Apapun itu, Rangga harus meluruskan segalanya. Ia berdiri di depan pintu dan ia mendengar suara tangisan istrinya. Dulu ia tak peduli jika istrinya menangis. Namun kali ini tangisan Citra membuat hatinya terasa ngilu.
Rangga mengetuk pintu kamar istrinya dan memanggilnya dengan suara pelan, “Citra… bisakah kita bicara sebentar?”
Tak ada balasan.
“Citra… yang tadi kau dengar itu karena kejadian kemarin… aku mabuk dan tak sadar dengan apa yang aku lakukan… aku sudah menyuruh mereka pulang. Tentu saja aku tak akan memberikanmu kepada siapapun. Kau istriku. Sampai kapan pun kau adalah istriku dan aku berjanji akan berubah menjadi suami baik untukmu… Citra… kumohon… bukalah pintunya…” ucap Rangga.
Tetap tak ada balasan.
Rangga tak ingin memaksa dan membuat situasi itu memburuk. Maka ia memilih untuk membiarkan Citra mengurung diri di kamar.
Semalaman Rangga menunggu di belakang sambil rebahan di kursi kayu panjang. Lalu pagi itu, Citra keluar dari kamar.
Rangga belum berani menyapa; hanya memandangi saja wanita itu menuju ke sumur dan ke kamar mandi. Setelah itu biasanya citra akan memasak. Jadi, Rangga masih menunggu dan berharap bisa berkomunikasi dengan baik.
Namun kali ini, setelah dari belakang, Citra langsung menuju ke kamarnya. Rangga merasa diacuhkan. Padahal biasanya tidak demikian.
“Citra… tunggu…” kata Rangga. Ia bergegas dan menahan istrinya sebelum masuk kamar dan mengunci pintunya lagi. “Bisakah kita bicara dulu, Citra?”
Kali ini Citra benar-benar bungkam. Biasanya meski takut, dia pasti menganggukkan kepala atau sekadar menjawab ‘iya’ dengan suara gemetaran.
“Citra… kau pasti berpikir jika sikap baikku itu ada maunya, bukan… dan itu tidak salah. Tapi mauku adalah untuk memperbaiki hubungan kita, bukan menjualmu. Kedatangan tiga temanku itu memang sebuah kesalahan yang aku lakukan di hari sebelumnya saat aku mabuk. Tentu aku tidak akan menjualmu seperti yang kau pikirkan…” kata Rangga.
Citra masih bungkam. Kali ini tak ada tangisan dan tak ada tubuh gemetaran. Rangga berpikir jika Citra sudah sampai di ujung kesabarannya sehingga ia sudah tak lagi memiliki rasa takut. Mungkin begitu. Dan itu bukan hal baik.
“Citra… katakan sesuatu… atau kau boleh memukuliku untuk melampiaskan kekecewaanmu… aku rela kau membalasku… lakukan apapun yang kau mau… kau berhak… kau istriku…” kata Rangga.
Setelah lama terdiam, akhirnya Citra bicara. “Aku masih bisa sabar kau pukuli, kau maki, kau banting… karena aku mengabdi pada suamiku. Tapi kau berniat menjualku kepada mereka. Aku bukan pelacur, Kangmas… pulangkan saja aku atau bunuh aku sekalian agar kau lega. Aku tak akan lagi menjadi bebanmu…” kata Citra yang baru kali ini dia melakukan perlawanan meski melalui kata-kata.
“Tidak, Citra… tolong beri aku kesempatan… aku ingin berubah untukmu… aku ingin membahagiakanmu…” kata Rangga. Ia menatap Citra dengan perasaan bersalah sampai air matanya keluar.
Citra melihat hal itu. Jika ia mengikuti kata hatinya, sebetulnya ia merasa jika Rangga memang tampak bersungguh-sungguh. Tapi rasa kecewa, takut, dan segala kesan negatif yang ada di benaknya itu seolah membuat hatinya tertutup awan kelabu tebal yang tak tertembus cahaya.
Dan sialnya, momen krisis seperti itu lagi-lagi harus terganggu sesuatu.
Ketiga teman Rangga kembali datang. Kali ini mereka ingin menagih janji Rangga atas ketiga petak sawah dan mereka harus pergi ke rumah Ki Lurah.
Sungguh sial. Rangga ingin mengumpat sebetulnya karena mereka selalu datang di saat yang buruk. Tapi mau tak mau, Rangga harus segera menyelesaikan urusan itu. Ia khawatir ketiga teman brengseknya itu berubah pikiran dan meminta istrinya.
