Share

3. Rencana Wandra

Happy Reading

*****

Hari mulai gelap ketika Jelita sampai pada alamat yang dikirimkan Wandra. Ya, lelaki yang mengiriminya chat dengan ancaman itu adalah sang kekasih. Melihat sekeliling yang cukup sepi, gadis itu mulai bergidik ngeri.

Sebuah perumahan yang baru beberapa buah ditempati, berada lumayan jauh dari desanya. Entah milik siapa, kediaman itu. Jelita tak ambil pusing. Dia segera menekan bel yang berada di luar pagar. Khawatir jika Wandra nekat melakukan hal-hal tak diinginkan.

Sedikit menaikkan garis bibir, Wandra membukakan pintu pagar. "Selamat datang, Sayang. Kamu nggak kesulitan mencari alamat yang aku tulis tadi, kan?"

Dari ujung kaki hingga ujung kepala, Jelita memeriksa keadaan kekasihnya. "Mas, kamu baik-baik saja?"

"Iya, aku baik-baik saja." Si pria merentangkan tangan. Memutar badan agar sang kekasih bisa melihat keadaannya.

"Lalu, kenapa Mas?"

"Itu karena, aku mau kamu datang ke sini. Kalau nggak ada ancaman, kamu nggak bakalan jauh-jauh datang menemuiku."

"Nggak lucu!" amuk Jelita, "aku pulang sekarang."

"Eit, nggak boleh pulang sebelum masuk dulu." Wandra mencekal pergelangan tangan kekasihnya ketika akan melangkah pergi. "Mas siapkan sesuatu untukmu. Dua hari lagi, Mas balik ke Surabaya dan kita pasti nggak akan ketemu dalam jangka waktu yang lama. Pliss, Lit. Biarkan malam ini, kita jadikan malam yang sangat istimewa."

Tatapan Wandra penuh permohonan. Entah mengapa, hati Jelita sedikit ragu untuk masuk ke rumah itu. "Ini rumah siapa, Mas?"

Walau hati gadis berkaos biru dengan celana jeans senada itu meragu, tetapi dia tetap mengikuti langkah kekasihnya masuk.

"Rumahnya, Mas. Kelak rumah ini akan menjadi tempat tinggal setelah kamu resmi jadi istriku."

Pintu dibuka dan mata Jelita sudah dimanjakan dengan taburan mawar merah sepanjang jalan masuk. Aroma lavender dari lilin terapi yang menusuk indera perempuan itu, cukup membuatnya tenang.

"Mas yang nyiapin ini semua?"

"Iya, dong. Mas tahu, sejak di acara hajatan tadi, suasana hatimu pasti buruk. Apalagi kata-kata Mama yang nggak mengenakkan."

Wandra menuntun kekasihnya masuk lebih dalam pada ruang makan. Di sana sudah tertata rapi hidangan yang sengaja dipesan. Makan malam romantis sengaja ditunjukkan Wandra demi melancarkan semua aksinya malam ini.

Jika dunia akan menentang hubungan mereka karena status sosial yang berbeda. Maka, Wandra akan membuat kisah sendiri yang jauh lebih indah bersama sang pujaan. Setelah malam ini, dia yakin tak akan ada seorang pun yang akan menentang hubungan mereka bahkan kedua orang tuanya tidak bisa memisahkan.

"Mas, ini apa lagi?"

"Mas kan sudah ngomong kalau malam ini akan membuat cerita terindah dalam hubungan kita. Kalau makan malam di luar, ketemu sama orang yang kenal dengan keluargaku pasti diaduin. Males, banget."

Menyeret kursi agar diduduki, Wandra mempersilakan Jelita. Kemudian, dia berbalik arah duduk tepat di hadapan sang kekasih.

"Minum, dong, Lit." Wandra mengangkat gelas dengan air berwarna kuning. Sepertinya jus jeruk atau jeruk peras anget, entahlah.

Mau tak mau Jelita mengangkat gelas itu juga dan meminumnya. Lalu, mereka melanjutkan makan malam dengan diam sampai hidangan di meja habis. Beberapa saat setelah menghabiskan makanannya, Jelita merasakan panas dalam tubuh.

Sesekali mengipas-ngipaskan tangan pada wajah dan menyeka keringat yang mulai turun.

"Hawanya panas banget, ya, Mas. Apa karena habis makan pedas?"

"Bisa jadi, buka aja kaosmu," pinta Wandra penuh seringai.

