Share

BAB 4. Pendekar Negeri Sakura

Dojo yang terletak di pinggiran Kota Tokyo dipenuhi oleh murid-murid yang sedang berlatih. Kebanyakan dari mereka berlatih berpasangan atau berkelompok. Namun di tengah keramaian itu, ada satu area di mana banyak murid yang hanya sekedar menonton. Mereka sedang menyaksikan latihan pertandingan. Yang membuat latihan tanding itu menarik adalah karena pertandingan itu tidak dilakukan berpasangan, tapi satu lawan tiga.

Aziz harus berkonsentrasi penuh untuk mengantisipasi serangan dari segala arah. Tiga orang yang mengepungnya bisa menyerang kapan saja. Bahkan mereka bisa menyerang bersamaan, karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Apalagi tiga orang itu bukanlah murid kemarin sore. Mereka adalah murid senior yang sudah bertahun-tahun berlatih di Dojo ini.

Dan ternyata ketiga murid itu memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka langsung mengambil posisi yang menyulitkan Aziz. Dua orang di kiri dan kanan mengambil posisi ke arah belakang di luar jangkauan penglihatan Aziz, sedang yang satu lagi tetap di hadapannya. Hal ini membuat pemuda itu hanya bisa mengantisipasi serangan dari depan, sedangkan serangan dari arah lain bisa dikatakan mustahil dipatahkan.

Akhirnya serangan itu pun datang. Dari depan datang pukulan yang mengancam kepala Aziz, sedangkan dari kiri dan kanannya ada tendangan yang mengarah ke punggung dan dada. Ketiganya datang hampir bersamaan. Dan karena posisinya diatur sedemikian rupa, Aziz hanya bisa melihat serangan dari depan dan hanya bisa menerka dua serangan lainnya.

Serangan itu dilakukan dengan kecepatan kilat. Tapi bukan Aziz namanya jika keadaan ini membuatnya kalang kabut. Dia tidak kehilangan akal. Karena satu serangan sudah mengarah ke kepala, dua serangan lain pasti mengincar bagian tubuh lain. Dengan insting yang didapat dari latihan bertahun-tahun, dia menghindari serangan ke arah kepala lalu menguatkan bagian tubuh bawahnya. Sesaat setelah Aziz menghindari pukulan itu, dia merasakan benturan keras di punggung dan dadanya.

Saking kerasnya tendangan itu, para murid yang menonton bisa mendengar suara Buk... Buk, padahal jarak mereka cukup jauh. Tapi entah terbuat dari apa tubuh itu, Aziz hanya mengernyit sesaat lalu dengan kecepatan luar biasa membalas serangan lawan-lawannya. Dia langsung melancarkan pukulan dengan tangan kanan ke arah lawan di depannya sehingga orang itu harus mundur menghindar. Setelah tangan kanan Aziz hanya menerpa tempat kosong, dia langsung melancarkan serangan dengan pukulan tangan kiri ke arah lawan di kanan kemudian membalikkan badan dan melancarkan tendangan ke arah lawan di sebelah kiri.

Memang tidak ada satu pun serangan Aziz yang mengenai sasaran. Tapi kini dia terbebas dari kurungan karena ketiga lawannya mundur beberapa langkah ke belakang. Aziz langsung mengambil posisi membelakangi dinding terdekat, sehingga kini semua lawannya harus menghadapinya dari depan. Dengan sudut hanya 180 derajat untuk melakukan serangan, ketiga lawan Aziz cukup kesulitan untuk mengatur tempo.

Serangan kembali datang bertubi-tubi, tapi kini Aziz bisa memanfaatkan keunggulannya dalam kecepatan. Apalagi setelah dia berhasil melumpuhkan satu lawannya dengan pukulan telak di ulu hati. Tempo serangan yang harus dipatahkan jadi lebih lambat. Setelah Aziz meningkatkan kecepatan geraknya, pertandingan langsung berubah arah. Aziz yang tadinya dalam posisi bertahan kini berbalik menyerang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama dia kembali bisa melumpuhkan kedua lawannya.

