarkan inti sakti berupa cahaya putih dari sebelah tangan yang menangkis. Akibatnya televisi meledak, sesaat kemudian mengeluarkan asap dan api yang berkobar. Layar pun menjadi gelap. Larasati heran, ke mana perginya orang-orang tadi. "Kebakaran! Toloooong! Terjadi kebakaran!" teriak seorang pelayan tua yang panik ketika melihat si jago merah. Datang Li Jing, yang meski terkejut bergerak cepat mematikan meteran listrik di luar rumah. Setelah itu, dia melangkah menuju kamar mandi dan membawa keluar kain basah yang segera dilemparkan pada televisi. Api berlahan padam, pria berkaus putih tersebut menoleh Larasati dengan sikap dingin. "Kau ingin membakar rumahku?" "Ta--tadi ...." Larasati gelagapan. Li Jing tak peduli. Dia berbalik, lalu mengayunkan tungkai melewati pelayan tua di sisi kiri. "Bibi, tolong ajari dia sopan santun tinggal di rumah orang!" "Baik, Tuan." Pelayan mengangguk. Tak lama setelah Li Jing pergi, dia menghampiri Larasati. "Nona, ikut saya, ya," ajaknya seraya menuntun Larasati ke dapur. "Kenapa Nona merusak televisinya? Tuan Muda menjadi sangat marah." "Tapi orang tadi menyerangku," kata Larasati. Pelayan tersenyum. "Itu hanya gambar, Non. Tidak benar-benar bisa melukai." "Benarkah?" Larasati masih tak mengerti, tetapi dia berusaha percaya. "Dia Tuan Li Jing, memang sedikit kaku. Maklum bukan orang asli sini," ungkap pelayan. "Nona, harus banyak-banyak bersabar jika tinggal di rumah ini." Larasati membalas senyum, bagaimanapun dia memang harus mematuhi aturan tinggal di rumah orang. *** Seminggu sudah Larasati tinggal di rumah Li Jing. Sekarang dia tahu bahwa nama lengkap pria tersebut adalah Wang Li Jing, seorang aktor terkenal asal China. Bibi telah bercerita banyak mengenai Li Jing dan bagaimana pria tersebut membawanya pulang dalam keadaan terluka. Sejak kejadian televisi terbakar, Larasati jarang sekali melihat Li Jing. Sang aktor sibuk syuting drama hingga tak memedulikan keberadaan Larasati. Untuk menghilangkan kejenuhan Larasati membantu pelayan membereskan rumah. Semua dia lakukan sebagai bentuk rasa terima kasih karena Jing telah menyelamatkannya sekali dan mengijinkannya tinggal sementara. Malam mulai larut, tetapi Larasati masih terjaga. Merasa bosan, dia melangkah menuju ke ruang tamu, lalu duduk bersantai membuka beberapa majalah yang menurutnya tidak menarik, tentu saja karena Larasati belum bisa membaca aksara modern dengan gaya penulisan terbaru saat ini. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil yang dikemudikan dengan cepat dan berhenti di halaman rumah. Larasati berdiri dari tempat duduk lantas melangkah membuka pintu. Dalam keadaan lampu ruangan mati, dia memperhatikan Li Jing yang mabuk keluar dari mobil. Pria berblazer marun tersebut berjalan sempoyongan memasuki rumah, bahkan tak menyapa Larasati ketika keduanya berpapasan. Li Jing membanting tubuh di sofa hitam ruang tamu, lalu mengangkat sebelah tangan ke kening karena pusing akibat pengaruh alkohol. Sementara itu, Larasati yang telah menutup pintu kembali melangkah menghampiri dan duduk di hadapan pria tersebut. "Kau kenapa?" Larasati meninggikan sebelah alis dengan sikap angkuh. Li Jing membuka sebelah mata. "Bukan urusanmu." Larasati tersenyum jengah. Sudah seperti ini, Li Jing masih juga tak ramah. Batinnya. Li Jing memejamkan mata, kemudian segera terlelap, sedangkan Larasati yang masih duduk di tempat semula, berdiri dan menata tubuh Li Jing. Dia melepas blazer serta sepatu yang dikenakan sang aktor. Tak lupa juga melangkah menuju ke kamar untuk mengambil bad cover. Saat kembali, bidadari itu menyelimuti tubuh Li Jing, lalu tersenyum sinis menyikapi. * * * Pagi menjelang, matahari segera menyinari gelap dunia. Kicauan burung-burung bernyanyi di atas pepohonan meramaikan