"Kang Elang masih akan menginap di sini besok kan..?” tanya Sekar. “Maaf, Mbak Sekar. Saya harus melanjutkan perantauan saya besok,” sahut Elang. “Kalau begitu, ini adalah malam terakhir kita Kang Elang sayang,” ucap Sekar sedih, sambil menarik lepas celana pendek dan celana dalam Elang dengan cekatan. “Akhs..! Mbak Sekar nakal,” lenguh Elang nikmat. Saat merasakan sesuatu yang kesat, hangat, dan basah, menyapu dan melumat ‘milik’nya dengan lembut. Pada akhirnya Elang harus kembali melayani Sekar, yang bagai kuda binal lepas dari kandangnya malam itu. Berkali-kali Sekar mengejang dan berdesah keras tertahan, karena takut terdengar oleh ibunya. “Akhs..! Kang E..lang, kenapa makin lama makin e..nakss..oughh..!” erang terbata Sekar. Saat kembali tubuh Sekar yang berada di atas Elang bergoyang kencang. Beberapa bulir keringat nampak bergulir di dahinya. Terlihat seksi, saat Sekar sedang berusaha menahan rasa nikmat, yang seolah hendak jebol dari dalam bagian bawah tubuhnya. “Akkh
"Sekar jangan begitu. Jangan memaksakan kehendakmu pada Barja, jika kau akan kembali padanya. Ibu sungguh tak apa-apa tinggal sendiri, asalkan kalian baik-baik saja. Dan ingat, jangan sampai peristiwa seperti kemarin terulang lagi,” ucap sang ibu, dia tak ingin Barja menerimanya karena terpaksa. “Saya rasa hari ini semua masalah dalam rumah tangga Mbak Sekar akan terpecahkan. Dan saya merasa ikut gembira karenanya. Namun perantauan saya masih jauh dan panjang. Untuk itu saya mohon pamit pada Ibu dan juga Mbak Sekar. Saya akan melanjutkan perjalanan saya kembali,” ucap Elang dengan sopan. Sang ibu dan Sekar sontak terdiam, sesungguhnya dalam hati mereka merasa berat melepaskan Elang pergi. Setelah banyak jasa dan kebaikkan Elang, yang telah ditanam untuk mereka berdua. Namun mereka berdua sadar, setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. “Baiklah jika memang itu keinginanmu Elang. Ibu tak bisa menahanmu. Terimakasih atas segala bantuan dan pertolonganmu pada kami Elang. Yang past
Seorang lelaki kecil usia belasan, nampak tengah menggendong seorang anak perempuan di tepi jalan raya. Usia anak perempuan yang digendong itu sekitar 5 tahunan. Wajah anak lelaki itu terlihat sangat lelah dan penat, di terpa matahari senja di kota Gombong. Keringat juga tercetak di bajunya yang lusuh. Kakinya pun menapak tanpa alas di trotoar jalan, yang masih terasa hangat akibat terik di siang hari tadi. “Kita mau ke mana lagi Mas?” tanya Dila, sang adik yang digendongnya. “Mas sendiri nggak tahu Dek. Kita jalan saja mencari warung makan ya,” sahut sang kakak, dengan wajah agak bingung. Ya, sudah hampir 3 hari ini mereka berdua berjalan. Meninggalkan gubuk yang selama ini mereka tempati bersama ibu mereka, di wilayah Purworejo. Setelah ibu mereka meninggal 4 hari yang lalu, akibat penyakit paru-paru yang dideritanya. Maka mereka berdua benar-benar bagai anak ayam kehilangan induk. Bapak mereka bahkan telah mendahului meninggal dunia, tiga tahun yang lalu. Kini mereka adala
