“Jadi, bagaimana?” Rasyid berceletuk ketika malam semakin larut. Di ruang yang masih terhampar karpet tersebut, tinggal menyisakan keluarga saja. “Abi yang tinggal di sini dulu, atau Fika langsung ikut pulang ke rumah.” “Ke rumah?” Fika yang sedari tadi menempel pada Clara, sontak terbelalak. “Ke rumah Babe maks—“ “Papa, Fik.” Clara buru-buru meralat panggilan Fika pada Rasyid, sembari menyikut pelan lengan putrinya. “Iya, maksudnya, saya tinggal di rumah Papa Babe?” lanjut Fika langsung meralat ucapannya. Satu hal yang terlewat di benak Fika, ia harus tinggal bersama sang suami bila sudah menikah. Itu berarti, Fika akan tinggal satu atap bersama Abi. “Langsung? Malam ini juga?” Oh, tidak! Harusnya, Fika membicarakan hal tersebut dengan sang mama terlebih dahulu. Fika belum siap, jika harus meninggalkan rumah dalam keadaan mendadak seperti sekarang. “Kenapa? Belum siap?” sambar Romi melihat kebingungan di wajah putrinya. Jika berbicara siap, Fika pasti tidak siap. Sebenarnya, Romi
“Aku …” Fika menelan ludah. Buru-buru mengalihkan tatapannya dari Abi. Semakin lama menatap, debaran jantung Fika semakin jumpalitan tidak karuan. “Aku nggak mau hamil, jadi … jadi, nggak usah ngasih nafkah batin. Nggak papa, aku ikhlas. Aku, aku mau lulus kuliah dulu, jadi, Mas Abi nggak usah repot-repot mikirin nafkah batin buat aku.”Saking gugupnya, Fika sudah melupakan bahasa formalnya pada Abi. Andai ia bisa kabur, maka Fika akan keluar dan tidur di kamar tamu.“Lihat saya kalau bicara, Fika.” Tarikan napas Abi semakin dalam. Gadis di hadapannya saat ini, pasti tidak berpikir dahulu sebelum berucap. Bisa-bisanya Abi diminta tidak usah memikirkan nafkah batin? Fika memang bisa ikhlas, tetapi bagaimana dengan Abi.Lagi, Fika menelan ludah. Menoleh perlahan, dan kembali mempertemukan tatapannya dengan Abi. Dengan Hilmi, jantung Fika tidak pernah berdebar kencang seperti sekarang. Untuk itulah Fika selalu merasa lebih nyaman dan tidak harus merasakan kegugupan, juga ketegangan seper
“Viraaa …”Fika tersentak. Menahan napas, seraya menatap Abi yang masih bergerak di atasnya. Puncak pelepasan yang baru saja Fika rasakan, menguap seketika saat mendengar Abi mendesahkan nama wanita lain. Musnahlah sudah secuil harapan yang baru saja ia pupuk dengan banyak mimpi. Namun, ternyata nama seorang Fika, memang sungguh-sungguh tidak ada di dalam hati, juga pikiran Abi.Salah ….Pernikahannya dengan Abi, memang sudah salah sedari awal. Harusnya, Fika bisa menyadari dan tidak terjatuh dalam jebakan Abi, perihal tugas seorang istri. Abi … hanya butuh Fika untuk melepas kebutuhan biologisnya. Sementara hati pria itu, masih dipenuhi oleh nama Vira.“I love you …”Fika hanya bisa diam. Andai tidak ada nama Vira, rangkaian kalimat manis barusan pasti akan membuat Fika berbunga-bunga. Namun, tubuh yang baru saja terjatuh puas itu, tidak mengungkap rasa cintanya untuk Fika, melainkan … Vira.Malam pertama yang seharusnya penuh bahagia, kini harus berakhir duka, dan menyisakan luka.~
Fika menitikkan air mata saat memeluk Clara dengan erat. Masih merasa berat, bila harus pindah dan tinggal di kediaman Pamungkas karena telah menikah dengan Abi. Terlebih-lebih, pengalaman malam pertamanya dengan Abi sungguh menoreh luka yang begitu besar, dan Fika tidak mungkin melupakannya seumur hidup.“Sudah, nggak usah nangis.” Clara melepas pelukannya, lalu mengusap tiap titik air mata yang jatuh di pipi putrinya. “Mulai sekarang ini rumah kamu juga. Anggap, Babe itu papa kamu sendiri. Bukan orang lain.”Fika mengangguk-angguk, walaupun masih setengah hati. Andai malam pertamanya dengan Abi berjalan lancar, Fika tidak akan merasa sesak sendiri seperti sekarang.“Tapi aku mau sama Mama.” Fika kembali memeluk Clara dan menitikkan air mata. Padahal, jarak antara kediaman Pamungkas dan Nugraha tidak sampai memakan waktu hingga satu jam. Bahkan, bisa lebih cepat bila pergi menggunakan kendaraan roda dua.“Kan, tiap hari masih bisa ketemu, Mama.” Meskipun berat, tetapi Clara juga haru