suasana. Li Jing terbangun dari tidur dan mengerjap-ngerjapkan mata. Saat merasa silau dengan cahaya yang masuk melalui jendela, dia menghela napas, lalu perlahan beralih ke posisi duduk sembari mengucek sebelah mata. Melihat bad cover menyelimuti dirinya, Li Jing segera menyentuh kain berwarna biru itu dan memikirkan siapa yang melakukan semua. Tentu saja pria tersebut juga sadar bahwa blazer serta sepatunya telah dilepas. Wanita itu. Batin Li Jing. Meski tampak membenci, dia tak ingin mempermasalahkan, mengingat memang semalam telah mabuk berat. Li Jing minum terlalu banyak sewaktu di bar. Dia sangat kacau ketika produser mengatakan bahwa Ying Fei dan Han akan menjadi lawan main dalam drama yang akan dia bintangi. Menurut rumor yang beredar keduanya memiliki hubungan asmara. Sebagai teman dekat Han yang juga menyukai Ying Fei, Li Jing merasa tersisih. Li Jing sangat membenci keadaan tersebut, akhir-akhir ini dia harus menghindar dari dua orang yang dekat dengannya itu karena tak bisa mengendalikan kecemburuan. Kepala pria tersebut makin terasa pusing saat memikirkannya. Dia memang memiliki toleransi yang tinggi terhadap alkohol, tetapi bukan cinta. Larasati datang, membawakan segelas susu yang segera dia taruh di meja. "Minumlah," pinta Larasati. "Semalam kau mabuk, jadi aku membantumu melepas pakaian." Blazer maksudnya? Entah dari mana asalnya, kenapa dia tidak bisa membedakan mana pakaian mana blazer! Batin Li Jing. Lagi pula dia hanya tinggal sementara, tak perlu bersikap berlebihan.Kembalinya sang Atmajaya Wimala ke Agnicaya dengan membawa Shima Dahyang cukup mengejutkan para dewa, tak terkecuali Randita. Bagaimana tidak, Mandala mengumumkan jika dia akan menikahi Dewi Agung dari Candracaya tersebut sesuai tanggal yang telah ditentukan, padahal mereka berdua tak pernah terlihat menjalin hubungan. Kekecewaan seketika tersirat dari mata Randita yang berdiri di antara para bidadari. Selain luka karena patah hati, dia juga tak menyangka bahwa Hastapati, ayahnya, berada di belakang Mandala dan Shima Dahyang untuk memberi dukungan penuh. Randita benar-benar tak bisa menahan air matanya agar tak terjatuh sehingga lekas berbalik. Masalah kehadiran Rara Kinasih masih tak bisa dia terima, kini sudah bertambah kenyataan pahit lagi. Kini, langkah wanita itu makin berat oleh beban kebencian dalam hati. Hanya Shima Dahyanglah satu-satunya yang menyadari ekspresi wajah Randita. Meski demikian, sang Dewi Agung tetap menebar senyum pada semua para makhluk abadi langit di aul
Pagi itu, Shima Dahyang keluar dari kediaman dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sang Atmajaya Wimala yang sedang mengelus-elus tubuh harimau putih di bawah pohon cempaka. Meski semula masih merasa canggung, wanita yang mengenakan kemban berwarna gading serta bawahan sutra bermotif batik tersebut mengayunkan tungkai menghampiri mereka berdua."Lukamu sudah baik-baik saja?" tanyanya.Mandala yang tak bergeming tersenyum menyikapi. "Menyerap sebagian intisari dari dewi berusia ribuan tahun, membuatku merasa lebih bugar," jawabnya.Embusan napas lelah keluar dari hidung Shima Dahyang. "Kau tak pernah berubah, entah sebagai Atmajaya Wimala atau Jaka Lelana selalu mempermainkanku.""Aku tidak bermaksud mempermainkamu," sahut sang Dewa. "Situasilah yang membuatku terpaksa melakukan semua.""Apa ini sebuah penjelasan?" Sebelah alis Shima Dahyang meninggi.Mandala sendiri segera berdiri, kemudian berbalik untuk menatap lawan bicaranya itu. Tentu saja, dia tahu bahwa Shima Dahyang menye
