หน้าหลัก / Fantasi / Sang Pengubah Takdir / Dagangan Laku, Tetangga Heran

แชร์

Dagangan Laku, Tetangga Heran

ผู้เขียน: Black Jack
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-10-05 23:33:22

Wang Cheng mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rangga.

“Kotoran kelelawar? Yang benar saja!” kata Wang Cheng.

Rangga sedikit kaget melihat respon itu. Ia sangat ingat jika di masa depan lelaki itu merupakan pemasok besar kotoran kelelawar yang akan dikirim ke negrinya sendiri sebagai bahan bubuk api.

‘Apakah perang di negri utara belum terjadi? Seharusnya sudah… seharusnya saat ini mereka sudah berlomba-lomba mengumpulkan bahan baku untuk membuat senjata perang…’ ucap Rangga dalam hati. Ia sempat ragu dengan perkiraannya sendiri.

“Tuan akan kaya raya dan desa ini bisa menyediakan banyak kotoran kelelawar untuk dijual ke negrimu. Aku tahu hal ini tak boleh dibocorkan dan aku tentu tak akan memberitahu apa manfaat kotoran kelelawar itu kepada orang-orang. Jadi di sini kita akan sama-sama diuntungkan!” kata Rangga dengan ekspresi yakin.

Lagi-lagi Wang Cheng menunjukkan ekspresi wajah yang sukar ditebak.

“Kau bisa mengirim ke utara?” ujarnya. “Biaya bisa aku tanggung dan harga akan lebih bagus jika aku membelinya di sana!” kata Wang Cheng.

Rangga tampak berpikir. Masalahnya, ia masih harus tetap dekat dengan Citra sebab waktunya terbatas. Ke utara butuh waktu setidak-tidaknya tiga minggu hingga empat minggu pulang pergi dengan membawa semua kotoran kelelawar itu.

“Sayang sekali aku belum bisa untuk saat ini. Barangkali di panen yang kedua aku bisa mengirim ke sana. Tuan bisa membelinya dengan harga murah jika dibawa sendiri dari sini! Bukankah setelah dari desa ini, Tuan pun akan kembali ke utara? Tenang saja. Semua kotoran itu sudah aku kemas dengan rapi dan tak akan banyak mengoroti kereta-kereta pedati yang tuan bawa itu!” kata Rangga.

“Berapa banyak?” tanya Wang Cheng.

“Empat pedati kurang lebihnya…” balas Rangga.

“Harga?” tanya Wang Cheng.

“100 keping emas untuk satu pedati. Itu sudah sangat murah… kotoran itu sulit dicari dan tak semua tempat menyediakannya!” kata Rangga.

“Terlalu mahal. 50 keping emas tiap pedatinya!” tawar Wang Cheng.

‘Bedebah sialan. Dia ingin mengambil banyak keuntungan…’ umpat Rangga dalam hati.

“Tujuh puluh!” tawar Rangga.

“Tidak mau. Tetap lima puluh!” kata Wang Cheng.

Rangga menghela nafas panjang. Tapi jika dipikir-pikir, ia sudah untung banyak. Modal yang ia keluarkan untuk membayar tenaga, makanan dan menyewa pedati tak lebih dari 10 keping emas dalam pecahan uang perak dan perunggu.

“Baiklah. Kalau begitu, silakan tuan menikmati sarapan. Aku bisa menunggu dan nanti kita bisa sama-sama ke rumahku,” kata Rangga.

Biasanya Wang Cheng akan mengisi keretanya dengan banyak barang dagangan dari pasar yang mana jenis dagangan itu tak akan bisa didapatkan di wilayah utara.

Namun karena ada barang penting yang harus ia bawa, ia pun akan mengosongkan empat keretanya secara khusus untuk mengangkut kotoran kelelawar itu.

Rangga duduk santai dan menunggu.

Usai sarapan, Wang Cheng segera menemui anak buahnya dan memerintahkan untuk mengosongkan empat pedati dengan memindahkan barang-barangnya ke pedati yang lain.

Setelah itu, Wang Cheng mencari Rangga.

“Kita bisa berangkat ke rumahmu sekarang! Kau jalan kaki atau naik kuda?”

“Jalan kaki…” balas Rangga. “Tidak jauh dari sini…” lanjutnya.

