แชร์

Citra Pergi Dari Rumah

ผู้เขียน: Black Jack
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-10-02 12:33:15

Apapun itu, Rangga harus meluruskan segalanya. Ia berdiri di depan pintu dan ia mendengar suara tangisan istrinya. Dulu ia tak peduli jika istrinya menangis. Namun kali ini tangisan Citra membuat hatinya terasa ngilu.

Rangga mengetuk pintu kamar istrinya dan memanggilnya dengan suara pelan, “Citra… bisakah kita bicara sebentar?”

Tak ada balasan.

“Citra… yang tadi kau dengar itu karena kejadian kemarin… aku mabuk dan tak sadar dengan apa yang aku lakukan… aku sudah menyuruh mereka pulang. Tentu saja aku tak akan memberikanmu kepada siapapun. Kau istriku. Sampai kapan pun kau adalah istriku dan aku berjanji akan berubah menjadi suami baik untukmu… Citra… kumohon… bukalah pintunya…” ucap Rangga.

Tetap tak ada balasan.

Rangga tak ingin memaksa dan membuat situasi itu memburuk. Maka ia memilih untuk membiarkan Citra mengurung diri di kamar.

Semalaman Rangga menunggu di belakang sambil rebahan di kursi kayu panjang. Lalu pagi itu, Citra keluar dari kamar.

Rangga belum berani menyapa; hanya memandangi saja wanita itu menuju ke sumur dan ke kamar mandi. Setelah itu biasanya citra akan memasak. Jadi, Rangga masih menunggu dan berharap bisa berkomunikasi dengan baik.

Namun kali ini, setelah dari belakang, Citra langsung menuju ke kamarnya. Rangga merasa diacuhkan. Padahal biasanya tidak demikian.

“Citra… tunggu…” kata Rangga. Ia bergegas dan menahan istrinya sebelum masuk kamar dan mengunci pintunya lagi. “Bisakah kita bicara dulu, Citra?”

Kali ini Citra benar-benar bungkam. Biasanya meski takut, dia pasti menganggukkan kepala atau sekadar menjawab ‘iya’ dengan suara gemetaran.

“Citra… kau pasti berpikir jika sikap baikku itu ada maunya, bukan… dan itu tidak salah. Tapi mauku adalah untuk memperbaiki hubungan kita, bukan menjualmu. Kedatangan tiga temanku itu memang sebuah kesalahan yang aku lakukan di hari sebelumnya saat aku mabuk. Tentu aku tidak akan menjualmu seperti yang kau pikirkan…” kata Rangga.

Citra masih bungkam. Kali ini tak ada tangisan dan tak ada tubuh gemetaran. Rangga berpikir jika Citra sudah sampai di ujung kesabarannya sehingga ia sudah tak lagi memiliki rasa takut. Mungkin begitu. Dan itu bukan hal baik.

“Citra… katakan sesuatu… atau kau boleh memukuliku untuk melampiaskan kekecewaanmu… aku rela kau membalasku… lakukan apapun yang kau mau… kau berhak… kau istriku…” kata Rangga.

Setelah lama terdiam, akhirnya Citra bicara. “Aku masih bisa sabar kau pukuli, kau maki, kau banting… karena aku mengabdi pada suamiku. Tapi kau berniat menjualku kepada mereka. Aku bukan pelacur, Kangmas… pulangkan saja aku atau bunuh aku sekalian agar kau lega. Aku tak akan lagi menjadi bebanmu…” kata Citra yang baru kali ini dia melakukan perlawanan meski melalui kata-kata.

“Tidak, Citra… tolong beri aku kesempatan… aku ingin berubah untukmu… aku ingin membahagiakanmu…” kata Rangga. Ia menatap Citra dengan perasaan bersalah sampai air matanya keluar.

Citra melihat hal itu. Jika ia mengikuti kata hatinya, sebetulnya ia merasa jika Rangga memang tampak bersungguh-sungguh. Tapi rasa kecewa, takut, dan segala kesan negatif yang ada di benaknya itu seolah membuat hatinya tertutup awan kelabu tebal yang tak tertembus cahaya.

Dan sialnya, momen krisis seperti itu lagi-lagi harus terganggu sesuatu.

Ketiga teman Rangga kembali datang. Kali ini mereka ingin menagih janji Rangga atas ketiga petak sawah dan mereka harus pergi ke rumah Ki Lurah.

Sungguh sial. Rangga ingin mengumpat sebetulnya karena mereka selalu datang di saat yang buruk. Tapi mau tak mau, Rangga harus segera menyelesaikan urusan itu. Ia khawatir ketiga teman brengseknya itu berubah pikiran dan meminta istrinya.

