"Gimana rasanya?" Siska diam sejenak, lalu kembali bertanya, "Gimana rasanya setelah bercerai?"
"Tentu saja sedih dan sakit sekali. Tapi saya juga merasa lega setelahnya karena nggak perlu menghabiskan seumur hidup dengan orang yang mengkhianati saya." Rena meremas tangannya sendiri.Pandangan Siska tampak kosong. "Apa kamu pernah menyesal?"Pertanyaan bosnya sedikit mengusik hati. Sebenarnya Rena tak suka mengenang masa lalu pahit itu."Saya menyesal." Rena menunduk sembari memutar gelas kopi. "Saya menyesal karena pernah percaya dan mencintai mantan suami saya.""Aku nggak berniat membuatmu mengingat-ingat kenangan burukmu. Maaf." Siska menyesal setelah melihat raut kesedihan di wajah Rena."Apa Bu Siska..." Rena ragu-ragu."Kamu mau tanya, apa aku akan bercerai dengan suamiku?"Rena mengangguk. Ia turut prihatin dengan keadaan Siska saat ini.Masalah Siska berbeda dengan Rena walaupun sama-sama diselingkuhi suami. Sebab bos wanita itu juga haruRena sontak berbalik. Ia mendapati seorang wanita muda melotot marah padanya."Lina! Cepat minta maaf!" teriak Jefri."Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku? Pantas saja nggak bisa dihubungi. Ternyata kamu selingkuh dengan cewek lain!" wanita yang dipanggil Lina itu menitikkan air mata.Jefri merogoh ponsel dalam saku. Sementara Rena tampak malu. Para pengunjung lain berbisik-bisik dan menatap sinis padanya. Lagi-lagi ia disalah pahami orang-orang."Aku nggak tahu handphoneku mati," gumam Jefri, "Kamu nggak apa-apa, Ren?"Rena menampik tangan Jefri yang ingin menyeka wajahnya dengan tisu. "Apa aku kelihatan baik-baik saja?" jawabnya ketus.Belum sempat mengeringkan diri, Lina kembali berulah. Pacar Jefri itu menarik rambut Rena. Kini mereka berdua saling menjambak satu sama lain."Lepasin nggak!" pekik Rena."Aku sudah tahu siapa kamu! Dasar janda perusak rumah tangga orang! Sekarang kamu mau mengincar pacar orang? Hah!""Berhenti!" Jefri
Rena celingak-celinguk mencari tamunya. Tak ada orang di teras rumah. Ia hendak mencari ke luar pagar namun kakinya membentur sesuatu yang keras.Ia memungut kotak hitam sebesar lantai keramik. Tak ada nama pengirim di setiap sisi. "Apaan nih?" ia menggoyang-goyangkan kotak itu.Tiba-tiba saja isi dalam kotak menyeruak keluar dari bagian bawah. Rena menjerit ketakutan tatkala krim lembut menyentuh kakinya."Jangan teriak-teriak!" seru tetangganya."Maaf!" ia balas berseru.Keterkejutannya tak berhenti begitu saja ketika kotak lain meluncur di antara krim merah muda. Tangannya gemetaran membuka kotak berlapis beludru hitam."I-ini..." Rena bangkit dan berlari keluar rumah.Tak ada seorang pun di sekitar jalan perumahan. Sekali lagi, pupilnya menangkap kilauan emas dari satu set perhiasan di dalam kotak itu.Ia membaca sepucuk surat dengan krim di tangannya. "Semoga kehidupan barumu menyenangkan. Jangan menangis lagi karena pria."Rena terdiam
Kelopak mata Rena berkedut-kedut sebentar lalu terbuka. Sesuatu seperti meremas-remas isi kepalanya. Berat dan menyakitkan.Rena meringis menahan nyeri di sekujur tubuh. Ia ingin bangkit namun tak punya tenaga yang cukup untuk melawan gravitasi. Tubuhnya melekat bak terlapis lem di sebuah ranjang berukuran luas."Sudah bangun? Apa yang dirasakan sekarang?" tanya seorang perawat."Pusing," jawab Rena singkat."Ingat nama Kakak?""Renata Cahyani."Setelah bertanya beberapa hal lain, si perawat memanggil dokter yang menangani Rena. Selagi menunggu sang dokter, netranya berkeliaran di sekeliling ruangan.Mendadak ia ragu jika sekarang tengah dirawat di rumah sakit. Kamar yang ditempati Rena lebih mirip dengan isi hotel bintang lima. Kalaupun ada ruang VIP semewah ini, ia tak akan sanggup menanggung biaya rawat inap perharinya."Halo Rena, gimana keadaanmu? Ada bagian lain yang sakit?" tanya Felix mengejutkan."Oh, kamu... Hmm...""Sepertinya
"Aku bosan sekali! Apa besok aku boleh pulang? Kepalaku juga nggak terasa sakit lagi. Lihat ini!" Rena menggeliat-geliat di atas ranjang."Belum boleh," tegas Felix.Sang dokter memasukkan suntikan di selang infus. Biasanya perawat yang melakukan pekerjaan itu. Tapi selama tiga hari berturut-turut ia sendiri yang mengerjakannya.Jelas sekali ia telah terpikat pesona sang janda. Dan setiap kali berjumpa, wanita itu selalu menunjukkan pesona yang berbeda.Adakalanya Rena bersikap dewasa layaknya orang tua yang telah mengalami banyak hal. Terkadang seperti anak kecil kala Felix menggoda. Tak jarang pula Rena menunjukkan sisi lembut yang selalu berhasil Felix berdebar."Kamu nggak pernah pulang? Perasaan nggak ada dokter lain yang datang."Felix membuang muka. "Pasien-pasien di sini nggak banyak. Nggak sembarang dokter juga bisa naik ke sini.""Oh, berarti kamu punya posisi spesial di rumah sakit ini. Tapi kenapa kamu bisa nggak tahu siapa orang yang membawaku ke sini?"Dari awal Rena men
