Share

Chapter 3 : Tertangkap Basah

"Maaf," bisiknya. Ricky tak menjawab. Masih sibuk berbicara di telepon.

Untung saja Rena tak bisa melihat dalam kegelapan. Wajah Ricky merah padam. Darahnya berdesir oleh sentuhan singkat itu.

"Mbak tadi ngomong sama aku?" tanyanya sok polos.

"Nggak, nggak kok. Kenapa mamamu?"

"Oh, mereka bakalan pulang telat. Air di depan kantornya sedikit meluap."

Rena mengintip jam di ponsel muridnya. Sudah lebih pukul sembilan malam. Waktunya anak sekolah untuk beristirahat.

"Tunggu di sini saja dulu. Tidur di kamar Mbak nggak apa-apa. Nanti Mbak bangunin kalau mamanya sudah datang atau hujannya reda."

"Nggak usah, Mbak. Nanti Mbak Rena ketakutan aku tinggalin sendirian di sini." Ricky menyeringai nakal.

Ucapannya benar. Rena hanya berbasa-basi menawarinya tidur. Sesungguhnya ia tak suka sendirian dalam gelap, hujan lebat dan berpetir pula!

Semakin malam mereka semakin sedikit bicara. Berbanding terbalik dengan hujan yang turun semakin lebat.

Kali ini Rena benar-benar menawarkan kamar untuk digunakan Ricky. Ia sudah lebih terbiasa dengan kegelapan. Dan ia tak bisa membiarkan anak didiknya kemalaman beristirahat.

"Di sofa saja, Mbak. Aku juga takut tidur gelap-gelapan. Mana handphone mati semua. Nggak ada lilin juga."

"Haha, maaf. Mbak belum belanja barang-barang."

Mereka akhirnya merebahkan diri di sofa yang saling berhadapan. Suasana sedikit canggung. Ia tak mengira akan menghabiskan malam dengan muridnya sendiri.

"Mbak, nanti kalau kita sama-sama ketiduran gimana?"

"Ya mau gimana lagi?" jawabnya malas-malasan.

Hawa dingin membuat Rena mengantuk. Hanya hitungan menit saja ia tertidur pulas.

Ricky mengamati diri Rena dari seberang. "Katanya mau bangunin. Dianya tidur sendiri," ia terkekeh.

Pemuda itu bangkit, berjinjit menuju gurunya. Kemudian menyelimutkan jaket di atas lengan gurunya.

Tangannya yang jahil menyentuh hidung sang janda. Ia terkekeh tanpa suara melihat reaksi lucu wanita itu.

"Cantik sekali," bisiknya lirih, "Kalau aku yang jadi suamimu, aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Mbak."

Karena sentuhan Ricky tadi, Rena sebenarnya terbangun. Tapi mendengar pernyataan Ricky, ia pura-pura tidur.

***

Mobil sedan hitam terparkir di pinggir jalan. Seorang pria dengan seikat bunga mengetuk lembut pintu rumah bercat merah muda. Sembari menunggu tuan rumah, pria itu merapikan setelannya.

Tak berselang lama perempuan cantik nan anggun membukakan pintu dengan senyum menawan, "Mas Bagas!"

"Hai, gimana kabarnya?" Bagas mengulurkan bunga mawar putih padanya, "Buat menyelamati rumah baru."

Rena menghirup aroma bunga, "Cantik sekali. Makasih ya. Ayo masuk, Mas!"

Pandangan Bagas berkelana di seisi ruangan. Matanya berhenti ke sekelompok anak-anak sekolah yang tengah belajar di ruangan lainnya.

Tatapannya saling beradu dengan salah seorang anak didik teman wanitanya. Ia langsung tahu siapa pemuda itu.

Kemarin malam Rena berkeluh-kesah padanya. Ia agak terkejut mendengar anak peserta lesnya diam-diam menaruh hati padanya.

Meskipun tahu Rena cantik dan menarik di mata kebanyakan pria, ia tak menyangka seorang bocah remaja pun bisa jatuh cinta padanya.

Bagas berinisiatif untuk membantu Rena. Seolah mereka mempunyai hubungan yang dekat. Agar remaja itu sadar posisinya. Mengingat Rena yang berhati lembut enggan untuk menyakiti pemuda itu secara langsung.

Di samping itu, mendengar cerita Rena, ia sedikit merasa cemburu. Ia lebih dulu mengenal sang janda. Dan hubungan mereka sudah jauh lebih dekat dari sebelumnya. Tapi seorang bocah ingusan seenaknya mau menyerobot kesempatan.

Tak bisa dipungkiri, Bagas memang tertarik dengan Rena. Ia suka walau hanya sekedar saling bertukar pesan. Apalagi mendengar suara wanita itu.

Rena memiliki semua kriteria yang ia cari selama ini. Hanya saja status janda sedikit mempengaruhi penilaiannya. Ia tak bisa bohong kalau mengidamkan perempuan yang masih perawan untuk menjadi pasangan hidup.

"Maaf ya, Mas. Aku sebentar lagi selesai mengajar."

"Iya, santai saja."

"Mau minum apa Mas?"

Ricky yang sedari tadi mengamati mereka tiba-tiba menghampiri guru lesnya itu, "Ada tamu, Mbak? Aku saja yang bikinin minuman. Mbak ke ruang belajar saja. Masih banyak yang harus dijelaskan."

"Oh, aku bantu boleh?" tanya Bagas.

"Nggak perlu, Pak! Saya saja cukup untuk melayani tamu." Ricky tersenyum meremehkan.

Bagas menggertakkan gigi sembari menahan emosi dalam hati, "Bocah sialan! Siapa yang kamu panggil pak?!"

"Oh, ya sudah. Aku tunggu di sini saja, Dik. Makasih ya! Pinter banget masih kecil sudah bisa bikin minuman."

