LOGIN
Sejak meninggalkan puncak tempat aku dibesarkan, dunia yang ramai kembali terasa bising.
Hari itu, panas terik berganti udara lembap setelah hujan singkat, dan aku berdiri di tepi jalan kota, menunggu taksi yang tidak kunjung datang. Keringat menetes pelan dari pelipisku saat aku memandangi gedung-gedung tinggi yang seolah mengejek kesabaranku. Aku kembali dari medan perang dengan satu tujuan: bertemu Guru dan menggugat semua kebohongan yang ia ciptakan selama lima tahun terakhir. Namun ketika aku tiba, yang aku temukan hanyalah pondok kosong dan sepucuk surat lusuh. Isinya singkat dan sangat menjengkelkan. Guru mengaku telah memberikan liontin giok - satu-satunya petunjuk tentang asal usulku - kepada sebuah keluarga kaya di Havenport sebagai… mahar pertunangan masa kecilku. Dia bahkan dengan santai menulis bahwa calon tunanganku adalah seorang wanita yang luar biasa cantik dan sukses, jadi aku seharusnya bersyukur. Bagian yang paling membuat darahku mendidih adalah pengakuannya bahwa semua gajiku selama aku 'dibohongi' menjadi tenaga medis perang Shadow Strike sudah ia simpan untuk masa depanku. Dalam lima tahun penuh itu, aku tidak pernah melihat sepeser pun. Kalau bukan karena usiaku yang sudah lewat untuk dianggap sebagai murid durhaka, mungkin aku sudah meledakkan pondok itu. “Aku dibesarkan dengan susah payah, katanya,” gumamku kesal. “Bahkan dulu pakaian dalamnya pun aku yang mencucikan.” Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir kekesalan. Tiba-tiba, dari belakangku terdengar suara seorang wanita yang naik nada. “Sudahlah, Ayah! Aku sudah bilang aku punya pacar. Iya, aku dengar. Tetapi aku tidak bisa menikah sendirian begitu saja. Tolong jangan bahas ini lagi!” Aku menoleh sekilas. Wanita itu berjalan cepat sambil memegang ponselnya - langkahnya tergesa, wajahnya terlihat kesal. Rambut panjang berwarna merah anggur tergerai di bahunya, bergoyang mengikuti gerak kakinya. Gaun tipis yang ia kenakan tampak tidak cocok untuk suasana jalan yang cukup ramai. Dia melangkah ke tepi zebra cross tanpa benar-benar memperhatikan kiri-kanan. Dan pada saat bersamaan, sebuah truk besar membelok dari tikungan dengan kecepatan yang sama sekali tidak masuk akal. Refleks mengambil alih tubuhku. Aku menarik lengannya kuat-kuat. Wanita itu terhuyung dan hampir jatuh menubruk dadaku ketika truk itu melintas dengan suara angin yang menggetarkan jantung. WHOOSH!! Sang pengemudi bahkan tidak melambat. “Gila…” gumam wanita itu, wajahnya memucat. Aku baru hendak melepaskan tangannya ketika menyadari sesuatu. Tarikan tadi membuat salah satu tali gaunnya terlepas dan melorot hingga memperlihatkan lebih banyak kulit dari yang pantas untuk di lihat pada siang hari. “Maaf,” kataku cepat sambil menutup pandangan dan mengangkat tanganku setinggi telinga. “Aku tidak bermaksud...” Wanita itu spontan memegang bagian atas gaunnya, wajahnya merah padam. “Aku benar-benar tidak sengaja…” ulangku. Setelah memastikan pakaiannya aman, dia menarik napas panjang, lalu menatapku seolah menilai apakah aku penjahat atau penyelamat. Aku memilih mundur satu langkah, hendak pergi. Namun suara langkah hak tinggi mengejar dari belakang. “Hey! Berhenti.” Aku menoleh. Wanita itu telah kembali tenang dan kini berdiri di hadapanku dengan ekspresi dingin bercampur kesal. “Kau bukan orang sini, kan?” tanyanya. “Kelihatan sekali, ya?” jawabku singkat. Dia tidak membahas soal gaunnya lagi. Justru ia menatapku dari atas