Akhirnya Rangga dan ketiga temannya itu pergi ke tempat Ki Lurah untuk mengurus soal sawah. Setelah itu, Rangga segera pulang. Sayang sekali, ia tak menemukan keberadaan Citra.
“Citraaa… kau di mana istriku!” Rangga mencari hingga ke seluruh ruangan dan ia tak menemukan keberadaan istrinya.
Rangga mulai khawatir; bisa jadi Citra telah pergi dari rumah. Ia segera memeriksa kamar Citra. Tapi barang-barang istrinya itu ada di rumah.
Rangga segera keluar dan bertanya kepada tetangga.
“Aku melihat Nyi Citra tadi berjalan ke arah sana sambil membawa buntalan kecil. Ada apa memangnya kau mencarinya? Dia mencuri uangmu?” ujar Parjo, salah satu tetangga Rangga, dengan nada sedikit menyindir.
Rangga tak membalas ucapan Parjo, namun ia segera bergegas ke arah yang ditunjuk Parjo.
‘Semoga aku masih bisa menyusulnya… kemana dia akan pergi? Apakah dia hendak pulang ke rumah orang tuanya?’ panik Rangga dalam hati.
Rasa-rasanya, Rangga tak pernah merasa setegang itu dalam hidupnya. Bahkan kepergian Nawang dahulu kala pun tidak membuatnya merasa sampai seperti itu.
Rangga akhirnya sampai juga di pasar yang ramai. Kepalanya pusing sebab belum menemukan keberadaan Citra.
“Hei Rangga, kau mencari siapa?” terdengar suara seseorang yang menyapa. Rangga menoleh dan mendapati Bowo yang sedang menunggangi kudanya.
“Wo, kau melihat istriku?” tanya Rangga.
Bowo terheran-heran, “Tumben kau mencari istrimu sampai panik seperti itu! Bukankah kau tak pernah peduli padanya!”
“Kau melihatnya atau tidak?” tanya Rangga sedikit membentak.
“Tadi dia menumpang kereta barang ke arah sana! Aku tidak tahu kemana dia pergi. Aku pikir kau sudah mengusirnya!” kata Bowo sambil berlalu meninggalkan Rangga karena kesal merasa dibentak.
“Wo! Tunggu!” Rangga segera menahan temannya itu.
“Ada apa lagi!” sahut Bowo sedikit membentak.
“Kau melihatnya barusan atau dari tadi?” tanya Rangga.
“Sudah dari tadi pagi! Mungkin sudah sangat jauh!” kata Bowo.
Jawaban itu membuat Rangga semakin gelisah. “Wo, aku pinjam kudamu sebentar saja!”
“Aku buru-buru!” balas Bowo.
“Aku sewa. Satu keping emas!” kata Rangga.
Kali ini Bowo menyunggingkan senyum dan ia segera turun dari kuda. “Mana uangnya?”
“Masih di rumah. Nanti aku bayar saat aku kembalikan kudamu ke rumahmu!” kata Rangga. “Aku buru-buru Wo, harap maklum!” kata Rangga yang segera menaiki kuda itu dan memacunya cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Cukup jauh Rangga mengendarai kudanya itu hingga kemudian ia melihat kereta barang yang berhenti di tepi jalur hutan.
“Tolong!!! Tolongg!!!”
Rangga mendengar suara teriakan. Ia tak asing dengan suara itu.
“Bajingan! Apa yang mereka lakukan pada istriku!” Pikiran Rangga langsung berkecamuk. Citra memang cantik dan sudah tentu akan memancing para lelaki. Sedari tadi ia memang sangat khawatir jika jangan-jangan citra sembarangan menumpang pada rombongan tak dikenal. Tak sedikit dari mereka yang adalah bajingan dan sudah pasti tergiur dengan kecantikan dan kemolekan tubuh Citra.
Rangga segera turun dari kuda dan mencoba menajamkan telinganya mencari tahu dari mana datangnya sumber suara itu sebab di kereta barang tersebut tak ada orangnya sama sekali.
“Tolooooonggg! Jangan lakukan itu padaku… Tolooonggg!!!” lagi-lagi Rangga mendengar suara Citra yang diselingi suara tawa beberapa lelaki yang mengucapkan kata-kata melecehkan.
