Share

Truk Maut

Setelah Mas Gondo kembali ke dalam kantor, perlahan aku mendekati truk. Tercium aroma parfum yang begitu menyengat, sepertinya tadi Mas Gondo menyiramkan sejenis minyak yang biasa dijual tukang bunga dekat pemakaman. Saat hendak beranjak terdengar suara rintihan dari kolong truk, walau ada perasaan takut aku memaksakan melongok ke bawah dan aku hanya terpaku saat melihat pria dengan kepala hancur merintih-rintih di sela-sela ban dan kepala truk. Aroma parfum yang tadinya tercium di sekitar truk kini berubah menjadi bau bangkai.

Tubuh semakin gemetar tak sanggup berdiri lagi aku tersungkur ke tanah, kala darah tiba-tiba menetes deras dari truk, lalu membanjiri tempatku berada. Kesadaranku hilang.

"Di, Adi, bangun!" Suara Mas Gondo dan tepukan di pipi menyadarkanku dan langsung memeluk Mas Gondo.

"Yohh, ngopo koe, Di?" tanya Mas Gondo, seraya melepas pelukanku.

Pandanganku menatap sekeliling ternyata aku berada di dalam pos keamanan. Terlihat hari sudah gelap, tampak di luar berjejer truk- truk besar terparkir rapih. Bulu kudukku merinding dan langsung mengalihkan pandangan ke arah Mas Gondo yang sedang memelintir kumis melihat aku seperti orang kebingungan.

"Mas, mayat korban tabrakan tadi masih nyangkut di ban. Ayo, Mas kita lihat lalu bawa ke rumah sakit pasti keluarganya menunggu," ucapku yang langsung meraih tangan Mas Gondo, tetapi bukannya menuruti Mas Gondo tertawa seraya berkata, "Eling, Di ... kamu tuh, cuma ngigau, korban sudah dibawa pulang kampung sama keluarganya. Sudah kamu tenang saja, semua urusan sudah beres. Ayo sekarang aku antar kamu pulang!"

Aku melangkah mengikuti Mas Gondo menuju tempat parkir setelah berpamitan kepada petugas keamanan yang bertugas. Mas Gondo mengantar pulang, menaiki mobil minibus.

"Nih, Di, bagianmu. Lumayan buat persiapan istrimu melahirkan," ucap Mas Gondo sambil memberikan sebuah amplop putih. Mataku terbelalak melihat isi amplop tersebut yang ternyata sejumlah uang tak kurang dari lima belas juta.

"Untuk apa uang sebanyak ini, Mas?" tanyaku bingung. Mendengar pertanyaanku Mas Gondo langsung menghentikan mobil. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Banyak yang belum kamu ketahui, tentang perusahaan tempat kita bekerja, Di. Saranku sebaiknya kamu diam, menuruti perkataanku. Lain waktu jika kamu sudah siap, semua akan kuberitahukan karena lambat laun kamu harus mengerti, kalau masih mau bekerja. Sekarang simpan uang itu dan besok kamu di suruh Manajer datang ke kantor ada yang harus dibicarakan katanya."

Aku hanya terdiam menundukkan kepala memikirkan perkataan Mas Gondo yang dirasa aneh dan penuh kejanggalan. Ditambah dengan kejadian-kejadian yang aku alami sejak membawa truk putih ke rumah. Sebenarnya banyak hal yang ingin ditanyakan ke Mas Gondo, tetapi setiap menatap wajahnya terbit rasa segan. Ucapan Mas Gondo saja bahkan serasa membius. Setiap perkataan selalu aku turuti dan berlaku bukan pada diriku saja. Namun, pada setiap lawan bicara Mas Gondo.

Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Wajah Mas Gondo terlihat lelah mungkin juga karena dia sibuk mengurus tentang kecelakaan maut tadi. Setelah mengantarkanku sampai halaman rumah, 

Mas Gondo pamit pulang tanpa mampir terlebih dahulu dan sekali lagi dia mengingatkan agar menurut semua aturan perusahaan, walau hati menentang aku hanya mengangguk tanpa banyak bicara mendengar sarannya.

Melihat aku yang tertunduk lesu setelah pulang kerja. Sumi dengan telaten melayani semua keperluanku dari mempersiapkan air hangat untuk mandi juga makan malam. Baru aku sadari ternyata seharian ini aku hanya makan saat sarapan saja. Melihat ikan goreng, lalapan dan sambal tersaji di hadapan, segera aku santap dengan bersemangat. Sumi menatap dengan senyum terhias di bibir ranumnya.