“Mas turunin Dila. Dila sudah kuat jalan lagi kok,” ucap sang adik. “Ohh, nama adik cantik Dila ya, kalau Masnya siapa?” tanya Elang, sambil menuntun motornya, menyamai langkah kedua bocah kecil itu. “Saya Supandi, Om, di panggilnya Pandi,” sahut si bocah laki-laki. “Ok, Pandi, Dila. Kita sudah sampai. Kalian cuci tangan dulu di kran situ ya,” ucap Elang sambil menunjuk kran, tempat si tukang sate mencuci alat makannya. “Pak, saya pesan sate ayamnya 3 porsi dan 3 gelas es teh manis ya,” ucap Elang pada pedagang sate itu. “Baik Mas, silahkan tunggu sebentar ya,” ucap pedagang sate, sambil menyiapkan pesanan Elang. Mereka pun menunggu sambil berbincang hangat, wajah Pandi dan Dila terlihat sangat ceria malam itu. “Pandi sudah sekolah belum?” tanya Elang. “Belum Om. Ibu nggak punya uang buat masukkin sekolah Pandi,” sahut Pandi. Teringat sesuatu Elang segera mengangkat ponselnya, dicarinya sebuah nomor, Tuttt...Tuttt..!Klik.! "Halo Elang, di mana kamu Nak?” sahut Bu Nunik di
"Mas Elang ya?” ucapnya ramah, setelah membuka gembok pagar. “Iya Ibu, salam,” ucap Elang sopan. Dia langsung berpikir, tentu bu Nunik telah mengabarkan pada pengelola panti ini. Tentang dirinya yang akan datang malam ini, bersama 2 anak yatim piatu terlantar. Mari silahkan masuk Mas Elang, adik-adik,” ucap wanita itu ramah, sambil mendahului berjalan masuk ke dalam rumah panti. Elang mengamati ruangan dalam rumah itu, yang hampir serupa dengan pantinya dulu. ‘Semoga keadaan di pantiku dulu lebih nyaman dari sebelumnya’, harap bathin Elang. “Silahkan duduk dulu Mas Elang, adik-adik,” ucap wanita paruh baya itu. “Terimakasih Bu,” jawab Elang sopan, sambil mencium tangan wanita agak paruh baya itu. “Terimakasih ibu,” ucap si Pandi, sambil menirukan Elang mencium tangan si ibu. Sementara Dila adiknya masih terdiam menunduk. Dia masih merasa asing dengan keadaan itu. Tak lama muncul seorang anak perempuan berusia belasan seusia Pandi. Dia mengantarkan nampan berisi minuman dan c
'Siapakah orangnya yang telah berkhianat dalam perusahaanku..?!’ tanya bathin Bambang marah, dan merasa sangat penasaran.Bambang bergegas naik ke mobilnya, dan memerintahkan sang sopir untuk cepat pulang kerumahnya. Ya, sudah puluhan tahun Bambang membangun kerajaan bisnisnya dari bawah. Hingga produk-produk hasil karyanya harum di pasaran internasional. Bambang mendirikan usaha pembuatan karya seni, dari kayu-kayu limbah dan kayu-kayu setengah jadi. Untuk kemudian di buat Woodcarving dan Woodpanel, yang bernilai seni dan di gemari di dunia internasional. Relasi-relasi dan pelanggannya juga tersebar seperti dari Spanyol, Belanda, Australia, Jepang, dan beberapa negara lainnya. Bambang bahkan sampai mendirikan dua kantor cabang di bawah PT. Jogja Berkarya, guna memenuhi order-order yang terus membanjir baik di dalam dan di luar negeri. Omset totalnya perbulan bahkan bisa mencapai ratusan miliar rupiah, dengan persentase profit dan benefit yang menggiurkan.Orang-orang awam menjul
