Elang pun menerapkan aji 'Perisai Sukma' pada tangannya. Cahaya hijau terang seketika menyelimuti telapak tangannya. Dia hendak menyediakan tangannya itu, untuk menjadi 'sasaran' hantaman. Dari dua hantaman jarak jauh Tantri, dan si pemuda baju putih itu. Sekaligus melerai pertarungan adu energi tersebut. "Maaf, tulangnya berbahaya jika melayang begini, bisa melukai orang lewat," ucap Elang tenang, seraya menggenggam potongan tulang kambing yang agak runcing tersebut. Taph! Brashk..! Blasth..! Dua energi pukulan jarak jauh menghantam tangan Elang. Gelombang dua energi itu pun pecah disekitar tangan Elang itu. Namun tentu saja hal itu tak berpengaruh terhadap tangan Elang, yang sudah terlambari aji 'Perisai Sukma'nya. Sraghk..!! Sosok Tantri dan si pemuda baju putih sama tersentak ke belakang. Namun mereka berdua seolah lepas, dari tindihan energi yang sejak tadi saling mendorong itu. "Ahh..!" sentak kaget Tantri dan si pemuda bersamaan. Mata mereka berdua terbelalak, menatap
"Ahh! Silahkan Gusti Putri Ratih, Tuan Muda silahkan masuk ke dalam. Baginda ada di astana istana dalem. Mari ikuti hamba," sahut sang kepala pengawal hormat. Ya, dia segera mengenali Gusti Putrinya itu. Karena dia memang pernah berkunjung bersama rombongan Rajanya, ke istana kerajaan Kalpataru. Sampailah mereka di depan sebuah ruang megah dalam istana. Pintu masuk ruang itu tidak memiliki daun pintu. Namun dua orang prajurit istana berjaga di depan pintu itu. Kedua prajurit jaga itu memegang tombak serta perisai di tangannya, mereka mengangguk hormat saat kepala pengawal istana datang. Kepala pengawal langsung mengajak Elang dan Ratih ikut masuk bersamanya, ke dalam ruang istana dalem keraton tersebut. Sebelumnya sang Kepala Pengawal sempat menanyakan lebih dulu nama Elang. "Salam Paduka Yang Mulia. Dua utusan dari kerajaan Kalpataru, Gusti Putri Ratih Kencana datang bersama pengawalnya Elang Prayoga," ucap sang kepala pengawal, setelah dia berlutut seraya memberi hormat pada Ra
"Mohon maaf, Paduka Raja. Menurut hamba adalah hal yang aneh, jika seorang Adipati tidak mengetahui persis kejadian ini. Bukankah letak istana kadipaten dan istana kademangan tidaklah terlalu jauh. Wedana Suralaga telah mengatakan pada hamba. Bahwa dia dan keluarganya kini, berada dalam tekanan pasukkan pemberontak Panglima Api itu. Namun dia tetap bersetia pada kerajaan Dhaka. Yang jadi pertanyaan hamba adalah, bagaimana seorang Adipati tidak tahu soal kejadian ini..?!" ujar Elang, seraya menyerukan keheranannya. Dan pancingan Elang pun mengenai sasarannya. "Ampun Paduka Raja. Hei..! Pengawal Gusti Putri..! Apakah kau mencurigai aku berkhianat pada kerajaan..?! Apakah kau bisa mempertanggungjawabkan tuduhanmu itu, jika tak ada bukti..?!" Nalika menghormat terlebih dulu pada sang Raja. Lalu dia berdiri berseru seolah menantang pada Elang, seraya menuding Elang dengan telunjuknya. Emosi Nalika langsung naik ke ubun-ubun, mendengar tuduhan Elang. Yang sesungguhnya memang benar ad
