Share

BAB 3. Santri dari Indonesia

Aula masjid di pesantren binaan Kyai Harun penuh sesak. Para jamaah antusias mengikuti kajian yang diadakan pesantren itu. Dan karena kajian tersebut terbuka untuk umum, banyak warga sekitar yang datang untuk menghadirinya.

Sebenarnya kajian itu rutin dilakukan setiap pekan. Namun kali ini jumlah jamaah yang datang tidak seperti biasanya. Yang membuatnya istimewa adalah karena kajian ini diisi oleh ustadz yang baru pulang dari studinya di Mesir. Dan memang ustadz itu sudah lama menjadi kesayangan warga sekitar. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu dari Kyai Harun.

Memang sejak kecil Malik telah menjadi santri favorit di pesantren itu karena budi pekertinya yang indah. Dia ringan tangan untuk membantu orang yang membutuhkan. Sikapnya santun, murah senyum dan kata-katanya selalu terjaga. Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan, blasteran karena memang ayahnya keturunan bangsa Arya dan ibunya berdarah Melayu. Tidak heran banyak gadis yang ingin dipersuntingnya. Sayangnya sampai saat ini Malik belum juga menemukan tambatan hati.

Sejak tinggal di pesantren, Malik mendapat pengajaran langsung dari kakeknya. Tapi kadang Malik juga belajar dari guru yang lain. Berbeda dengan umumnya keluarga pemilik pesantren, Malik selalu bersikap hormat pada gurunya. Bahkan dia sering meminta maaf jika lupa saat menyetor hafalan atau melakukan sedikit kesalahan. Karena itu dia mendapat perhatian lebih dibanding santri lain.

Pernah ada salah seorang santri yang iri dengan perlakuan istimewa tersebut. Dia kemudian menghasut santri lain untuk melakukan protes. Mereka kemudian mendatangi Kyai Harun.

"Maaf Pak Kyai, kami datang untuk bertanya. Mengapa Pak Kyai memperlakukan Malik secara berbeda? Bukankah Pak Kyai harus bersikap adil pada seluruh santri?"

Kyai Harun memandang mereka sambil tersenyum, lalu berkata.

"Baiklah jika kalian ingin tahu sebabnya. Nanti sore aku minta seluruh santri berkumpul di sini dengan membawa seekor ayam."

Para santri itu pun menurut. Mereka lalu memberi tahu santri lain perihal hal ini. Sore harinya, para santri berkumpul di depan rumah Kyai Harun. Masing-masing mereka membawa seekor ayam. Termasuk Malik, sang santri kesayangan. Tak lama kemudian Kyai Harun berkata pada mereka.

"Saya memerintahkan kalian menyembelih ayam yang kalian bawa. Tapi ada syaratnya. Kalian baru menyembelih ayam itu saat tidak ada yang melihat. Kalian saya beri waktu sampai esok pagi. Esok kalian harus datang ke sini membawa hewan sembelihan itu."

Para santri lalu membubarkan diri. Mereka kemudian memisahkan diri untuk melakukan tugas itu. Ada yang pergi ke tepi hutan, perkebunan kosong, atau tempat terpencil lain. Banyak juga yang menyembelih di kamar mereka masing-masing atau menunggu sampai larut malam.

Keesokan harinya para santri itu pun berkumpul kembali. Hampir semua santri telah berhasil melaksanakan tugas itu. Tapi ternyata ada satu santri yang masih membawa ayam miliknya dalam keadaan hidup. Siapa lagi kalau bukan Malik, cucu pak kyai sendiri. Kyai Harun lalu menegurnya.

"Malik, kenapa kamu belum juga menyembelih hewan itu?"

"Maaf Pak Kyai." kata Malik. "Pak Kyai meminta saya menyembelihnya saat tidak ada yang melihat. Tapi ke mana saja saya pergi, saya merasa selalu ada yang melihat. Meski tidak ada orang yang melihat, Allah maha melihat."

Mendengar jawaban itu, Kyai Harun pun tersenyum. Sejak itu keistimewaan Malik semakin dikenal. Hal ini juga tidak luput dari perhatian Ahmad pamannya. Sejak Profesor Morati menitipkan Malik di sini, Ahmad selalu bertanya-tanya potensi apa yang dimiliki Malik yang bisa berkembang di pesantren ini.

Ahmad bisa melihat jelas keistimewaan Malik ada pada sifatnya. Tapi dia tidak habis pikir, bagaimana kebaikan hati bisa membantu dalam menaklukkan penguasa dunia. Apakah Profesor Morati berharap Malik bisa mengetuk hati Richard dan membuatnya bertobat? Sepertinya hal itu terlalu mengada-ada.

Akhirnya Ahmad memutuskan untuk melakukan uji coba. Dia lalu berbicara dengan salah seorang guru Malik dan menjelaskan rencananya. Guru itu pun setuju. Dia lalu dia mengumpulkan para santrinya, termasuk Malik.

"Ustadz ingin menguji kegigihan kalian dalam melaksanakan perintah. Kalian akan diberi sebuah ember dan segentong air. Ustadz ingin kalian mengisi gentong itu dengan air sungai sampai penuh. Ember dan gentong air itu sudah ada namanya, jadi jangan sampai tertukar."

Para santri itu lalu pergi melaksanakan perintah. Tak terkecuali Malik. Tapi alangkah terkejutnya dia saat melihat ember miliknya. Ember itu sangat usang dan kotor. Parahnya lagi, ember itu juga ternyata bocor. Setiap Malik mengambil air di sungai dengan ember itu, air yang dia bawa hanya tinggal seperempat nya saat dituang ke gentong.

