Share

Chapter 2 : Sang Janda dan Pemuda

"Tujuh ratus juta!"

Rena berguling kegirangan selepas menghitung berulang-ulang jumlah nol di rekening. Betapa beruntung dirinya. Bukan hanya mendapat uang melebihi harga jual, si pembeli rumah juga memberi voucher menginap tiga hari dua malam di hotel bintang lima.

Mendadak ia berpikir perceraian dengan Dhani bukan sesuatu yang buruk. Jika harus menghabiskan seumur hidup dengan peselingkuh itu mana mungkin dia bisa merasakan semua ini.

Rena segera beranjak berganti pakaian setelah mendapat pesan singkat dari si pembeli rumah. Berdandan sedikit untuk sang pembeli yang murah hati.

"Selamat malam." Suara seorang pria mengejutkan dari belakang. Rena sontak berbalik.

"Maaf saya pasti sudah mengejutkan. Benar dengan Mbak Rena ya?"

"Benar."

"Saya Bagas Sadewa, pengacara yang dikirim untuk mengurus balik nama surat tanah."

"Oh, saya kira bakalan ketemu dengan pembelinya langsung."

"Mohon maaf sekali lagi, bos saya sedang ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan.

"Mari silahkan ke meja yang sudah dipesan bos saya."

Rena mengulurkan sertifikat rumah kepada sang pengacara. "Sebelumnya saya sangat berterima kasih pada bos Pak Bagas yang sudah membeli rumah. Tapi bukankah ini sedikit berlebihan?"

"Berlebihan? Maksudnya?"

"Sebenarnya rumah saya nggak semahal itu. Saya juga dikasih voucher menginap di hotel semewah ini. Dan juga makan malam di tempat khusus VIP."

Bagas tersenyum sopan. "Rumah Mbak Rena kebetulan lokasinya pas sekali dengan incaran pak bos. Dan tidak berlebihan sebenarnya mengingat beliau yang juga pemilik hotel ini."

Bagas membutuhkan setidaknya tiga hari sampai pergantian nama setifikat selesai. Dengan begitu kemewahaan sesaat telah berakhir.

"Kalau boleh tahu, Mbak Rena mau pindah atau pulang kampung?"

"Saya akan pindah di Kota Sukamaya."

"Wah, kebetulan sekali! Bulan depan hotel baru pak bos resmi dibuka di sana."

Bagas menyerahkan kartu nama. "Hubungi saya kalau Mbak Rena butuh bantuan atau hanya sekedar ngopi-ngopi."

"Beneran saya hubungi nanti lho ya. Saya juga nggak punya kenalan di sana."

"Siap, Mbak! Oh ya, ngomong-ngomong panggil nama saja. Gini-gini saya masih tiga puluh tahun.

Rena sedikit tak percaya. Penampilan Bagas lebih muda dari umurnya. Sebenarnya Rena mengira ia dan Bagas seumuran.

Meskipun tak setampan sang mantan tapi Bagas cukup menarik untuk dipandang. Selalu mengenakan kemeja rapi dan juga statusnya yang seorang pengacara membuat Rena otomatis memanggilnya dengan sopan.

Di sepanjang perjalanan Rena saling bertukar pesan dengan Bagas. Pria itu memberi tahu secara rinci setiap sudut Kota Sukamaya. Lambat laun mereka pun semakin akrab.

Dan sepuluh jam kemudian kereta berhenti. Rena mengambil nafas panjang sesaat menginjakkan kaki di kota yang akan menjadi tempat tinggal barunya.

Rena terpesona dengan gemerlap malam dan keramaian kota. Sungguh berkebalikan dengan tempat tinggal terakhirnya. Tentu saja, karena Sukamaya termasuk kota metropolitan terkenal padat penduduk.

Setelah berkeliling dari setiap sudut kota, Rena menemukan rumah kontrakan yang tidak begitu mahal namun tampak nyaman untuk ditinggali. Jarak antar tetangga pun tak terlalu jauh. Cocok untuk dirinya yang sedikit penakut di malam hari.

"Saya bayar lima belas juta tunai ya."

Pak Ridwan si pemilik rumah sekaligus ketua RW menghitung tumpukan seratus ribuan dengan cermat. "Pas ya. Kalau ada apa-apa langsung ke rumah saya saja di sebelah."

Selepas kepergian sang tuan rumah, Rena membongkar bawaan. Tak cukup banyak. Hanya baju dua koper dan beberapa barang saja.

Untungnya, rumah kontrakan ini sudah ada meja kursi di ruang tamu dan ruang makan. Sedangkan kamarnya kosong melompong. Terpaksa ia menggunakan selimut tebal untuk alas tidur.

Dingin dan sepi. Asanya berkeliaran ke mana-mana. Memikirkan bagaimana kehidupan seorang janda tanpa suami. Ketakutan menghadapi masyarakat yang mungkin akan mengucilkannya.

Namun bayangan itu hilang di hari kemudian. Tak disangka para tetangga datang menyambut kehadiran si warga baru.

"Mbak Rena cantik sekali. Mau nikah lagi mah gampang."

"Saya belum mau mencari suami lagi, Bu. Berkas perceraian saja masih hangat." Rena menanggapi Lastri yang dianggap tetua para ibu-ibu kompleks.

Mereka bercakap-cakap seru sampai satu jam berlalu. Seorang perempuan datang terlambat. Para ibu-ibu lain mencibir ibu muda yang dipanggil Ratri itu.

"Maaf. Saya lembur hari ini."

"Oh ya, saya dengar mbak Renata baru saja bercerai dari suaminya."

Rena mengumpat dalam hati. Tampaknya Ridwan sudah menyebarkan informasi pribadi Rena seenaknya.

"Berapa lama menikah, Mbak?" Ratri lanjut bertanya.

