Wang Cheng mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rangga.
“Kotoran kelelawar? Yang benar saja!” kata Wang Cheng.
Rangga sedikit kaget melihat respon itu. Ia sangat ingat jika di masa depan lelaki itu merupakan pemasok besar kotoran kelelawar yang akan dikirim ke negrinya sendiri sebagai bahan bubuk api.
‘Apakah perang di negri utara belum terjadi? Seharusnya sudah… seharusnya saat ini mereka sudah berlomba-lomba mengumpulkan bahan baku untuk membuat senjata perang…’ ucap Rangga dalam hati. Ia sempat ragu dengan perkiraannya sendiri.
“Tuan akan kaya raya dan desa ini bisa menyediakan banyak kotoran kelelawar untuk dijual ke negrimu. Aku tahu hal ini tak boleh dibocorkan dan aku tentu tak akan memberitahu apa manfaat kotoran kelelawar itu kepada orang-orang. Jadi di sini kita akan sama-sama diuntungkan!” kata Rangga dengan ekspresi yakin.
Lagi-lagi Wang Cheng menunjukkan ekspresi wajah yang sukar ditebak.
“Kau bisa mengirim ke utara?” ujarnya. “Biaya bisa aku tanggung dan harga akan lebih bagus jika aku membelinya di sana!” kata Wang Cheng.
Rangga tampak berpikir. Masalahnya, ia masih harus tetap dekat dengan Citra sebab waktunya terbatas. Ke utara butuh waktu setidak-tidaknya tiga minggu hingga empat minggu pulang pergi dengan membawa semua kotoran kelelawar itu.
“Sayang sekali aku belum bisa untuk saat ini. Barangkali di panen yang kedua aku bisa mengirim ke sana. Tuan bisa membelinya dengan harga murah jika dibawa sendiri dari sini! Bukankah setelah dari desa ini, Tuan pun akan kembali ke utara? Tenang saja. Semua kotoran itu sudah aku kemas dengan rapi dan tak akan banyak mengoroti kereta-kereta pedati yang tuan bawa itu!” kata Rangga.
“Berapa banyak?” tanya Wang Cheng.
“Empat pedati kurang lebihnya…” balas Rangga.
“Harga?” tanya Wang Cheng.
“100 keping emas untuk satu pedati. Itu sudah sangat murah… kotoran itu sulit dicari dan tak semua tempat menyediakannya!” kata Rangga.
“Terlalu mahal. 50 keping emas tiap pedatinya!” tawar Wang Cheng.
‘Bedebah sialan. Dia ingin mengambil banyak keuntungan…’ umpat Rangga dalam hati.
“Tujuh puluh!” tawar Rangga.
“Tidak mau. Tetap lima puluh!” kata Wang Cheng.
Rangga menghela nafas panjang. Tapi jika dipikir-pikir, ia sudah untung banyak. Modal yang ia keluarkan untuk membayar tenaga, makanan dan menyewa pedati tak lebih dari 10 keping emas dalam pecahan uang perak dan perunggu.
“Baiklah. Kalau begitu, silakan tuan menikmati sarapan. Aku bisa menunggu dan nanti kita bisa sama-sama ke rumahku,” kata Rangga.
Biasanya Wang Cheng akan mengisi keretanya dengan banyak barang dagangan dari pasar yang mana jenis dagangan itu tak akan bisa didapatkan di wilayah utara.
Namun karena ada barang penting yang harus ia bawa, ia pun akan mengosongkan empat keretanya secara khusus untuk mengangkut kotoran kelelawar itu.
Rangga duduk santai dan menunggu.
Usai sarapan, Wang Cheng segera menemui anak buahnya dan memerintahkan untuk mengosongkan empat pedati dengan memindahkan barang-barangnya ke pedati yang lain.
Setelah itu, Wang Cheng mencari Rangga.
“Kita bisa berangkat ke rumahmu sekarang! Kau jalan kaki atau naik kuda?”
“Jalan kaki…” balas Rangga. “Tidak jauh dari sini…” lanjutnya.
“Bareng bersamaku saja!” kata Wang Cheng.
Maka Rangga naik ke salah satu pedati yang ditumpangi oleh sang saudagar itu sekalian pula ia akan menjadi penunjuk jalan. Ada belasan pengawal yang ikut mengawal empat pedati yang bergerak menuju ke rumah Rangga.
