Happy Reading
*****Wandra pulang dengan wajah semringah karena rencananya telah berhasil bahkan sapaan mamanya tak dihiraukan. Dia terus berjalan ke arah kamarnya. Segera menghubungi sang kekasih. Namun panggilannya belum juga terjawab.Sementara di rumah, jelita sudah bersiap pergi melakukan tugasnya sebagai penari. Ada acara yang harus dia datangi sebagai penari utama sanggar milik Sularso. Walau kepalanya masih sangat berat, gadis itu mengabaikannya. Sesampainya di ruang tamu, Setiawan sedang meminum teh yang dibuatkan oleh bibinya."Kamu baik-baik saja, Lit?""Baik, Mas. Cuma agak pusing sedikit. Entah mengapa padahal semalam aku baik-baik saja. Ayo berangkat sekarang, Mas. Nggak enak kalau sampai Bapak nunggu. Kemarin, dia sudah mewanti-wanti supaya aku nggak telat." Jelita memanggil ibunya yang masih sibuk di dapur. Tentu saja dengan segala kesibukannya mencuci pakaian para tetangga yang meminta bantuannya."Kalian sudah mau berangkat?" Puspa mengulurkan tangannya agar dicium oleh putri semata wayangnya. Setelah Jelita selesai bersalaman kini giliran Setiawan. "Jaga diri baik-baik, ya, Nduk. Jangan sampai kejadian kemarin terulang."Setiawan menggelengkan kepala pelan. "Bibi nggak usah khawatir gitu. Wawan bakal jaga Lita.""Terima kasih, yo, Mas. Sudah menjaga adikmu selama ini."Mereka berdua berangkat dengan mengendarai motor matic milik Setiawan. "Kenapa nggak pake motorku saja, Mas?" tanya Jelita."Nggak papa. Sekalian saja, Mas berangkat kerja setelah nganter kamu. Tumben acara hajatan pagi-pagi gini. Biasanya kan malam atau sore?""Bukan hajatan, Mas. Ini acara ibu-ibu darma wanita. Mereka sengaja ingin memperkanalkan tarian Gandrung yang sudah menjadi ikon kabupaten. Sekalian juga mau memperbaiki citra negatif bahwa menjadi seorang penari itu nggak selalu hina. Mas tahu sendiri kan rumor dan pikiran negatif masyarakat kita tentang seorang penari Gandrung?""Iya. Mas tahu itu, makanya kamu juga harus mempertahankan kesucian dan harga diri supaya cita-cita itu bisa terwujud," nasihat Setiawan dalam perjalanan menuju acara Jelita saat ini. "Jadi, kita ke gedung darma wanita sekarang?""Iya."Setiawan segera memutar arah perjalanan mereka, jika tetap melewati jalan yang sekarang tentu akan memakan waktu yang cukup lama. Kurang dari sepuluh menit, pria itu menyuruh Jelita turun, mereka sudah sampai di halaman gedung yang dituju.Jelita membuka helm dan menyerahkan pada sepupunya, "Makasih, ya, Mas."Satu anggukan kepala diberikan, Setiawan tersenyum tulus. "Pulangnya mau mas jemput apa gimana?""Kayaknya nggak usah deh. Minta anter Bapak saja. Mas, pasti belum pulang jam segitu.""Memangnya jam berapa selesai?""Sebelum jam sebelas kayaknya. Acara mulai jam delapan kalau nggak molor.""Yo wis. Mas kerja dulu kalau gitu. Yen Pak Sularso nggak bisa anter pulang, kamu telpon Mas wae, ya.""Siap." Jelita memberikan hormat pada sepupunya.*****Duduk di deretan terdepan tentu membuat Wandra bahagia. Pasalnya dia tahu siapa penari yang akan tampil pertama di acara itu. Tidak seperti biasanya ketika disuruh menemani mamanya menghadiri suatu acara, kali ini Wandra bersemangat sekali. Apalagi mengingat kejadian semalam dengan sang penari.Wandra yakin seratus persen bahwa benih yang ditanam dalam rahim sang kekasih akan membuahkan hasil. Bercak darah pada sprei yang dilihatnya tadi pagi adalah bukti nyata dari perbuatannya semalam. Walau dia belum mampu mengingat kejadian itu sepenuhnya."Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Ajeng."Orang senyum kok dilarang. Mama itu aneh lama-lama.""Kamu yang aneh. Masak senyum sendiri di tengah keramaian gini. Kamu waras?""Ish, dikira Wandra gila." Lelaki itu melengos dan saat itulah pandangannya bersirobok dengan sang kekasih yang naik ke atas panggung.Wandra mulai serius memperhatikan panggung. Sejak musik mulai terdengar, dia tak mengalihkan pandangannya sedikit pun pada Jelita."Pantas senyum-senyum sendiri. Rupanya kamu tahu kalau penarinya Jelita. Ngerti gitu, Mama nggak bakal minta tolong kamu buat nganter."Wandra masih diam tanpa reaksi. Pandangannya masih fokus pada sang kekasih yang dengan apiknya menarikan tari Gandrung. Gerakan pinggul serta bahunya benar-benar memanjakan mata lelaki itu.Kain batik bercorak gajah oling yang digunakan sebagai bawahan serta oprok di kepala Jelita semakin meningkatkan aura kecantikannya. Gadis itu hanya memainkan tarian pembuka yang biasa disebut sebagai Jejer. Tubuhnya meliuk indah mengikuti alunan musik, hampir setengah jam berlalu dan para pengunjung gedung sudah berdiri memberikan tepuk tangan atas penampilan memukau Jelita.Ajeng memcibir, bibirnya tak henti-hentinya mengatakan hal negatif pada pujaan hati Wandra. "Apa hebatnya, coba. Tarian seperti itu saja dipertontonkan dalam acara formal. Malu-maluin.""Ma, kenapa pikirannya negatif melulu, sih. Penari Gandrung, bukanlah sebuah profesi yang negatif sekarang ini. Nggak usah mengaitkan dengan masa lalu." Wandra mulai jengkel. Dia meninggalkan Ajeng sendirian. "Wandra tunggu di mobil. Males denger ocehan yang selalu merendahkan," ucapnya kesal.Niat semula akan masuk mobil, Wandra urungkan ketika melihat Jelita berjalan ke arah yang tak diketahuinya. "Lit, tunggu!" pinta Wandra.Sang pemilik nama berbalik dan tersenyum. "Mas di sini juga?""Iya, nganter Mama. Setelah selesai ganti baju. Kita temui beliau lagi. Besok, Mas, sudah kembali ke Surabaya.""Tapi, Mas. Bu Ajeng nggak bakal pernah setuju dengan hubungan ini. Aku takut beliau akan kembali marah. Nggak perlulah memaksakan keinginan kita jika melukai hati banyak orang. Apalagi menyakiti perasaan orang tua kita." Jelita meneruskan langkahnya untuk berganti pakaian."Sekali ini, percayalah. Mama pasti menerimamu," pinta Wandra, "setahun lagi aku lulus. Kita bangun semua impian kita, hanya berdua walau orang tuaku nggak setuju. Apalagi akan ada malaikat kecil yang akan menemani hari-hari kita. Aku harus mempertanggungjawabkan perbuatanku itu."Jelita mengerutkan kening. Namun, dia memilih diam. "Baik, kalau maunya Mas seperti itu. Tunggu di sini. Aku mau ganti baju dulu."Sepeninggal kekasihnya, Wandra bingung. Kenapa Jelita tidak menanyakan apa pun tentang kejadian semalam. Apalagi marah karena lelaki itu sudah merengut kesuciannya. Apakah Jelita melupakan kejadian semalam?Menepuk kening, Wandra seperti menyuruh ingatannya untuk mengulang kejadian semalam. Sungguh, dia pun tak ingat apa saja yang telah diperbuatnya. Gelas berisi air putih yang terakhir diminumnya adalah wine dengan alkohol tinggi. Mungkinkah dia mabuk berat dan melupakan semuanya?'Sudahlah, terpenting aku sudah menjalankan semua rencanaku. Tinggal tunggu hasilnya nanti.' Kata hati Wandra.Di dalam ruang ganti, seorang lelaki telah menunggu Jelita."Bapak?" kata si gadis terkejut."Iya, saya. Sedari tadi, saya sudah menunggumu." Lelaki itu menyerahkan sebuah map pada Jelita. "Ambil ini dan tolong jauhi Wandra demi kebaikan bersama.""Apa ini?""Sesuai yang saya sampaikan kemarin. Silakan baca dan tanda tangani berkas di dalamnya. Hidupmu bakalan terjamin. Bahkan ibumu tidak perlu bekerja keras seperti sekarang demi mencukupi kebutuhan hidup."Jelita membuka map yang disodorkan si lelaki. Mengambil bolpoin yang disodorkan. Inilah jalan yang harus dipilihnya sekarang.Happy Reading*****Inilah keputusan Jelita. Jemarinya lincah menuliskan sesuatu pada kertas di dalam map yang diberikan Pambudi. Setelahnya, gadis itu menyerahkan map yang sudah diisi kepada Pak Camat. "Silakan ambil, Pak. Saya harap njenengan lega setelah melihatnya. Maaf, saya harus mengganti baju. Tolong tinggalkan saya sendirian."Secara sadar, Pambudi telah diremehkan oleh gadis