Rena masih terpinga-pinga, lidahnya kelu. Ia tak pernah berpikir pernah melakukan kesalahan fatal pada Bu Tiara. Tapi kenapa ibu pemilik rumah itu tiba-tiba menamparnya?
Tiara menautkan alisnya, "Ini rumahku! Kamu bilang apa tadi? Aku seenaknya menerobos rumahmu? Kamu itu cuma numpang di sini! Aku punya hak untuk membuang barang dan mengusirmu!""Hah! Saya membayar sewa rumah ini sekaligus, Bu! Tunai! Kalau Ibu mau mengusir saya seenaknya, seenggaknya Ibu kasih pengembalian dari uang yang sudah saya bayarkan!""A- apa..."Rena mengerutkan wajah. Ekspresi ibu RW di depannya saat ini tampak terkejut.Ia jadi bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah pak Ridwan tidak pernah memberi tahu istrinya jika ia sudah membayar penuh uang sewa rumah?"Nggak usah bohong! Aku cuma terima uang dua juta saja. Dan itu untuk sewa sebulan ini. Sekarang kamu bisa pergi!" Tiara menunjuk-nunjuk tepat di wajah Rena."Sudah untung kita bantu beres-beres barang. Mbak Rena tinggal baw"Berdebar-debar apanya! Sudah, cepat pulang sana!""Iya, iya sebentar, Mbak. Habisin minuman dulu."Rena segera menghubungi taksi agar Ricky tak lagi mencari-cari alasan. Seperti tadi saat ia menemukan Ricky meringkuk di bagian belakang mobil pikap pengangkut."Ngapain kamu di sini!" Rena setengah berteriak saking terkejutnya, begitu pula si sopir yang tak tahu menahu.Ricky menyeringai canggung. Ia berkata, "Di rumah, setiap kali bertemu Mama dan Papa ribut terus, Mbak.""Kamu cuma mau ngikutin aku, kan? Sudah pamit sama orang rumah?" Rena menyipitkan mata.Ricky menggeleng. Katanya, sejak malam itu Ratri sering pergi membawa Ari. Sedangkan Andi kembali seperti dulu. Kerap pulang malam dan semakin jarang di rumah.Dari ceritanya pula, akhirnya Rena tahu kalau saat Andi tiba-tiba datang melamarnya, Ricky diam-diam membuntuti ayahnya dan merekam semua pembicaraan mereka."Sebenarnya aku nggak tega harus mengungkap semua. Tapi Mama juga berhak tahu. Dan
"Semalam kamu..." Tomi ragu melanjutkan kalimatnya."Semalam saya kenapa, Pak?" Rena pura-pura tak tahu."Aku dengar semalam kamu masuk ke ruangan ini. Apa yang kamu lakukan?"Rena bernafas lega. Meskipun memasang wajah polos namun dalam hati ia takut setengah mati. Lebih tepatnya ia malu sekaligus khawatir karena mengetahui perselingkuhan sang direktur. Tepat di depan matanya. Sekaligus menyaksikan adegan intim malam itu."Saya agak malu mau bilang. Sebenarnya semalam saya ketakutan jalan sendiri di lorong. Kebetulan sampai di depan kantor Pak Tomi. Jadi saya buru-buru masuk untuk menenangkan diri."Pertanyaan-pertanyaan terus mengalir di benak Rena. Mengapa Tomi tak menanggapi? Apa sang direktur percaya dengan kebohongannya?Tomi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pandangannya lurus ke arah Rena tapi netranya tampak kosong."Pak?" Rena memiringkan kepala."Ah, oh, ya. Aku kira ada perlu apa. Ya sudah, Rena bisa kembali sekarang.""Nggak ada barang yang hilang, bukan? Saya khawatir
"Aku nggak sengaja dengar obrolan Rino dan anak-anak lain. Besok mereka mau bikin pesta untuk menyambutmu.""Terus? Bukankah bagus, kita semua bisa jauh lebih akrab.""Kamu tahu restoran di atap hotel depan sana? Dia bilang mau menaruh sesuatu di minumanmu. Pikir sendiri apa yang mau mereka perbuat padamu," ujar Ambar."Masa sih mereka setega itu? Kelihatannya mereka orang-orang baik."Ambar memutar bola mata. "Terserah mau percaya atau nggak. Yang penting aku sudah bilang padamu." Rena tak menjawab."Keputusan ada di tanganmu sendiri. Toh aku juga nggak tahu kamu bakalan khawatir atau malah senang. Secara banyak cewek yang kemungkinan besar nggak keberatan dijebak oleh cowok-cowok tampan dan populer itu," imbuhnya dengan nada ketus.Dan Rena menyaksikan sendiri, serbuk putih halus belum terlarut di dasar gelas. Ia tak tahu kapan dan siapa yang menaruh obat itu.Tampaknya para pria yang dimaksud Ambar sudah terbiasa dengan situasi yang serupa. Andai saja