"A-ampun Gusti Prabu. Hanya hamba yang berkhianat dalam hal ini. Istri dan putra hamba bahkan telah mengingatkan hamba. Namun hambalah yang berkeras kepala. Panglima Api juga mengancam dan menekan hamba Gusti Prabu. Hingga akhirnya hamba tak bisa menolak, untuk berkhianat terhadap kerajaan," sahut Nalika tergagap, dengan tubuh gemetar gentar bukan main. Namun rupanya dia masih ingat, untuk meminta ampunan bagi anak dan istrinya. "Nalika..! Aku bertanya apa rencana Panglima Api pada kerajaan ini..?! Bukan soal alasanmu berkhianat! Cepat katakan, Nalika..!!" seruan sang Raja Samaradewa memgguntur, di dalam ruangan dalem istana tersebut. Hal itu membuat siapapun yang berada di dalam ruangan tergetar ngeri. Karena sang Prabu, tak sengaja telah mengeluarkan aji 'Sabdo Guntur'nya. Sebuah ajian yang memang rata-rata dimiliki oleh seorang Raja, atau pun pemimpin tertinggi. Ajian yang diperoleh dengan laku bathin yang cukup sulit. "Ba-baik Gusti Prabu. Panglima Api beserta pasukkannya a
"Nalika..! Kau sudah dengar apa yang dikatakan Elang. Apakah kau masih hendak berkhianat atau tidak, itu terserah kau..! Namun jangan salahkan pihak kerajaan. Jika sampai seluruh keluargamu kami babat habis..! Kau mengerti..?!" seru sang Prabu, memberikan peringatan keras pada Nalika. "Ba-baik Paduka Prabu! Hamba mengerti," sahut Nalika, terbata penuh rasa gentar. "Pengawal..! Lepaskan ikatannya.!" perintah sang Raja, pada kedua pengawal yang berdiri di belakang Nalika. "Baiklah Paduka Raja. Hamba mohon diri dulu bersama Nalika. Agar kami tak terlalu malam sampai di hutan Kandangmayit," Elang pun pamit undur diri, dari hadapan Raja Samaradewa. "Baiklah Elang. Pergilah dengan restu dariku," ucap sang Prabu. Taph..! Slaphh. ! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, lalu mereka pun langsung lenyap seketika, dari ruang dalem istana. Bagai tak pernah ada di ruangan itu. 'Luar biasa..! Siapa sebenarnya pemuda bernama Elang itu..? Baru kali ini aku mendengar dan melihatnya. Ternyata
"Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika
"Ba-baik Mas Elang..! Pengawal..! Tutup pintu ruangan ini..! Jangan biarkan siapapun masuk..! Katakan saja sedang ada pertemuan, bila ada ada teman mereka yang bertanya..!" perintah Nalika, pada para prajurit yang berjaga. "Ba-baik Kanjeng Adipati..!" seru para pengawal itu. Nalika segera menuju ke ruang dalam kadipaten yang merupakan ruang keluarganya, tampak beberapa kamar di ruangan itu. Brethk..! Terdengar suara kain tersobek, di sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. "Keparat bajingan kau..! Belum puas kau menggauli pelayan-pelayan di istana ini..?! Tidakk..!! Mmphh!" terdengar pula teriakkan seorang wanita dalam kamar itu. Ya, rupanya benar, kamar itu adalah kamar Nalika dan istrinya. "Hhh.. hh..! Hahahaa..! Menyerahlah cantik..! Kau milikku malam ini," suara kasar seorang lelaki terdengar, seraya terbahak dengan nafas memburu. Dia baru saja melumat paksa bibir ranum milik Anjani, istri sang Adipati. "Nimas Anjani..!!" Braghk..! Nalika langsung berseru marah, se