“Bareng bersamaku saja!” kata Wang Cheng.

Maka Rangga naik ke salah satu pedati yang ditumpangi oleh sang saudagar itu sekalian pula ia akan menjadi penunjuk jalan. Ada belasan pengawal yang ikut mengawal empat pedati yang bergerak menuju ke rumah Rangga.

Datangnya empat pedati yang dikawal oleh para pengawal berkuda itu membuat para tetangga Rangga bertanya-tanya; siapakah gerangan yang datang dan ada apa?

Citra keluar dari rumah dan menatap heran suaminya yang datang bersama beberapa orang asing dan beberapa pengawal pribumi.

“Ada apa ini, Kangmas?” Citra mendekat dan bertanya dengan raut wajah cemas; ia takut Rangga kembali berada dalam masalah.

“Tidak apa-apa. Kotoran kelelawarnya laku. Kau akan segera terbebas dari bau tak sedap ini!” kata Rangga sambil menyunggingkan senyumnya.

“Hah? Laku?” ucap Citra. Ia sungguh sukar mempercayainya.

“Lihat saja sendiri!” kata Rangga.

Wang Cheng segera memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut semua tumpukan karung berisi kotoran kelelawar itu ke dalam pedati. Setelah itu ia menemui Rangga untuk membayar dagangan tersebut.

“Mari masuk, Tuan Cheng…” ucap Rangga dengan bahasa pribumi agar istrinya mengerti dan juga tidak curiga.

Aku tidak bisa membuang banyak waktu. Tak usah menjamuku dengan minuman. Aku bayar langsung saja!” kata Wang Cheng dengan bahasa pribumi yang ia ucapkan dengan logat aneh dan terkesan kaku.

Di beranda depan itu Wang Chen mengeluarkan uangnya dan menghitungnya sesuai jumlah yang harus ia bayar. 200 keping emas.

Citra yang berada bersama Rangga terbelalak tak percaya.

‘Astaga… sebenarnya untuk apa kotoran kelelawar itu? Kenapa dia mau membeli dengan harga yang sangat mahal… dan bagaimana kangmas Rangga bisa mengerti semua ini…’ ucap Citra dalam hati.

Begitu para pengawal Wang Cheng selesai memasukkan semua karung berisi kotoran kelelawar itu, mereka segera pergi.

“Hehehe… akhirnya laku juga. Ini uangnya untukmu, Nimasku sayang. Kau tak bisa menolaknya kali ini karena kau melihat sendiri aku mencarinya dengan bekerja!” kata Rangga menyerahkan sekantong kulit penuh kepingan emas itu kepada istrinya.

Citra merasa sangat bahagia. Bukan karena uang semata, namun ia mendapatkan satu bukti kuat jika Rangga memang sudah berubah.

Dan tak lama kemudian, para tetangga Rangga yang sedari tadi penasaran kini datang mendekat.

“Rangga! Kau berhasil menjual kotoran itu?” tanya Ki Panut.

“Seperti yang paman lihat!” kata Rangga.

Orang-orang melirik satu kantong kulit yang sudah pasti berisi banyak uang itu.

“Laku berapa, Rangga?” tanya Ki Gendon; si tetangga usil yang paling sering menghina Rangga selama kotoran itu belum terjual.

Rangga sebenarnya tak mau menjawab. Namun Citra yang senang dan bangga itu berucap, “Dua ratus keping emas!”

Maka semua orang terperangah kaget dengan harga gila dari kotoran kelelawar itu.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (2)
goodnovel comment avatar
Amriadi Lusiana
gass kang jack
goodnovel comment avatar
Kartika Maiyuni putri
hahaha.... iri bilang bos...!
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Sang Pengubah Takdir   Akhir Cerita

    Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan

  • Sang Pengubah Takdir   Hancurnya Benteng Wonobhumi

    Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin

  • Sang Pengubah Takdir   Mendekati Benteng Musuh

    Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap

  • Sang Pengubah Takdir   Sampai Di Kotaraja Wonobhumi

    Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja

  • Sang Pengubah Takdir   Citra Hamil?

    Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain

  • Sang Pengubah Takdir   Memporak-Porandakan Musuh Dengan Ledakan

    Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status