Abi menghempas berkas di tangan untuk yang kesekian kalinya. Pikirannya bercabang. Sama sekali tidak bisa mengumpulkan konsentrasi, seperti biasa. Semua ucapan Fika selalu terngiang di ingatan, dan Abi masih saja tidak bisa mempercayainya. Apa benar Abi menyebut nama Vira ketika sedang bersama Fika? Rasa-rasanya, sungguh tidak masuk di akal. Namun, jika memang seperti itu, Abi jelas keterlaluan. Vira … Fika … Kenapa juga kekhilafan itu harus terjadi? Andai saja Abi bisa mengontrol diri, hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi. Tidak kunjung bisa fokus dengan kasus yang harus dipelajarinya, Abi akhirnya menutup laptop, lalu beranjak dari ruang kerjanya. Sembari melangkah pelan menuju kamar, Abi mengecek satu per satu pesan yang masuk ke ponselnya. Kemudian, ia membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu menghela saat melihat siluet Fika di tempat tidurnya. "Suami yang nyebut nama perempuan lain, waktu lagi berhubungan sama istrinya." "Kalau masih mau ngejar-ngejar dia, kejar
“Abi!”“Ah, ya!” Abi menghela panjang, setelah kembali ditegur oleh Vira. Raganya memang berada di hadapan Vira, tetapi pikirannya melayang memikirkan pernikahannya dengan Fika. “Sorry, Vir, aku … oke, sampai mana tadi?”Gara-gara Fika, Abi kembali tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Harusnya, Abi senang karena gadis itu membebaskannya mengejar Vira. Fika bahkan mengikhlaskan Abi dan tidak mau peduli dengan apa pun yang dilakukannya di luar sana. Namun, Abi justru semakin merasa bersalah karena hal tersebut.Ada apa dengan Abi sebenarnya?Vira berdecak, lalu menutup berkas dan merapikannya. “Kalau lagi kurang sehat, lebih baik istirahat. Kita nggak akan bisa diskusi kalau pikiranmu nggak di sini.”“Sorry.” Abi meraih berkas yang hendak dimasukkan Vira ke dalam map plastik transparan. “Aku sehat, cuma … ada beberapa kasus yang sedikit rumit.”“I see.” Vira mengangguk paham, tetapi tetap saja terasa aneh. Seberat apa pun kasus yang ditangani Abi, pria itu tidak pernah seperti sekarang
“Jadi, apa kalian sudah bicarakan masalah resepsi?” celetuk Rasyid di tengah makan makan malam. “Kapan, dan mau digelar di mana?”“Belum,” jawab Fika cepat tanpa harus banyak berpikir. “Mas Abi masih sibuk, Pa. Jadi, biar aja begini dulu. Lagian kami juga sudah sah. Nggak perlu buru-buru.”“Tapi orang-orang juga perlu tahu, kalau kalian berdua sudah menikah,” lanjut Rasyid lalu beralih menatap putranya. “Lihat jadwalmu, Bi, terus ambil cuti dalam waktu dekat untuk resepsi dan lanjut bulan madu.”Fika sampai kesusahan menelan makanannya, karena kata bulan madu. Entah apa yang terjadi, bila Rasyid mengetahui permasalah mereka berdua nantinya. Karena Fika, sudah meminta cerai dalam jangka waktu satu bulan ke depan pada Abi.“Aku masih nangani kasus Darius, Pa.” Abi juga bingung, bila harus berbicara masalah resepsi pernikahannya dengan Fika. Apa yang mau dibicarakan, jika Fika sudah mantap meminta cerai darinya. “Papa tahu sendi—““Resepsi pernikahan itu nggak sampai satu hari sudah sele
Masalah Fika selesai. Abi sedikit bisa bernapas lega karena hal tersebut. Entah bagaimana nanti sebulan ke depan, yang terpenting, dirinya dan Fika sudah bisa berteman baik.Meskipun begitu, tetap saja Abi tidak bisa tidur dengan tenang semalaman. Pikirannya memang sudah bisa fokus pada pekerjaan, tetapi tidak, bila harus berada satu ranjang dengan Fika. Terlebih saat ada guling yang membatasi tidur mereka.Suami istri macam apa ini? Abi hanya bisa memandang bagian belakang tubuh Fika, tanpa bisa merapat dan memeluk gadis yang sudah halal menjadi miliknya.Sungguh memusingkan.Karena tidak kunjung bisa tidur, akhirnya Abi menyingkirkan guling tersebut dengan perlahan. Merapatkan diri dengan Fika, lalu memeluk gadis itu tetapi tidak terlalu erat. Hanya sekadar mengalungkan lengan, lalu menutup mata. Menghidu wangi rambut Fika dalam-dalam, dan akhirnya Abi bisa tidur dengan lelapnya.~~~~“Pagi, Bik,” sapa Abi sudah berada di dapur dan berdiri di belakang Fika.Imah menoleh pelan. Menge