"Ngh."
"Ahh ... Mas." Suara-suara itu sukses membuat pergerakan Diara yang tengah menuang air ke dalam gelas berhenti. Ia segera menutup kran dispenser lalu menajamkan pendengarnya. Diikutinya arah suara tersebut dengan mengendap-endap hingga sampai di ruang tamu, di sana ia menemukan sepasang manusia yang tengah memadu kasih. Mereka adalah kedua majikannya. Sejujurnya Diara tidak begitu terkejut melihat pemandangan itu, sebab hal tersebut bukanlah yang pertama ia lihat melainkan kali ketiga selama enam bulan ia bekerja sebagai pembantu di sana. "Kayanya mereka suka banget menjelajah semua sudut ruangan di rumah ini." Gumam Diara terkikik. Bukannya lekas pergi seperti kali pertama dan kedua ia memergoki, kali ini Diara justru malah bersembunyi dibalik tembak penyekat antar ruang keluarga dan ruang tamu. Entah mengapa melihat majikannya yang tengah bersenggama itu malah membuat sesuatu dalam diri Diara bangkit. Sebagai seseorang yang sudah pernah merasakan nikmatnya bercinta hal tersebut sontak membuat hasrat Diara terpantik. Diara ingin merasakan lagi dan tanpa sadar tangannya terulur untuk memeta bagian-bagian sensitif tubuhnya sendiri. "Ah .. aku kangen banget." Desahnya tertahan sebab takut ketahuan. Netranya tak luput dari aktifitas sang majikan. Hingga bermenit-menit berlalu, Diara menyudahi kegiatannya bertepatan dengan mereka yang mendapatkan puncak kenikmatan. Namun ketika Diara sedang merapikan kembali pakaiannya yang sedikit berantakan akibat ulah sendiri, seketika itu matanya dibuat membelalak, jantungnya juga berdebar begitu kencang sampai rasanya mau copot. Sebab di sana, Bima--majikan laki-lakinya--tengah melihat ke arah dirinya seraya menyunggingkan senyum asimetris yang tak mampu Diara artikan. "Gawat." Sontak saja Diara buru-buru pergi menuju kamar sampai-sampai melupakan air mineral yang ia ambil. Padahal sebelumnya ia mengambil minum ditengah malam begini karena terbangun dan kehausan. Huh. Di dalam kamar, Diara tidak bisa tenang. Ia takut majikan laki-lakinya tersebut melihat semua yang ia lakukan. Berbagai pikiran buruk kini berkecamuk dalam batang otak. "Apa Pak Bima bakal marah terus mecat aku?" "Aduh gimana ini? Aku gak bisa bayangin kalo bener-bener dipacat. Aku udah betah banget kerja di sini." Memukul-mukul kepala merasa kesal karena kebodohannya sendiri. "Argh ... Kenapa aku bisa melalukan hal bodoh seperti itu? Kenapa aku gak bisa menahannya?" Sampai satu jam telah berlalu Diara masih belum bisa tidur karena memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi esok hari. Diara mencoba memaksakan matanya untuk terpejam tapi lagi-lagi tidak bisa. "Duh kenapa susah banget buat tidur lagi." Keluhnya frustasi seraya mengacak rambut. Namun ketika Diara tengah misuh-misuh karena kebodohannya, tiba-tiba terdengar derap langkah seseorang di luar kamar dan tak lama kemudian disusul dengan suara pintu terbuka. Ceklek! Pintu kamar Diara terbuka. Cepat-cepat ia berpura-pura tertidur. Namun sebelum matanya benar-benar terpejam, Diara sempat melihat seseorang yang masuk ke dalam kamarnya tersebut. Kau tahu siapa? Dia adalah majikan laki-laki Diara. Iya, Bima. Laki-laki itulah yang masuk ke dalam kamar pembantunya. Sontak saja hal tersebut membuat Diara bertanya-tanya dalam hati. 