Rangga bergerak dengan kalut menuju ke sumber suara yang ia dengarkan itu. Di sana ia melihat Citra sedang dikerjai lima orang lelaki dalam rombongan itu. Mereka semua berdiri mengelilingi Citra yang terlihat kacau dan ketakutan di tengah-tengah; berusaha mencari celah untuk melarikan diri, namun ia tak berdaya.Pakaian Citra sedikit robek; tanda jika tadi mungkin ia sedang memberontak saat dipegangi tubuhnya sampai bajunya robek.Darah Rangga mendidih seketika melihat hal itu. “CITRAAAA!!!” teriak Rangga dan teriakannya membuat semua orang menoleh dan menatap heran.“Kangmas… tolong…” ucap Citra. Meski ia pergi karena kecewa, namun bagaimanapun kali ini Rangga lah satu-satunya harapan untuk selamat dari pelecehan itu. Dan lagipula, Rangga adalah suaminya. Satu-satunya orang yang berhak mendapatkan mahkotanya.Tubuh Rangga, meski tinggi dan gagah, namun tak terlatih untuk berkelahi meski ia pernah juga belajar kanuragan. Hanya saja, jiwa Rangga dari masa depan itu masih membawa memori
Rangga pergi ke sebuah sungai di desa itu. Tak terlalu jauh dari rumahnya. Di masa depan, salah satu tetangganya membongkar bebatuan yang ada di sana dan menemukan sebuah kotak berisi uang emas dengan jumlah cukup banyak. Orang itu menjadi kaya setelahnya. Rangga ingin mendahuluinya.Uang itu nantinya ingin Rangga gunakan untuk modal. Ia tahu bisnis apa yang bagus dan di masa depan ia sangat memahami seluk beluk bisnis yang membuatnya kaya raya. Ia juga tahu batu sandungannya.Namun Rangga sadar, semua itu bisa saja berubah sebab ia sudah merubah keadaan dengan kembali ke masa lalu. Hanya saja, apa yang ia ketahui di masa depan itu bisa menjadi petunjuk yang bagus.Rangga masih ingat di mana lokasi tetangganya itu menemukan harta karun. Ia segera menuju ke sana mumpung hari masih pagi.‘Jika tidak salah, itu dia tempatnya…’ Rangga melihat lempengan batu besar di tepi sungai. Siapa yang akan mengira jika di bawah lempengan batu itu ada harta karunnya.Tetangga Rangga menemukannya hanya
Rangga bergegas membuka pintu. Ia cukup terkejut dengan kedatangan kakak iparnya yang tiba-tiba itu. Apalagi, Teja terlihat tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja; Teja menatapnya dengan tatapan penuh amarah.“K-kang Teja…” sapa Rangga.“Bajingan keparat! Apa yang kau lakukan pada adikku!” bentak Teja. Ia langsung memberikan sebuah tendangan telak di bagian dada yang membuat Rangga sampai terpental dan jatuh ke lantai rumahnya.Citra tentu saja kaget mendengar suara teriakan yang disusul suara jatuhnya Rangga itu. Lantas Citra segera bergegas ke ruang depan dan mendapati suaminya tergeletak di lantai dan juga kakak kandungnya yang terlihat sangat marah.“Kang Teja… apa yang kau lakukan?” kata Citra panik dan kaget saat ia mendapati kakaknya telah datang dan suaminya sedang terkapar di lantai. Citra paling takut jika Teja sudah marah sebab dia bisa melakukan apa saja. Bahkan membunuh orang.Dengan tubuh tinggi, besar dan gagah yang membuatnya berhasil masuk di keprajuritan istana, p
Persaan Rangga menghangat saat ia mendapati wajah istrinya merona merah dan si jelita yang masih perawan itu terlihat malu-malu.Dua bibir itu semakin dekat dan kemudian berlabuh. Ada rasa bahagia yang berbeda yang dirasakan oleh Rangga dan Citra.Dulu Rangga tak mengakui Citra lantaran ia masih mencintai Nawang. Segala kecantikan yang Citra miliki seolah tak terlihat di mata Rangga.Kini ia merasakan betapa lembutnya bibir ranum sang perawan yang telah ia nikahi itu. Rangga tahu, Citra bukan wanita murahan. Justru kelak Rangga mendapati bahwa Nawang lah yang sebenar-benarnya merupakan wanita murahan yang rela pula ditiduri lelaki lain demi harta.Sementara itu, dalam suasana mesra yang baru saja tercipta, Citra hanya bisa membeku dan pasif saat bibirnya ia serahkan pertama kali untuk suaminya. Jantungnya berdebar kencang dan nyawanya seolah melayang-layang.Rangga melepaskan tautan bibirnya dan menatap sang istri dengan tatapan penuh kebahagiaan, “Apakah kau sudah siap, Nimas Citra?”