Datangnya empat pedati yang dikawal oleh para pengawal berkuda itu membuat para tetangga Rangga bertanya-tanya; siapakah gerangan yang datang dan ada apa?
Citra keluar dari rumah dan menatap heran suaminya yang datang bersama beberapa orang asing dan beberapa pengawal pribumi.
“Ada apa ini, Kangmas?” Citra mendekat dan bertanya dengan raut wajah cemas; ia takut Rangga kembali berada dalam masalah.
“Tidak apa-apa. Kotoran kelelawarnya laku. Kau akan segera terbebas dari bau tak sedap ini!” kata Rangga sambil menyunggingkan senyumnya.
“Hah? Laku?” ucap Citra. Ia sungguh sukar mempercayainya.
“Lihat saja sendiri!” kata Rangga.
Wang Cheng segera memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut semua tumpukan karung berisi kotoran kelelawar itu ke dalam pedati. Setelah itu ia menemui Rangga untuk membayar dagangan tersebut.
“Mari masuk, Tuan Cheng…” ucap Rangga dengan bahasa pribumi agar istrinya mengerti dan juga tidak curiga.
Aku tidak bisa membuang banyak waktu. Tak usah menjamuku dengan minuman. Aku bayar langsung saja!” kata Wang Cheng dengan bahasa pribumi yang ia ucapkan dengan logat aneh dan terkesan kaku.
Di beranda depan itu Wang Chen mengeluarkan uangnya dan menghitungnya sesuai jumlah yang harus ia bayar. 200 keping emas.
Citra yang berada bersama Rangga terbelalak tak percaya.
‘Astaga… sebenarnya untuk apa kotoran kelelawar itu? Kenapa dia mau membeli dengan harga yang sangat mahal… dan bagaimana kangmas Rangga bisa mengerti semua ini…’ ucap Citra dalam hati.
Begitu para pengawal Wang Cheng selesai memasukkan semua karung berisi kotoran kelelawar itu, mereka segera pergi.
“Hehehe… akhirnya laku juga. Ini uangnya untukmu, Nimasku sayang. Kau tak bisa menolaknya kali ini karena kau melihat sendiri aku mencarinya dengan bekerja!” kata Rangga menyerahkan sekantong kulit penuh kepingan emas itu kepada istrinya.
Citra merasa sangat bahagia. Bukan karena uang semata, namun ia mendapatkan satu bukti kuat jika Rangga memang sudah berubah.
Dan tak lama kemudian, para tetangga Rangga yang sedari tadi penasaran kini datang mendekat.
“Rangga! Kau berhasil menjual kotoran itu?” tanya Ki Panut.
“Seperti yang paman lihat!” kata Rangga.
Orang-orang melirik satu kantong kulit yang sudah pasti berisi banyak uang itu.
“Laku berapa, Rangga?” tanya Ki Gendon; si tetangga usil yang paling sering menghina Rangga selama kotoran itu belum terjual.
Rangga sebenarnya tak mau menjawab. Namun Citra yang senang dan bangga itu berucap, “Dua ratus keping emas!”
Maka semua orang terperangah kaget dengan harga gila dari kotoran kelelawar itu.