"Halo Kang Elang. Di mana sekarang posisi Akang ?” tanya Sekar. “Saya di Jogja sekarang Mbak. Bagaimana kabarnya di sana ?” sahut Elang sambil balas bertanya. “Kang Elang. Marini dan Jaka sudah berhasil di tangkap polisi kemarin sore. Mereka berdua sedang menuju ke Desa Gunungsari, bersama orang bayarannya saat di tangkap. Marini mengalami keguguran, karena jatuh saat berusaha melarikan diri dari penangkapan polisi, Kang. Sedangkan Kang Barja sudah meminta Sekar kembali ke rumah. Bahkan dia sendiri yang mengajak Ibu, ikut tinggal bersama di rumahnya. Besok rencananya Sekar dan Ibu akan dijemput Kang Barja, dan akan mulai tinggal di rumahnya,” ucap Sekar, menceritakan kejadian yang dialaminya di sana. “Syukurlah Mbak Sekar. Saya ikut bahagia mendengarnya,” ucap Elang senang. “Kang Barja juga titip salam buat Kang Elang. Dia sangat kecewa, ketika tahu bahwa kang Elang sudah pergi,” ucap Sekar. “Baiklah. Salam kembali buat Kang Barja ya,” ucap Elang. “Kang Elang, Sekar kangen sa
“Tarjo! Beri dia peringatan..!!” seru sang pengemudi kesal. ‘AB 7375 N’ bathin Elang, menghapal nomor plat mobil yaris hitam itu. Dia terus mengekor yaris hitam tersebut. Tarjo membuka kaca jendela belakang mobil sebelah kiri. Kepalanya melongok keluar jendela, lalu tiba-tiba tangannya keluar dan mengarahkan sebuah pistol ke arah Elang. Elang yang berada sekitar 15 meter di belakang mereka agak terkejut, lalu dia langsung mengegoskan motornya ke kanan, bertepatan dengan...Dorr..!Pistol Tarjo menyalak namun meleset, Elang sudah lebih dulu bergeser ke sebelah kanan belakang mobil. ‘Hhh..! Mudah-mudahan ini tak membahayakan si gadis itu', bathin Elang, sambil diam-diam dia menerapkan aji Lindu Sukma tingkat 2 nya. Lalu Elqng memusatkan energi di kaki kirinya. Karena cukup berbahaya, jika dia membiarkan dirinya terus menjadi target tembak penumpang yaris hitam itu. “Bodoh kau Tarjo..! Menembak segitu dekat tak kena..!” seru Kelik, temannya yang duduk di ujung kanan. Tarjo dan Kel
"Bedebah..! Mereka pasukkan kerajaan Dhaka.! Sepertinya ada yang berkhianat dan memberitahukan lokasi markas kita! Ini pasti Nalika! Keparath!" seru murka Bhasuta, seraya menuduh Nalika sebagai pengkhianatnya. Ya, otak Bhasuta yang cerdik segera mengarahkan dugaannya pada Nalika. Karena memang hanya Nalika, satu-satunya orang diluar pasukkannya, yang mengetahui lokasi markas pasukkannya itu. Dan hal itu memang tak salah adanya..!"Bedebah..! Tahu begitu semalam kuhabisi saja dia..!" teriak Layangseta marah sekali. "Ayo, kita maju bersama..!" seru Bhasuta, seraya melesat ke arah belakang markas. Sementara nampak ratusan kuda masih berlarian kesana kemari, di dalam area markas. "SERANG..!!" Sethh..! Patih Kalagama berseru lantang, seraya mengacungkan kerisnya ke udara. Lalu dia mendahului maju bersama Nalika di sampingnya. "Hiyyaahhh....!!!" Seruan menggelegar ribuan prajurit Dhaka pun membahana, bak gelombang tsunami. Mereka berlarian menyerbu masuk, melalui celah pagar belaka
Matahari belum sepenuhnya terbit, saat pasukkan kerajaan Dhaka tiba, di lokasi belakang markas pasukkan pemberontak. Keadaan di belakang markas itu, masih berupa rerimbunan hutan belantara yang lebat. Disebut sebagai hutan Kandangmayit. Karena memang dalam sejarahnya, hutan itu pernah menjadi tempat pertarungan antar kerajaan, antar suku, dan juga antar para pendekar. Banyak tulang belulang tengkorak berserakkan di hutan belantara itu. Hal yang dibiarkan begitu saja, dan menimbulkan rasa ngeri dan seram, bagi orang-orang untuk masuk ke hutan itu. Sehingga akhirnya lambat laun, orang-orang terbiasa menyebut hutan itu sebagai hutan 'Kandangmayit'..! Patih Kalagama segera membagi pasukannya menjadi 4 pasukkan. Sebanyak 1200 prajurit masuk dalam pasukkan utama, yang berada di belakang markas. Pasukkan itu dipimpin langsung olehnya dan Elang. Sementara sisanya dibagi menjadi 3 pasukkan, dengan masing pasukkan berkekuatan 600 prajurit. Ketiga pasukkan yang masing-masing dipimpin ole
