Itu jelas adalah penawaran yang tidak mungkin dapat Angga abaikan. Agna sudah memberinya lampu hijau, jadi bukankah tidak apa-apa? dia sudah tidak bisa lagi berpura-pura setelah ini.
Tapi tiba-tiba saat tangan Angga hendak menyibak rok yang Agna kenakan. Tangisan bayi memecah keheningan, kencang, dan menggelegar.
Agna sontak menurunkan roknya yang dia singkap sebelumnya, jantungnya berpacu. Napasnya terengah.
“Oh tidak…”
Angga pun beringsut membuat jarak karena terkejut atas apa yang baru saja terjadi. Mereka saling pandang sejenak, ada ketegangan yang menggantung diantara mereka berdua.
Angga hanya bisa diam, matanya masih menatap Agna yang berdiri ragu-ragu untuk menjauh darinya. Dadanya naik turun. Pakainnya sudah berantakan. Memperlihatkan sisa dari pijatan barusan dan baru saja mereka hendak naik ke sesi intim berikutnya.
Tangisan bayi makin nyaring.
Agna menoleh, setengah panik. Meski… ada getaran lain ditubuhnya yang belum hilang.
Angga pun bangkit perlahan dari posisinya. Kecanggungan merebak.
“Agna…” panggilnya pelan.
“Tunggu dulu, biarkan aku mengurus bayiku dulu.” katanya sebelum melangkah menuju ke arah kamar bayi, meninggalkan Angga berdiri sendiri di ruang tengah dalam kondisi tangan dan hatinya masih menggantung.
Angga kini sudah menududukan dirinya di sofa, menyandarkan dirinya di sandaran dengan jari-jari mengepal pelan. Napasnya belum stabil. Warna kulit di ujung jarinya masih terasa hangat— bekas tubuh Agna barusan.
Suara tangisan bayi dari dalam kamar terdengar mulai samar sekarang. Tetapi untuk Angga, yang paling nyaring sekarang justru karena detak jantungnya sendiri. Saat dia nyaris menikmati dia harus rela ditinggalkan. Digantung.
Dia menunduk, menatap sisi kursi yang barusan di duduki oleh Agna. Masih ada lekukan kecil dari tubuhnya, aroma tubuh Agna –kehangatan air susunya, kulit, dan sedikit peluh— segalanya masih mengambang di udara.
“Apa tadi aku sudah kelewatan ya?” pikir Angga seraya menutup wajahnya dengan tangan. Dia bisa mencium aroma natural air susu wanita itu disana. Sial. Isi kepalanya benar-benar sudah berkabut sekarang.
Tadi itu nyaris saja, karena Agna sudah begitu dekat, begitu terbuka. Dan ketika dia melihat sisi dari dirinya yang hanya diketahui oleh suami wanita itu. Angga ingin seluruh dunia langsung menghentikan waktu dekti itu juga.
Keterbukaannya pada Angga, cara wanita itu memandangnya, dan tarikan napasnya. Jelas mengindikasikan bahwa dia membutuhkannya. Dia mengizinkannya.
Dan Angga punya kesempatan untuk menjamahnya.
Bukan hanya tubuh Agna saja yang membuatnya terpikat, tetapi memang dulu sekali Angga pernah merasakan adanya ketegangan aneh yang tersembunyi di antara mereka. Sejak dia resign, dan interaksi diantara mereka tidak terlalu intens. Lalu berlanjut dengan keputusannya menikah. Dia dan Agna terpisah secara fisik dan energi.
Tapi tadi, untuk sesaat… dia rasa Agna nyaris membiarkan dirinya tenggelam. Dia memberi kesempatan pada Angga untuk membelainya dirinya yang kesepian. Mungkin suaminya tak cukup memberinya kepuasan.
“Sialan,” bisiknya sambil memejamkan mata.
