Happy Reading. *****Malam menjelang, Jelita sudah akan merebahkan tubuhnya, lelah setelah beraktivitas seharian. Ponselnya berdering nyaring. Nomer tak tak dikenal terlihat di layar. Dibiarkan saja ponsel itu berdering hingga mati sendiri. Jelita terlalu takut untuk menerima panggilan nomor tak dikenal. Jaman sudah semakin canggih, penipuan melalui telepon juga semakin merajalela. Jika memang penting, orang yang menghubungi tadi pasti mengirim chat padanya. Begitulah pikiran Jelita. Namun, beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berdering. Terus berulang seperti itu hingga dia yakin bahwa orang yang menghubungi saat ini pastilah punya kepentingan padanya. "Halo," sapa Jelita."Halo, selamat malam. Apakah benar dengan Jelita Putri?" tanya seorang perempuan di seberang sana. "Benar saya sendiri. Ini dengan siapa, ya?" tanya balik Jelita. "Saya Kenis Putri Sasongko. Salah satu staf pengajar yang nanti akan memandu Mbak Jelita kursus merias. Tadi pagi, kita sudah bertemu dan se
Happy Reading*****"Hah!?" jawab Jelita terkejut dengan pertanyaan perempuan cantik di depannya. "Ngapunten, Bu. Maksudnya gimana itu?""Eh, maaf, Mbak. Saya salah ngomong." Candini segera memutar otak mencari alasan yang tepat. Setelah itu, dia pun berkata, "Maksudnya, anak saya mau privat menari sama Mbak. Mohon diterima jadi muridnya. Bisa nggak?"Jelita tampak berpikir, hari ini mengapa begitu banyak tawaran pekerjaan untuknya. Jika dia mengambil semua tawaran itu, tenaganya akan habis terkuras dan konsentrasi kuliah akan berkurang. Dia memang butuh uang untuk segala keperluan hidupnya, tetapi jika sampai menelantarkan tujuannya datang ke kota ini. Ya, tidak mungkin hal itu dilakukannya. "Ngapunten, Bu. Saya nggak bisa memberikan privat buat putrinya. Mungkin, bisa dengan pengajar lain, apa njenengan mau?"Candini berpura-pura kecewa. "Yah, padahal anakku sukanya sama Mbak Jelita.""Maaf, nggih, Bu. Bukannya saya menolak, tapi kalau diterima saya susah bagi waktu. Tadi sudah ada
Happy Reading*****Candini memanggil satu per satu nama dari calon peserta kursus. Tepat pada nama Jelita, dia sengaja pura-pura terkejut."Lho, Mbak ini yang di sanggar tari tadi, bukan?" Aksi Candini kali ini membuat semua orang fokus pada mereka berdua. "Inggih, Bu. Bener itu saya," jawab Jelita disertai anggukan, membenarkan perkataan Candini. "Oh, selamat datang di kelas saya kalau gitu, Mbak." Setelah menyapa Jelita, Candini mengeluarkan modul dari tas yang dibawanya tadi. Membagikan pada para peserta kursus. Materi-materi dasar tentang cara merias sudah disampaikan. Hampir dua jam, Candini menjelaskan semuanya hingga tiba giliran sesi tanya jawab. Ibu dua anak itu sengaja menyalakan kamera ponselnya dan merekam kegiatan kelasnya hari ini. Selesai sesi tanya jawab, Candini membubarkan sesi pertama pertemuan mereka. "Untuk pertemuan selanjutnya, saya harap kalian sudah siap alat make up. Sambil menerangkan fungsi dan cara menggunakan perkakas tempur mempercantik diri, kita
Happy Reading*****"Aku sudah cukup sopan, Kek. Mengapa Papa sama Mama tetap bersikeras menjodohkan kami. Aku nggak suka perjodohan," kata Wandra sedikit melunak melihat kemarahan Wirawan. "Kami datang kemari bukan untuk membicarakan tentang perjodohan, Ndra. Aku bukan pengemis yang selalu mengaharapkan cintamu," tutur gadis bermata biru karena memakai softlens, Arsyana. "Kamu dengar itu, Nda. Bahkan Arsyana sudah nggak peduli lagi tentang perjodohan itu. Kakek, hanya akan membicarakan masalah bisnis. Cepat kamu mandi dan bergabung bersama kami," titah Wirawan yang tak lagi bisa dibantah oleh Wandra. Melangkah malas, Wandra masuk ke kamar. Bukannya langsung mandi, dia malah menghubungi Mahesa sesuai dengan janjinya tadi. "Hei, muka gantengnya kusut banget. Ada apa?" tanya Mahesa ketika wajah Wandra terlihat di layar ponsel. "Males banget aku, Sa. Ada Arsya di bawah," cerita Wandra. "Wah. Diapeli si cantik rupanya. Terus, kenapa jadi males?""Alasan ngomongin usaha, ujung-ujung
Happy Reading*****Di dalam mobil, Mahesa diam cukup lama. Dia seperti melihat hantu saja saat berpapasan dengan Jelita tadi. Apa yang dipikirkan sang gadis pujaan saat melihatnya berpenampilan rapi, sedangkan dia selalu bercerita bahwa pekerjaannya tidak mengharuskan menggukan kemeja dan jas apalagi cuma pegawai rendahan. Mana mungkin menggunakan setelen serapi yang dia kenakan saat ini. Mahesa pun mengumpat dalam hati. Mahesa masih mengamati gerak-gerik Jelita sampai motor miliknya berjalan keluar area parkir. Setelah memastikan sang gadis pergi, dia kembali masuk ke pabrik. Pergi ke ruang HRD. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" kata manajer HRD. Terkejut juga ketika atasannya mendatangi ruangan secara langsung. Biasanya Mahesa, hanya menyuruh asisten pribadinya. Terkait pekerjaan para bawahan. Jarang sekali terjun langsung menemeui di ruangan seperti sekarang. "Hari ini Bapak menerima mahasiswa magang?" tanya Mahesa berwibawa setelah duduk tepat di depan manajer HRD. "Iya, Pak.