"Baru satu setengah tahun."

Para ibu-ibu terkejut dengan pernikahan singkat itu. Dan acara menguak privasi Rena pun dimulai.

Mereka mengutuk Dhani yang berselingkuh. Berbeda dengan Ratri. Ibu muda itu memberikan penyataan tak terduga.

"Hanya satu setengah tahun saja suami Mbak kabur sama pelakor. Jangan-jangan mbak sudah bikin kesalahan yang susah untuk dimaafkan?!"

"Menikah itu janji besar kepada Tuhan. Kalau pun aku punya kesalahan, suami harusnya mengayomi. Bukannya mencari simpanan."

"Itu benar, tapi sikap istri juga berpengaruh, Mbak."

"Benar, Mbak. Tapi selama menikah, aku sudah berusaha jadi istri yang baik. Tapi kalau dia kecantol cewek lain apa aku juga yang salah?"

"Berusaha bukan berarti-"

"Sudah, sudah!" Lastri menengahi, "Kita niatnya cuma mau diskusi saja. Bukan mau debat siapa yang benar, siapa yang salah. Mbak Ratri juga nggak bisa seenaknya mojokin orang kalau nggak tahu detail masalahnya."

"Dia mah sudah biasa ngomong nggak ngenakin hati seperti itu, Mbak. Maklumin saja." Kata Darmi.

"Haha. Maaf, maaf. Aku sudah kelewatan." Ratri menunduk setengah tulus. Dia masih berpikir pendapatnya benar. Tidak mungkin ada api kalau tidak ada yang menyalakan, pikirnya.

Setelah para ibu pulang ke rumah masing-masing, tak berselang lama, Ratri kembali mengunjungi Rena. Sekali lagi dia meminta maaf karena ucapannya tadi.

Meskipun niat kedatangannya bukan untuk meminta maaf. Ratri menawarkan Rena untuk memberi les privat anaknya yang sebentar lagi menjalani ujian kelulusan SMA.

"Ricky itu agak susah dikasih tahu. Dia nggak mau ambil les di tempat-tempat umum. Aku dengar dari pak RW, Mbak Rena dulu juga sering kasih les anak-anak sekolah."

Rena mengangguk. Memang benar, setelah pindah di rumah baru mereka dulu, ia membuka kelompok belajar di kompleksnya. Menjadi ibu rumah tangga bukan pekerjaan yang sulit. Hanya saja, uang yang diberikan suaminya tak cukup memenuhi kebutuhannya sendiri.

***

Sore menjelang malam seorang pemuda mengetuk pintu rumahnya. Meskipun perawakannya seperti pria dewasa, ia bisa segera tahu identitasnya. Rena menyambut dengan senyum mengembang.

"Kamu pasti Ricky ya? Ayo, masuk!"

Wajah pemuda itu merona, "Salam kenal, Tante."

Rena terkejut dengan sapaannya, "Aduh, jangan tante. Kakak atau mbak saja ya. Cuma selisih sembilan tahunan masa dipanggil tante," ia tertawa.

Setelah mengobrol sebentar, Rena mulai mengajarkan satu persatu materi yang sudah dipersiapkan. Ia senang melihat Ricky yang mudah mengerti dengan cara mengajarnya.

Rena mengamati pemuda yang tengah sibuk menuliskan jawaban di atas kertas itu. Kalau dilihat dengan cermat, Ricky tak begitu mirip dengan ibunya. Garis wajahnya lebih tegas dan rupawan. Hanya kulit putihnya saja yang sama.

"Oh ya, kalau ada teman yang mau les privat bisa hubungi Mbak, ya."

Benar saja, sehari kemudian Ricky membawa sekelompok orang yang ingin mendaftar les padanya. Setelah mendapat izin orang tua mereka, ia mendapat lima anak didik tambahan.

Ricky menyeringai, "Jangan lupa traktirannya," ia berbisik.

Selama beberapa hari menghabiskan waktu dengan anak itu, Rena sedikit tahu tentangnya. Ricky di sekolah suka bergaul dengan anak-anak bandel, ucapannya yang frontal mirip ibunya. Bahkan beberapa kali sekolah memanggil orang tuanya karena ketahuan berkelahi dan membolos.

Pemuda itu paling benci dinasehati orang tuanya. Tapi ia sedikit demi sedikit mau terbuka dengan Rena. Beberapa kali menceritakan keluh kesahnya. Jadi seperti seorang teman.

"Wah, mama papa belum pulang." ujar Ricky sedih.

"Nanti saja pulangnya. Mbak juga belum beli payung."

Malam itu anak-anak yang lain sudah pulang duluan. Karena hujan lebat para orang tua menjemput lebih cepat.

Kilat menyambar-nyambar. Rena sedikit gemetaran. Tiba-tiba semua lampu padam. Ia menjerit karena terkejut.

"Mbak Rena nggak apa-apa?"

Ricky buru-buru menyalakan senter. Ia dapat melihat guru lesnya membeku di tempat saking ketakutan.

"Duduk sini, Mbak." Ricky membimbingnya duduk ke sofa. "Mau diambilin minuman?"

"Nggak, nggak usah!" Rena mencekal lengan muridnya. "Aku cuma kaget saja."

"Mungkin trafo listriknya meledak. Biasanya langsung hidup lagi soalnya."

Ponsel Ricky berdering dengan suara keras. Rena sekali lagi melompat kaget. Lampu senter di ponsel pemuda itu padam tatkala menjawab panggilan.

Selagi Ricky bercakap-cakap dengan ibunya di telepon, Rena meraba-raba sekitar untuk mencari ponselnya sendiri. Ia tersentak saat tak sengaja menyentuh paha muridnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Usman
jsjsjsjaja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status