di depannya. Sebagai seorang camat, dia diusir secara halus. Namun, melihat apa yang dilakukan Jelita tadi, dia tersenyum. Walau belum dilihatnya sama sekali. "Baik, Bapak akan pergi. Terima kasih sudah memenuhi semua keinginan Bapak. Semoga kamu bisa menemukan seorang lelaki yang bisa menerima profesimu saat ini." Pambudi keluar ruangan itu dengan perasaan lega. Sepeninggal Pambudi, Jelita mulai melepaskan ornamen dan hiasan serta jepit yang terpasang pada tubuhnya. Dia melakukannya dengan cepat karena tak mau sang kekasih menunggu lama. Beberapa menit kemudian Jelita keluar. Berharap sang kekasih t
Happy Reading****Keluar dari kediaman keluarga Wandra dengan penuh air mata, lengan Jelita ditarik Setiawan. "Mau berapa kali kamu akan menyakiti dirimu sendiri? Sudah tahu kalian nggak mungkin bersama. Kenapa masih ngeyel?" bentak Setiawan, "ayo pulang!""Mas Wawan kenapa bisa ada di sini?" kata Jelita tergagap. Belum selesai dengan pengakuan Wandra tadi. Kini, kehadiran Setiawan malah membuatnya bingung. "Aku sengaja mengikutimu. Mas, nggak mau kamu ambil resiko berbahaya lagi. Ayo naik," perintah Setiawan kasar dan sedikit memaksa. Jelita yang memang sedang kalut menurut saja pada permintaan sepupunya. Sepanjang perjalanan, hanya isakan yang terdengar oleh indera Setiawan. Sungguh membuat lelaki itu miris dan jengkel sekaligus. Mengapa bisa Jelita dibutakan oleh cinta. Jelas-jelas dirinya dan Wandra tidak bisa bersama. "Mas bisa nggak kalau kita nggak pulang dulu?""Pengen ke mana?""Pengen ke taman. Setidaknya, mataku nggak sembab dan mengeluarkan air lagi. Kasihan Ibu jika
Happy Reading*****Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar perempuan itu. Tangannya segera menyentuh pundak si wanita. Namun, ketika menoleh alangkah kecewanya hati Wandra. "Siapa, ya? Jangan berani-beraninya melecehkan saya," ucap wanita itu tak terima. "Maaf, Mbak. Saya kira sampeyan adalah teman saya." Cepat Wandra meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan serta kedua tangannya yang menangkup di depan dada. "Jangan sembarangan menyentuh perempuan lain jika nggak kenal, Mas. Sampeyan bisa kena pasal pelecehan. Inget itu!" Si wanita segera berlalu, meninggalkan Wandra yang cuma bisa terdiam. Dilihat dari belakang, memang postur tubuh dan juga siluet perempuan itu mirip sekali dengan Jelita. Namun, wajah mereka sangat jauh berbeda. Wandra berbalik arah dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya. Sementara di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah intstitut. Risma mengikuti test masuk perguruan tinggi seni. Demi mewujudkan impiannya dan juga memperbaiki citra negatif
Happy Reading*****"Siapa namanya?""Nama lengkapnya aku nggak Tahu, Lit. Cuma para atasan sering banget manggil Wandra."Jantung Jelita serasa copot mendengar nama itu disebut. Setelah sekian lama baru kali ini ada yang memanggil nama itu. Meneguhkan hati bahwa belum tentu adalah orang yang sama. Jelita tersenyum kecut menatap Mahesa. "Oh," jawab Jelita."Ada yang aneh dengan nama itu? Kenapa mukamu langsung berubah. Jangan-jangan kamu punya hubungan spesial dengan seseorang bernama Wandra. Bener gitu, Non?"Jelita merutuki dirinya sendiri karena telah bereaksi berlebihan tadi. Harusnya, dia ingat bahwa Mahesa terlalu peka dengan orang di sekitarnya. Apalagi jika menyangkut tentangnya. Bukan tidak tahu dengan segala perhatian yang diberikan cowok itu selama ini. Namun, hati Jelita telah membeku, baginya urusan cinta menjadi nomor kesekian. "Ditanya malah melamun. Pacarmu namanya Wandra, ya?"Seketika Jelita menggeleng. "Sembarangan kamu, Mas. Mana ada aku punya pacar. Emang kamu l