Agna memintanya menunggu, walaupun Angga tidak tahu akan seperti apa kelanjutannya. Tapi dia tahu satu hal:
Masih ada kesempatan untuk melanjutkan petualangan yang terjeda.
***
Agna menatap bayinya yang akhirnya terelelap kembali. Napas mungilnya naik-turun perlahan, tangis telah mereda yang tersisa hanya desahan halus yang menandakan dunia kecilnya telah tenang kembali.
Namun di dada, Agna sekarang justru malah diterpa badai yang baru saja dimulai.
Dia menyandarkan punggungnya pada dinding kamar. Jantungnya masih berdetak cepat. Bukan karena tangis bayinya, tetapi karena… Angga.
Tatapan pria itu tadi…
Sentuhannya…
Hela napasnya yang hangat saat dia memainkan miliknya…
Semua itu belum selesai.
Dan Agna tidak ingin semuanya selesai seperti itu.
Dia kemudian mulai melepaskan satu persatu kain yang menutupi tubuh. Ini memang keputusannya, alasan sebenarnya kenapa dia menyewa pria itu. Dia butuh perhatian dan sentuhan karena suaminya sudah jarang memberikan apa yang dia inginkan. Dia sudah terlalu kesepian, sejak bayinya lahir hingga sekarang.
Agna pun kemudian berdiri di depan cermin di kamar tersebut sambil menggigit bibir bawah. Matanya menatap bayangan dirinya sendiri. Payudaranya yang penuh karena sedang dalam masa menyusui, lingkar tubuhnya yang belum kembali ramping, stretch mark sebagai bukti dirinya adalah seorang ibu yang telah melahirkan. Agna berharap ada sisi dari dirinya yang masih diinginkan, dan Angga jelas memberikan tanda bahwa pria itu menginginkannya.
Dia menghela napas lalu membuka pintu kamar tanpa suara, dan mulai melangkah keluar.
***
Angga masih duduk di sofa, isi pikirannya yang rumit membuat pria itu terlihat pening. Tetapi sekali lagi dia kembali bersemangat tatkala melihat sosok Agna yang muncul dari balik pintu kamar yang semula tertutup rapat.
Langkahnya pelan, ringan, hampir seperti melayang.
Dan yang membuat kedua mata Angga melotot segar adalah fakta bahwa wanita itu keluar dari sana tanpa mengenakan pakaian sama sekali. Dia berjalan dengan kedua tangan yang menutupi bagian dirinya yang paling privat meski upaya itu terbilang percuma..
Payudaranya yang padat tampak mengintip dari tangannya yang tersilang, pemandangan yang jelas tidak akan Angga hapus dari memori hidupnya. Terlalu indah dari bayangannya.
Agna tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri disana, mata mereka bertemu. Tapi Angga bisa melihat ada semburat merah yang menjalar di pipi sampai ke telinga. Angga tahu wanita itu malu, tetapi dia juga menginginkannya.
Untuk sesaat, waktu terasa terhenti. Angga menikmati apa yang tersuguh di depan mata tanpa jeda seperti ini. Sampai akhirnya Agna sendiri yang memecah keheningan.
“Tadi kita belum selesai kan, Aang? Masih mau?” katanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Suara itu jelas bukan suara layaknya seorang junior yang Angga kenal, tetapi suara seorang wanita yang membutuhkan perhatian dan pelayanan.
Persetan dengan fakta bahwa Agna sudah menikah dan punya anak. Persetan dengan bantuan pijak laktasi. Mereka sudah terlalu jauh tadi, dan Angga juga butuh pelepasan. Mereka saling membutuhkan, walaupun sekarang rasanya dia benar-benar sesuai dengan apa yang Doni harapkan. Dia betulan seperti seorang gigolo yang dipesan untuk memuaskan hasrat perempuan binal.
Tanpa bicara Angga bangkit perlahan, dia bawa tubuhnya mendekat. Kemudian saat hanya ada jarak tipis diantara mereka, pria itu berlutut mensejajarkan dirinya tepat di tangan Agna yang menutupi miliknya.