Para tetangga sudah mendapatkan bukti bahwa kotoran itu memang laku dijual. Dan kini mereka pun ingin tahu banyak soal kotoran tersebut kepada Rangga; siapa yang membeli dan sebenarnya untuk apa kotoran tersebut dijual dengan harga mahal?Rasa-rasanya memang sulit dipercaya.“Citra, ayo masuk ke dalam rumah…” ajak Rangga yang sedang malas dengan para tetangganya yang sudah tampak gelagatnya ingin bertanya macam-macam.“Iya, Kangmas…” kata Citra. Hatinya masih senang.“Rangga, tunggu dulu, hehehe… tadi itu kenalanmu?” tanya Ki Panut.“Iya, Ki…” balas Rangga singkat.“Hehehe, begini Rangga… bisakah kau membantu kami? Jika kami mengumpulkan kotoran kelelawar, bagaimana jika kau memanggil kenalanmu itu untuk membeli apa yang kami kumpulkan?” kata Ki Panut. Tetangga yang lain menganggukkan kepala pertanda mereka memiliki pertanyaan serupa.“Orang itu hanya mau membeli kepadaku. Kalian bisa mencobanya jika tidak percaya. Dan lagipula, dia hanya mau beli dalam jumlah banyak!” kata Rangga men
Mereka berdua makan malam dengan perasaan senang. Suasana rumah itu terasa syahdu dengan bantuan beberapa lampu teplok (lampu minyak) yang terpasang di beberapa titik dinding rumah.Kulit Citra cenderung berwarna kuning langsat untuk ukuran orang pribumi desa itu yang rata-rata cenderung menggelap karena mereka bekerja di ladang berjemur dengan matahari. Dengan cahaya temaram seperti itu, Citra terlihat begitu cantik dengan kulit wajahnya yang tampak keemasan.“Kenapa Kangmas menatapku terus-terusan?” ujar Citra salah tingkah.“Rasanya tidak bosan aku terus memandangimu…” kata Rangga.“Gombal…” kata Citra. Padahal hatinya senang juga mendapatkan perhatian seperti itu.“Kau tidak pernah percaya padaku!” balas Rangga.“Sebab rasanya terlalu tiba-tiba. Sebelum ini, Kangmas benar-benar membenciku…” kata Citra.“Itu karena aku buta. Dan dewata kini sudah membuka mataku dan hatiku; menyadarkanku bahwa istriku lebih indah dari apapun di dunia ini!” lagi-lagi Rangga berucap manis.Hati Citra
Rangga sangat berang dengan apa yang dilakukan Nawang. Ia sadar jika pasti Citra merasa sedih dan lagi-lagi malam itu ia pasti tak akan berhasil lagi untuk memadu asmara.“Nawang! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan!” teriak Rangga sambil berusaha mendorong Nawang sampai wanita itu hampir jatuh.Nawang terlihat kaget dan tak percaya dengan apa yang dilakukan Rangga padanya.“K-kangmas… kenapa kau kasar padaku…” ucap Nawang sambil terisak.“Nawang, aku sudah beristri. Pergilah. Jangan pernah lagi datang kemari!” kata Rangga mengusir.“K-kenapa? Apa salahku? Aku selalu mencintaimu dan kau pun demikian. Aku tahu itu Kangmas. Teman-temanmu menceritakan hal itu padaku. Kau tersiksa selama aku pergi. Demikian halnya denganku! Tinggalkan istri sialanmu itu dan ayo hidup denganku. Apalagi yang menghalangimu? Kedua orang tuamu sudah tiada dan kau berhak menentukan hidupmu sendiri!” kata Nawang.“Lancang! Beraninya kau bicara seperti itu, Nawang!” Bentak Rangga dengan tatapan berang.Citra mende
Wajah Citra seketika merona merah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Mandi bersama? Ia tidak siap tentu saja.“Tidak mau. Aku malu, Kangmas…” kata Citra sambil menutup wajahnya.“Kenapa malu? Kan kita suami istri. Bukan hal aneh jika sepasang suami istri mandi bersama!” kata Rangga.“Belum siap, Kangmas… aku malu…” kata Citra.“Hahaha. Ya sudah sana kau mandi duluan. Nanti aku juga mandi dan setelah itu kita pergi mencari sarapan…” kata Rangga.Rangga lega istrinya hanya ngambeg semalam. Hari ini ia harus lebih banyak bersikap romantis agar nanti malam ia berhasil bercinta dengan istrinya. Rasanya gemas sekali selalu gagal.Usai mandi dan berganti pakaian, mereka berdua jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan di dekat pasar. Baru pertama kali mereka berdua terlihat jalan-jalan. Para tetangga tentu menatap heran. Namun banyak juga yang senang; para ibu-ibu yang selama ini kasihan dengan hidup Citra.Dan disepanjang jalan itu, raut wajah mereka menampakkan kebahagiaan