Rasa penat dan lelah membuatku langsung tertidur setelah makan. Namun, saat tengah malam hawa terasa panas sekali. Sumi terlihat tertidur lelap. Perut besarnya disanggah dengan bantal mungkin biar terasa nyaman. Aku usap perut Sumi dengan penuh kasih sayang, lalu beranjak meninggalkan ranjang berniat untuk salat Isya yang belum sempat dilakukan karena tertidur.

"Klotak ... klotak ... dert ... dert ....

Lemari pakaian yang berada tepat di hadapanku tiba-tiba berguncang. Aku  menunda menuju kamar mandi dan membuka pintu lemari khawatir ada tikus yang masuk ke dalamnya. Sesuatu bergerak-gerak dari balik tumpukan pakaian. Aku teringat di sanalah menaruh amplop yang berisi uang pemberian Mas Gondo.

Perlahan aku singkap tumpukan baju. Amplop yang berisi uang terlihat berdenyut-denyut, segera kuraih dan kubuka.

"Astagfirullah, aaakh!" Aku lemparkan amplop tersebut ke lantai setelah melihat isinya. Lembaran uang telah berubah menjadi potongan jari-jari berdarah yang bergerak tak beraturan, merayap kian kemari. Beberapa mulai mendekatiku yang berdiri kaku mematung.

Mendengar teriakan, Sumi terbangun.

"Ada apa Bang?" tanyanya seraya turun dan melangkah mendekatiku yang diam terpaku di depan lemari.

Aku tertegun saat melihat potongan jari-jari tadi kini sudah berubah menjadi uang kembali dan berserakan di lantai. Sumi berjongkok hendak merapikannya, tetapi aku langsung melarangnya menyuruh Sumi untuk kembali tidur.

Setelah merapikan uang aku menuju kamar mandi, berwudu dan melaksanakan salat sesudahnya tertidur kembali, walau masih ada perasaan khawatir uang tersebut akan kembali menjadi potongan jari dan menelusuri tubuhku. Hingga semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak.

Wajah sembab, kepala pusing, kurang tidur, membuatku hanya duduk di teras rumah setelah salat subuh dan mandi. Untung saja Sumi sangat pengertian sekali, disediakannya segelas kopi hitam dan pisang goreng untuk menemaniku.

"Maaf, bang, semalam uang banyak begitu, uang apa ya?" tanya Sumi sambil menyiram tanaman bunga yang menjadi salah satu hobinya. Mendengar pertanyaan Sumi, aku terdiam sesaat bingung apa yang harus aku katakan.

"Bang, kok diam saja?" Sumi bertanya kembali. Kini dia menghentikan kegiatannya dan duduk di samping ku. "Aah ... uang dari perusahaan, tetapi aku juga belum jelas uang untuk apa. Hari ini abang akan ke kantor, Pak Manajer akan menjelaskannya. Pokoknya uang itu jangan kamu sentuh dulu, ya Sayang. InsyaAllah hari ini abang sudah gajian kok, nanti kamu ambil saja di ATM, minta temani sahabatmu, si Tini, ya," ucapku sambil menekankan kata. Khawatir Sumi membuka amplop itu dan isi amplop berubah kembali menjadi potongan jari berdarah.

Aku menuju jalan utama mencari kendaraan umum untuk membawa ke perusahaan. Kendaraan lalu- lalang, ramai sekali. Seakan berlomba siapa yang tercepat di jalan raya. Setelah menunggu beberapa saat angkutan kota yang kunanti telah tiba. Perjalanan dari rumah menuju perusahaan memang tidak begitu jauh, hanya membutuhkan sekali naik saja dengan kendaraan umum, tetapi namanya ibukota yang macet membuat perjalanan sedikit lambat. Aku tertegun saat kendaraan tiba di lampu merah. Tepat di samping, berhenti juga sebuah truk. Ban besar dengan sedikit berlumuran tanah. Mataku terbelalak saat melihat di sela-sela ban rambut panjang menjuntai. Merasa ada yang salah dengan alat penglihatan, aku mengusap mata dan memejamkannya sejenak, berharap yang di lihat salah, tetapi bukannya menghilang kini pemilik rambut panjang itu menampakkan diri.  Wajah berlumuran darah dengan mata merah menatap tajam. Untung lampu merah segera berganti hijau sehingga menyelamatkanku dari pemandangan yang mengerikan

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status