"Nalika. Sekarang saatnya kita ke berdua ke markas pusat Pasukan Panglima Api, di hutan Kandangmayit. Laporkan saja pada Panglima Api itu, kalau semuanya beres dan sesuai rencana. Sementara aku hendak mengamati dan mempelajari situasi di markas itu. Sebelum penyerangan pasukkan kerajaan Dhaka esok hari," ujar Elang, memberikan arahan. "Baik Mas Elang..!" sahut Nalika patuh. "Para prajurit..! Segera bereskan mayat-mayat pasukan pemberontak itu, dan berjagalah..!" seru Nalika tegas, pada para prajurit yang berada di situ. "Baik Kanjeng Adipati..!!" seru mereka semua. Taph..! Slaph..! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, dan membawanya melesat cepat, menuju ke arah selatan. Dan seperti yang sudah-sudah, Nalika hanya bisa memejamkan matanya. Dia tetap saja masih merasa ngeri untuk membuka matanya, saat dibawa Elang melesat. Dengan kecepatan yang berada diluar nalarnya itu. Dan benar saja, hanya kira-kira 15 helaan nafas saja. Elang sudah menghentikan lesatannya, dan hinggap di
"Heii..! Siapa yang bersamamu Nalika..? Aku baru melihatnya," seru bertanya Bhasuta, dengan mata menatap tajam pada Elang. Dia bisa merasakan aura energi Elang, yang dirasanya cukup besar. Susah payah Elang menyembunyikan 'aura power'nya. Namun ternyata masih tertangkap juga oleh mata awas Bhasuta. Elang memang berhasil meredam getar energi dalam dirinya. Namun aura dasar seorang pendekar, yang memiliki power pastilah tetap nampak. Terlebih di mata orang linuwih seperti Bhasuta ini. "Ahh, dia hanya seorang pengawal pribadi yang saya bayar Panglima. Karena disaat genting ini, posisiku cukup rawan di mata pihak istana. Makanya aku harus berjaga-jaga Panglima," sahut Nalika tenang. 'Hmm. Memang masuk akal. Nalika pasti ketakutan jika rahasianya terbongkar oleh kerajaan', bathin Bhasuta, memaklumi alasan Nalika. "Baiklah Nalika. Siapa namamu anak muda?" tanya Bhasuta pada Elang. "Saya Prayoga, Tuan Panglima," sahut Elang, hanya menyebutkan nama belakangnya. "Bagus..! Bantulah Nalik
"Nalika. Sekarang saatnya kita ke berdua ke markas pusat Pasukan Panglima Api, di hutan Kandangmayit. Laporkan saja pada Panglima Api itu, kalau semuanya beres dan sesuai rencana. Sementara aku hendak mengamati dan mempelajari situasi di markas itu. Sebelum penyerangan pasukkan kerajaan Dhaka esok hari," ujar Elang, memberikan arahan. "Baik Mas Elang..!" sahut Nalika patuh. "Para prajurit..! Segera bereskan mayat-mayat pasukan pemberontak itu, dan berjagalah..!" seru Nalika tegas, pada para prajurit yang berada di situ. "Baik Kanjeng Adipati..!!" seru mereka semua. Taph..! Slaph..! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, dan membawanya melesat cepat, menuju ke arah selatan. Dan seperti yang sudah-sudah, Nalika hanya bisa memejamkan matanya. Dia tetap saja masih merasa ngeri untuk membuka matanya, saat dibawa Elang melesat. Dengan kecepatan yang berada diluar nalarnya itu. Dan benar saja, hanya kira-kira 15 helaan nafas saja. Elang sudah menghentikan lesatannya, dan hinggap di
"Ba-baik Mas Elang..! Pengawal..! Tutup pintu ruangan ini..! Jangan biarkan siapapun masuk..! Katakan saja sedang ada pertemuan, bila ada ada teman mereka yang bertanya..!" perintah Nalika, pada para prajurit yang berjaga. "Ba-baik Kanjeng Adipati..!" seru para pengawal itu. Nalika segera menuju ke ruang dalam kadipaten yang merupakan ruang keluarganya, tampak beberapa kamar di ruangan itu. Brethk..! Terdengar suara kain tersobek, di sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. "Keparat bajingan kau..! Belum puas kau menggauli pelayan-pelayan di istana ini..?! Tidakk..!! Mmphh!" terdengar pula teriakkan seorang wanita dalam kamar itu. Ya, rupanya benar, kamar itu adalah kamar Nalika dan istrinya. "Hhh.. hh..! Hahahaa..! Menyerahlah cantik..! Kau milikku malam ini," suara kasar seorang lelaki terdengar, seraya terbahak dengan nafas memburu. Dia baru saja melumat paksa bibir ranum milik Anjani, istri sang Adipati. "Nimas Anjani..!!" Braghk..! Nalika langsung berseru marah, se
