Share

4. Desakan

Happy Reading

*****

Wandra pulang dengan wajah semringah karena rencananya telah berhasil bahkan sapaan mamanya tak dihiraukan. Dia terus berjalan ke arah kamarnya. Segera menghubungi sang kekasih. Namun panggilannya belum juga terjawab.

Sementara di rumah, jelita sudah bersiap pergi melakukan tugasnya sebagai penari. Ada acara yang harus dia datangi sebagai penari utama sanggar milik Sularso. Walau kepalanya masih sangat berat, gadis itu mengabaikannya. Sesampainya di ruang tamu, Setiawan sedang meminum teh yang dibuatkan oleh bibinya.

"Kamu baik-baik saja, Lit?"

"Baik, Mas. Cuma agak pusing sedikit. Entah mengapa padahal semalam aku baik-baik saja. Ayo berangkat sekarang, Mas. Nggak enak kalau sampai Bapak nunggu. Kemarin, dia sudah mewanti-wanti supaya aku nggak telat." Jelita memanggil ibunya yang masih sibuk di dapur. Tentu saja dengan segala kesibukannya mencuci pakaian para tetangga yang meminta bantuannya.

"Kalian sudah mau berangkat?" Puspa mengulurkan tangannya agar dicium oleh putri semata wayangnya. Setelah Jelita selesai bersalaman kini giliran Setiawan. "Jaga diri baik-baik, ya, Nduk. Jangan sampai kejadian kemarin terulang."

Setiawan menggelengkan kepala pelan. "Bibi nggak usah khawatir gitu. Wawan bakal jaga Lita."

"Terima kasih, yo, Mas. Sudah menjaga adikmu selama ini."

Mereka berdua berangkat dengan mengendarai motor matic milik Setiawan. "Kenapa nggak pake motorku saja, Mas?" tanya Jelita.

"Nggak papa. Sekalian saja, Mas berangkat kerja setelah nganter kamu. Tumben acara hajatan pagi-pagi gini. Biasanya kan malam atau sore?"

"Bukan hajatan, Mas. Ini acara ibu-ibu darma wanita. Mereka sengaja ingin memperkanalkan tarian Gandrung yang sudah menjadi ikon kabupaten. Sekalian juga mau memperbaiki citra negatif bahwa menjadi seorang penari itu nggak selalu hina. Mas tahu sendiri kan rumor dan pikiran negatif masyarakat kita tentang seorang penari Gandrung?"

"Iya. Mas tahu itu, makanya kamu juga harus mempertahankan kesucian dan harga diri supaya cita-cita itu bisa terwujud," nasihat Setiawan dalam perjalanan menuju acara Jelita saat ini. "Jadi, kita ke gedung darma wanita sekarang?"

"Iya."

Setiawan segera memutar arah perjalanan mereka, jika tetap melewati jalan yang sekarang tentu akan memakan waktu yang cukup lama. Kurang dari sepuluh menit, pria itu menyuruh Jelita turun, mereka sudah sampai di halaman gedung yang dituju.

Jelita membuka helm dan menyerahkan pada sepupunya, "Makasih, ya, Mas."

Satu anggukan kepala diberikan, Setiawan tersenyum tulus. "Pulangnya mau mas jemput apa gimana?"

"Kayaknya nggak usah deh. Minta anter Bapak saja. Mas, pasti belum pulang jam segitu."

"Memangnya jam berapa selesai?"

"Sebelum jam sebelas kayaknya. Acara mulai jam delapan kalau nggak molor."

"Yo wis. Mas kerja dulu kalau gitu. Yen Pak Sularso nggak bisa anter pulang, kamu telpon Mas wae, ya."

"Siap." Jelita memberikan hormat pada sepupunya.

*****

Duduk di deretan terdepan tentu membuat Wandra bahagia. Pasalnya dia tahu siapa penari yang akan tampil pertama di acara itu. Tidak seperti biasanya ketika disuruh menemani mamanya menghadiri suatu acara, kali ini Wandra bersemangat sekali. Apalagi mengingat kejadian semalam dengan sang penari.

Wandra yakin seratus persen bahwa benih yang ditanam dalam rahim sang kekasih akan membuahkan hasil. Bercak darah pada sprei yang dilihatnya tadi pagi adalah bukti nyata dari perbuatannya semalam. Walau dia belum mampu mengingat kejadian itu sepenuhnya.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Ajeng.

"Orang senyum kok dilarang. Mama itu aneh lama-lama."

"Kamu yang aneh. Masak senyum sendiri di tengah keramaian gini. Kamu waras?"