Tibalah waktunya sang guru memeriksa hasil pekerjaan para santri. Hampir semua gentong sudah terisi penuh oleh air. Hanya gentong air milik Malik yang baru terisi seperempat nya. Sang guru pun bertanya.

"Malik, kenapa gentong air milikmu baru terisi sedikit? Santri lain bisa mengisi gentong mereka dengan penuh. Apakah kamu bermalas-malasan dalam melaksanakan tugas?"

"Maaf Ustadz. Saya sudah berusaha melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya. Tapi ember milik saya bocor, jadi saya membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengisi gentong itu."

"Lalu kenapa kamu tetap mengerjakannya? Bukankah pekerjaanmu jadi sia-sia karena lebih banyak air yang terbuang?"

"Tidak juga Ustadz. Meski sedikit, emberku masih bisa menampung air. Saya yakin bisa melaksanakan perintah Ustadz sampai selesai."

Sang guru pun tersenyum dan memberi kesempatan Malik menyelesaikan tugasnya. Menjelang malam, gentong itu baru terisi penuh. Santri lain sudah lama menyelesaikan tugasnya. Saat Malik berkumpul lagi dengan mereka, salah seorang santri bertanya pada Malik.

"Kenapa kamu mau saja diberi ember usang itu, tidak meminta ember lain?"

"Karena aku percaya pada guruku." jawab Malik tenang. "Dia telah memilihkan ember itu untukku. Dan meski agak lambat, aku juga bisa menyelesaikan tugas itu. Dan kalian tahu? sekarang ember usang itu jadi bersih kembali."

Saat cerita itu sampai ke telinga Ahmad, dia akhirnya bisa menjadi yakin. Potensi yang dimiliki Malik ada pada kekuatan hatinya. Saat dia sudah memiliki keyakinan, dia akan memiliki tekad yang kuat untuk menyelesaikan tugasnya, apa pun rintangan yang dihadapi. Sifat itu dibutuhkan pada diri seorang pemimpin. Ahmad yakin, Malik akan bisa memimpin adik-adiknya untuk membebaskan sang ayah dan menaklukkan penguasa dunia.

Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Kini, setelah kembali dari Mesir, Malik terlihat semakin matang. Beberapa bulan lagi genap sudah tujuh belas tahun perpisahan anak-anak Profesor Morati. Ahmad merasa sudah waktunya Malik diajak bicara. Dia lalu memanggil pemuda itu.

"Assalamualaikum paman. Ada perlu apa paman meminta aku datang ke sini?" 

"Waalaikumsalam. Duduklah Malik, ada hal penting yang ingin paman bicarakan."

Mereka kemudian duduk di ruang tamu rumah Ahmad. Setelah itu Ahmad langsung bertanya.

"Kamu masih ingat dengan keluargamu? Bukan keluarga di pesantren ini, tapi keluarga inti."

"Maksud paman ayah, ibu dan adik-adikku? Ya, tentu aku masih ingat meski sedikit samar. Sudah belasan tahun aku tidak bertemu dengan mereka. Dan waktu itu aku masih kecil."

"Baik. Coba ceritakan apa yang kamu ingat tentang mereka."

"Aku ingat ibuku. Meski dia meninggal saat aku masih kecil, bayang wajahnya masih melekat di ingatanku. Saat paman membawa aku ke sini, aku baru tahu bahwa ibuku lahir dan dibesarkan di sini. Aku jadi semakin mengenalnya karena banyak kisah tentangnya yang kudengar dari orang-orang di sini. Bahkan sekarang aku memiliki fotonya, foto ibu waktu masih gadis. Dia sangat cantik, wajar jika ayah jatuh hati padanya."

Ahmad tersenyum mendengarnya. Dia jadi terbawa ingatan saat adiknya bertemu Profesor Morati. Waktu itu Profesor Morati dan rombongan menumpang tinggal di sini karena persedian mereka sudah habis sedangkan suplai dari Jakarta terhambat cuaca. Rombongan itu sedang melakukan ekspedisi untuk penelitian terkait pertambangan.

"Bagaimana dengan ayahmu? apa yang kamu ingat tentangnya?"

"Ayah adalah lelaki yang sangat sayang pada keluarga. Aku masih ingat, dia sering mengajak kami jalan-jalan ke tempat-tempat yang indah. Tapi sejak ibu meninggal, dia berubah menjadi orang yang sibuk. Dia tidak pernah di rumah, kami dititipkan ke perawat dan pembantu. Bahkan setelah itu aku dititipkan di tempat penitipan, sampai akhirnya paman menjemput saya dan membawa saya ke sini."

"Lalu apa yang kamu ingat tentang adik-adikmu?" tanya Ahmad lagi.

"Saya punya tiga orang adik. Semuanya lelaki. Saya dulu sering bermain dengan adik saya, Aziz. Sedangkan adik saya yang lain masih sangat kecil. Sejak mereka lahir, mereka selalu diasuh oleh perawat. Saya masih ingat paman juga menjemput mereka dan membawa mereka bersama saya ke sini. Tapi setelah itu paman membawa mereka pergi, entah ke mana."

"Bagus sekali, kamu masih ingat semuanya. Dan memang ini yang ingin paman bicarakan. Tujuh belas tahun lalu ayahmu memberi amanat padaku untuk menitipkan ketiga adikmu ke tempat-tempat berbeda. Kini saatnya untuk menjemput mereka. Kalian memiliki tugas berat untuk menaklukkan sang penguasa dunia."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status