Rangga bergerak dengan kalut menuju ke sumber suara yang ia dengarkan itu. Di sana ia melihat Citra sedang dikerjai lima orang lelaki dalam rombongan itu. Mereka semua berdiri mengelilingi Citra yang terlihat kacau dan ketakutan di tengah-tengah; berusaha mencari celah untuk melarikan diri, namun ia tak berdaya.
Pakaian Citra sedikit robek; tanda jika tadi mungkin ia sedang memberontak saat dipegangi tubuhnya sampai bajunya robek.
Darah Rangga mendidih seketika melihat hal itu. “CITRAAAA!!!” teriak Rangga dan teriakannya membuat semua orang menoleh dan menatap heran.
“Kangmas… tolong…” ucap Citra. Meski ia pergi karena kecewa, namun bagaimanapun kali ini Rangga lah satu-satunya harapan untuk selamat dari pelecehan itu. Dan lagipula, Rangga adalah suaminya. Satu-satunya orang yang berhak mendapatkan mahkotanya.
Tubuh Rangga, meski tinggi dan gagah, namun tak terlatih untuk berkelahi meski ia pernah juga belajar kanuragan. Hanya saja, jiwa Rangga dari masa depan itu masih membawa memori pengetahuan di mana ia pernah mengarungi asam garam kehidupan sampai jatuh di titik terendah.
Lima orang mungkin berat untuk dilawan sebab ia bukan pendekar ahli beladiri. Namun dalam keadaan marah dan kalut, energi bawah sadarnya itu membuat dia seperti orang yang tak lagi mengenal takut.
Rangga menyambar sebatang kayu di dekatnya dan bergerak cepat mengamuk dengan mengayunkan tongkatnya ke arah para lelaki brengsek yang hendak memperkosa istrinya itu.
“Bajingan! Apa yang kalian lakukan kepada istriku! Mampus kau! Hiyaaaa!!!”
PRROOKKK
Orang pertama itu gagal menghindari ayunan kayu dari Rangga; kepalanya terhantam seketika dan ia langsung ambruk.
Orang kedua pun demikian; dengan bodoh ia menangkis ayunan kayu itu dengan kedua lengannya. Tentu saja ia meraung kesakitan setelahnya sebab ia juga bukan seorang yang ahli beladiri. Berikutnya, tendangan Rangga berhasil mendarat di rahangnya dan dia pun tumbang sudah.
Dari kelima orang itu pun memang tak ada yang membawa senjata apa-apa. Semuanya juga bukan ahli beladiri dan rata-rata sudah berusia paruh baya yang merupakan pedagang biasa antar desa.
Kedatangan Rangga dengan serangannya yang tiba-tiba itu sungguh membuat mereka panik. Satu orang lagi terkena pukulan kayu dan yang dua orang lainnya segera lari secepat yang bisa mereka lakukan.
Rangga tak sudi mengejarnya. Perhatiannya tertuju sepenuhnya untuk istrinya. Ia melemparkan kayunya dan segera menghambur memeluk Citra.
“Syukurlah kau baik-baik saja, Citra…aku mencarimu… syukurlah aku menemukanmu di sini sebelum mereka mencelakaimu…” kata Rangga sambil memeluk tubuh istrinya erat-erat.
Citra hanya bisa menangis pasrah dalam pelukan Rangga. Ia belum bisa menerima suaminya, namun sungguh saat itu hanya Rangga yang bisa ia jadikan sandaran sekaligus pelindung.
“Ayo kita pergi dulu dari sini secepatnya…” kata Rangga. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat dan membopong tubuh istrinya dan dengan langkah cepat ia segera bergegas menuju ke tepi hutan tempat ia menambatkan kudanya.
Ingin rasanya Rangga membakar kereta orang-orang itu. Namun ia lebih mementingkan untuk membawa Citra segera ke tempat yang aman.
“Kau naik duluan, sayang… ayo aku bantu… pegang pelananya…” kata Rangga.
Begitu Citra sudah duduk, Rangga segera naik. “Berpegangan…” kata Rangga. Untungnya Citra menurut. Ia berpegangan di pundak Rangga dan setelah itu kuda dipacu cepat meninggalkan tempat itu.
Mumpung hanya sedang berdua dan tidak di rumah serta jauh dari pemukiman, Rangga menghentikan kudanya ketika mereka melewati sungai kecil.
“Kita istirahat di sini dulu, sayang… kudanya butuh minum sebab sejak tadi dia kupaksa berlari kencang…” kata Rangga. Ia turun dan membantu pula istrinya turun dari kuda.
