Maharaja Mahendra Wijaya juga telah memanggil ke-5 Raja Wilayahnya. Untuk datang ke Kerajaan Kalpataru, demi membahas sesuatu hal penting. Padahal sebenarnya, Maharaja Mahendra hanya ingin meminta keterangan dari Raja Galuga Dewangga Kusumawhardana. Sehubungan dengan isi 'maklumat'nya, yang dirasa aneh oleh Maharaja Kalpataru itu. Semua pendekar yang mengenal Elang dibuat tak percaya, dengan julukkan yang disematkan pada Elang. Kini hampir semua para pendekar turun ke dunia ramai. Untuk mencari si penyebar daftar di daun lontar itu. Dan tentu saja, Prasti adalah satu-satunya pendekar wanita. Yang paling merasa marah dan penasaran, dengan pembuat daftar di daun lontar tersebut. Karena dia merasa sebagai orang yang paling mengenal siapa Elang. Andai Elang memang seorang Penjahat Mata Keranjang. Maka pastilah dia telah lama menjadi korban dari Elang, yang sempat mengembara bersamanya. Dia langsung meminta ijin pada Eyang Wilapasara. Untuk turun ke dunia ramai, dan mencari dalang da
Gunung Layang Sukma terletak di sebelah utara wilayah Galuga. Sebuah gunung api aktif, yang memiliki banyak tebing-tebing curam di sekitar lereng-lerengnya. Di sebuah gua, yang berada di tengah tebing curam tertinggi di gunung Layang Sukma itulah, Eyang Guruchakra tinggal. Tebing yang bernama sama dengan gunung itu saking tingginya. Sehingga bisa dikatakan, orang yang terjatuh dari tebing itu, maka pasti nyawanya akan melayang. Sehingga tebing dan gunung itu dikenal dengan nama 'Layang Sukma'. Eyqng Guruchakra teringat akan kejadian semalam, di atas istana Galuga. Penyusup ke keputren itu bukanlah Elang, namun pihak istana rupanya menganggap penyusup itu adalah Elang. Tak disalahkan memang, karena penyusup itu memang menggunakan aji 'Malih Rupa'. Dan Eyang Guruchakra mengetahui hal itu. Karenanya timbul rasa sesal di hatinya. Karena dia tak turun dulu ke istana semalam, dan mengatakan perihal siapa sebenarnya 'penyusup' di keputren itu. Namun bubur tak mungkin menjadi nasi kem
"Nanda Arum. !" seru sang Permaisuri, tak dapat menahan gejolak kecemasan dihatinya. Setengah berlari dia menghampiri putrinya, yang tergolek di atas ranjang pembaringan. Hatinya berdebar cemas sekali. Dan hati sang Permaisuri agak lega, saat mengetahui putrinya masih hidup, dan hanya pingsan tak sadarkan diri. Namun tetap saja hatinya berdebar kencang. Pada saat dia menyaksikan, jika dibalik selembar kain yang menutupi tubuh putrinya itu. Dia sama sekali tak melihat penutup tubuh lainnya. 'Nanda Arum..! Apakah ... apakah kau telah ...' sang Permaisuri tak melanjutkan dugaan jeleknya, walau itu hanya dalam hati. "Kanda Prabu ...." ucapnya lirih, seraya menoleh ke arah sang Prabu, yang juga tengah memperhatikan kondisi putrinya itu. "Dia tak sadarkan diri Yayi. Minggirlah, biar kakanda yang menyadarkannya," ujar sang Prabu, seolah mengerti kecemasan permaisurinya itu. Sang Prabu memang memiliki kemampuan untuk itu. Segera ia menekan sebuah titik, di belakang leher Arum. Lalu dia
"Ahh! Siapa kau..?!" sentak Surapati kaget bukan kepalang. Saat melihat sosok sepuh bermata mencorong tajam, yang seolah telah menunggunya. Yang membuat Surapati lebih kaget adalah, sosok sepuh itu duduk bersila di atas sebuah gumpalan awan. Ya, sosok yang muncul menyelamatkan sang Putri dari 'kewirangan' itu, ternyata adalah Eyang Guruchakra adanya. Sejak siang tadi, di dalam khusuknya bersemedi, Eyang Guruchakra memang mendapat sebuah 'wisik'. Wisik yang mangatakan, bahwa dia harus pergi malam nanti ke istana Galuga. Karena akan terjadi sesuatu hal di sana, yang bisa merusak suratan takdir. 'Guruchakra..! Selamatkanlah Arum Sokawati putri Raja Galuga malam ini, dari 'kewirangan'. Takdirnya kelak adalah melahirkan seorang Raja terbesar di Tlatah Kalpataru. Jangan sampai 'kesucian'nya tercemari, oleh benih manusia durjana yang bukan jodohnya..!' Demikianlah 'suara dari langit', yang di dengar Eyang Guruchakra dalam semedinya siang itu. Hampir saja Eyang Guruchakra mengabaika
"Ada apa Gusti Putri..?!" dayang istana kembali datang, mendekati kamar tuannya. Karena dia mendengar suara ribut yang tak wajar, di kamar tuan putrinya itu. Tak ada jawaban, dayang itu pun nekat masuk. Dan ... Praagh..! Sebuah pukulan jarak jauh Surapati langsung menghantam kepalanya, hingga berderak pecah. Dayang istana itu tewas seketika, tanpa dia sempat bersuara. "Huh..! Kau membuatku terpaksa membunuh orang..!" desis tajam Surapati pada Arum. Sepasang mata Arum terbelalak melihat kejadian itu. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa, karena bersuara pun dia tak bisa. Hanya tatapan penuh keterkejutan dan kebencian, yang kini menyala terhadap Elang. Seolah mewakili rasa amarahnya saat itu. 'Bajingan..! Rupanya aku salah menilainya selama ini..! Ternyata dia hanyalah musang berbulu domba..!' seru bathin Arum, benci setengah mati pada prilaku Elang. Brekkh..! Tak sabar Surapati langsung merobek kain, yang melibat tubuh Arum. Sementara sejak tadi, dia memang telah melihat buah da
"Aih, Kangmas Elang. Biasa saja kok," sahut sang Putri tersipu, dengan wajah merona merah. Hal yang semakin membuat hasrat dalam diri Surapati menggelora melihatnya. "Tidak Putri Arum. Kau memang benar-benar cantik sekali malam ini," ucap Surapati, seraya menatap wajah Arum dengan sangat merminat. Hal yang menambah merah wajah Arum, sang Putri itu kini menundukkan wajahnya tak berani menatap Elang. Malam semakin larut, sementara pengaruh tuak wangi istana juga sudah meraja di kepala Surapati. Sementara Arum memang hanya meminum seperlunya saja, sebagai penghormatan atas kedatangan Elang. "Putri Arum, hari sudah larut malam. Sepertinya aku hendak ke kamarku dulu. Putri tidur di istana inikah, atau di keputren istana..?" ujar Surapati bertanya. Pertanyaan yang sederhana namun menjebak. Karena ada maksud lain di balik pertanyaannya itu. "Saya biasa tidur di keputren Kangmas. Baiklah silahkan Kangmas Elang ke kamar. Saya juga akan kembali ke kamar keputren di belakang istana," sah