Bersama dengan Boneng, Rangga menyewa sebuah pedati kecil yang ditarik seekor sapi untuk menuju ke goa Lowo yang ia maksud; agak jauh dari desa itu menuju ke selatan di daerah pegunungan. Rangga juga membeli banyak karung dan juga membawa cangkul untuk dibawa ke goa itu.Akhirnya mereka tiba juga di sana. Goa itu benar-benar bau sampai tak ada yang mau pergi ke sana sebab di sana merupakan sarang kelelawar dan juga sarang ular.Tak perlu masuk terlalu jauh ke dalam sana. Menakutkan memang jika hanya berdua saja. Namun di mulut goa itu mereka bisa mendapatkan banyak sekali kotoran kelelawar yang telah menghitam.Sampai sore tiba, mereka berhasil mengisi belasan karung yang mereka bawa itu dengan kotoran. Selebihnya, Rangga membawa semua kotoran itu ke rumahnya; meletakkannya di pekarangan samping rumah.“Mana bayarannya!” Boneng menagih setelah ia meletakkan karung terakhir yang ia angkat dari pedati.“Ini! Sesuai janjiku!” Rangga memberikan enam keping perak untuk Boneng. “Besok pagi
Rangga merasa gemas melihat sikap Citra yang seperti itu. Ya, kenapa tidak dari dulu saja ia menyayangi istrinya! Tapi tidak bisa juga. Dulu ada Nawang; wanita itu pun sangat cantik dan pintar menggoda.Jika dihitung dari peristiwa pertama Rangga menjual istrinya kepada ketiga temannya itu, maka seharusnya tak akan lama lagi Nawang akan kembali.Dan kali ini, Rangga tak akan peduli. Di masa depan, wanita itu benar-benar akan menjelma ular berbisa yang menghancurkan hidupnya.Rangga menarik tubuh Citra dan mendudukkannya di pangkuannya. Ia pun memeluk mesra sang istri yang masih polos itu.“K-kangmas… tapi datang bulanku belum selesai… bagaimana ini?” ucap Citra galau setengah mati.Rangga tertawa mendengarnya.“Bukan berarti aku tak boleh memeluk istriku yang sedang datang bulan, kan!” kata Rangga. Ya, tersiksa juga sebetulnya. Ada yang cenat-cenut meminta jatah.***Pagi itu Rangga pergi ke pasar. Tujuannya hanyalah satu; bertemu dengan saudagar dari negri utara yang mungkin saja mel
Wang Cheng mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rangga.“Kotoran kelelawar? Yang benar saja!” kata Wang Cheng.Rangga sedikit kaget melihat respon itu. Ia sangat ingat jika di masa depan lelaki itu merupakan pemasok besar kotoran kelelawar yang akan dikirim ke negrinya sendiri sebagai bahan bubuk api.‘Apakah perang di negri utara belum terjadi? Seharusnya sudah… seharusnya saat ini mereka sudah berlomba-lomba mengumpulkan bahan baku untuk membuat senjata perang…’ ucap Rangga dalam hati. Ia sempat ragu dengan perkiraannya sendiri.“Tuan akan kaya raya dan desa ini bisa menyediakan banyak kotoran kelelawar untuk dijual ke negrimu. Aku tahu hal ini tak boleh dibocorkan dan aku tentu tak akan memberitahu apa manfaat kotoran kelelawar itu kepada orang-orang. Jadi di sini kita akan sama-sama diuntungkan!” kata Rangga dengan ekspresi yakin.Lagi-lagi Wang Cheng menunjukkan ekspresi wajah yang sukar ditebak.“Kau bisa mengirim ke utara?” ujarnya. “Biaya b
Para tetangga sudah mendapatkan bukti bahwa kotoran itu memang laku dijual. Dan kini mereka pun ingin tahu banyak soal kotoran tersebut kepada Rangga; siapa yang membeli dan sebenarnya untuk apa kotoran tersebut dijual dengan harga mahal?Rasa-rasanya memang sulit dipercaya.“Citra, ayo masuk ke dalam rumah…” ajak Rangga yang sedang malas dengan para tetangganya yang sudah tampak gelagatnya ingin bertanya macam-macam.“Iya, Kangmas…” kata Citra. Hatinya masih senang.“Rangga, tunggu dulu, hehehe… tadi itu kenalanmu?” tanya Ki Panut.“Iya, Ki…” balas Rangga singkat.“Hehehe, begini Rangga… bisakah kau membantu kami? Jika kami mengumpulkan kotoran kelelawar, bagaimana jika kau memanggil kenalanmu itu untuk membeli apa yang kami kumpulkan?” kata Ki Panut. Tetangga yang lain menganggukkan kepala pertanda mereka memiliki pertanyaan serupa.“Orang itu hanya mau membeli kepadaku. Kalian bisa mencobanya jika tidak percaya. Dan lagipula, dia hanya mau beli dalam jumlah banyak!” kata Rangga men