Happy Reading*****Selain bekerja, di kita Yogyakarta ini, Wandra juga terus berusaha mencari keberadaan Jelita. Hampir seminggu, tetapi jejak sang gadis masih belum terdeteksi sama sekali. Harus dengan cara apalagi lelaki itu mengetahui keberadaan kekasihnya.Tak banyak yang Wandra minta, cukup bisa bertemu dengan Jelita dan bertanya tentang kebenaran surat itu. Jika memang benar Jelita sudah menikah dan bahagia dengan lelaki pilihannya, mungkin Wandra akan mundur. Namun, dia tak akan pernah berniat melupakan gadis itu. Biarlah tak menikah selamanya jika bukan dengan Jelita. Itulah prinsipnya. Wandra mengaduk-aduk jus jeruk yang sejak tadi ada di hadapannya. Sementara, sahabatnya yang tak lain adalah Mahesa masih menerima telepon. Sejak tadi, Mahesa terus saja tertawa dan berkata-kata romantis, seolah-olah orang yang diajaknya bicara adalah kekasihnya. Makan siang mereka jadi terganggu akibat perbuatan masing-masing. "Ngelamun terooss," goda Mahesa melihat pandangan kosong lelaki
Happy Reading*****Suara sorak sorai dan tepukan tangan menggema seantero gedung bahkan sampai keluar. Wandra mematung di tempatnya berdiri. Segera masuk kembali ingin melihat siapa sebenarnya yang membawakan tarian khas tanah kelahirannya sampai seluruh penonton bertepuk tangan. Akan tetapi, sesampainya di dalam gedung kembali. Sang penari telah turun dari panggung. "Kenapa seperti orang bingung, Ndra? Ada yang sedang kamu cari?" tanya Shinta. Perempuan itu memegang lengan si lelaki yang sudah dianggap ponakan sendiri. "Iya, Tan. Saya penasaran sama tarian yang dibawakan penari barusan. Apa tarian Gandrung yang berasal dari Banyuwangi?" tanya Wandra."Iya benar. Memang tari Gandrung yang dibawakan barusan." Shinta mengerutkan kening. Mencoba membaca apa yang sedang Wandra pikirkan. "Siapa penarinya, Tan?""Salah satu pengajar di sanggar Tante. Mahasiswa di perguruan tinggi Seni fakultas seni pertunjukan program studi tari," jelas Shinta panjang lebar seolah dia ingin menunjukkan
Happy Reading*****Wandra membulatkan mata dengan perkataan gadisnya. Lalu, dia tersenyum miris. Beginikah sikap Jelita yang sesunguhnya?"Bagus, rupanya ada maling teriak maling. Kamu yang berkhianat, tapi aku yang kamu tuduh," kata Wandra penuh penekanan pada setiap ucapannya. "Harusnya, jika kamu memang ingin menikah, maka katakan langsung bukan melalui orang lain."Jelita menatap tak percaya pada sang kekasih. Mengapa Wandra malah berkata demikian? Harusnya Jelita yang menanyakan hal itu. Sang kekasih sudah berkhianat dengan menikahi gadis lain. Bukankah apa yang dilakukan Jelita saat ini adalah demi memantaskan diri untuk menjadi pendampingnya kelak? Namun, Wandra malah menikah dengan orang lain dan hal itu disampaikan lewat surat balasan. "Sebaiknya kalian selesaikan kisah yang belum tuntas. Aku nggak mau dengar pertengkaran sepele seperti ini," kata seorang lelaki yang memeluk Jelita tadi. "Tunggu, Mas Yan! Aku ikut, urusanku sudah selesai dengannya." Jelita melihat ke ara
Happy Reading*****"Sudah setahun lebih, tapi kamu nggak mau mampir ke rumah Eyang, Lit," kata seseorang lelaki yang sedang mengemudi.Seseorang yang telah disangka suami si gadis oleh Wandra. Sampai saat ini, Jelita masih belum memahami tuduhan yang dilayangkan padanya. Berusaha menjelaskan pun, tak ada artinya. Wandra, meskipun sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi sifat dan wataknya keras."Aku belum berani menemui Eyang, Mas. Nggak sanggup saat melihat kebencian di matanya.""Eyang sudah memaafkan Ayah sama ibumu asal kamu tahu, Lit. Beliau sangat menyayangkan Tante Ajeng keluar dari rumah dengan keadaan seperti itu.""Aku nggak tahu mana yang benar dan salah, Mas. Dulu, sebelum Ayah wafat, setiap kali kami mengunjungi Eyang. Wajahnya selalu terlihat membenciku dan Ibu.""Sekarang Eyang lagi sakit. Apa kamu nggak mau jenguk beliau?"Jelita terdiam, terus terang dia masih sangat takut jika berhadapan dengan Eyangnya. "Mungkin suatu hari nanti, Mas. Kalau aku sudah siap dan ng