Setelah berjalan dan berbincang-bincang cukup lama, ketiga orang tersebut berhenti di pinggiran desa, di sebuah batang pohon yang roboh dekat dengan gapura masuk desa. Mereka duduk berjajar untuk menghilangkan penat.
"Hai Bagaskoro, apakah engkau sebelumnya pernah belajar tentang seni bela diri?" tanya Guru Mada. "Belum pernah, bahkan tidak pernah terpikirkan olehku untuk mempelajari ilmu bela diri," jawab Bagaskoro sembari menelantangkan kakinya."Apakah engkau punya keinginan untuk mempelajari ilmu bela diri?" tanya Guru Mada dengan tatapan penuh keyakinan kepada Bagaskoro.Guru Mada sangat yakin, bahwasanya Bagaskoro akan mengiyakan pertanyaannya. Hal tersebut sudah diperkirakan oleh Guru Mada, karena bagaimanapun Guru Mada melihat ada percikan amarah dan sebuah tekad yang kuat dari mata Bagaskoro."Entahlah, aku bahkan tidak pernah tertarik untuk mempelajari ilmu bela diri sebelumnya," jawab Bagaskoro dengan keyakinan penuh. Guru Mada sontak terkejut mendengarnya, karena ia dapat melihat dan merasakan suatu tekad yang luar biasa dari Bagaskoro. Guru Mada menjadi sangat kecewa namun kekecewaanya itu tidak ditampakkannya, ia hanya memendamnya dalam sanubarinya saja."Namun setelah apa yang terjadi, kurasa mungkin tidak ada salahnya untuk mengerti dasar-dasarnya," sambung Bagaskoro.Guru Mada yang mendengarnya nampak begitu bahagia. Kekecewaan yang dirasakannya dalam hati sebelumnya, sirna seketika. Tanpa membuang waktu lagi, Guru Mada pun berniat untuk mengatakan niatnya kepada Bagaskoro.Namun tidak lama setelah itu, Bagaskoro tertidur pulas di atas rerumputan. Guru Mada dan Bajulgeni hanya bisa tertawa geli melihatnya, karena bagaimanapun juga Bagaskoro masihlah seorang bocah.Melihat Bagaskoro yang telah tertidur, memberi manfaat kepada Guru Mada. Hal itu dikarenakan beliau ingin meminta pendapat dari Bajulgeni terkait keinginannya tersebut."Bajulgeni, bagaimana kalau aku katakan saja niatanku kepada Bagaskoro, aku dapat melihat tekad dan keinginan luar biasa yang terpancar darinya," Tutur Guru Mada kepada Bajulgeni. Bajulgeni sebenarnya juga merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh gurunya. Hanya saja menurutnya hal tersebut dapat menimbulkan gejolak kesalahpahaman kepada Bagaskoro."Apakah sudah tepat jika sekarang Guru Mada memberitahukan hal yang sebenarnya kepada Bagaskoro. Guru harus mengingatnya bahwa, pemuda itu baru memiliki niat untuk mempelajari bela diri karena ia merasa harus menjadi kuat. Bahkan Guru sendiri juga berpikir begitu bukan?" dengan menimbang dari segala hal, Bajulgeni mengungkapkan apa yang ia rasakan."Aku tahu, kelihatannya ini berlebihan, namun bagaimanapun juga, aku mempunyai firasat, kalau aku mengatakannya kelak, dia akan merasa kecewa karena dikhianati, hak tersebut justru akan berdampak buruk terhadap semua usaha yang kita lakukan." Tegas Guru Mada kepada Bajulgeni. Seketika Bajulgeni memikirkan dalam-dalam ucapan gurunya tersebut. Lebih dari itu sebenarnya Bajulgeni masih belum setuju dengan keinginan gurunya, sekalipun ia masih memikirkan betul-betul ucapan gurunya tersebut.Karena hal tersebut bukanlah hal yang sepele, ditambah hal tersebut juga akan memberikan dampak kepada Kerajaan Nusa. "Kurasa yang guru katakan memang sepenuhnya benar, akan tetapi apakah bijak mengatakan hal itu sekarang. Apakah itu tidak akan menimbulkan gejolak di hati Bagaskoro, belum lagi keinginan guru tersebut juga berada di luar pemikiran Bagaskoro tentang seni bela diri." dengan menghembus nafas pelan-pelan, Bajulgeni mengucapkan secara tersirat ketidaksetujuannya."Hal seperti ini memang sulit, tapi apa jadinya kalau di masa depan aku baru mengatakannya?" Tanggap Guru Mada dengan rasa bingung."Bagaimana kalau begini, Tuan Guru katakan saja kepada Bagaskoro kelak dikala ia sudah mumpuni menguasai seluruh dasar ilmu bela diri." Bajulgeni mencoba memberi saran, yang dirinya sendiri sebenarnya masih bingung apakah saran itu tepat atau tidak.Perdebatanpun terus terjadi antara keduanya. Tak lama kemudian, Bagaskoro mulai membuka matanya, ia merasa sudah cukup istirahat. Melihat Bagaskoro yang sudah bangun, Guru Mada dan Bajulgeni memilih