Share

Fondasi seorang pejuang dan cerita masa lalu.

Sore hari di dalam hutan.

"Sialan, jika saja aku tidak lupa untuk mengisi ulang anak panahku ke dalam gelang kosmik, mungkin aku tidak akan terpojok seperti ini!" geram Jiro, yang membawa busur panah di tangannya.

Ia saat ini sedang berada dalam situasi antara hidup dan mati. Dikepung oleh puluhan serigala yang ganas, memaksanya untuk berjuang sekuat tenaga agar dapat kabur dari pengepungan.

Salah satu serigala diam-diam menerjang Jiro dari belakang, namun berhasil dihindari oleh Jiro dengan melompat ke samping dan berguling di tanah. Ia lantas menarik tali busurnya dan langsung melepaskan satu satunya anak panah yang tersisa dengan kuat, tepat mengenai jantung hingga menembus perut serigala tersebut.

Pemimpin serigala yang melihat hal itu, lantas melolong marah dan langsung menyerbu ke arah Jiro dan diikuti oleh serigala lainnya.

Saat menyaksikan hal itu, Jiro hanya bisa pasrah dengan keadaan. Dia meletakkan busur panahnya di tanah dan menutup mata, menunggu kematian. Namun sesaat kemudian, terdengar suara sayatan pedang yang membuat Jiro membuka matanya.

Dia melihat sosok wanita dewasa berdiri membelakanginya. Penampilannya bagaikan dewi yang turun ke bumi. Sementara para serigala yang tersisa langsung berlari ketakutan ketika melihat wanita itu membunuh pemimpin mereka dengan sangat mudah.

"Bibi!" Pekik Jiro dengan gembira.

Melihat gerombolan serigala itu telah pergi, Bibi Jiro pun menghela napas lega dan berbalik menghadap Jiro.

"Untung saja ada Bibi, jika tidak—, aduh, aduh, aduh! Sakit, Bi!" Jerit Jiro ketika telinganya di jewer.

"Jika tidak, apa? Hah! Kau selalu saja membuat semua orang khawatir! Jika Bibi tidak datang, mungkin tubuhmu sudah dicabik-cabik oleh para serigala itu!" Bibi Jiro yang biasa dipanggil Bibi Fiona, langsung memarahi Jiro karena sudah bertindak ceroboh.

Bibi Fiona pun membawa Jiro pulang kembali ke desa. Dalam perjalanan pulang, Jiro terus saja mengutuk dirinya yang begitu pengecut karena pasrah begitu saja ketika berada di ambang kematian.

Bibi Fiona melirik ke arah Jiro dan mengerti apa yang sedang dipikirkan olehnya. Ia lantas mendekatkan posisinya ke arah Jiro dan memberikan sedikit pencerahan kepadanya supaya tidak mudah putus asa dan dilema oleh keadaan, agar Jiro dapat menjadi seorang pejuang yang hebat suatu hari nanti.

Pada dasarnya, Jiro akan menjadi tangguh dan berani, jika orang-orang terdekatnya diusik atau berada dalam bahaya. Namun, jika ia hanya sendiri, kehebatan dan keberaniannya akan menghilang dengan sendirinya. Karena Jiro memiliki prinsip 'kekuatan itu hanya untuk menjaga orang yang kusayangi', sehingga ia tidak memperdulikan keselamatannya sendiri.

Di sepanjang perjalanan, Jiro terus mendengarkan perkataan Bibinya dengan antusias. Tatapan matanya penuh dengan tekad dan raut wajahnya menunjukkan ketegasan. Hingga tak terasa kini mereka telah sampai di desa dan segera berjalan menuju rumah.

Sesampainya di rumah, Bibi fiona langsung bercerita kepada Elora, Ibu Jiro. Tentang apa yang terjadi pada Jiro ketika di hutan.

"Begitulah, Kak. Tapi aku sudah memberikan pencerahan pada Jiro saat di perjalanan tadi," ujar Bibi fiona mengakhiri ceritanya.

Elora mengangguk dan menghela napas. Kemudian menatap Jiro, seraya berkata, "Meskipun begitu, Jiro harus tetap dihukum dengan tetap berada di rumah selama tiga hari! Apakah Jiro mengerti?" Elora berkata dengan tegas.

Jiro pun mengangguk mengerti. Dia tidak keberatan jika harus berada di rumah selama beberapa hari. Sebab, setelah mendapatkan pencerahan dari Bibinya, pemahaman Jiro sudah semakin luas. Ia bahkan berencana untuk menghabiskan waktunya selama beberapa hari kedepan dengan bermeditasi, untuk memperkuat hati dan pikirannya, karena itu adalah fondasi utama seorang pejuang hebat.

Setelah obrolan singkat, Jiro memutuskan untuk bergegas mandi agar mereka dapat segera makan malam, karena matahari hampir tenggelam sepenuhnya.

Selesai mandi, Jiro langsung pergi ke dapur untuk menemui ibu dan bibinya. Namun sayangnya, Jiro hanya mendapati ibunya yang duduk di kursi seorang diri.

"Mengapa hanya ada Ibu disini? Kemana Bibi?" Tanya Jiro.

Elora menghela napas dan berkata, "Bibimu sudah pergi, dia dapat panggilan tugas yang mengharuskannya untuk segera pergi."

