Rangga merasa gemas melihat sikap Citra yang seperti itu. Ya, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi istrinya! Tapi tidak bisa juga. Dulu ada Nawang; wanita itu pun sangat cantik dan pintar menggoda.
Jika dihitung dari peristiwa pertama Rangga menjual istrinya kepada ketiga temannya itu, maka seharusnya tak akan lama lagi Nawang akan kembali.
Dan kali ini, Rangga tak akan peduli. Di masa depan, wanita itu benar-benar akan menjelma ular berbisa yang menghancurkan hidupnya.
Rangga menarik tubuh Citra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia pun memeluk mesra sang istri yang masih polos itu.
“K-kangmas… tapi datang bulanku belum selesai… bagaimana ini?” ucap Citra galau setengah mati.
Rangga tertawa mendengarnya.
“Bukan berarti aku tak boleh memeluk istriku yang sedang datang bulan, kan!” kata Rangga. Ya, tersiksa juga sebetulnya. Ada yang cenat-cenut meminta jatah.
***
Pagi itu Rangga pergi ke pasar. Tujuannya hanyalah satu; bertemu dengan saudagar dari negri utara yang mungkin saja melintas di hari itu.
Rangga tahu, setiap satu atau satu setengah bulan sekali, saudagar itu akan melintas di desa mereka dengan membawa dagangan dari wilayah utara dan sekaligus mencari barang dari wilayah selatan untuk dibawa ke utara.
Hanya saja Rangga tidak sepenuhnya tahu kapan saudagar itu akan datang.
Pasar terlihat ramai. Kebetulan pula hari itu adalah hari pasaran. Dan di jaman itu, yang namanya pasar bukan hanya untuk urusan jual beli saja, namun ada tempat-tempat judi yang digelar layaknya lapak biasa. Dan yang paling ramai adalah arena untuk adu jago. Banyak sekali laki-laki yang berkerumun mengelilinginya, entah sekadar untuk menonton atau ikutan bertaruh.
Rangga tak mau mendekati tempat itu. Ia memilih untuk duduk santai menunggu sambil menikmati jenang sumsum.
Gatot, Parwo dan Teguh lewat. Mereka berhenti ketika melihat Rangga sedang sendirian di sana.
“Apa yang dilakukan anak itu! Sudah beberapa hari dia tak pernah muncul! Di hari pasaran besar, biasanya dia sudah ada di kalangan adu ayam. Kini malah masih bengong di situ!” kata Parwo.
“Dia sungguh menjadi aneh sekarang. Tapi aku juga masih menginginkan istrinya. Ayo kita ajak judi saja. Siapa tahu dia benar-benar kalah dan kehabisan uang, lalu dia akan menyerahkan istrinya!” kata Gatot.
“Iya kalau dia mau! Anak-anak mengatakan dia sudah tak mau lagi berjudi. Kira-kira apa yang terjadi padanya?” kata Teguh.
“Anehnya lagi, dia membeli tanah dan membangun kandang kuda. Lalu dia mengumpulkan kotoran kelelawar. Apakah dia sudah gila? Keanehan itu terjadi saat kita hendak meniduri istrinya waktu itu!” kata Gatot.
“Bisa jadi Citra sudah mencari orang pintar dan mengguna-gunai Rangga!” kata Parwo.
Ketiga teman jahanam itu lebih suka Rangga kembali bejat seperti dulu sebab mereka bisa dengan mudah memanfaatkannya. Bagaimana pun, Rangga itu mudah melepaskan uang.
“Aku juga berpikir seperti itu! Lalu bagaimana? Apakah kita mencari orang tua saja untuk melepas guna-guna itu agar Rangga kembali seperti semula!” kata Gatot.
“Kita pikirkan nanti. Sekarang kita temu saja dia dulu!” ajak Parwo.
Mereka bertiga segera mendekat dan duduk di sebelah Rangga.
“Ayo ikut. Ayam Jago Ki Bulak akan dikeluarkan melawan jago Ki Samas. Keduanya sama-sama jawara. Pasti seru nantinya!” ajak Parwo.
“Tidak usah. Kalian saja yang ke sana. Aku sudah berhenti judi!” kata Rangga tegas.
Sebenarnya di titik itu, Rangga harus menahan emosi sebab di masa depan, ketiga temannya itu benar-benar mencelakainya.
“Hei Rangga! Ada yang aneh denganmu. Tiba-tiba saja kau berubah. Apakah kau tidak berpikir jika kau terkena guna-guna?” kata Gatot.
“Tidak ada yang aneh. Sudah, kalian pergi saja! Tak ada lagi urusan di antara kita!” kata Rangga.