Setelah lawan Aziz yang terakhir roboh, tepuk tangan langsung bergemuruh. Para murid yang menonton langsung mengelu-elukan nama Aziz. Hal ini sebenarnya sering terjadi. Bisa dikatakan Aziz belum pernah kalah dalam latihan tanding di Dojo ini. Lalu level latihan tanding pun ditingkatkan, Aziz melawan dua orang murid. Dan kini, Aziz ditantang untuk menghadapi tiga orang. Tapi hasilnya sama saja, Aziz adalah pemenangnya.

Memang sejak kecil Aziz sudah menunjukkan bakatnya. Sejak dia dibawa Ahmad ke negeri ini, Aziz langsung merasa kerasan seperti tinggal di rumah sendiri. Apalagi Sensei Tanaka, pemilik Dojo ini, sangat sayang padanya. Selain karena Tanaka memang merasa berhutang budi pada Profesor Morati, dia juga sudah lama merindukan murid yang dianggap bisa mewarisi seluruh kemampuannya. Dan setelah melihat kemampuan Aziz, Tanaka bagai mendapat durian runtuh.

Sensei Tanaka adalah lelaki yang mencintai segala macam ilmu bela diri. Seluruh hidupnya dia dedikasikan untuk olah raga ini. Tanaka tidak menikah dan memiliki anak, namun dia memiliki banyak sekali murid. Tapi Aziz berbeda dengan muridnya yang lain. Kemampuannya dalam bela diri sangat luar biasa. Karena itu Tanaka sangat menyayanginya dan sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.

Saat Ahmad datang padanya dengan membawa anak berumur tiga tahun, Tanaka memandangnya dengan sebelah mata. Tapi ini permintaan Profesor Morati, jadi dengan berat hati dia mau menerima anak itu. Dan karena keseharian Tanaka adalah di Dojo miliknya, anak itu sering juga dia ajak ke sana. Dari sinilah awal Aziz memasuki dunia bela diri. Seperti anak kecil pada umumnya, Aziz suka meniru gerakan yang dia lihat. Dan di Dojo tentu saja gerakan yang dia lihat adalah gerakan bela diri.

Satu tahun setelah tinggal bersama Tanaka, Aziz sudah pintar meniru hampir semua gerakan bela diri yang diajarkan. Tanaka sangat senang melihat hal itu, sehingga saat Aziz berusia lima tahun, Tanaka memutuskan untuk mengajari anak itu secara langsung. Aziz kemudian diberi latihan untuk membentuk tubuhnya. Karena mendapat latihan fisik dalam usia yang sangat dini, Aziz tumbuh menjadi pemuda yang kuat.

Saat usianya baru 10 tahun, Tanaka sudah percaya pada kemampuan Aziz. Di usia inilah dia melakukan debut pertamanya dalam latihan tanding. Dan karena tidak ada murid Dojo seusia Aziz yang dianggap mampu melakukan latihan tanding resmi, Aziz dipasangkan dengan lawan yang berusia lima tahun di atasnya. Saat dia masuk ke arena, banyak pandangan mata yang meremehkan. Tapi semua langsung berubah setelah hanya dalam beberapa menit Aziz mampu melumpuhkan lawannya. Sejak itu Aziz praktis tak terkalahkan.

Tidak hanya dalam latihan tanding, peningkatan ilmu bela dirinya juga sangat mencengangkan. Dalam waktu tiga tahun saja dia sudah memakai sabuk hitam. Karena itu Tanaka akhirnya mengajarkannya jenis bela diri lain, sehingga dalam usia 17 tahun Aziz sudah menguasai empat macam ilmu bela diri. Hebatnya lagi, Aziz bisa menggabungkan kelebihan dari keempat ilmu bela diri itu menjadi semacam ilmu bela diri baru. Namun karena peraturan, dia hanya bisa menggunakannya dalam pertandingan tidak resmi.

Dengan kemampuan yang dia miliki, Aziz bisa menjuarai semua kompetisi yang dia ikuti. Awalnya Aziz mewakili Dojonya dalam kompetisi lokal. Setelah dia menjadi juara, praktis Aziz terpilih mewakili daerahnya untuk level kompetisi nasional kemudian mewakili Jepang di level internasional. Karena itu, meski Aziz lebih sering berada di Dojo, Tanaka tetap memintanya untuk sekolah agar Aziz tidak kesulitan dalam hal bahasa saat mengikuti ajang internasional.

Meski lemah dalam bidang akademik, Aziz tidak memiliki kesulitan untuk kuliah di perguruan tinggi. Karena prestasinya di bidang bela diri, Aziz mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Jepang. Akhirnya karena kecintaannya pada Dojo tempat ia berlatih, Aziz memilih untuk kuliah di Universitas Tokyo. Dengan demikian dia masih tetap bisa berlatih sambil kuliah.

Kini Aziz sudah memasuki kepala dua. Di usianya yang semuda itu, dia sudah mempersembahkan medali emas untuk Jepang di ajang Olimpiade bidang ilmu bela diri karate. Kuliahnya juga hampir selesai, hanya tinggal merampungkan karya ilmiah. Di saat itulah muncul dua orang asing dari Indonesia. Mereka diantar sendiri oleh Tanaka, karena memang Tanaka mengenal mereka. Dua orang itu tidak lain adalah Ahmad dan Malik, paman dan saudara kandung Aziz.

Karena Aziz masih sangat kecil saat berpisah dengan mereka, dia tidak mengenali Ahmad maupun Malik saudaranya. Jadi mereka harus memperkenalkan diri terlebih dahulu pada Aziz. Ahmad tidak pandai berbicara Bahasa Inggris apalagi Bahasa Jepang, sehingga Malik yang diminta untuk berbicara.

"Namaku Malik, dan ini Ahmad. Aku adalah saudara kandungmu, dan ini adalah pamanmu, saudara dari ibu kita. Dulu kita sering bermain bersama. Mungkin kau tidak ingat karena waktu itu kau masih sangat kecil." Malik mencoba menjelaskan dalam Bahasa Inggris.

"O ya? Kenapa aku harus percaya? Mungkin saja kalian pembohong yang ingin memanfaatkan kekuatanku." kata Aziz sangsi.

"Kau bisa bertanya pada Sensei, 17 tahun lalu paman menyerahkanmu padanya." kata Malik lagi.

"Itu tidak membuktikan bahwa kalian saudaraku." Aziz masih bersikeras.

Malik tidak tahu apa lagi yang harus dia katakan untuk meyakinkan Aziz, dia lalu memandang pamannya. Ahmad langsung mengerti dan berkata.

"Tunjukkan padanya batu itu."

Malik pun menurut. Dia mengeluarkan cincin di sakunya lalu memakainya dan menunjukkannya pada Aziz. Warna putih pada batu di cincin itu terlihat bersinar terang.

"Kau memiliki batu itu?" tanya Aziz terlihat kaget.

"Ya, awalnya batu ini berbentuk kalung. Tapi karena kalung sangat mencolok saat dipakai bepergian, aku mengubahnya menjadi mata cincin. Kau memilikinya juga kan?"

"Batu berwarna merah. Aku merasa lebih kuat saat bertanding memakai kalung itu. Tapi peraturan pada pertandingan resmi melarang aku memakai kalung, jadi aku juga mengeluarkannya dan meletakkannya di kain pengaman lutut yang kupakai saat bertanding."

"Jadi sekarang kau percaya pada kami?" tanya Malik lagi.

"Baiklah. Lalu apa yang kalian inginkan?"

"Kami ingin kau ikut dengan kami ke Indonesia sekarang."

Aziz berpikir sejenak baru kemudian menjawab.

"Seumur hidupku aku tidak pernah meninggalkan Dojo ini. Kalian harus memberi alasan yang kuat agar aku mau melakukannya."

"Kami membutuhkan kekuatanmu untuk membebaskan ayah kita. Dia ditawan oleh sang penguasa dunia. Kurasa kau suka tantangan, jadi mungkin kau tertarik untuk mencoba menaklukkannya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status