"Ish, dikira Wandra gila." Lelaki itu melengos dan saat itulah pandangannya bersirobok dengan sang kekasih yang naik ke atas panggung.

Wandra mulai serius memperhatikan panggung. Sejak musik mulai terdengar, dia tak mengalihkan pandangannya sedikit pun pada Jelita.

"Pantas senyum-senyum sendiri. Rupanya kamu tahu kalau penarinya Jelita. Ngerti gitu, Mama nggak bakal minta tolong kamu buat nganter."

Wandra masih diam tanpa reaksi. Pandangannya masih fokus pada sang kekasih yang dengan apiknya menarikan tari Gandrung. Gerakan pinggul serta bahunya benar-benar memanjakan mata lelaki itu.

Kain batik bercorak gajah oling yang digunakan sebagai bawahan serta oprok di kepala Jelita semakin meningkatkan aura kecantikannya. Gadis itu hanya memainkan tarian pembuka yang biasa disebut sebagai Jejer. Tubuhnya meliuk indah mengikuti alunan musik, hampir setengah jam berlalu dan para pengunjung gedung sudah berdiri memberikan tepuk tangan atas penampilan memukau Jelita.

Ajeng memcibir, bibirnya tak henti-hentinya mengatakan hal negatif pada pujaan hati Wandra. "Apa hebatnya, coba. Tarian seperti itu saja dipertontonkan dalam acara formal. Malu-maluin."

"Ma, kenapa pikirannya negatif melulu, sih. Penari Gandrung, bukanlah sebuah profesi yang negatif sekarang ini. Nggak usah mengaitkan dengan masa lalu." Wandra mulai jengkel. Dia meninggalkan Ajeng sendirian. "Wandra tunggu di mobil. Males denger ocehan yang selalu merendahkan," ucapnya kesal.

Niat semula akan masuk mobil, Wandra urungkan ketika melihat Jelita berjalan ke arah yang tak diketahuinya. "Lit, tunggu!" pinta Wandra.

Sang pemilik nama berbalik dan tersenyum. "Mas di sini juga?"

"Iya, nganter Mama. Setelah selesai ganti baju. Kita temui beliau lagi. Besok, Mas, sudah kembali ke Surabaya."

"Tapi, Mas. Bu Ajeng nggak bakal pernah setuju dengan hubungan ini. Aku takut beliau akan kembali marah. Nggak perlulah memaksakan keinginan kita jika melukai hati banyak orang. Apalagi menyakiti perasaan orang tua kita." Jelita meneruskan langkahnya untuk berganti pakaian.

"Sekali ini, percayalah. Mama pasti menerimamu," pinta Wandra, "setahun lagi aku lulus. Kita bangun semua impian kita, hanya berdua walau orang tuaku nggak setuju. Apalagi akan ada malaikat kecil yang akan menemani hari-hari kita. Aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku itu."

Jelita mengerutkan kening. Namun, dia memilih diam. "Baik, kalau maunya Mas seperti itu. Tunggu di sini. Aku mau ganti baju dulu."

Sepeninggal kekasihnya, Wandra bingung. Kenapa Jelita tidak menanyakan apa pun tentang kejadian semalam. Apalagi marah karena lelaki itu sudah merengut kesuciannya. Apakah Jelita melupakan kejadian semalam?

Menepuk kening, Wandra seperti menyuruh ingatannya untuk mengulang kejadian semalam. Sungguh, dia pun tak ingat apa saja yang telah diperbuatnya. Gelas berisi air putih yang terakhir diminumnya adalah wine dengan alkohol tinggi. Mungkinkah dia mabuk berat dan melupakan semuanya?

'Sudahlah, terpenting aku sudah menjalankan semua rencanaku. Tinggal tunggu hasilnya nanti.' Kata hati Wandra.

Di dalam ruang ganti, seorang lelaki telah menunggu Jelita.

"Bapak?" kata si gadis terkejut.

"Iya, saya. Sedari tadi, saya sudah menunggumu." Lelaki itu menyerahkan sebuah map pada Jelita. "Ambil ini dan tolong jauhi Wandra demi kebaikan bersama."

"Apa ini?"

"Sesuai yang saya sampaikan kemarin. Silakan baca dan tanda tangani berkas di dalamnya. Hidupmu bakalan terjamin. Bahkan ibumu tidak perlu bekerja keras seperti sekarang demi mencukupi kebutuhan hidup."

Jelita membuka map yang disodorkan si lelaki. Mengambil bolpoin yang disodorkan. Inilah jalan yang harus dipilihnya sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status