Tanpa pikir panjang, Teja yang sangat marah dengan hal itu langsung melayangkan pukulan-pukulan menghajar Rangga. Untung kemudian para tetangga datang melerai sehingga Rangga pun tak sampai cacat. Rangga juga dilarikan ke tempat lain agar Teja tidak terus-terusan mengamuk. Hal itu benar-benar menjadi bahan gunjingan banyak orang. Ratri pun pergi entah kemana. Benar-benar lenyap dan tak ada yang menyadari kapan wanita itu pergi. Ia takut dengan situasi itu. Sedangkan Teja mengurus adiknya yang pingsan; ia segera membawanya masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Citra siuman. Ia seperti orang yang linglung dan yang ia dapati hanyalah Teja seorang. “Minumlah dulu…” Teja mengambilkan air. Dengan enggan, Citra mengambil air itu dan meminumnya. “Aku tidak pernah ingin kau tidak bahagia, Citra. Percayalah, aku ini kakakmu. Aku yang paling menyayangimu lebih dari siapapun juga. Aku jarang salah menilai orang. Aku rasa kini aku paham kenapa suamimu menjadi baik padamu; karena dia mengham
Rangga sangat panik melihat perbuatan Nawang yang nekad itu. Bagaimana pun, Rangga adalah lelaki normal. Harus ia akui bahwa tubuh yang terpampang jelas di depannya itu sangat menggoda.Nawang memang cantik dan bertubuh indah. Kulitnya mulus kuning langsat membungkus segala keluk tubuhnya yang serba menonjol sempurna; menantang para lelaki untuk berkelana mengarungi lautan cinta.“A-apa yang kau lakukan… keluar dari sini!” kata Rangga. Wajahnya sudah merah padam karena malu dan marah.“Kangmas… kau jangan membohongi dirimu sendiri. Aku tahu kau masih menyukaiku. Lidahmu berkata tidak, tapi bagian tubuhmu yang lain tidak demikian!” kata Nawang sambil melirik sesuatu yang ditutupi Rangga dengan kedua tangannya. Benda itu memang sudah tegap mengeras memanjang ke atas dan tak tertutup sempurna oleh kedua tangan Rangga.Nawang bergerak mendekat lalu berlutut di depan Rangga. Ia tetap menjaga senyumnya terus mengembang untuk bisa menggoda lelaki itu.Dengan lembut Nawang berusaha menyingkir
Rangga terbangun dan sedikit berteriak kaget. Ternyata yang barusan ia alami hanya mimpi yang seolah terasa nyata. Keringat dingin langsung membasahi tubuhnya.‘Sial… sampai terbawa mimpi!’ ucap Rangga dalam hati. Ia ingin pipis saat itu juga. Ada rasa enggan untuk ke belakang, namun tidak kuat juga jika harus menahan diri sampai pagi.Dengan perasaan was-was, Rangga menuju ke belakang. Sebelum ia membuka pintu, ia membuka terlebih dahulu jendela kecil yang ada di ruang belakang, mengamati dapur dan sekitarnya untuk sekadar memastikan tak ada siapapun.‘Aman…’ ucap Rangga dalam hati. Lalu ia segera menuntaskan hasrat buang air kecilnya.Di belakang rumahnya, Rangga memikirkan sesuatu. Jika ia pergi menyusul Citra, ia tak mungkin pula membawa semua uangnya dan juga perhiasan yang ia berikan untuk Citra.Sehingga, Rangga punya rencana untuk menyimpan sebagian yang tidak ia bawa di dalam kotak kayu. Lalu malam itu juga, ia melubangi lantai kamarnya dengan linggis dan menaruh kotak uangny
Rangga makan dengan cepat. Pikirannya tidak tenang dan matanya terus mengawasi halaman rumah orang tua Citra.‘Jika ini sebuah tipuan, Jika ayah mertuaku tidak sakit, seharusnya Citra tahu. Ah, sial! Dia pasti sakit hati gara-gara Ratri datang dan mengatakan jika aku menghamilinya. Jika ternyata itu ulang Kang Teja, maka aku tak akan sungkan lagi. Sekalipun aku kalah jika berkelahi dengannya, tapi aku tak akan diam saja dia memukuliku!’ ucap Rangga dalam hati.“Den bukan orang sini, kan?” tanya penjual makanan itu.“E—iya…” kata Rangga.“Kok bisa tahu jika di depan itu rumah Ki Suryo? Kok tadi tanya apakah Ki Suryo sakit?” si ibu penjual makanan itu mulai mencari tahu.“Aku teman Kang Teja, Bibi…” balas Rangga.“Owalah… lha kok ndak masuk saja ke sana…” kata Si Bibi itu.“Ndak enak, Bi… kan sedang ada tamu itu… nunggu di sini boleh?” tanya Rangga.“Monggo saja Den… mau tambah lagi minumannya?”“Boleh. Tolong buatkan yang manis-manis saja, bi…” kata Rangga.Hari mulai sore dan akhirnya