"Ikut denganku sekarang," perintah Siska dengan nada dingin.Rena mengekor Siska ragu-ragu. Beberapa orang menatap sambil bisik-bisik. Sementara pikirannya berkecamuk pada tulisan dalam kertas nota hotel.Seseorang telah menggunakan namanya. Dan Rena tahu pasti siapa orang itu."Aprilia. Tapi kenapa dia harus memakai namaku? Apa dia nggak suka denganku? Atau dia tahu aku melihat mereka malam itu?" Pertanyaan-pertanyaan terus muncul dalam benaknya.Ia melirik ke arah Aprilia sekilas. Lagi-lagi wanita itu bersikap seolah tak ada yang salah. Rena mengepalkan tangan ketika melihat Aprila malah tertawa dengan temannya."Duduk." Rena menuruti ucapan Siska.Sebelumnya ia sudah bertekad untuk berubah. Kali ini pun sama.Rena buka suara, "Saya nggak tahu kenapa ada nama saya di nota hotel yang Bu Siska bawa. Tapi itu bukan saya. Dan saya tahu siapa orang yang sudah menggunakan nama saya."Rahang Siska mengeras. Sorot matanya tak menandakan kepercayaan pada ucapan Rena."Kamu mau mencari kambing
Dari balik layar Siska berulang-ulang memutar adegan di kantin. "Sekarang kamu mau terang-terangan selingkuh?""Mamah salah paham. Aku cuma-""Cuma apa!" bentak Siska.Tomi berniat memeluk Siska namun segera didorong mundur. "Nggak usah banyak alasan!" teriak Siska."Kemarin setelah ronde kedua di karaoke aku mengantar anak-anak pulang. Karena nggak tahu rumah Rena, aku sewakan dia kamar hotel. Sebab Rena sudah mabuk parah.""Ka- kalau nggak percaya tanya April," imbuhnya."Benar Sis, aku yang menyarankan Tomi. Maaf kalau gara-gara aku kalian jadi berantem kaya gini. Seharusnya aku bawa Rena pulang ke rumah. Tapi kamu tahu sendiri gimana orang tuaku. Mereka bisa langsung mengusirku kalau aku bawa teman mabuk."Siska bergidik mendengar wanita itu leluasa memanggil namanya dan suaminya tanpa rasa hormat. Memang benar, dulu ia sendiri yang menyarankan untuk memanggil nama jika hanya ada mereka bertiga. Namun sekarang terasa berbeda.Ia berharap bisa memp
"Gimana keadaanmu?"Aprilia mengerjapkan mata. "Ini di mana?" Ia melihat sekeliling. "Kenapa kita di rumah sakit?""Kamu nggak ingat tadi pingsan di Mall?"Ia bangun terduduk seketika. Tergagap ia bertanya, "Ka- kamu, kamu su- sudah tahu?""Tahu apa?" Rena memiringkan kepala. "Katanya kamu kelelahan. Makanya jangan terlalu kalap belanja. Seperti nggak ada hari esok saja.""O- oh, be- benar.""Ya sudah, aku mau pulang dulu. Kata dokter kamu sudah boleh pulang. Tapi kalau mau istirahat dulu juga boleh. Mau aku hubungi orang tuamu untuk menunggu di sini?""Ng- nggak. Nggak usah! Kamu pulang duluan saja."Rena pura-pura keluar ruangan lalu memutar dan bersembunyi di balik tirai sebelah ruang perawatan Aprilia. "Oh, kamu kembali lagi?" suara familiar seorang pria membuatnya terlonjak.Dokter Felix mengikik melihat tingkah Rena. "Nanti kalau ada pasien lain kamu keluar ya."Rena membentuk lingkaran dengan jari dan telunjuk. Kemudian mengusir dokter yang tadi membantu membawa Aprilia ke rumah
Alih-alih Siska, Tomi datang ke tempat pertemuan. Jelas-jelas ia mengirim pesan ke nomor nyonya perusahaan saat Tomi ada di kantor.Apa Siska sengaja menyuruh Tomi karena dari awal ia tak percaya padanya?"Mau ke mana, Rena? Bukankah ada yang ingin kamu berikan padaku?""Apa maksudnya, Pak?" tanya Rena seolah tak tahu."Kamu pikir aku cuma iseng memperingatkanmu?" Tomi menyeret Rena duduk ke kursi. "Aku sudah pesan makanan. Mari kita makan dulu sebelum bicara."Ia memasukkan makanan susah payah. Sebab firasat buruknya selalu terjadi.Jefri pasti sudah tahu sejak awal. Mengapa ia mengkhianatinya? Padahal mereka di posisi sama-sama sulit.Rena menghentikan gerakan tangan. Dalam hati ia berpikir, "Kenapa aku harus cemas berlebihan?""Kenapa? Nggak suka makanannya? Mau aku pesankan yang lain?""Nggak usah, Pak. Ini semua sudah sesuai selera saya. Terima kasih banyak," Rena menjawab riang.Tingkah Rena menggelitik rasa ingin tahu pria itu. "Tadi ka
"Gimana rasanya?" Siska diam sejenak, lalu kembali bertanya, "Gimana rasanya setelah bercerai?""Tentu saja sedih dan sakit sekali. Tapi saya juga merasa lega setelahnya karena nggak perlu menghabiskan seumur hidup dengan orang yang mengkhianati saya." Rena meremas tangannya sendiri.Pandangan Siska tampak kosong. "Apa kamu pernah menyesal?"Pertanyaan bosnya sedikit mengusik hati. Sebenarnya Rena tak suka mengenang masa lalu pahit itu."Saya menyesal." Rena menunduk sembari memutar gelas kopi. "Saya menyesal karena pernah percaya dan mencintai mantan suami saya.""Aku nggak berniat membuatmu mengingat-ingat kenangan burukmu. Maaf." Siska menyesal setelah melihat raut kesedihan di wajah Rena."Apa Bu Siska..." Rena ragu-ragu."Kamu mau tanya, apa aku akan bercerai dengan suamiku?"Rena mengangguk. Ia turut prihatin dengan keadaan Siska saat ini.Masalah Siska berbeda dengan Rena walaupun sama-sama diselingkuhi suami. Sebab bos wanita itu juga haru