Teguh sedikit tersinggung mendengar sikap Rangga. “Kami ini datang untuk menolongmu. Tidakkah kau sadar jika kau sudah sedikit gila! Kau tak hanya tiba-tiba berubah, namun menjadi bodoh. Lihat kotoran kelelawar di samping rumahmu itu; kau sudah mengundang setan dan lama kelamaan kau akan gila betulan!”
“Rangga, dengarkan aku. Kami ini sahabatmu. Kami rasa Citra sedang balas dendam dan mengguna-gunaimu. Lambat laun kau tak hanya akan gila, namun mati dan kemudian Citra bisa mendapatkan sisa harta yang kau miliki!” Gatot menakut-nakuti.
“Tak perlu bawa-bawa istriku. Kalian pergi saja dari sini! Aku sedang sibuk!” kata Rangga cuek.
Parwo tahu jika Gatot dan Teguh sudah mulai emosi. Lantas dia menyuruh mereka berdua untuk pergi lebih dahulu. Untungnya mereka mau sehingga tak terjadi perkelahian.
Parwo jauh lebih sabar ketimbang Gatot dan Teguh. Ia masih mencoba untuk berbicara dengan Rangga.
“Rangga, kita sudah berteman sejak kecil dan kami hapal dengan sifatmu. Jika ada masalah, katakan saja kepada kami…” kata Parwo.
“Aku tidak ada masalah, Wo. Waktu terus berjalan dan setiap orang bisa saja berubah. Aku sudah mengatakan jika aku sudah berhenti judi, mabuk dan main perempuan. Aku ingin membangun keluargaku sendiri. Jadi kau tak perlu meracuni pikiranku dan mengajakku kembali ke jalan yang salah!” kata Rangga.
“Baiklah kalau begitu. Aku menghargai keputusanmu,” balas Parwo mencoba jalur halus dengan tak memaksakan kehendak. “Lalu rencanamu sendiri bagaimana? Untuk apa kau mengumpulkan kotoran kelelawar sebanyak itu? Semua orang di desa membicarakanmu dan menganggapmu gila!” kata Parwo.
“Tidak masalah jika mereka menganggapku gila. Aku tidak keberatan. Kau tak perlu ambil pusing dengan apa yang aku lakukan!” kata Rangga malas.
Parwo menghela nafas panjang. “Baiklah kalau begitu! Ingat Rangga, kita masih teman. Jika ada apa-apa, tak usah sungkan mencari kami!” kata Parwo.
Rangga hanya mengangguk dan ia tak mempedulikan temannya itu.
Sungguh beruntung, yang ditunggu Rangga kebetulan datang hari itu. Ada sekitar dua puluh kereta kuda dan puluhan orang dalam rombongan saudagar besar yang melintasi desa itu. Mereka berhenti di pasar untuk menjual barang-barang yang mereka bawa dari wilayah utara.
Datangnya saudagar seperti itu selalu disambut ramai oleh orang-orang; mereka tak hanya membeli sesuatu yang tak ada di selatan, namun mereka juga berharap bisa menjual sesuatu dalam jumlah besar sebab saudagar seperti itu biasanya mau memborong.
Rangga tidak buru-buru. Ia biarkan dulu orang-orang saling berdesakan berebut dagangan dan berebut untuk menjual sesuatu.
Rangga memiliki satu keunggulan yang akan membuat bos besar rombongan yang bernama Wang Cheng itu tertarik kepadanya; ia bisa sedikit-sedikit bahasa mereka sebab di masa depan ia banyak berhubungan dengan jalur perdagangan utara.
Orang-orang berkulit putih pucat itu akan lebih percaya dengan orang-orang yang bisa berbahasa sama dengannya.
Rangga terus mengamati dan akhirnya ia melihat Wang Cheng memasrahkan semuanya kepada anak buahnya dan ia sendiri berjalan bersama istrinya menuju ke sebuah kedai sate.
Kesempatan bagus bagi Rangga; ia segera menyusul lelaki itu.
“Tuan Cheng…” Rangga menyapa dengan bahasa negri asal orang itu. Wang Cheng menoleh dan menatap heran ke arah Rangga. Sangat jarang ada pribumi yang bisa bahasa dari negrinya, kecuali di wilayah pelabuhan utara.
“Siapa kau? Apakah kita saling kenal?” Wang Cheng mencoba menjawab dengan bahasa negrinya alih-alih ia menggunakan bahasa pribumi.
“Namaku Rangga. Kita belum saling kenal. Aku ingin menawarkan dagangan bagus yang mungkin Tuan butuhkan!” kata Rangga.
“Oh ya? Coba katakan, apa yang kau tawarkan?” tanya Wang Cheng.
“Kotoran kelelawar!” jawab Rangga.
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang