Malam itu, langit di atas Kota Savana tampak begitu tenang. Lampu-lampu kota berpendar indah seperti permata, seolah tidak ada yang luar biasa sedang terjadi. Namun jauh di angkasa, di luar jangkauan penglihatan manusia Bumi, sebuah robekan dimensi perlahan terbuka. Cahaya ungu pekat memancar, seperti guratan retakan kaca raksasa di tengah hampa udara. Dari celah itu, sebuah kapsul logam berputar liar, meledak separuh, terseret gaya gravitasi menuju atmosfer Bumi. Sebuah tim kecil dari Mega-Trix Defense Unit langsung bereaksi. Catherine dan Ravina, bersama dua unit drone tempur, segera menuju lokasi jatuhnya benda asing itu di hutan belantara pinggir Savana. Saat pintu kapsul terbuka paksa, asap tebal mengepul keluar. Sosok setengah roboh tertatih-tatih keluar dari dalam, tubuhnya penuh luka, armor masa depan yang hancur sebagian. Ravina membelalakkan mata. "Itu... tidak mungkin!" Catherine ikut tercengang. "A... Ayah Dilan?!" Sosok itu, meski dengan lengan kiri yang sudah tak a
Ledakan terakhir mengguncang ruang angkasa di sisi gelap orbit Bumi. Puing-puing logam bercahaya beterbangan seperti hujan meteor perlahan, berkilau memantulkan cahaya bintang. Di tengah kekacauan itu, Axel Skays berdiri tegak, dikelilingi aura Spirit Kehidupan yang samar masih berpendar di balik armor adaptif Mega-Trix yang telah rusak sebagian. Napasnya berat, namun sorot matanya tetap tajam. Tak satu pun penduduk Bumi mengetahui bahwa di atas kepala mereka, baru saja terjadi pertempuran antar dimensi yang hampir membawa kehancuran. Para istrinya mulai menghampiri. Mereka semua kelelahan, pakaian tempur mereka robek di beberapa bagian, luka kecil menghiasi tubuh indah mereka, tapi senyum kemenangan mulai mengembang. Nevertari tiba pertama. Rambut merah apinya melambai lembut dalam sisa pusaran plasma. "Kau masih berdiri seperti pahlawan," bisiknya sambil menyentuh dada Axel. Axel tersenyum tipis. "Aku belum boleh tumbang. Masih ada yang harus kupeluk malam ini." Nevertari ter
Langit di atas markas utama Skays berubah menjadi gelap, bukan karena malam yang datang, tapi oleh bayangan besar yang mulai menutupi cakrawala. Armada musuh, yang selama ini menyembunyikan kekuatan sebenarnya, kini meluncurkan serangan besar-besaran yang menggetarkan ruang angkasa dan mengguncang planet-planet di galaksi. Axel berdiri di pusat komando, tatapannya tajam menembus layar holografik yang menampilkan ribuan kapal musuh melaju dengan kecepatan mematikan. Di sekelilingnya, para istri dan jenderal-jenderal terdepan bersiap menghadapi gelombang peperangan yang tak terelakkan. Lilian mengulurkan tangannya dan cahaya lembut menyelimuti luka kecil di wajah Axel. “Kau harus kuat, Axel. Kita semua bergantung padamu.” Axel mengangguk. “Kita sudah melalui banyak hal, tapi ini adalah ujian terbesar. Aku tidak akan membiarkan siapapun terluka.” --- Pertempuran dimulai dengan gemuruh suara laser dan ledakan yang memenuhi ruang angkasa. Catherine mengerahkan kekuatan bumi, menc
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat planet utama markas Axel, sementara bayangan-bayangan panjang membentang menutupi lembah-lembah yang sunyi. Suasana markas utama berubah menjadi sibuk dan penuh kegelisahan. Para prajurit dan ilmuwan berpacu dengan waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan menghadapi ancaman yang semakin nyata. Axel berdiri di ruang strategi, menatap peta galaksi holografik yang berputar perlahan di hadapannya. Garis-garis merah berkedip-kedip menandakan titik-titik panas di wilayah perbatasan, lokasi aktivitas musuh yang mulai mengancam. Di sampingnya, Lilian melangkah dengan langkah tenang, membawa secangkir teh hangat. “Kau tahu, Axel, ini mungkin salah satu pertempuran terbesar yang akan kita hadapi. Tapi aku yakin, dengan kekuatan kesembilan istrimu dan dukungan seluruh galaksi, kita bisa menghadapinya.” Axel menghela napas panjang. “Aku harap begitu, Lilian. Aku tidak ingin ada yang terluka, apalagi kehilangan. Tapi jika itu yang harus
Langit senja di planet Ice Planet berubah warna menjadi semburat jingga dan ungu, sementara udara mulai mendingin dengan hembusan angin yang membawa aroma khas es dan salju. Di sebuah aula besar yang terbuat dari kristal es, Ice Four duduk termenung menatap langit luar yang membentang luas. Wajahnya yang biasanya ceria kini dipenuhi oleh keraguan dan kekhawatiran. Di sampingnya, Jenderal Five duduk dengan tenang, mencoba menghibur sang putri yang selama ini dikenal penuh semangat. “Putri, kekhawatiranmu wajar. Tapi kau harus ingat, ini adalah jalan yang harus kita tempuh. Kita semua harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.” Ice Four menunduk, jari-jarinya bermain-main dengan salju di meja kaca. “Aku hanya takut aku belum cukup kuat. Apa aku benar-benar bisa menjadi istri dan pejuang yang layak bagi Axel?” Jenderal Five tersenyum hangat. “Kau lebih kuat dari yang kau kira, dan kau tidak pernah sendirian. Ingatlah, takdir kita semua sudah diukir jauh sebelum kita lahir. Bahkan
Pagi menyingsing di atas bukit tempat rumah kedua Axel berdiri megah. Sinar matahari menembus celah-celah daun pepohonan, menciptakan pola-pola cahaya yang berkilauan di lantai kayu yang luas. Udara pagi terasa segar dan membawa aroma tanah basah serta bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar. Axel duduk di teras rumahnya, mengamati cakrawala dengan tatapan penuh harap dan sedikit kekhawatiran. Di sampingnya, Lilian menyiapkan sarapan, wajahnya tenang namun penuh pikiran. “Axel,” ucap Lilian lembut, “apa yang kau pikirkan?” Axel tersenyum tipis. “Tentang masa depan. Tentang tugas yang harus aku jalani. Aku tahu tak mudah mempersatukan seluruh galaksi, apalagi dengan ancaman yang selama ini tersembunyi di balik bayang-bayang.” Lilian mengangguk. “Itu benar. Tapi kau bukan seorang diri. Kau sudah punya kami, dan yang terpenting, kau punya hati yang tulus untuk melindungi mereka yang kau cintai.” Di saat yang sama, di ruang pertemuan besar yang terletak di dalam markas utama g