Angga menyingkirkan tangan itu dan kemudian mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat, hidungnya nyaris menyentuh lipatan basah Agna. Dia bisa mencium aroma unik yang menguar dari sana. Campuran memabukan dari aroma musk alami dan sesuatu yang jauh lebih manis dari yang dia telah coba sebelumnya. Hal yang membuat mulutnya berair.
Agna bisa merasakan kakinya sedikit bergoyang ketika pria itu mengendus vaginanya. Mencipta gelenyar asing yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kalau begitu selamat makan,” kata Angga setengah menggeram sebelum membenamkan wajahnya dicelah basah nan menggoda dihadapannya.
Riri melangkah masuk ke dalam kedai dan langsung mengedarkan pandangannya mencari seorang pria yang beberapa saat lalu menghubunginya untuk bertemu.“Mencari seseorang, Kak?” seorang pramusaji bertanya padanya.Riri menganggukan kepala. “Ya, temanku. Dia mengajakku bertemu disini tetapi sepertinya dia belum datang,” kata Riri menjelaskan.“Mungkin dia terlambat, Kakak bisa duduk dulu sambil menunggu temannya datang,” saran si pramusaji sambil memberi Riri isyarat untuk mengikutinya lalu dia pun di tempatkan di sebuah meja yang berada cukup dekat dengan jendela agar Riri bisa memantau kedatangan Angga juga supaya lelaki itu bisa langsung melihatnya kalau dia datang.“Terima kasih,” kata Riri kemudian.“Mau pesan sesuatu dulu sambil menunggu?” kata si pramusaji lagi setelah Riri duduk nyaman di kursi. “Kami menyediakan banyak hidangan manis yang enak untuk teman minum teh.”Tentu saja Riri tahu itu karena ini kali keduanya, jadi pada akhirnya Riri putuskan untuk memesan teh hangat dan s
Angga tahu bahwa suaranya menggapai wanita itu tadi, tetapi nampaknya dia memilih untuk abai. Dia bergeming dan meneruskan langkahnya tanpa menoleh sedikit pun pada Angga. Memang seharusnya begitu. Yang tidak lazim adalah dirinya yang masih saja bereaksi padahal wanita itu sudah memutuskannya dengan kejam. Aneh baginya untuk berperilaku seperti pecundang begini gara-gara perempuan.Menyadari ekspresi murung Angga, Riri kontan mengulurkan tangannya guna menggenggam erat jemari Angga yang perhatiannya teralihkan oleh kehadiran si mantan. Memberikan dukungan tanpa kata terhadap pria yang dia cinta. Dia hanya bisa menghela napas, dia pikir segalanya akan berubah seiring waktu. Tetapi setiap kali mereka tidak sengaja berpapasan dan bertemu meski tidak direncanakan Angga selalu saja bersikap demikian. Suasana hati lelaki itu sudah pasti kembali tak karuan karena kemunculan wanita itu disini.“Sebaiknya kita pulang,” kata Angga kemudian.“Tidak, Angga. Kalau kita pulang kau pasti akan kembal
Pagi itu, Riri tidak dibangunkan oleh dering nyaring dari jam weker berbentuk hello kitty kesayangannya. Melainkan oleh benda elektronik berwarna purple metallic yang dia letakan di atas nakas di samping ranjang sebelum dia tidur semalam. Dengan kantuk yang masih menggantung di matanya, wanita berambut hitam tersebut meraih ponsel yang berdering nyaring tersebut tanpa melihat siapa yang memanggilnya di pagi buta.“Ya, Hallo?”“Selamat pagi, Riri.” Suara dari si penelepon langsung secara kontan membuat seluruh kantuk yang ada di matanya hilang seketika. Dia menarik ponsel tersebut dari telinga untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi sekaligus mengkonfirmasi kalau dia tidak salah dengar. Dan ternyata memang benar, dia tidak salah menduga. Kontak yang dia namai dengan Calon pacar tertera di layar ponselnya.“Angga?”“Ya, ini aku.”“Ada apa menelepon pagi-pagi begini?”“Aku cuma mau mengucapkan selamat pagi,” jawab lelaki itu yang seketika membuat senyum Riri merekah dan tentu s