Akhirnya Rangga dan ketiga temannya itu pergi ke tempat Ki Lurah untuk mengurus soal sawah. Setelah itu, Rangga segera pulang. Sayang sekali, ia tak menemukan keberadaan Citra.

“Citraaa… kau di mana istriku!” Rangga mencari hingga ke seluruh ruangan dan ia tak menemukan keberadaan istrinya.

Rangga mulai khawatir; bisa jadi Citra telah pergi dari rumah. Ia segera memeriksa kamar Citra. Tapi barang-barang istrinya itu ada di rumah.

Rangga segera keluar dan bertanya kepada tetangga.

“Aku melihat Nyi Citra tadi berjalan ke arah sana sambil membawa buntalan kecil. Ada apa memangnya kau mencarinya? Dia mencuri uangmu?” ujar Parjo, salah satu tetangga Rangga, dengan nada sedikit menyindir.

Rangga tak membalas ucapan Parjo, namun ia segera bergegas ke arah yang ditunjuk Parjo.

‘Semoga aku masih bisa menyusulnya… kemana dia akan pergi? Apakah dia hendak pulang ke rumah orang tuanya?’ panik Rangga dalam hati.

Rasa-rasanya, Rangga tak pernah merasa setegang itu dalam hidupnya. Bahkan kepergian Nawang dahulu kala pun tidak membuatnya merasa sampai seperti itu.

Rangga akhirnya sampai juga di pasar yang ramai. Kepalanya pusing sebab belum menemukan keberadaan Citra.

“Hei Rangga, kau mencari siapa?” terdengar suara seseorang yang menyapa. Rangga menoleh dan mendapati Bowo yang sedang menunggangi kudanya.

“Wo, kau melihat istriku?” tanya Rangga.

Bowo terheran-heran, “Tumben kau mencari istrimu sampai panik seperti itu! Bukankah kau tak pernah peduli padanya!”

“Kau melihatnya atau tidak?” tanya Rangga sedikit membentak.

“Tadi dia menumpang kereta barang ke arah sana! Aku tidak tahu kemana dia pergi. Aku pikir kau sudah mengusirnya!” kata Bowo sambil berlalu meninggalkan Rangga karena kesal merasa dibentak.

“Wo! Tunggu!” Rangga segera menahan temannya itu.

“Ada apa lagi!” sahut Bowo sedikit membentak.

“Kau melihatnya barusan atau dari tadi?” tanya Rangga.

“Sudah dari tadi pagi! Mungkin sudah sangat jauh!” kata Bowo.

Jawaban itu membuat Rangga semakin gelisah. “Wo, aku pinjam kudamu sebentar saja!”

“Aku buru-buru!” balas Bowo.

“Aku sewa. Satu keping emas!” kata Rangga.

Kali ini Bowo menyunggingkan senyum dan ia segera turun dari kuda. “Mana uangnya?”

“Masih di rumah. Nanti aku bayar saat aku kembalikan kudamu ke rumahmu!” kata Rangga. “Aku buru-buru Wo, harap maklum!” kata Rangga yang segera menaiki kuda itu dan memacunya cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Cukup jauh Rangga mengendarai kudanya itu hingga kemudian ia melihat kereta barang yang berhenti di tepi jalur hutan.

“Tolong!!! Tolongg!!!”

Rangga mendengar suara teriakan. Ia tak asing dengan suara itu.

“Bajingan! Apa yang mereka lakukan pada istriku!” Pikiran Rangga langsung berkecamuk. Citra memang cantik dan sudah tentu akan memancing para lelaki. Sedari tadi ia memang sangat khawatir jika jangan-jangan citra sembarangan menumpang pada rombongan tak dikenal. Tak sedikit dari mereka yang adalah bajingan dan sudah pasti tergiur dengan kecantikan dan kemolekan tubuh Citra.

Rangga segera turun dari kuda dan mencoba menajamkan telinganya mencari tahu dari mana datangnya sumber suara itu sebab di kereta barang tersebut tak ada orangnya sama sekali.

“Tolooooonggg! Jangan lakukan itu padaku… Tolooonggg!!!” lagi-lagi Rangga mendengar suara Citra yang diselingi suara tawa beberapa lelaki yang mengucapkan kata-kata melecehkan.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sang Pengubah Takdir   Akhir Cerita

    Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan

  • Sang Pengubah Takdir   Hancurnya Benteng Wonobhumi

    Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin

  • Sang Pengubah Takdir   Mendekati Benteng Musuh

    Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap

  • Sang Pengubah Takdir   Sampai Di Kotaraja Wonobhumi

    Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja

  • Sang Pengubah Takdir   Citra Hamil?

    Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain

  • Sang Pengubah Takdir   Memporak-Porandakan Musuh Dengan Ledakan

    Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status