Happy Reading*****Jelita meneruskan langkah karena tidak mungkin Mahesa ada di perusahaan itu. Semalam, si lelaki sudah menjelaskan bahkan mengirim foto serta lokasi kerjanya. Tidak mungkin si gadis meragukannya lagi.Lagian siapa Jelita sampai harus mengurusi kehidupan pribadi Mahesa. Padahal keduanya tidak terikat hubungan spesial kecuali pertemanan. Setelah menyelesaikan hajatnya, Jelita kembali mencari ruang manajer administrasi. Papan kecil yang menunjukkan bahwa itu adalah ruangan administrasi membuat Jelita mengetuk pintunya. "Masuk!" kata suara dari dalam. Jelita tersenyum menyadari keterlambatannya. Perempuan berkacamata dengan jilbab maroon itu menatapnya. Jelita memperkirakan bahwa perempuan itulah sang empunya ruangan. "Maaf, Bu. Saya terlambat karena ke toilet sebentar," terang Jelita."Tidak masalah. Duduklah!" pinta sang manajer, "siapa namamu? Biar mudah memberi penilaian nantinya. Sekalian biar nggak salah saat memangil kalian untuk diberi pekerjaan.""Saya Jeli
Happy Reading*****"Sial! Tumben Jelita minta video call. Apa mungkin dia melihatku di ruangan tadi. Ah, bodoh... bodoh. Kenapa juga aku mesti duduk di sebelah Yano. Harusnya aku langsung ngumpet di kamar mandi." Mahesa masih sibuk bicara dengan dirinya sendiri. Agak lama dia baru membalas chat yang dikirimkan Jelita setelah melepaskan kemeja dan jas. Tinggallah kaos dalaman tipis warna putih yang dikenakan lelaki itu. Sedikit menjauh dari meja kerja dan mendekati kamar mandi. Hanya, tempat itu yang memungkinkan bagi Mahesa untuk melakukan panggilan pada Jelita. Rambut sang lelaki juga sedikit diacak-acak seperti penampilan Mahesa sehari-hari. "Hai, Lit. Tumben minta VC? Kangen, ya?" ucap Mahesa ketika panggilannya sudah diangkat.Jelita mengerucutkan bibir. "Sembarangan kalau ngomong. Ngapain aku kangen sama, Mas? Aku tuh cuma memastikan, Mas, beneran kerja apa nggak?""Udah kayak istri-istri posesif aja kamu, Lit. Kayaknya sudah nggak tahan aku lamar, ya," goda Mahesa. Wajah Jeli
Happy Reading*****Kini giliran para karyawan di dalam toilet itu yang membulatkan mata. Bingung dengan jawaban Jelita. Mengapa sang gadis malah menyebut nama Pak Yano. Mereka saling pandang tak mengerti. Masitah menaikkan kedua bahunya. "Kenapa lari ke Pak Yano. Ibu itu tanya Pak direktur bukan Pak Yano." Sang kepala Admin menepuk kening. "Ya, kan, Pak Yano direktur di sini, Bu. Aduh, kok mendadak saya pusing sama pertanyaan Ibu, ya. Boleh saya pamit keluar duluan?" Jelita berlalu begitu saja. Mau tak mau, Masitah membiarkan Jelita keluar. Dia dan seluruh karyawan di sana saling pandang. Bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Pak Yano menjadi direktur mereka. *****Desas-desus kedekatan Jelita dengan sang direktur makin santer terdengar. Walau si gadis heran kenapa bisa hal itu terjadi, tetapi semangatnya tak goyah apalagi sampai luntur.Jelita tak mau ambil pusing dengan berita yang beredar dan hal itulah yang membuat Mahesa semakin yakin dengan pilihan hatinya. Jelita bak dind