"Bibi selalu saja begitu!" Gumam Jiro pelan. Namun masih dapat didengar oleh ibunya.

"Sudahlah, jangan menyalahkan Bibimu! Dia melakukan semua itu hanya untuk melindungi desa ini," ujarnya.

Jiro hanya mengangguk lesu dan mulai memakan makanannya.

Setelah selesai makan malam, Jiro tidak langsung pergi ke kamarnya, ia justru tetap duduk di tempatnya sembari menunggu ibunya selesai beres-beres. Setelah selesai membereskan meja makan, ibu dan anak itu pun berpindah ke ruang tengah.

"Mengapa kau terlihat gelisah? Apakah ada yang ingin kau tanyakan?" Tanya Elora penasaran.

"Itu … bisakah Ibu menceritakan tentang ayah padaku? Ibu bilang ayahku adalah pejuang yang hebat dan sangat kuat. Jadi, mengapa ayah bisa meninggal? Apakah lawannya sangat hebat?" Tanya Jiro pada ibunya dengan ragu-ragu.

Elora yang mendapat pertanyaan seperti itu, seketika menghembuskan napas pelan dan berbicara dengan perlahan, "Sepertinya kau sudah cukup dewasa untuk mengetahui hal ini!"

Elora mulai bercerita, tentang tragedi yang terjadi pada delapan belas tahun lalu. Disaat manusia hampir mengalami keputusasaan pada saat masa kekacauan, yang kemudian berubah ketika ayah Jiro datang dan menghentikan kekacauan itu bersama dengan rekannya, Ayah Zia. Hingga pada akhirnya mereka harus mengorbankan diri dengan membawa jutaan ras iblis bersama mereka ke dalam jurang kematian. Juga tentang apa yang dikatakan oleh ayahnya saat kelahirannya. Hal itu membuat Jiro sangat mengagumi ayahnya.

“Apakah Ayah sangat percaya padaku?” tanya Jiro dengan antusias.

Elora mengangguk. “Ya, ayahmu percaya kau akan mampu membawa manusia menuju perdamaian!”

Mendengar hal itu, membuat Jiro semakin bersemangat. Terlihat tekad yang membara di matanya.

“Ayahmu juga pernah menitipkan sebuah kalung pada Ibu, untuk diberikan kepadamu ketika kau sudah dewasa. Sepertinya, ini adalah saat yang tepat untuk memberikannya padamu!” Elora mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari gelang kosmik miliknya. Ia membuka kotak kayu itu dan mengeluarkan sebuah kalung dari dalamnya.

Kalung itu merupakan sebuah kalung liontin, yang mana kalung itu berwarna emas dan liontinnya berwarna putih. Perpaduan warna yang sempurna menjadikan kalung liontin itu terlihat sangat indah dan mewah.

“Ini merupakan kalung kesayangan ayahmu, yang selalu dia pakai dan dijaga dengan sangat baik. Dia berkata bahwa kalung ini merupakan kalung keluarga, yang telah diwariskan secara turun-temurun dari kakek buyutnya.” Elora menjelaskan sembari memberikan kalung di tangannya pada Jiro.

“Hikaru!” gumam Jiro saat melihat sebuah tulisan kecil pada liontin tersebut.

“Itu adalah nama keluarga! Nama ayahmu adalah Hikaru Zhio!” jelas Elora.

Seketika saja Jiro menatap Ibunya dengan tanda tanya. “Ya, nama lengkapmu adalah Hikaru Jiro!” ucap Elora seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh anaknya.

“Apakah ibu juga memiliki nama keluarga?” tanya Jiro penasaran.

“Ya! Nama lengkap ibu adalah mistorin Elora! Dan bibimu juga sama, yaitu mistorin Fiona!” jawab Elora singkat.

“Tapi, ingatlah! Jangan pernah mengatakan nama keluargamu pada orang asing!” tambahnya.

“Kenapa?”

Elora menggelengkan kepala, dan menjawab, “Ibu juga tidak tahu secara pasti. Namun, nama keluarga hanya dimiliki oleh keluarga Zaman dulu dan diwariskan kepada keturunannya. Jika kau ingin mengetahui alasannya, maka kau harus mencari tahunya sendiri!”

Hal itu membuat Jiro semakin penasaran tentang arti dari nama keluarga. Namun, ia juga tidak bertanya lebih jauh lagi pada ibunya.

“cobalah pakai kalung itu! Ibu ingin melihatnya!” pinta ibunya.

Jiro pun tersadar dari pikirannya, dan mencoba memakaikan kalung itu pada lehernya lalu memperlihatkannya pada Ibunya.

“Kau sangat tampan seperti Ayahmu!” puji Elora dengan tersenyum.

Jiro membuat gerakan seperti seorang pejuang pemberani, membuat Elora tertawa saat melihatnya. Ibu dan anak itu bersenda gurau dan tertawa di malam yang tenang itu.

Di salah satu sisi luar pada alam itu yang tertutup oleh segel tersembunyi.

Seorang pria paruh baya berpakaian serba merah, mendekat ke arah segel pelindung yang terlihat transparan itu.

“Ternyata ada tempat seperti ini di wilayah yang terpencil ini!” ujar pria itu.

Ia menatap para bawahannya yang berpenampilan menyeramkan, dengan aura kematian yang keluar dari tubuh mereka masing-masing.

“Saatnya untuk memusnahkan alam ini!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status