Jelita menurut saja. Tak merasakan hal aneh sama sekali. Padahal tak ada siapa pun di rumah itu selain mereka berdua. Sang gadis membuka kaos yang dikenakannya. Kini, dia cuma memakai tank top untuk menutupi bagian atas tubuhnya. Makin lama panas pada tubuh si gadis bukannya mereda, tetapi malah bertambah.

Wandra pun merasakan hal yang sama. Si lelaki membuka kemeja, hanya memakai kaos oblong dan celana pendek.

"Mas, nyalain kipas, dong!" pinta Jelita masih mengipasi wajahnya dengan tangan.

"Gimana kalau kita ke kamar saja. Di sana ada AC. Kipasnya nggak mempan kayaknya. Kalau AC kan pasti dingin."

"Oke! Di mana kamarnya?" Jelita bangit dari duduknya dan mengikuti langkah Wandra.

Sebuah kamar yang sudah dipersiapkan oleh Wandra untuk melancarkan aksinya malam ini.

"Uh, bener. Agak dingin di sini," kata Jelita. Merentangkan tangan guna mengusir rasa panas yang makin menjadi.

Satu kecupan mendarat di pipi Jelita. Wandra bahkan telah memeluknya dari belakang. Bukan hanya pipi, tetapi lelaki itu sudah mulai menjelajahi leher jenjang nan mulus milik kekasihnya.

Satu desahan lolos dari bibir mungil Jelita.

'Kenapa rasanya senikmat ini.' Tanya hati gadis itu. Lagi dan lagi, desahan Jelita kembali terdengar saat Wandra meremas sesuatu yang kenyal dari balik tank topnya.

"Maass," ucap Jelita.

"Kenapa? Mas akan menghilangkan rasa panas dalam tubuhmu, Sayang. Diam dan nikmatilah. Setelah malam ini nggak akan ada yang memisahkan kita lagi. Sebentar, Mas ambilkan minum untuk malam panjang kita."

Wandra melepas pelukan serta ciumannya. Mengambil air minum yang sengaja dicampurkan sesuatu untuk melancarkan semua aksinya malam ini.

Setelah meminum air yang diberikan Wandra, Jelita makin kepanasan dan kelojotan. Mereka berdua terus bermesraan tanpa peduli lagi bahwa hal itu sangatlah terlarang untuk dilakukan sebelum kata halal terucap.

*****

Seberkas cahaya masuk menerobos melalui sela-sela kaca jendela. Wandra menggerakkan bola matanya. Dering ponselnya berbunyi dengan nyaring. Selain sinar mentari mengenai wajah, ternyata tidur Wandra terganggu oleh suara ponselnya.

Lelaki itu meraba-raba sisi sebelahnya, kosong. Seketika matanya terbuka sempurna. Melihat pada diri sendiri yang kini tak memakai sehelai benang pun pakaian yang menempel. Masih sedikit bingung, Wandra menyingkap selimut dan saat itulah dia tersenyum bahagia.

'Terima kasih, Sayang. Kamu emang yang terbaik. Setelah ini, baik Mama ataupun Papa nggak akan menghalangi rencana pernikahan kita. Dunia akan tahu bahwa kamu milikku.' Wandra berkata dalam hati.

Sementara di rumahnya, Jelita mulai bingung dengan apa yang terjadi ketika dia bangun tadi. Ibunya menangis tersedu tanpa diketahui sebabnya. Perempuan sepuh itu duduk di bawah kakinya.

"Ibu kenapa?" tanya Jelita. Kepalanya terasa berat sekali dan ketika melihat apa yang dikenakannya, dia makin bingung. Jelita ingat bahwa semalam dia masih memakai baju yang dikenakan ketika menemui Wandra.

'Ada apa ini? Kenapa aku bisa di sini padahal semalam?' tanya Jelita dalam hati.

"Bu, kenapa njenengan nangis? Apa ada yang terjadi denganku?" Memegang kepala yang begitu berat seperti terhantam batu besar berkilo-kilo. Ketika lengannya menggesek ujung selimut rasa perih terasa. Ada sedikit luka di sana.

"Sudah bangun? Cepetan mandi dan segera berangkat ke tempat hajatan. Setiawan sudah menunggu sejak tadi. Pak Sularso juga telpon terus." Puspa tak menjawab pertanyaan putrinya. Dia lebih memilih meninggalkan gadis cantik itu dengan segala kebingungannya.

'Sebenarnya ada apa ini? Kenapa aku tak mampu mengingat apa pun.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status