Sinting betul! Akal Angga seakan sengaja dibuang jauh-jauh oleh dirinya sendiri.“Angga sudah… nghhh!”Larangan Nana sudah Angga hiraukan, karena kini jari Angga baru saja meluncur dengan mudah ke dalam liang belakangnya. “Gampang juga masuknya, kau memang suka kalau aku sentuh disini kan?”Kedua mata nana rasanya bergulir ke belakang, tidak menyangka dengan sensasi menyenangkan yang bisa dia dapat akibat dari sumpalan jari Angga pada liang belakangnya. Lidahnya pun bahkan menjulur ke luar memperlihatkan seberapa hilang akalnya. Berusaha sebisa mungkin menata kewarasana karena bila tidak, dia bisa keluar lagi akibat nikmat yang diberi Angga.“Angga, jangan gila. Aku sudah lama tidak disentuh disana, kurasa tidak akan muat.” Jari yang tengah bermain di dalam mulai keluar masuk berusaha menggoda, membuat Nana mengerang kian terangsang.“Kau pembohong, Tante Nana. Buktinya jariku gampang keluar masuk.”Gilanya Angga malah semakin liar bergerak di dalam, ujungnya menekan ke atas mengenai
Nana menjerit kencang kala Anggamenusuknya semakin dalam, pangkal milik si pemuda jelas sekali tercetak pada perutnya yang rata. Nana bergetar hebat menahan nikmat dengan mata yang bergulir ke belakang, berapa kalipun keduanya berhubungan badan, Nana tak pernah terbiasa dengan bagaimana kuatnya si pemuda kala menyiksa titik nikmatnya.Angga kini bertumpu dengan lututnya sebagai penyAnggatubuh, pinggang ramping Nana digenggam tangan besarnya erat, Angga mengangkat pinggul si wanita lebih tinggi, membuat hujamnya kian mantap menancap. Nana mengerang sakit bercampur nikmat, liangnya nyaris hancur karena ditusuk terlalu dalam.Tubuh Nana melenting cukup tinggi, kakinya lurus dengan ibu jari yang seperti menunjuk sesuatu. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri tak kuasa menahan sensasi menyiksa di dalamnya, tangan lentik berusaha menghentikan Angga yang malah menekan perut bagian bawahnya, berusaha mendorong pelepasan si wanita agar segera dibebaskan."Ngaaahhh Anggaaahhhhh!!"Angga men
Angga menganggukan kepala dengan mulut yang sudah tersumpal dengan celana dalam merah sang wanita. Nana sendiri sebagai si pelaku merasa bahwa pemandangan di hadapan matanya sekarang adalah hal yang membuat vaginanya mulai berkedut dan mengeluarkan banyak lendir.Dua tangan Nana kini meraih tegang milik Angga di bawah sana, seketika tubuh sang lelaki berjengit seperti tersetrum. Jemarinya lihai mengurut secara perlahan dengan cara yang paling gila sampai Angga rasanya tidak akan sanggup kalau harus menahan suara dan juga pelepasannya.“Kau mau masuk hm? Iya sayang?” tanya sang wanita dengan jari-jari yang sudah bergerak naik dan turun.Genggam Nana mengerat, ibu jarinya bermain pada lubang di tengah ketegangan. Kedua bola mata Angga bergulir ke belakang, tak kuasa bila harus terus digoda seperti sekarang.“Dijepit vagina tante, mau?” Kalimat cabul itu lagi-lagi keluar dari mulut Nana, dan hal itu langsung memberikan efek yang merangsang. Tak segera diberi membuatnya semakin jauh memba