Bab 59: Dibalik Cerita Sebenarnya Pagi menjelang, Pak Karto masih duduk di sisi teras dekat tempat wudhu. Tapi sejak semalam Ryan sengaja memasang minicamnya dibalik jaket tanpa sepengetahuan yang lain, termasuk Pak Karto sendiri.Ryan memasangnya saat ia membereskan bungkus makanan yang berserakan.Rendy dan Deny mandi di kamar mandi Mushola yang jumlahnya ada dua. Satu hanya untuk mandi saja dan semuanya harus membayar infak seikhlasnya di kotak samping pintu.Tinggal Rendy yang masih baru terbangun, ia mengulet. Memang wajar saat ini ia kesusahan bangun, karena paling larut tidur.Ia bertanya pada Pak Karto karena sempat mengobrol semalam, "Bapak tidurnya nyenyak sekali tadi malam, kalau capek istirahat saja."Pak Karto masih diam, duduk sambil menyesap rokoknya yang hampir habis itu. Ia mengeryit, lalu mematikan puntung rokoknya dan menjawab Rendy yang masih malas-malasan. "Tadi pagi waktu kalian sholat Shubuh, aku kan tidur. Kenapa tidak dibangunkan?" tanyanya kebingungan.Henda
Bab 60: Berdalih Dari KesalahanSeringnya mereka mengalami hal-hal mistis membuat, membuat merek tak terlalu takut. Seperti sudah jadi makanan mereka sehari-hari. Mereka cenderung bersandar pada kepercayaan yang masih kental unsur tradisinya. Mereka yang hidupnya penuh kesederhanaan, tentunya tidak terlalu membuat nyali mereka seperti kebanyakan orang jaman sekarang.Pak Karto enggan berlama-lama di ruangan yang sama dengan Pak Kades. Ia salah tingkah saat beradu pandang dengan orang terpenting di desa itu.Mungkin jika Pak Kades tidak mencurigainya, pasti Pak Karto juga biasa-biasa saja.Terlebih isi rekaman itu sebenarnya tidak mengindikasikan sesuatu. Tak ada yang membuat Pak Kades harus marah padanya, begitu semestinga pola pikir Pak Karto."Saya mau pamit, nanti kita bisa saling berkabar lagi." Singkat ia berpamitan, dan menyalami semuanya yang ada di ruang itu.Meski tampak cukup tergesa, tapi ia merasa wajar saja.Pak Kades berusaha menahannya, "Kok terburu-buru sekali sih. Ki
Bab 61: Hal Yang Tak Bisa DitawarPak Karto mulai merasa suatu ancaman yang menyerangnya secara bersamaan, dan itu sanggup membakar emosinya hingga tanpa sadar ia mengepalkan tangannya.Semakin dihujat, semakin kuat ia mempertahankan prinsipnya. Ia menggertakkan rahangnya, tapi masih sanggup menahannya. Terbersit di wajahnya seperti tidak terjadi masalah yang besar.Setiap kali ia mendengarkan ucapan penuh kebencian itu, ia menyungging senyum sekilas. Tapi siapapun yang melihat pasti paham artinya.Hatinya mulai terbaca Pak Kades sampai terpaksa memaksanya mengambil satu keputusan.Pak Kades mulai cermat, ia tidak menekan Pak Karto lebih lama."Saya akan mengamankan saja, tidak akan membakarnya. Nanti kita simpan di brankas besi. Jimat Bapak tidak akan ada masalah, saya jamin," jelas Pak Kades sebatas candaan satir."Tapi, benda ini harus ada didekat orang. Dan ini tidak boleh ditaruh di sembarang tempat." Kembali pemilik jimat itu berargumen. Ia mengingkari ucapannya sendiri, dan mak
Bab 62: Dendam dan Amarah Pak KartoSuster Renata telah meninggalkan ruangan mereka. Tapi jelas saja Putra masih ingin menyimpan nomornya meskipun masih belum ia dapatkan."Kita tidak perlu meributkan hal-hal yang tidak perlu. Asal ada Iman saja, kita percaya ada rizki dari Alloh. Bukankah yang kita cari dalam hidup adalah keberkahan?" ulas Pak Kades melanjutkan topik yang sempat terjeda tadi."Bukan hanya itu saja, kasus yang sekiranya tidak pernah kita tahu jadi terbongkar. Jadi miris saya mendengarnya. Apalagi jaman seperti sekarang yang sudah sangat modern dan tidak patut dijadikan bahan pembicaraan. Bagaimana dengan generasi penerus kita nanti?" imbuhnya panjang lebar."Banyak dari kita yang masih kurang edukasi, tapi khayalan terlalu tinggi." Pak Parjo yang lebih tua menambahkan opininya."Sama saja dengan istilahnya mendaki gunung tapi hanya dalam mimpi. Ya jelas tidak kamana-mana," ujarnya mempertegas opini tadi."Iya, yang terlihat saat itu orang kaya itu hidupnya enak. Tidak
Bab 63: Kehilangan Jejak RendyRendy mulai merasa saat ini ia harus memutuskan sesuatu, meski tujuannya belum jelas. Tak mungkin ia mengubah perspektifnya hanya dalam sedetik waktu."Enak saja, mereka pikir bisa senang-senang. Sementara aku, tidak seberuntung mereka. Aku nggak mau dijadikan bahan lelucon si Arya, nggak sudi lah!" gerutunya saat duduk di bangku ruang tunggu.Ia mulai memikirkan untuk menuliskan sepucuk surat yang cuma seadanya untuk semua teman-temannya di Rumah Sakit tempat Pak Parjo dirawat."Sepertinya aku harus membuat mereka lebih paham perasaanku. Aku bukan pecundang, aku tidak menyedihkan. Mereka akan tahu kalau aku sudah pergi nanti!" lanjutnya masih dalam emosi yang membutakan pikiran jernihnya.Meski sedikit berat, ia mencoba memusatkan pikirannya agar mampu menuntaskan permasalahan seputar konflik perselisihan kisah romansa mereka.Diawali dengan sedikit rasa ragu, ia mencoba menata niat yang mulai bulat. Dalam hati ia berdo'a mengambil keputusan final itu.