Pada waktu Shima Dahyang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan Randita, Rara Kinasih palsu memijakkan kaki di kediaman Dewi Agung yang masih berada di sekitar Taman Arutala. Pemandangan tirai-tirai berwarna merah jambu yang berkibaran tertiup angin menyambut sang Atmajaya Wimala. Beberapa aksesori bebatuan kristal berbentuk padma serta perabotan dari emas putih juga menghiasi ruangan tersebut. Walau begitu perhatian Mandala hanya terfokus pada cermin ukir di atas meja. Tanpa menunggu lagi, dia pun memegang gagang benda pusaka itu untuk melihat bayangan diri sendiri. Seketika cermin mengeluarkan cahaya silau, lantas menampilkan wujud sepasang kekasih dari alam berbeda yang memiliki paras serupa dengan Mandala dan Shima Dahyang. Pria di cermin memeluk wanita yang tengah terluka parah penuh sayatan, seakan-akan menegaskan bahwa cinta mereka tak terpisahkan hingga akhir. Namun, sayang sebelum semua menjadi lebih jelas, terdengar langkah kaki Shima Dahyang memasuki ruangan sehingga Ra
Atas undangan Shima Dahyang, Rara Kinasih datang ke Candracaya. Dia langsung diarahkan memasuki Taman Arutala oleh Sekar Langit, meski selanjutnya harus berjalan sendiri untuk menemui sang Dewi Agung. Sebelumnya, putri dari istri pertama Hastapati tersebut telah mengantongi informasi seputar si adik yang tinggal di sana sebagai pelayan, bahkan pada kesempatan kali ini, dia berharap bertemu Rara Kinasih guna memberi pelajaran karena telah berani naik ke kayangan. Benar saja, Randita berpapasan dengan sesosok peri yang membawa nampan berisi daging mentah sewaktu melewati pohon bunga cempaka putih. Tanpa basa-basi, lantas bidadari bergaun biru tersebut menarik lengan kanan wanita dari arah berlawanan sampai-sampai berbalik menatap dirinya, sementara nampan pelayan tersebut langsung jatuh ke tanah. "Rara Kinasih!" gerutunya, tetapi setelah diamati ternyata sosok di hadapan memiliki wajah berbeda dari si adik. "Kau bukan Rara Kinasih?" "Randita!" Demikian, sang Atmajaya Wimala ya
Dua hari sudah sang Atmajaya Wimala tinggal di Candracaya dalam wujud Rara Kinasih, walau masih sulit mendapatkan kepercayaan Shima Dahyang, setidaknya kini dia selalu berada dekat dengan wanita yang telah membuat hatinya galau itu. Bagi Mandala, hal ini sudah cukup membuatnya merasa tenang daripada hanya berdiam diri di Taman Asmaradahana untuk menikmati kegelisahan. Karena semenjak kebangkitan Larasati, perasaan cinta kian hari justru kian menyiksa batin sehingga mau tak mau sang Dewa harus menghalalkan segala cara agar bisa bertemu. Layaknya pelayan, sore ini Rara Kinasih berjalan menghampiri Shima Dahyang yang sedang duduk sembari mengelus manja harimau putih di Taman Arutala. Tak lupa pria tersebut juga membawa cawan berisi ramuan, yang setelah bersimpuh, dia letakkan ke meja batu ukir. "Ternyata Sang Dewi sangat menyukai kucing besar," celetuknya. Keangkuhan terlihat jelas saat Shima Dahyang tersenyum menyikapi. "Kalau kau setia, aku juga akan menyukaimu." Sebab tak tahu har
Sesuai titah Shima Dahyang, Sekar Langit menemui sesosok peri, lalu bersama-sama mengantar Rara Kinasih menuju Taman Arutala. Di sana terdapat sebuah bangunan berornamen emas. Pun sesaat setelah mereka bertiga memasuki salah satu ruangan kamar di dalamnya, Sekar Langit berbalik untuk berhadapan dengan Rara Kinasih di belakang, sementara si peri segera undur diri. "Di sinilah Dewi akan tinggal," jelas wanita berambut panjang bergelombang itu. "Di sebelah, merupakan kamar milik Dewi Agung. Sang Dewi sangat membenci kebisingan, jadi mohon agar Anda selalu menjaga sikap." Senyum menghiasi wajah Rara Kinasih yang lantas mengangguk. "Saya mengerti." Akan tetapi, kemudian mata tajam Sekar Langit beralih fokus ke arah luar dari tirai. "Kumbang Lanang biasanya berkeliaran di sekitar sini," katanya. "Rara Dewi harus lebih berhati-hati karena mungkin dia akan agresif pada penghuni baru." "Tak perlu khawatir, saya bisa bisa melindungi diri sendiri," balas Rara Kinasih. Sekar Langit percaya