Siska datang pagi-pagi sekali untuk menjemput Rena. Melihat temannya tampak lesu, ia bertanya, "Mana si dokter ganteng, Ren?""Nggak tahu. Dari pagi tadi dokternya ganti. Biasanya cuma ada Felix di sini."Rena mengambil nafas panjang. Rasanya ada yang kurang.Tiap pagi sampai sore dan terkadang sampai malam pria itu tak pernah absen menemani. Tapi tiba-tiba saja Felix tak bisa dihubungi."Kenapa nggak ditelepon saja?""Sudah beberapa kali. Yang jawab cewek.""Hah! Siapa? Pacarnya?""Bukan. Operator. Handphonenya mati."Seorang dokter paruh baya datang menyapa. Memberikan obat dan beberapa pesan pada si pasien. Lalu mengantar mereka sampai ke depan lift.Rena memutar badan. Melihat sekali lagi lorong mewah VVIP. Sepintas ia melihat bayang-bayang Felix berlari sambil tersenyum jahil ke arahnya.Tak bisa dipungkiri, hubungannya dan Felix lebih dari sekedar dokter pasien saja. Karena itu, ia sedikit kecewa sang dokter tak datang di saat-saat
Rena menghirup udara segar pagi hari di balkon apartemen. Sambil menyeruput teh hijau pekat, ia mengambil novel lalu mulai membaca bab akhir cerita.Walaupun penasaran oleh akhir cerita tragedi yang sangat disukainya, akan tetapi ia tak dapat berkonsentrasi menggabungkan kata demi kata dalam novel itu. Pandangannya mengikuti bayangan hitam di balik kaca buram yang memisahkan balkonnya dengan milik pria itu.Aroma kuat kopi hitam menusuk hidung. Rena tak suka menghirup bau menyengat di pagi hari. Namun ia tetap diam tak beranjak dari kursi goyang.Tanpa melihat langsung sosok pria itu pun jantungnya bergemuruh tak karuan. Rena penasaran dengan pria tampan itu. Tapi ia selalu kehilangan rasa percaya diri di hadapannya."Haruskah aku menyapa?" bisiknya pada diri sendiri, "Nggak, nggak. Nanti malah dikira keganjenan."Rena kembali fokus pada novel di tangannya. Meskipun benaknya terus melayang ke apartemen tetangga."Pagi, Rena." Billy mendongak dari ujung kaca p
"Ca- calon pacar?" Rena terbata-bata.Setelah mendengar berita pernikahan Felix kemarin, Rena telah menghilangkan dugaannya. Meskipun gosip itu tak benar, menurut Felix. Dan ternyata insting Rena tak salah. Pria itu memang menyukainya!"Itu... Itu..." Sang dokter menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.Sementara Billy yang sedari tadi menahan diri bergegas menarik kerah Felix agar menjauh dari Rena. "Keluar sekarang juga!" hardiknya."Tapi Dokter Felix masih belum selesai meresepkan obat untuk saya, Pak." Rena memprotes.Kali ini ucapan Rena tak dapat mempengaruhi pria itu. Billy mendorong maju badan Felix hingga mereka saling bertatapan. Jarak mereka hanya terpisah beberapa senti.Baik Billy maupun Felix memasang tampang garang. Tak mau kalah, Felix mengerahkan kekuatan untuk melepaskan diri. Kini mereka saling tarik-menarik. Hingga kepalan tinju Billy melayang tepat mengenai wajah putih mulus sang dokter.Felix sedikit terkejut lalu dalam sekejap membalas menghantam perut Billy.
"Fasilitas untuk rekan bisnis. Memang apa yang kamu harapkan?" bisik Billy."Ah..." Rena menyembunyikan wajah karena terlalu malu. Ia menggigit bibir bawahnya. Tak bisa dipungkiri, ia kecewa dengan jawaban Billy.Anehnya, debaran cepat di dada Rena kembali normal. Benar, dari sejak bercerai dengan Dhani, Rena telah memutuskan untuk lebih berhati-hati mengenal lelaki. Ia tak mau lagi merasakan sakit hati.Rasa kecewa tadi sontak berubah menjadi kelegaan. Bukan waktunya ia jatuh cinta lagi. Ia pernah bertekad agar bisa menjadi wanita karir yang mandiri. Tanpa dibayang-bayangi ketakutan dikhianati suami.Rena mengambil nafas panjang. Ia berulang-ulang memotivasi diri sendiri dalam hati."Terima kasih, Pak Billy. Saya akan memanfaatkan fasilitas yang Pak Billy berikan dengan baik. Bapak nggak akan kecewa dengan kinerja saya dan Bu Siska," kata Rena percaya diri. Kali ini ia berani menatap lurus pria itu.Billy pun merasakan perubahan mendadak sang janda. Tak ada lagi senyum malu-malunya.