Citra masih diam saja dengan segala kecamuk perasaan yang melanda hatinya. Ia merasa benar-benar mendapatkan kesialan yang seolah tak ada habisnya setelah menikah dengan Rangga.
Setelah memberi kuda itu minuman dan menambatkannya di pohon dengan rumput yang tumbuh disekitarnya, Rangga mendekati istrinya yang duduk terdiam di bawah pohon yang akarnya meliuk muncul hingga ke permukaan tanah.
Rangga menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya beberapa kali. Setelah itu ia mulai bicara.
“Citra… aku tahu kau sangat membenciku. Aku tidak akan memaksamu sebab aku tahu kau tidak pernah merasa bahagia bersamaku. Yang ada, kau selalu mendapatkan kesialan dan perlakuan buruk dariku sepanjang waktu,” Rangga memberi jeda sejenak sambil menata pikirannya.
“Namun, aku sungguh ingin berubah. Setidaknya, berikan aku waktu selama 3 bulan ini dan jika aku gagal membahagiakanmu, aku akan mengembalikanmu kepada orang tuamu sebab aku merasa tak pantas menjadi suami wanita sebaik dirimu,” ucap Rangga frustasi sambil kembali mengusap wajahnya agak kasar.
“Selama ini aku buta sampai tak bisa melihat betapa sempurna tubuh dan hatimu, Citra… betapa cantik dirimu… aku tidak bersyukur dan selalu menjadikanmu alasan untuk meluapkan amarahku… setelah ini, jika kau ingin membalasku, aku persilakan. Kau bebas memukuliku dan menyiksaku untuk menebus kesalahanku…” kata Rangga.
Tapi Citra masih diam saja. Pikirannya sangat kacau.
Rangga tak buru-buru memaksa Citra untuk merespon ucapannya. Bahkan apapun yang saat itu Citra lakukan pun sudah merupakan suatu respon. Diamnya adalah sebuah tanda jika dia tak akan bisa dengan mudah menerima hal itu semua.
Setelah merasa cukup beristrahat, Rangga mengajak Citra untuk kembali pulang ke rumah. Kali ini Citra tak menolak. Namun ia sungguh tak mengatakan apa-apa. Ia terlihat seperti linglung.
Sesampainya di rumah, Rangga pun tak menyuruh Citra melakukan apapun; biarlah dia bebas dan semua pekerjaan rumah saat itu Rangga yang mengurusinya. Namun untuk urusan memasak dengan benar, ia menyerah. Ia tak tahu banyak soal masakan dan ujung-ujungnya ia pergi membeli makan untuk ia bawa pulang ke rumah.
Demikianlah dua hari berjalan tanpa pernah ada percakapan sama sekali. Rangga hanya bisa menunjukkan apa saja yang bisa menjadi bukti bahwa ia ingin berubah.
Namun hari itu, Rangga berpikir jika ia sudah waktunya mengumpulkan pundi-pundi uang. Ia menemui Citra untuk sekadar pamit, “Citra, aku pergi mencari uang terlebih dahulu. Tenang saja, aku akan bekerja dengan benar, tidak berjudi dan tidak akan lagi mabuk-mabukan. Di lemari kamarku, di bawah sendiri, ada kotak kayu. Isinya uang tak seberapa. Kau bebas menggunakannya untuk membeli apapun yang kau mau!” kata Rangga.
Citra hanya mengangguk, tak bicara dan tak menatap suaminya.
Lalu Rangga mengambil cangkul, linggis, parang dan karung. Kemudian ia pergi dari rumah untuk mencari sesuatu. Di masa depan, Rangga tahu ada sebuah tempat di desanya yang menyimpan sesuatu yang sangat berharga. Dia ingin mengambilnya.