Bab 64: Munculnya Sosok Dari Jaman KerajaanDetik waktu mulai terasa lambat, seperti tidak ada arah dan tujuan. Tapi hal itu makin mendesak Rendy untuk mengeksplor dan memanfaatkan lebih banyak kesempatan sebagai seorang publik figur dadakan. Meskipun masih dalam lingkup yang terbatas, dan iapun masih belum yakin sepenuhnya akan berhasil di langkah pertama.Saat ini Rendy berdiri diantara lengangnya situasi, bergelut dengan pikirannya sendiri. Mensiasati sebuah pencapaian ditengah udara yang tak lagi pengap dengan aroma khas rumah sakit. Dalam kesendirian, Rendy mengumpulkan nyali dan tenaga yang masih ia sisakan untuk pendakian solonya.Yang ada di pikirannya saat ini mengarah pada satu cara untuk tetap eksis. Ia mencari banyak info tentang seputar aktifitas seperti 'Solo Camping' yang kini jadi trend ditengah banyaknya para Youtuber. Satu yang tampaknya ingin ia jalani demi menjaga pamornya. Tentunya ia memilih hal ini karena merasa mampu dan yakin akan memiliki banyak pengikut baru
Bab 65: Kilasan dan Rahasia Dalam PrasastiBerdua, Kang Arya dan Tondo menapaki jalanan yang cukup padat dengan motor masing-masing. Menempuh jarak puluhan kilometer dengan peluh yang mulai membasahi kening. Matahari pagi menjelang siang itu cukup menyengat saat menerpa wajah kusut dua pemuda yang merasa bersalah atas semua yang terjadi dalam beberapa waktu itu.Semua yang sudah mereka usahakan, nyatanya tak juga bisa mempersatukan para sahabatnya seperti semula. Hingga satu-satunya cara yang mereka lakukan adalah dengan kabar bohong.Ada semacam dilema yang kian terasa oleh diri Kang Arya sebagai pemimpin teamnya yang terus melawan kata hatinya. Ia jadi merasa tak pantas, egois, dan tak mampu menjadi sahabat apalagi pemimpin.Sesekali ia melempar pandangan ke atas langit dan mempertanyakan segalanya meski terkadang ia masih saja memikirkan kembali mimpinya saat itu.Tondopun juga merasa firasatnya kurang membuatnya nyaman. Sampai-sampai ia hampir saja menabrak kucing yang melintas di
Bab 66: Usaha Untuk Bisa Melarikan DiriRendy menyusuri jalanan yang bisa ia lewati dengan hati-hati agar tidak tergelincir. Sambil sesekali kedua ekor matanya mencari-cari ke sekelilingnya demi ingin menemukan sebuah petunjuk.Prasasti itu mungkin masih terkubur diantara bebatuan dan karst yang sudah memakan waktu ratusan tahun. Pastinya hal itu seperti mencari jarum ditumpukan jerami baginya yang tak memiliki pengalaman apapun.Rendy mendengar Eyang Prabu disaat ia mulai letih."Kau ikuti kata hatimu, tetapi lebih kau kusarankan untuk mencari ditiap sudut dan celah batuan itu!" perintah Eyang Prabu saat Rendy mulai pusing.Jelas dari kalimat itu Eyang Prabu juga kesulitan menemukannya, atau tak tahu apapun tentang keberadaan pastinya.Namun Rendy mulai menepis kecurigaan yang baru saja ia deteksi, tanpa terlihat Eyang Prabu."Baik, Eyang. Dalem mau mencarinya demi Eyang. Jadi mohon bantuannya ya, Eyang?" pintanya."Disini udara makin tipis, kabut juga sudah turun. Kok aku jadi merind