"Ahh..!" terdengar seruan Nalika, yang sejak tadi memejamkan kedua matanya. Dia memang sangat terkejut dan jerih, melihat betapa cepatnya lesatan Elang membawa tubuhnya. Suatu kecepatan yang baginya tak mungkin, dimiliki oleh seorang manusia. Dan Elang memang sengaja membawa Nalika, ke tempat sunyi ini lebih dulu. Untuk memberikan sedikit peringatan pada Nalika. Agar tiada lagi 'keinginan' berkhianat di hatinya, terhadap kerajaan. "Nalika..! Inilah yang akan terjadi pada tubuhmu, jika kau berani berkhianat. Kau lihatlah bukit batu di kejauhan itu," seru Elang, seraya menunjuk sebuah bukit batu. Bukit batu itu terletak sekitar ratusan langkah, dari posisi mereka berada. Seth! Daambh..! Elang acungkan genggaman tangan kanannya ke atas, lalu hantamkan kaki kanannya deras ke bumi. Grghks..! Grrghkkh..!! Bumi di sekitar area itu pun berguncang dahsyat bak dilanda gempa. Gemuruhnya bagai puluhan ekor gajah, yang berlarian menabrak pepohonan. "Jagad Dewa Bhatara..!" Seth..! Nalika
"Nalika..! Kau sudah dengar apa yang dikatakan Elang. Apakah kau masih hendak berkhianat atau tidak, itu terserah kau..! Namun jangan salahkan pihak kerajaan. Jika sampai seluruh keluargamu kami babat habis..! Kau mengerti..?!" seru sang Prabu, memberikan peringatan keras pada Nalika. "Ba-baik Paduka Prabu! Hamba mengerti," sahut Nalika, terbata penuh rasa gentar. "Pengawal..! Lepaskan ikatannya.!" perintah sang Raja, pada kedua pengawal yang berdiri di belakang Nalika. "Baiklah Paduka Raja. Hamba mohon diri dulu bersama Nalika. Agar kami tak terlalu malam sampai di hutan Kandangmayit," Elang pun pamit undur diri, dari hadapan Raja Samaradewa. "Baiklah Elang. Pergilah dengan restu dariku," ucap sang Prabu. Taph..! Slaphh. ! Elang langsung menyambar tubuh Nalika, lalu mereka pun langsung lenyap seketika, dari ruang dalem istana. Bagai tak pernah ada di ruangan itu. 'Luar biasa..! Siapa sebenarnya pemuda bernama Elang itu..? Baru kali ini aku mendengar dan melihatnya. Ternyata
"A-ampun Gusti Prabu. Hanya hamba yang berkhianat dalam hal ini. Istri dan putra hamba bahkan telah mengingatkan hamba. Namun hambalah yang berkeras kepala. Panglima Api juga mengancam dan menekan hamba Gusti Prabu. Hingga akhirnya hamba tak bisa menolak, untuk berkhianat terhadap kerajaan," sahut Nalika tergagap, dengan tubuh gemetar gentar bukan main. Namun rupanya dia masih ingat, untuk meminta ampunan bagi anak dan istrinya. "Nalika..! Aku bertanya apa rencana Panglima Api pada kerajaan ini..?! Bukan soal alasanmu berkhianat! Cepat katakan, Nalika..!!" seruan sang Raja Samaradewa memgguntur, di dalam ruangan dalem istana tersebut. Hal itu membuat siapapun yang berada di dalam ruangan tergetar ngeri. Karena sang Prabu, tak sengaja telah mengeluarkan aji 'Sabdo Guntur'nya. Sebuah ajian yang memang rata-rata dimiliki oleh seorang Raja, atau pun pemimpin tertinggi. Ajian yang diperoleh dengan laku bathin yang cukup sulit. "Ba-baik Gusti Prabu. Panglima Api beserta pasukkannya a