Rangga pergi ke sebuah sungai di desa itu. Tak terlalu jauh dari rumahnya. Di masa depan, salah satu tetangganya membongkar bebatuan yang ada di sana dan menemukan sebuah kotak berisi uang emas dengan jumlah cukup banyak. Orang itu menjadi kaya setelahnya. Rangga ingin mendahuluinya.Uang itu nantinya ingin Rangga gunakan untuk modal. Ia tahu bisnis apa yang bagus dan di masa depan ia sangat memahami seluk beluk bisnis yang membuatnya kaya raya. Ia juga tahu batu sandungannya.Namun Rangga sadar, semua itu bisa saja berubah sebab ia sudah merubah keadaan dengan kembali ke masa lalu. Hanya saja, apa yang ia ketahui di masa depan itu bisa menjadi petunjuk yang bagus.Rangga masih ingat di mana lokasi tetangganya itu menemukan harta karun. Ia segera menuju ke sana mumpung hari masih pagi.‘Jika tidak salah, itu dia tempatnya…’ Rangga melihat lempengan batu besar di tepi sungai. Siapa yang akan mengira jika di bawah lempengan batu itu ada harta karunnya.Tetangga Rangga menemukannya hanya
Rangga bergegas membuka pintu. Ia cukup terkejut dengan kedatangan kakak iparnya yang tiba-tiba itu. Apalagi, Teja terlihat tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja; Teja menatapnya dengan tatapan penuh amarah.“K-kang Teja…” sapa Rangga.“Bajingan keparat! Apa yang kau lakukan pada adikku!” bentak Teja. Ia langsung memberikan sebuah tendangan telak di bagian dada yang membuat Rangga sampai terpental dan jatuh ke lantai rumahnya.Citra tentu saja kaget mendengar suara teriakan yang disusul suara jatuhnya Rangga itu. Lantas Citra segera bergegas ke ruang depan dan mendapati suaminya tergeletak di lantai dan juga kakak kandungnya yang terlihat sangat marah.“Kang Teja… apa yang kau lakukan?” kata Citra panik dan kaget saat ia mendapati kakaknya telah datang dan suaminya sedang terkapar di lantai. Citra paling takut jika Teja sudah marah sebab dia bisa melakukan apa saja. Bahkan membunuh orang.Dengan tubuh tinggi, besar dan gagah yang membuatnya berhasil masuk di keprajuritan istana, p
Persaan Rangga menghangat saat ia mendapati wajah istrinya merona merah dan si jelita yang masih perawan itu terlihat malu-malu.Dua bibir itu semakin dekat dan kemudian berlabuh. Ada rasa bahagia yang berbeda yang dirasakan oleh Rangga dan Citra.Dulu Rangga tak mengakui Citra lantaran ia masih mencintai Nawang. Segala kecantikan yang Citra miliki seolah tak terlihat di mata Rangga.Kini ia merasakan betapa lembutnya bibir ranum sang perawan yang telah ia nikahi itu. Rangga tahu, Citra bukan wanita murahan. Justru kelak Rangga mendapati bahwa Nawang lah yang sebenar-benarnya merupakan wanita murahan yang rela pula ditiduri lelaki lain demi harta.Sementara itu, dalam suasana mesra yang baru saja tercipta, Citra hanya bisa membeku dan pasif saat bibirnya ia serahkan pertama kali untuk suaminya. Jantungnya berdebar kencang dan nyawanya seolah melayang-layang.Rangga melepaskan tautan bibirnya dan menatap sang istri dengan tatapan penuh kebahagiaan, “Apakah kau sudah siap, Nimas Citra?”
Bersama dengan Boneng, Rangga menyewa sebuah pedati kecil yang ditarik seekor sapi untuk menuju ke goa Lowo yang ia maksud; agak jauh dari desa itu menuju ke selatan di daerah pegunungan. Rangga juga membeli banyak karung dan juga membawa cangkul untuk dibawa ke goa itu.Akhirnya mereka tiba juga di sana. Goa itu benar-benar bau sampai tak ada yang mau pergi ke sana sebab di sana merupakan sarang kelelawar dan juga sarang ular.Tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam sana. Menakutkan memang jika hanya berdua saja. Namun di mulut goa itu mereka bisa mendapatkan banyak sekali kotoran kelelawar yang telah menghitam.Sampai sore tiba, mereka berhasil mengisi belasan karung yang mereka bawa itu dengan kotoran. Selebihnya, Rangga membawa semua kotoran itu ke rumahnya; meletakkannya di pekarangan samping rumah.“Mana bayarannya!” Boneng menagih setelah ia meletakkan karung terakhir yang ia angkat dari pedati.“Ini! Sesuai janjiku!” Rangga memberikan enam keping perak untuk Boneng. “Besok pagi