sampai bawah, seolah sedang menilai kualitas barang di etalase. “Kau lumayan menarik,” ujarnya datar. “Dan karena kau sudah menyelamatkan hidupku, bantu aku sebentar. Aku akan bayar.” Aku terdiam. “Apa maksudmu?” “Berpura-puralah jadi pacarku selama dua jam. Ada kunjungan keluarga, aku butuh seseorang.” Aku menggeleng. “Maaf, tidak tertarik.” “Sepuluh ribu.” Aku tidak bergeming. Dia menyipitkan mata. “Lima puluh ribu.” Aku terdiam sejenak karena nominal itu jelas bukan uang kecil. Tetapi aku tetap menggeleng. “Ini bukan soal uang. Aku ada urusan...” “Kau melihat tubuhku,” potongnya tanpa malu-malu. Aku langsung menunduk, kelabakan. “Itu kecelakaan! Kau hampir mati, aku hanya...” “Tidak peduli. Kau sudah bikin aku malu. Jadi kau ikut denganku, atau aku akan teriak bahwa kau telah melakukan pelecehan.” Aku menatapnya tidak percaya. “Apa ini cara baru membalas budi?” “Anggap saja begitu,” katanya enteng. Aku akhirnya mendesah panjang. “Baik. Tapi uangnya harus diberikan dulu.” Dia mengeluarkan ponsel, memintaku menyebutkan nomor rekening, dan kurang dari satu menit kemudian ponselku berbunyi menandakan saldo bertambah lima puluh ribu. Wanita itu tersenyum tipis. “Nama?” “Marcus Reed.” “Baik, Marcus,” ujarnya sambil melangkah pergi, memaksaku mengikutinya. “Mulai sekarang, kau adalah seorang eksekutif perusahaan impor-ekspor dari Bayfield. Ayahmu pemegang saham. Namaku Victoria Cross. Di depan keluargaku, kau bisa memanggilku Victoria. Kita bertemu di Silvermont bulan Juni lalu. Sejak itu kita terus berkomunikasi dan akhirnya kita jadian. Sekarang kau sedang dalam perjalanan bisnis dan menyempatkan mengunjungiku.” Dia mengucapkannya lancar seperti membaca skrip drama. Aku hanya mengangguk. “Jadi kita akan ke rumahmu?” “Tidak. Rumah sakit.” Ia membuka kunci mobil Porsche Macan merah yang mengilap. “Kakekku dirawat di sana. Dia tidak pernah berhenti menekanku agar membawa pulang pacar. Kau hanya perlu tersenyum dan tidak banyak bicara. Sisanya biar aku yang urus.” Aku masuk ke kursi penumpang dengan hati yang masih campur aduk. Turun gunung mencari jawaban hidup ternyata justru menjerumuskan diriku ke pekerjaan sampingan sebagai… pacar kontrak dua jam. Bukan awal yang aku prediksi untuk kehidupan baruku. **** Begitu mesin mobil menyala, Victoria menatap jalan di depan dengan santai. “Kau kerja di sekitar area ini?” Marcus yang duduk di kursi penumpang memasang sabuknya sambil menjawab seadanya, “Baru tiba. Ada beberapa urusan keluarga yang harus aku urus.” “Urusan apa itu?” Victoria mengerutkan kening, penasaran. “Keluargaku sudah menjodohkanku. Aku ke kota ini untuk melihat calon pengantin yang katanya sudah dipilih.” Victoria memutar kepala, menatapnya dari ujung mata. “Kau bahkan belum pernah bertemu orangnya?” Marcus menggeleng. “Katanya wajahnya lumayan.” Victoria mendengus pelan. “Zaman sekarang siapa sih yang tidak bisa kirim foto? Kalau keluargamu bahkan tidak memberimu satu pun, pasti ada sesuatu. Menurutku dia jelek, dan keluargamu takut kau kabur sebelum kesepakatan terjadi.” Marcus mengerjap. ‘Apa jangan-jangan benar?’ Urusan uang masih bisa dipertimbangkan, tapi urusan seumur hidup bukan hal sembarangan. Namun ia datang bukan untuk memastikan pernikahan, melainkan untuk mencari cara mendapatkan kembali Liontin Giok itu. “Aku lihat saja dulu. Kalau benar-benar tidak cocok, aku bisa pergi kapan saja.” Victoria mendecak. “Cih, dasar laki-laki!” Nada dering tiba-tiba memenuhi mobil. Nama penelepon muncul di layar digital. Elise. Victoria mengangkat jari ke bibir, memberi isyarat agar Marcus diam, lalu menekan tombol panggil. “Halo, Kak.” Suara perempuan dengan nada jernih terdengar, “Aku dengar Kakek dirawat?” “Iya. Aku sedang menuju ke sana.” “Kirim alamatnya nanti. Aku akan mampir setelah rapat pemegang saham selesai.” Victoria Cross membalas, "Kamu, CEO yang super sibuk, bahkan tidak punya waktu untuk urusan cinta. Bukankah seharusnya kau ada rapat pemegang saham hari ini? Kalau kamu terlalu sibuk, tak perlu repot-repot datang. Ayah dan yang lain ada di sana." “Aku akan menyempatkan waktu. Kirimkan saja alamatnya.” “Baik, Kak.” Panggilan terputus. Marcus berkomentar, “Kakakmu juga belum menikah? Pantas keluargamu cerewet.” Victoria tertawa pendek. “Kakakku itu seperti burung Phoenix yang terbang tinggi. Cantik, cerdas, sukses, semua pria pasti minder. Jadi jangan harap sembarang orang bisa masuk ke hidupnya.”Seorang pria paruh baya berusia empat puluhan memimpin di depan, diikuti dua pengawal yang memapah seorang lelaki tua berambut perak berusia enam puluhan.Wajah lelaki tua itu merah padam, napasnya cepat dan pendek. Tubuhnya bersandar lemah pada pengawal dengan mata terpejam rapat, ia terlihat sangat menderita dan tak berdaya.Ekspresi Gregory berubah tegang. "Tuan Lawson!"Pria paruh baya itu berkata dengan suara berat, "Cepat obati Ayahku! Sembuhkan dia, dan kau akan aku beri hadiah uang satu juta!""Baringkan beliau dulu," perintah Gregory.Setelah lelaki tua itu dibaringkan, Gregory segera memeriksa denyut nadinya. Seketika, alisnya langsung berkerut dalam.Pria paruh baya itu bertanya tidak sabar, "Bagaimana?"Wajah Gregory tampak serius. "Qi dan darahnya kacau balau, kelima organ dalamnya mengalami kerusakan. Apakah beliau mengalami cedera akibat benturan tenaga dalam?"Ekspresi lega terlintas di wajah pria paruh baya itu. "Benar! Kau bisa mengobatinya?"Gregory tersenyum kecut.
Victoria tiba-tiba terdengar kesal. "Kau tidak lupa kalau kita sedang pura-pura pacaran, kan? Berpakaianlah yang rapi, sesuaikan dengan gayaku. Apa itu susah?!" Marcus mengerjap. "Tapi kontrak dua jam kita waktu itu sudah berakhir, kan? Bukannya sekarang kita cuma fokus pada pengobatan Kakekmu saja?" Victoria sebelumnya telah membayar lima puluh ribu agar Marcus berpura-pura menjadi pacarnya selama dua jam, dan kesepakatan itu sudah selesai. Dalam pikiran Marcus, bayaran lima ratus ribu yang ia terima itu, murni untuk biaya medis Tuan Besar Henry. Victoria terdiam sejenak, lalu berkata, "Selama masa pengobatan ini, kau harus terus berpura-pura jadi pacarku. Kalau tidak, sandiwaranya akan terbongkar. Aku bisa bayar lebih, sebut saja harganya." 'Terus berpura-pura jadi pacar?' Apakah dia dianggap aktor profesional? Di satu sisi dia jadi suami kontrak Emma Sterling, di sisi lain jadi pacar pura-pura Victoria Cross? Setelah berpikir sejenak, Marcus berkata, "Lupakan soal uang t
Nyali Nathan langsung ciut. Keringat dingin muncul di dahinya. Ia buru-buru mengambil kembali folder itu dari meja Marcus sambil memaksakan senyum kaku di wajahnya."Salah paham, salah paham. Aku benar-benar ingin membantumu agar cepat memahami bisnisnya. Tapi karena kamu tidak mau, ya sudah. Aku akan kerjakan sendiri..."Marcus Reed menyeringai, tak perlu lagi berpura-pura. Akulah orang dalam yang tertinggi disini! Kalau kau berani, pergilah mengadu pada Emma Sterling!Tidak punya nyali?Kalau begitu diam!Nathan Clark menyelinap pergi, lalu masuk ke kantor Ketua Tim Brett Palmer. Tak lama kemudian, Brett Palmer datang ke meja Marcus Reed membawa folder, wajahnya tegas."Karena kamu menolak bantuan Nathan Clark, berarti kamu sudah cukup familiar dengan bisnis ini. Karena kamu baru datang, rasanya tidak realistis memintamu untuk membuka pasar baru. Folder ini berisi semua data detail peralatan medis yang dijual tim kita, beserta daftar pelanggan yang sudah jadi. Kamu cukup kerjakan da
Setelah selesai mandi, Marcus Reed mengeringkan rambutnya, mengenakan kaus dan celana pendek, lalu naik ke tempat tidur. Ia melirik Emma Sterling yang sedang berpura-pura tidur di lantai. Marcus tak bisa menahan rasa gelinya. Wanita pada umumnya pasti akan memilih tidur di kasur empuk dan menyuruh si pria tidur di lantai. Namun, Emma tanpa ragu menawarkan tempat tidur itu kepada Marcus. Wanita itu mungkin terlihat dingin dan angkuh, tetapi ia bersikap rasional dan memiliki harga diri yang tinggi. Harga dirinya bukan berasal dari kecantikannya, melainkan dari hatinya yang bijaksana. Marcus, yang rambutnya belum sepenuhnya kering, bersandar di kepala tempat tidur dan mulai memainkan ponselnya. Tiba-tiba, Emma berbicara dari lantai dengan suara lirih, "Bisakah kau... tidak menggunakan bathtub?" Marcus terkejut. Nada bicaranya terdengar seperti sedang bernegosiasi? "Baiklah, aku akan pakai shower saja." Emma menghela napas lega. Ia tidak fobia kuman, tetapi membayangkan pria as
"Kakek, ini surat nikah kami." Emma Sterling meletakkan dua surat nikah ke tangan Thomas Sterling, dan Thomas Sterling melihatnya dengan senyum di wajahnya, "Nah, sekarang kalian sudah mendapatkan surat nikah, sekarang kita perlu memilih tanggal untuk resepsi pernikahannya…" Emma Sterling menjawab sambil tertawa, "Kakek, jangan adakan resepsi pernikahan dulu untuk saat ini, lagipula, ini terjadi begitu mendadak. Pertama, akan mudah menimbulkan kritik, dan kedua, Kakek harus memberi kami waktu untuk saling mengenal satu sama lain dan memupuk perasaan, kan?" Thomas Sterling berkedip, tatapannya tertuju pada Marcus Reed, "Marcus, bagaimana menurutmu?" Marcus Reed berkata sambil tersenyum, "Aku setuju dengan pendapat Emma. Selain itu, aku tidak tahu ke mana Guruku pergi. Aku juga bahkan tidak punya orang tua yang bisa menghadiri acara pernikahanku." Thomas Sterling menganggap itu masuk akal, surat nikah sudah didapat, dan mengadakan resepsi hanyalah formalitas, sesuatu yang dilak
"Emma, aku ingin menanyakan sesuatu. Apa kau punya saudari perempuan atau semacamnya..?"Tatapan Emma Sterling tiba-tiba menjadi dua derajat lebih dingin, rasa jijik di dalamnya hatinya membuncah seketika.Melihat kau tak bisa menikahiku, kini kau malah ingin mengincar saudari perempuanku?Pikiranmu benar-benar kotor!Emma Sterling menjawab dengan dingin, "Tidak, aku anak tunggal."'Tidak?'Kalau begitu, Victoria Cross dan Emma Sterling yang mirip bagai pinang dibelah dua itu. Apa mungkin Emma Sterling punya saudari kembar yang hilang tanpa diketahuinya ? Atau itu hanya sekadar kebetulan saja wajah mereka serupa?Marcus Reed merasa aneh dan mulai berusaha menjelaskan, "Emma, aku rasa ada kesalahpahaman di antara kita. Saat itu di pintu masuk perumahan, ucapan yang aku sampaikan padamu, itu karena aku bertemu dengan seorang wanita..."Marcus Reed belum selesai menjelaskan ketika Emma Sterling dengan tak sabar memotongnya dengan nada dingin, "Marcus Reed, hubunganku denganmu tidak lebih