untuk segera menghentikan perdebatan mereka. Setelah dirasa hari cukup terik, mereka bertiga pun memilih untuk kembali ke tenda. Tak lupa dalam perjalanan menuju tenda mereka mengumpulkan kayu kering dan menangkap beberapa hewan liar yang berkeliaran untuk makan siang.Sesampainya di tenda, Bagaskoro, Guru Mada, dan Bajulgeni segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah selesai membersihkan diri mereka bertiga membagi tugas. Bagaskoro bertugas membersihkan ruangan yang digunakan untuk makan sembari menyiapkan peralatan makan yang dibutuhkan. Sementara Guru Mada dan Bajulgeni memasak hewan buruan."Guru, aku sudah selesai membersihkan ruangannya!" teriak Bagaskoro. "Baguslah kalau begitu, cepatlah kemari untuk membantu memasak," ujar Guru Mada.Bagaskoro segera berlari keluar menuju dapur yang dipersiapkan di luar tenda. Ia mencium aroma yang sangat harum dari tungku masak."Bau apa ini guru? Baunya harum sekali," gumam Bagaskoro. "Ini adalah Kijang yang dimasak menggunakan minyak kelapa," jawab Bajulgeni."Kijang? apa itu? Bukankah yang dimasak adalah rusa?" ujar Bagaskoro keheranan. "hahahaha... bukan.. bukan.. ini adalah kijang. Sekilas kijang dan rusa memang nampak sama, namun kijang memiliki ukuran lebih kecil dan dibanding rusa," jaw
"Dahulu, aku persis seperti dirimu Bagaskoro. Aku tidak pernah mengenal apa itu beladiri." Ujar Guru Mada. "Hingga pada suatu saat, pecahlah Perang Dunia Kedua," tambahnya.Guru Mada bercerita sambil menahan kesedihan yang mendalam. Beliau tetap berusaha untuk kuat di depan murid-muridnya agar bisa memotivasi mereka."Di saat perang dunia kedua meledak, umurku masih menginjak 20 tahun, jika umurku saat ini adalah 68 tahun. Maka sekarang adalah 48 setelah terjadinya perang dunia kedua. Tidak seperti sekarang, Kota Bandarmojo yang sekarang mungkin sudah mengalami perkembangan yang lebih pesat dan menjadi kota yang lebih modern dari sebelum terjadinya perang dunia kedua. Sebelumnya kota itu hanya dikenal masyarakat seantero Kerajaan Nusa sebagai pusat ilmu pengobatan dan kesehatan. Sedangkan pusat teknologi masih dipusatkan di kota Raja. Setalah perang dunia kedua berakhir Kota Bandarmojo direnovasi besar-besaran karena kerusakan yang menimpanya begitu parah." Jelas Guru Mada."Guru.. gu
"Sudahlah guru, jika guru menjadi sedih karena menceritakan masa lalu kelam yang guru alami. Sebaiknya guru tidak usah menceritakannya," ujar Bajulgeni."Apa yang dikatakan oleh kakang Bajulgeni itu benar guru. Lebih baik bahwasanya guru beristirahat sekarang ini daripada harus menceritakan masa lalu guru kepada kami. Kami tidak bisa melihat guru bersedih karena kami." tambah Bagaskoro."Aku sangat bangga dengan kalian berdua, kalian mempunyai rasa solidaritas yang tinggi antar sesama. Bajulgeni maupun Bagaskoro, kalian sama-sama hebat. Namun perlu kalian ketahui aku bercerita seperti itu, karena aku curiga, bahwasanya dalang dibalik penyerangan yang terjadi di desa maupun di padepokan dilakukan oleh orang yang sama dalam penyerangan kota Bandarmojo dulu." Tegas Guru Mada.Bagaskoro yang baru bertemu dengan Guru Mada merasa takjub dengan pemikiran Guru Mada. Ia tidak menyangka kalau sang guru sudah berpikir sangat jauh ketika menghadapi suatu masalah. Bagaskoro sontak memantapkan niat
Mendengar cerita dari Guru Mada, Bagaskoro tertegun. Ia tidak habis pikir, diluar sana banyak orang yang rela mengorbankan rasa nasionalisme yang telah tertanam di dalam tubuhnya hanya untuk balas dendam."Mungkin cukup sampai sini dulu, hal yang perlu ku sampaikan kepada kalian. Selebihnya akan aku jelaskan kepada kalian ketika sudah sampai di Padepokan saja," Tutur Guru Mada dengan napas terengah-engah."Baiklah guru!" jawab Bagaskoro dan Bajulgeni hampir bersamaan.Mereka bertiga mulai berkemas dan membersihkan lingkungan sekitar pedesaan. Guru Mada dan kedua muridnya juga tak lupa untuk mencari beberapa tanaman pangan dan obat-obatan untuk dibawa kembali ke lereng bukit."Kita harus membersihkan apa yang perlu, semampu kita saja," Tegas Guru Mada. "Seberapa jauh padepokan guru dari puncak bukit ini?" tanya Bagaskoro. "Mungkin sekitar 2 jam kita akan sampai," jawab Guru Mada.Setelah mempersiapkan semuanya, mereka pun meninggalkan desa dan pergi menuju lereng bukit. Di tengah perja