"Paduka Raja. Hamba dan Nalika sudah mengamati dengan teliti, daerah sekitar markas pasukkan Panglima Api berada. Dan rasanya kita akan bisa mengatasi pasukkan mereka. Jumlah pasukan mereka sebanyak 1700 orang. Mereka juga dibantu oleh beberapa orang tokoh dari rimba persilatan. Dan celah terbaik untuk menyerang mereka, adalah dari arah belakang markas mereka paduka," Elang mengungkapkan hasil pengintaiannya, pada sang Raja beserta jajarannya. "Hmm. Kenapa harus dari belakang Elang..? Bukankah bagian belakang biasanya terpagar rapat..?" tanya sang Raja agak bingung, dengan celah penyerangan yang dikatakan Elang. "Benar Paduka Raja. Bagian belakang markas mereka memang terpagar rapat. Namun hamba akan menjebol pagar itu dengan pukulan hamba. Karena di bagian belakang markas mereka, adalah tempat mereka menambatkan ratusan kuda di sana. Kita bisa menjebol dan mengagetkan kuda-kuda itu, agar mereka berlarian panik ke tengah tengah markas. Dengan melepaskan panah api ke arah kuda, d
"Heii..! Siapa yang bersamamu Nalika..? Aku baru melihatnya," seru bertanya Bhasuta, dengan mata menatap tajam pada Elang. Dia bisa merasakan aura energi Elang, yang dirasanya cukup besar. Susah payah Elang menyembunyikan 'aura power'nya. Namun ternyata masih tertangkap juga oleh mata awas Bhasuta. Elang memang berhasil meredam getar energi dalam dirinya. Namun aura dasar seorang pendekar, yang memiliki power pastilah tetap nampak. Terlebih di mata orang linuwih seperti Bhasuta ini. "Ahh, dia hanya seorang pengawal pribadi yang saya bayar Panglima. Karena disaat genting ini, posisiku cukup rawan di mata pihak istana. Makanya aku harus berjaga-jaga Panglima," sahut Nalika tenang. 'Hmm. Memang masuk akal. Nalika pasti ketakutan jika rahasianya terbongkar oleh kerajaan', bathin Bhasuta, memaklumi alasan Nalika. "Baiklah Nalika. Siapa namamu anak muda?" tanya Bhasuta pada Elang. "Saya Prayoga, Tuan Panglima," sahut Elang, hanya menyebutkan nama belakangnya. "Bagus..! Bantulah Nalik
"Nalika. Sekarang saatnya kita ke berdua ke markas pusat Pasukan Panglima Api, di hutan Kandangmayit. Laporkan saja pada Panglima Api itu, kalau semuanya beres dan sesuai rencana. Sementara aku hendak mengamati dan mempelajari situasi di markas itu. Sebelum penyerangan pasukkan kerajaan Dhaka esok hari," ujar Elang, memberikan arahan. "Baik Mas Elang..!" sahut Nalika patuh. "Para prajurit..! Segera bereskan mayat-mayat pasukan pemberontak itu, dan berjagalah..!" seru Nalika tegas, pada para prajurit yang berada di situ. "Baik Kanjeng Adipati..!!" seru mereka semua. Taph..! Slaph..! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, dan membawanya melesat cepat, menuju ke arah selatan. Dan seperti yang sudah-sudah, Nalika hanya bisa memejamkan matanya. Dia tetap saja masih merasa ngeri untuk membuka matanya, saat dibawa Elang melesat. Dengan kecepatan yang berada diluar nalarnya itu. Dan benar saja, hanya kira-kira 15 helaan nafas saja. Elang sudah menghentikan lesatannya, dan hinggap di