Rangga merasa gemas melihat sikap Citra yang seperti itu. Ya, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi istrinya! Tapi tidak bisa juga. Dulu ada Nawang; wanita itu pun sangat cantik dan pintar menggoda.Jika dihitung dari peristiwa pertama Rangga menjual istrinya kepada ketiga temannya itu, maka seharusnya tak akan lama lagi Nawang akan kembali.Dan kali ini, Rangga tak akan peduli. Di masa depan, wanita itu benar-benar akan menjelma ular berbisa yang menghancurkan hidupnya.Rangga menarik tubuh Citra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia pun memeluk mesra sang istri yang masih polos itu.“K-kangmas… tapi datang bulanku belum selesai… bagaimana ini?” ucap Citra galau setengah mati.Rangga tertawa mendengarnya.“Bukan berarti aku tak boleh memeluk istriku yang sedang datang bulan, kan!” kata Rangga. Ya, tersiksa juga sebetulnya. Ada yang cenat-cenut meminta jatah.***Pagi itu Rangga pergi ke pasar. Tujuannya hanyalah satu; bertemu dengan saudagar dari negri utara yang mungkin saja mel
Wang Cheng mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rangga.“Kotoran kelelawar? Yang benar saja!” kata Wang Cheng.Rangga sedikit kaget melihat respon itu. Ia sangat ingat jika di masa depan lelaki itu merupakan pemasok besar kotoran kelelawar yang akan dikirim ke negrinya sendiri sebagai bahan bubuk api.‘Apakah perang di negri utara belum terjadi? Seharusnya sudah… seharusnya saat ini mereka sudah berlomba-lomba mengumpulkan bahan baku untuk membuat senjata perang…’ ucap Rangga dalam hati. Ia sempat ragu dengan perkiraannya sendiri.“Tuan akan kaya raya dan desa ini bisa menyediakan banyak kotoran kelelawar untuk dijual ke negrimu. Aku tahu hal ini tak boleh dibocorkan dan aku tentu tak akan memberitahu apa manfaat kotoran kelelawar itu kepada orang-orang. Jadi di sini kita akan sama-sama diuntungkan!” kata Rangga dengan ekspresi yakin.Lagi-lagi Wang Cheng menunjukkan ekspresi wajah yang sukar ditebak.“Kau bisa mengirim ke utara?” ujarnya. “Biaya b
Para tetangga sudah mendapatkan bukti bahwa kotoran itu memang laku dijual. Dan kini mereka pun ingin tahu banyak soal kotoran tersebut kepada Rangga; siapa yang membeli dan sebenarnya untuk apa kotoran tersebut dijual dengan harga mahal?Rasa-rasanya memang sulit dipercaya.“Citra, ayo masuk ke dalam rumah…” ajak Rangga yang sedang malas dengan para tetangganya yang sudah tampak gelagatnya ingin bertanya macam-macam.“Iya, Kangmas…” kata Citra. Hatinya masih senang.“Rangga, tunggu dulu, hehehe… tadi itu kenalanmu?” tanya Ki Panut.“Iya, Ki…” balas Rangga singkat.“Hehehe, begini Rangga… bisakah kau membantu kami? Jika kami mengumpulkan kotoran kelelawar, bagaimana jika kau memanggil kenalanmu itu untuk membeli apa yang kami kumpulkan?” kata Ki Panut. Tetangga yang lain menganggukkan kepala pertanda mereka memiliki pertanyaan serupa.“Orang itu hanya mau membeli kepadaku. Kalian bisa mencobanya jika tidak percaya. Dan lagipula, dia hanya mau beli dalam jumlah banyak!” kata Rangga men
Mereka berdua makan malam dengan perasaan senang. Suasana rumah itu terasa syahdu dengan bantuan beberapa lampu teplok (lampu minyak) yang terpasang di beberapa titik dinding rumah.Kulit Citra cenderung berwarna kuning langsat untuk ukuran orang pribumi desa itu yang rata-rata cenderung menggelap karena mereka bekerja di ladang berjemur dengan matahari. Dengan cahaya temaram seperti itu, Citra terlihat begitu cantik dengan kulit wajahnya yang tampak keemasan.“Kenapa Kangmas menatapku terus-terusan?” ujar Citra salah tingkah.“Rasanya tidak bosan aku terus memandangimu…” kata Rangga.“Gombal…” kata Citra. Padahal hatinya senang juga mendapatkan perhatian seperti itu.“Kau tidak pernah percaya padaku!” balas Rangga.“Sebab rasanya terlalu tiba-tiba. Sebelum ini, Kangmas benar-benar membenciku…” kata Citra.“Itu karena aku buta. Dan dewata kini sudah membuka mataku dan hatiku; menyadarkanku bahwa istriku lebih indah dari apapun di dunia ini!” lagi-lagi Rangga berucap manis.Hati Citra