Mag-log in"Apa ini aman! Kau yakin itu tidak berbahaya untuk anak itu?" Ananti duduk santai sambil melihat makhluk hitam pekat yang bermata emas salib terbalik kini berwujud manusia jadi-jadian yang super tampan.Jika Sekar disini dia psti akan bilang ke mereka berdua: "Apa kalian berdua sehat, hah!" Ini bukan karena apapun, Sekar hanya berpikir... tidak akan bisa bereproduksi antara Monster dan manusia. Dia juga merinding menayangkan andegan tidak senonoh saat keduanya berbaring. Tapi lupakan Sekar sudah tidak ada disana, dia sudah terputus sangat jauh dari 12 dukun catur. Iris mata pria itu penuh kelembutan saat memandang perut Ananti yang kini sudah menonjol membentuk cetakan telur yang sedikit lebih besar dari telur unta."Sayang, dia akan keluar sebenar lagi. Dia bilang, dia sangat senang punya ibu sepertimu." Makluk tentakel hitam yang kini berwajah manusia itu tidak bohong karena dia bisa berkomunikasi secara telepati dalam jarak dekat.Anak monster tidak seperti anak manusia yang butu
Bernapas berat sambil menghunus pedang, pedang itu melesat tepat sasaran ke tubuh makluk unggu, tapi makhluk ungu juga punya insting untuk mempertahankan hidup dan berhasil menghindar.Lekir kesulitan untuk menemukan sudut yang cocok untuk membunuhnya, dia menatap tajam makluk unggu sampai menemukan jawaban dimana harus memprediksi gerakan menghindarnya yang akan datang. Kesabarannya tidak sia-sia, dia mendapat bayangan fatamorgana dimana tentakel ungu akan menjulur selanjutnya. Tidak tanggung-tanggung, seluruh tentakel akan bergerak ke belakang tubuhnya bukan mengincar Lekir lagi.Tanpa keraguan Lekir melesat kedepan, kakinya menapak diatas air dan melompat.Syuttt.....Cress....Tangkai bunga paling atas itu terpotong menjadi dua, tentakel ungu itu bergerak tidak beraturan, tidak seperti sebelumnya terarah dan terkendali.Guru sungguh jenius, guru bisa memikirkan terik ini hanya dengan memadang. Kali ini beban Lekir berkurang, dia bisa santai untuk memotong tentakel tanpa harus wasp
Semua tubuh yang terendam dalam air itu mulai keluar menampakan wujud aslinya. Tubuh itu seperti ubur-ubur raksasa yang tentakelnya berwarna ungu tua, kemudian menjalar menjadi ungu muda. Dan bagian atasnya seperti pecahan kelopak bunga dengan tangkai bunga di atasnya. Makhluk itu menggeliat ganas sampai mencabik utuh tanaman bakau yang ada di depan mata. Air sungai bergolak hebat saat makhluk itu naik ke permukaan, seolah seluruh arus sungai tiba-tiba tunduk pada kehadirannya. Percikan airnya memantul hingga ke dinding kapal kayu, dingin dan menyengat, membawa bau anyir yang menusuk sampai ke rongga hidung. Setiap tentakel yang bergerak seperti cambuk raksasa itu memecahkan permukaan air dengan suara keras, membuat riak air besar bergulung dari tepi sungai menuju ke kapal tempat Sekar dan yang lain berada. Lekir bergerak waspada sampai ke tepi kapal. Langkahnya terukur tapi cepat, seperti pemburu yang tahu persis kapan harus mendekat dan kapan harus menyingkir. Angin kencang yang la
Setelah kejadian yang tidak menyenangkan di penginapan, Sekar dan Lekir keluar tanpa uang sepeserpun. Kini mereka sampai di tengah-tengah lalu lalang untuk ke dermaga. "Minggir jika kalian berdua tidak mau bepergian. Jangan menghalangi orang-orang di belakang." Penjaga itu dengan tidak sabar menunjuk pada Sekar dan Lekir untuk pergi sambil terus memberi isyarat kepada orang-orang di belakangnya. Orang berikutnya dalam antrean mengambil segenggam emas berkilau dan perak, kemudian melewati mereka, lalu berjalan menuju dermaga. "Guru ..." Lekir dipenuhi dengan rasa bersalah. Setelah pertempuran dengan Mozan, sudah merupakan keajaiban baginya untuk tetap hidup; dia benar-benar lupa tentang kehilangan emas dan perak di penginapan. "Ini semua salahku. Jika aku tidak terburu-buru untuk mengamankan batu akik, aku tidak akan menyebabkan Guru bekerja keras. " "Uh ..." Tidak Lekir, aku benar-benar tidak punya uang. Menjadikanmu murid adalah keputusan yang tepat. "Kenapa tidak Guru berbela
Sekar ingin protes, tapi bos penginapan sudah menjulurkan baju maskot: sejenis pakaian kuning cerah, dengan hiasan bambu di kepala. "Ah," gumam Sekar lirih, "aku menyesal menginap di sini." Hari pertama pekerjaan itu langsung membuktikan bahwa orang normal memang suka melihat drama manusia yang teraniaya, baik itu mendapat simpati atau hanya sekedar cacian. Lekir berdiri di dapur, dia memegang wajan dengan tatapan seperti hendak menghabisi seseorang. "Guru," katanya ketika Sekar lewat dengan seruling khasnya yang selalu di bawa di pinggang. "Tolong ingat. Aku ini pendekar pedang. Bukan koki spatula." "Aku tau," jawab Sekar ringan. Padahal dalam hati dia bilang jika Lekir itu koki eksekutif, "Aku percaya." "Beruntung guru masih percaya padaku." Lekir mendesah dalam tragedi. Tapi anehnya, ketika mulai memasak, gerakannya efisien. Mungkin terlalu efisien. Pisau di tangannya bergerak secepat kilat, memotong sayuran seolah itu latihan memenggal musuh. Salah satu staf lama m
Awalnya Sekar masih tidur pulas, tapi perut kenyang membuatnya tidak bisa tidur lagi, kamu mengerti kan bagaimana rasanya perut kenyang dibawa tidur. Tidak nyaman dan membuat mual. Sekar bergerak gelisah dalam tidurnya, kemudian dia terbangun sendiri karena percakapan di kamar. "Koki, kenapa ada orang tambahan di kamarku?!" Sekar menggeliat malas, dia tidak panik jika ada orang tambahan secara tiba-tiba, sayangnya dia belum melihat kehancuran tembok di penginapan, mungkin jika dia tau sekarang dia akan kabur paling awal. "Guru. Aku tidak tau, saat aku datang ke kamar guru, mereka tiba-tiba menerobos masuk begitu saja." Tunjuk Lekir pada dua orang, keduanya penuh cacat dari pertempuran sebelumnya. Pakaian Sajada robek, Rajan terluka lebih parah daripada Sajada, kedua lenganya patah tulang. Sajada mendongak menatap wajah orang yang bertarung dengannya. "Rajan, sejak tadi aku masih kebingungan, kenapa kamu tidak memakai senjata saat kita bertarung?" Sajada menatap intens seluruh t