"Ba-baik Mas Elang..! Pengawal..! Tutup pintu ruangan ini..! Jangan biarkan siapapun masuk..! Katakan saja sedang ada pertemuan, bila ada ada teman mereka yang bertanya..!" perintah Nalika, pada para prajurit yang berjaga. "Ba-baik Kanjeng Adipati..!" seru para pengawal itu. Nalika segera menuju ke ruang dalam kadipaten yang merupakan ruang keluarganya, tampak beberapa kamar di ruangan itu. Brethk..! Terdengar suara kain tersobek, di sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. "Keparat bajingan kau..! Belum puas kau menggauli pelayan-pelayan di istana ini..?! Tidakk..!! Mmphh!" terdengar pula teriakkan seorang wanita dalam kamar itu. Ya, rupanya benar, kamar itu adalah kamar Nalika dan istrinya. "Hhh.. hh..! Hahahaa..! Menyerahlah cantik..! Kau milikku malam ini," suara kasar seorang lelaki terdengar, seraya terbahak dengan nafas memburu. Dia baru saja melumat paksa bibir ranum milik Anjani, istri sang Adipati. "Nimas Anjani..!!" Braghk..! Nalika langsung berseru marah, se
"Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika
"Nalika..! Kau sudah dengar apa yang dikatakan Elang. Apakah kau masih hendak berkhianat atau tidak, itu terserah kau..! Namun jangan salahkan pihak kerajaan. Jika sampai seluruh keluargamu kami babat habis..! Kau mengerti..?!" seru sang Prabu, memberikan peringatan keras pada Nalika. "Ba-baik Paduka Prabu! Hamba mengerti," sahut Nalika, terbata penuh rasa gentar. "Pengawal..! Lepaskan ikatannya.!" perintah sang Raja, pada kedua pengawal yang berdiri di belakang Nalika. "Baiklah Paduka Raja. Hamba mohon diri dulu bersama Nalika. Agar kami tak terlalu malam sampai di hutan Kandangmayit," Elang pun pamit undur diri, dari hadapan Raja Samaradewa. "Baiklah Elang. Pergilah dengan restu dariku," ucap sang Prabu. Taph..! Slaphh. ! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, lalu mereka pun langsung lenyap seketika, dari ruang dalem istana. Bagai tak pernah ada di ruangan itu. 'Luar biasa..! Siapa sebenarnya pemuda bernama Elang itu..? Baru kali ini aku mendengar dan melihatnya. Ternyata
"A-ampun Gusti Prabu. Hanya hamba yang berkhianat dalam hal ini. Istri dan putra hamba bahkan telah mengingatkan hamba. Namun hambalah yang berkeras kepala. Panglima Api juga mengancam dan menekan hamba Gusti Prabu. Hingga akhirnya hamba tak bisa menolak, untuk berkhianat terhadap kerajaan," sahut Nalika tergagap, dengan tubuh gemetar gentar bukan main. Namun rupanya dia masih ingat, untuk meminta ampunan bagi anak dan istrinya. "Nalika..! Aku bertanya apa rencana Panglima Api pada kerajaan ini..?! Bukan soal alasanmu berkhianat! Cepat katakan, Nalika..!!" seruan sang Raja Samaradewa memgguntur, di dalam ruangan dalem istana tersebut. Hal itu membuat siapapun yang berada di dalam ruangan tergetar ngeri. Karena sang Prabu, tak sengaja telah mengeluarkan aji 'Sabdo Guntur'nya. Sebuah ajian yang memang rata-rata dimiliki oleh seorang Raja, atau pun pemimpin tertinggi. Ajian yang diperoleh dengan laku bathin yang cukup sulit. "Ba-baik Gusti Prabu. Panglima Api beserta pasukkannya a