"Mohon maaf, Paduka Raja. Menurut hamba adalah hal yang aneh, jika seorang Adipati tidak mengetahui persis kejadian ini. Bukankah letak istana kadipaten dan istana kademangan tidaklah terlalu jauh. Wedana Suralaga telah mengatakan pada hamba. Bahwa dia dan keluarganya kini, berada dalam tekanan pasukkan pemberontak Panglima Api itu. Namun dia tetap bersetia pada kerajaan Dhaka. Yang jadi pertanyaan hamba adalah, bagaimana seorang Adipati tidak tahu soal kejadian ini..?!" ujar Elang, seraya menyerukan keheranannya. Dan pancingan Elang pun mengenai sasarannya. "Ampun Paduka Raja. Hei..! Pengawal Gusti Putri..! Apakah kau mencurigai aku berkhianat pada kerajaan..?! Apakah kau bisa mempertanggungjawabkan tuduhanmu itu, jika tak ada bukti..?!" Nalika menghormat terlebih dulu pada sang Raja. Lalu dia berdiri berseru seolah menantang pada Elang, seraya menuding Elang dengan telunjuknya. Emosi Nalika langsung naik ke ubun-ubun, mendengar tuduhan Elang. Yang sesungguhnya memang benar ad
"Ahh! Silahkan Gusti Putri Ratih, Tuan Muda silahkan masuk ke dalam. Baginda ada di astana istana dalem. Mari ikuti hamba," sahut sang kepala pengawal hormat. Ya, dia segera mengenali Gusti Putrinya itu. Karena dia memang pernah berkunjung bersama rombongan Rajanya, ke istana kerajaan Kalpataru. Sampailah mereka di depan sebuah ruang megah dalam istana. Pintu masuk ruang itu tidak memiliki daun pintu. Namun dua orang prajurit istana berjaga di depan pintu itu. Kedua prajurit jaga itu memegang tombak serta perisai di tangannya, mereka mengangguk hormat saat kepala pengawal istana datang. Kepala pengawal langsung mengajak Elang dan Ratih ikut masuk bersamanya, ke dalam ruang istana dalem keraton tersebut. Sebelumnya sang Kepala Pengawal sempat menanyakan lebih dulu nama Elang. "Salam Paduka Yang Mulia. Dua utusan dari kerajaan Kalpataru, Gusti Putri Ratih Kencana datang bersama pengawalnya Elang Prayoga," ucap sang kepala pengawal, setelah dia berlutut seraya memberi hormat pada Ra
Elang pun menerapkan aji 'Perisai Sukma' pada tangannya. Cahaya hijau terang seketika menyelimuti telapak tangannya. Dia hendak menyediakan tangannya itu, untuk menjadi 'sasaran' hantaman. Dari dua hantaman jarak jauh Tantri, dan si pemuda baju putih itu. Sekaligus melerai pertarungan adu energi tersebut. "Maaf, tulangnya berbahaya jika melayang begini, bisa melukai orang lewat," ucap Elang tenang, seraya menggenggam potongan tulang kambing yang agak runcing tersebut. Taph! Brashk..! Blasth..! Dua energi pukulan jarak jauh menghantam tangan Elang. Gelombang dua energi itu pun pecah disekitar tangan Elang itu. Namun tentu saja hal itu tak berpengaruh terhadap tangan Elang, yang sudah terlambari aji 'Perisai Sukma'nya. Sraghk..!! Sosok Tantri dan si pemuda baju putih sama tersentak ke belakang. Namun mereka berdua seolah lepas, dari tindihan energi yang sejak tadi saling mendorong itu. "Ahh..!" sentak kaget Tantri dan si pemuda bersamaan. Mata mereka berdua terbelalak, menatap