Ricky hampir saja menendang lutut Bagas jika bukan karena Rena. "Sepertinya ini bapak-bapak sudah tahu siapa lawannya!" geramnya dalam hati.

"Iya dong. Zaman sekarang, anak kecil pun bisa lebih jago dari orang dewasa. Hehe. Biasa lah, Pak, anak muda punya lebih banyak stamina!" cibirnya, "Jadi harus banyak bergerak!"

Ricky keluar membawa dua cangkir kopi. Satu untuk tamu gurunya, satu lagi untuk dirinya sendiri.

Bagas sedikit heran dengan tingkah berani pemuda itu. Menyeruput kopi sendiri sebelum mempersilakan tamunya.

"Kamu nggak ikut belajar lagi, Dik?"

"Oh, saya sudah selesai, Pak." Ricky membusungkan dada.

"Wah, Adik pasti pintar ya. Tapi kok nggak pulang? Katanya sudah selesai?"

Ricky membatin, "Ah, sial! Benar katanya! Aku harus cari alasan biar bisa nungguin Mbak Rena sampai orang ini pulang."

Dan itulah yang dilakukannya. Mengerjakan tugas-tugas yang sebenarnya tak perlu diselesaikan. Sampai anak-anak lain pulang Rena masih mengizinkannya tinggal sampai tugas palsu itu selesai.

Sesekali ia melirik ke arah dua orang yang sedang asik bercakap-cakap itu. Ia tak begitu mendengar obrolan mereka berdua tapi bisa tahu kalau keduanya cukup dekat.

Mendadak hatinya panas. Kesempatannya tiba-tiba menguap begitu saja karena kehadiran pria lain.

Tadinya ia ingin mengungkapkan perasaannya kepada Rena. Ia sudah memikirkan kemungkinan besar Rena akan menolaknya.

Tapi ia tak bisa lagi menutupi rasa sayangnya. Ia tahu Rena wanita yang baik dan pengertian.

Bisa jadi Rena akan memberinya kesempatan. Mungkin juga mau menunggu sampai ia dewasa dan matang.

"Ricky, Mbak mau keluar dulu ya. Nanti kunci rumahnya ditaruh di bawah pot dekat pintu saja."

"Nggak usah, Mbak. Aku pulang sekarang saja." Ia menunduk lesu, cepat menyadari situasi.

Angan-angan positifnya terkikis sedikit demi sedikit. Saat ia melihat mobil mewah si pesaing, hatinya menciut. Butuh waktu berapa tahun ia bisa mendapatkan itu semua?

Sementara itu, Rena senang bisa berjumpa lagi dengan Bagas. Mereka menghabiskan waktu di beberapa tempat yang belum pernah Rena datangi.

"Padahal niatnya cuma mau bikin Ricky menjauh. Malah diajak ke mana-mana."

"Santai saja. Aku juga lagi penat mengurusi pekerjaan."

"Ya sudah, kita pulang sekarang saja."

Berbanding terbalik dengan dugaannya, Ricky ternyata masih menunggu di luar pagar rumah Rena. Ia menggigit kecil bibir bawahnya.

"Dia masih di sana."

"Mau kota-kota sejam lagi?"

"Nggak usah, Mas. Aku pulang saja. Terima kasih banyak ya buat hari ini."

Bagas mengunci pintu mobil. "Aku tahu kamu pasti akan menyerah. Hatimu terlalu lembut. Kamu nggak tega melihatnya, bukan?"

Rena memejamkan mata cukup lama. Merenungkan apa yang sebaiknya ia lakukan pada anak didiknya.

"Nggak, Mas. Lebih baik kalau aku menghadapinya langsung. Biarkan dia langsung mengutarakan perasaannya. Jadi aku bisa langsung tegas menolak."

Bagas berpikir sejenak, "Kamu yakin?" Rena mengangguk.

Ricky terlonjak mendengar deru mobil di depannya. Ia sebenarnya tak mau terlihat sedang menunggu. Tapi karena sedikit ketiduran ia tertangkap basah.

Benar apa yang ia pikirkan. Rena tampaknya cukup bersenang-senang malam ini. Raut wajah perempuan itu terlihat lebih bersinar-sinar dari sebelumnya.

Atau karena sudah larut malam, lantas perempuan itu terlihat lebih menarik baginya?

"Huh, Ricky? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Rena pura-pura tidak tahu.

"Cari udara segar saja. Aku pulang duluan ya!"

"Ah, ya. Selamat malam." Rena dan Bagas saling memandang sekilas.

Bagas tak lagi terlihat. Rena memungut kunci yang disembunyikan anak tetangganya itu. Ia berbalik ketika mendengar derap kaki yang semakin mendekat.

Ricky tengah berlarian ke arahnya. Wajah pemuda itu merah padam. Matanya sedikit berkaca-kaca. Entah karena mengantuk atau sedang bersedih.

Pemuda itu berkata, "Mbak, ada yang ingin aku tanyakan."

"Besok saja. Mbak sudah mengantuk," Rena berkilah.

"Sebentar saja!" Ricky bersikeras, "Bapak tadi pacar Mbak?"

Rena tak bisa berbohong, "Bukan," jawabnya singkat.

Ricky menghela nafas lega. Entah dari mana keberanian itu, ia menggenggam tangan sang janda. "Aku-"

Sebelum menyelesaikan ucapannya, beberapa peronda melewati mereka. Rena buru-buru melepas tangan pemuda itu. Namun para peronda itu sudah terlanjur melihatnya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Kristanti Marikaningrum
Ya ampun, bakal diapain mereka???
goodnovel comment avatar
Hesti
terciduk cuma gandengan pdhl
goodnovel comment avatar
SigitMtq
keren mantap mantap bos
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status