Setalah Gubuk pertama selesai dibangun mereka segera menata barang-barang yang dibawa ke dalam gubuk. Bagaskoro benar-benar takjub dengan yang dilihatnya, tak pernah ia sangka butuh waktu cukup singkat untuk membangun Gubuk tersebut. Gubuk tersebut terdiri atas 2 kamar berukuran sedang, 1 untuk Guru Mada dan 1 kamar lagi untuk Bagaskoro dan Bajulgeni serta ada ruang pertemuan kecil dan teras."Ohhhh... akhirnya selesai. Kurasa aku akan istirahat dulu," seru Bajulgeni sembari menguap. "Apakah kau juga letih Bagaskoro?" tanya Guru Mada. "Kurasa aku tidak begitu letih Guru, mungkin karena aku cuma mencari bahan-bahan saja, hehehe," ujar Bagaskoro."Baguslah kalau begitu, aku akan menceritakan sedikit kepadamu tentang pencak silat," Ucap Guru Mada. "Apakah ini nanti hanya sebatas teori saja, atau akan ada prakteknya langsung Guru?" tanya Bagaskoro. "Untuk kali ini, aku hanya akan memberimu teori saja, selayang pandang tentang apa itu pencak silat dan beberapa gerakan dasarnya. Mungkin bar
Satu hari pun telah berlalu. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bagaskoro sudah bersiap diri. Ia keluar ke halaman padepokan. Ia sudah mandi, berpakaian bersih dan ia siap untuk melanjutkan pembelajaran kemarin."Aku telah siap untuk latihan hari ini guru!" Ucap Bagaskoro dengan semangat paginya. "Nampaknya kau sangat bersemangat, mimpi apa kau semalam? Hahaha," ucap Bajulgeni. "Hmmmm, mimpi apa ya? Mungkin ini dikarenakan semangat juang anak muda, hehehe," jawab Bagaskoro dengan tertawa renyah.Tak berselang lama, Guru Mada pun keluar. Sang Guru pun nampak semangat tak kalah dari kedua muridnya. Selain itu Guru Mada juga membawa beberapa persenjataan untuk latihan."Ada apa ini, masih pagi sudah ribut?" tanya Guru Mada dengan nada pelan. "Hmm, tidak ada apa-apa Guru, hanya saja aku terlalu semangat hari ini. Aku tidak sabar dengan pelajaran yang guru berikan," seru Bagaskoro.Mata Bagaskoro nampak memperhatikan benda-benda yang dibawa gurunya. Ia melihat dengan seksama setiap alat yan
"Huwaaaaa... jam berapa sekarang? Mengapa sudah tidak panas?" tanya Bagaskoro sembari menutupi uapannya. "Sekarang sudah sore, kelihatannya kita lanjutkan besok saja untuk latihan jatuhannya," saut Bajulgeni."Hah... apa? Sudah sore?" Bagaskoro bertanya-tanya dengan terkejut. "Ya, kau tidur pulas sekali tadi, aku mau membangunkanmu namun dilarang oleh Guru. Guru bilang untuk membiarkanmu tidur saja, karena sekilas nampak kau sangat lelah. Tetapi anehnya kau tidur sembari tersenyum bahagia," jelas Bajulgeni.***"Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu dengan anak yang punya semangat sangat tinggi seperti Bagaskoro," gumam Guru Mada sembari memasak. "Semangatnya bagaikan nafasnya. Selama dia masih bisa menghirup dan menghembuskan udara dia terus bergerak. Baru kali ini aku bertemu dengan remaja seperti itu. Mungkin dia kelak bisa mendamaikan kembali dunia yang tengah berada dalam tanduk kehancuran ini,"Di saat Guru Mada sibuk melamun, panci yang ia taruh di atas tungku tiba-tiba berbu
Keesokan harinya, sebelum matahari menyingsir dari arah timur Bagaskoro sudah terbangun dari tidur nyenyaknya. Kemudian diikuti dengan bangunnya Bajulgeni. Namun sebelum mereka berdua bangun, Guru Mada sudah terlebih dahulu bangun, beliau sedang melakukan pemanasan di lapangan."Kalian sudah bangun, bagaimana kondisi tubuh kalian? Kalian sudah siap untuk berlatih?" tanya Guru Mada dengan semangat paginya. "Ooooo... entahlah Guru, aku merasa masih sangat mengantuk. Namun aku tadi mencoba untuk tidur kembali namun tidak bisa," jawab Bagaskoro dengan terbata-bata. "Itu terjadi karena kemarin kau memfokuskan diri untuk terus membaca. Ya memang, membaca itu tidaklah salah. Akan tetapi, tubuhmu juga punya hak untuk memperoleh istirahat yang cukup," ucap Bajulgeni."Memangnya kemarin malam kalian tidur jam berapa?" tanya Guru Mada. "Seingatku kemarin aku tidur sekitar jam 10 guru, tetapi entah dengan Bagaskoro," jawab Bajulgeni. "Kemarin kalau tidak salah aku tidur di atas jam 12, mungkin se