'Kenapa Pak Bima masuk ke kamar aku malam-malam? Apa dia mau marahin aku dan mecat aku malam ini juga? Tapi kenapa Pak Bima datangnya sendirian dan mengendap-endap pula? Sebenarnya apa yang mau dilakukan Pak Bima?' Berbagai pertanyaan kini bersarang di kepala Diara membuat jantungnya berdebar tak terkendali tapi ia berusaha untuk tetap tenang dan berpura-pura tertidur. Sampai beberapa menit kemudian tidak ada yang terjadi. Tapi Diara merasakan samakin lama ranjangnya mulai bergoyang lalu setelahnya ia merasakan sentuhan lembut di pipi. Diara nyaris membuka mata karena terperangah untung saja ia mampu mengendalikannya. Namun ia merasa heran dan kembali bertanya pada diri sendiri. 'Kenapa Pak Bima bangunin aku dengan cara yang lembut kaya gini? Seharusnya dia berteriak dan menyeretku 'kan?' Diara benar-benar bingung dengan apa yang terjadi. Tapi kebingungan Diara segera terjawab sebab Bima berbisik di telinganya dengan suara berat sampai membuat bulu kuduknya meremang. "Aku tahu kamu hanya pura-pura tidur dan aku tahu kamu menginginkanku." Mendengarnya seketika mata Diara terbuka. Diara semakin terkejut karena wajah Bima yang begitu dekat dengannya. Mungkin hanya berjarak lima centimeter saja. "P-pak Bima? Kenapa Bapak ada di kamar saya?" Ucap Diara terbata. Bima tersenyum, lagi-lagi senyum asimetris yang ia tunjukan. "Tidak usah berpura-pura bodoh, Diara. Kamu ingin aku menggaulimu 'kan? Baiklah akan aku lakukan sekarang juga." Diara mencoba mendorong tubuh Bima namun tidak bisa karena tenaga Bima jelas lebih besar darinya. Diara tahu, Bima seperti itu mungkin karena memergoki dirinya yang tengah mengintip Bima dengan istrinya berhubungan. Ditambah lagi Diara malah menjadikan tontonan tersebut untuk melakukan hal yang tidak senonoh. "M-maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud seperti itu." "Sstt ..." Bima menaruh jari telunjuknya di bibir Diara. "Sudah jangan banyak bicara." Kemudian Bima semakin mendekatkan wajahnya pada Diara dan sejurus kemudian menyatukan bibir mereka. Mata Diara membelalak sempurna, ia terkejut setengah mati karena perlakuan majikan laki-lakinya tersebut. Namun bukannya menolak dan kembali mendorong tubuh Bima untuk menjauhinya. Di sana Diara malah membalas apa yang dilakukan Bima padanya. Diara terbuai dengan ciuman lembut yang Bima berikan sampai akhirnya ditengah malam yang dingin ini Diara kembali merasakan kehangatan itu lagi. Kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan. Bersambung..."Ck! Ngapain sih dia? Ganggu aja deh.""Mungkin ada yang penting sayang. Mas ke luar dulu ya sebentar, ngecek dulu."Zaenal membantu Diara untuk beranjak dari pangkuannya. Namun sang istri sama sekali tidak menurutinya. Diara tidak mau bergerak dari sana."Gak usahlah paling juga dia mau ganggu doang. Dia pasti gak suka Mas lama-lama di sini makanya nyari-nyari alesan biar Mas ke luar."Zaenal hanya diam saja. Mungkin bimbang harus bagaimana? Diara menggunakan kesempatan tersebut untuk menggoda sang suami dengan dadanya yang sengaja belum ditutup. ia menyodorkan benda kenyal nan lembut itu hingga ke depan mulut Zaenal.Tinggal sekali hup saja, aset tersebut sudah berpindah tempat ke dalam mulut Zaenal. Namun lagi-lagi sial, sebelum Zaenal sempat melahapnya, Echa sudah lebih dulu berteriak lagi dari luar pintu--suaranya lebih kencang dari sebelumnya."MAS CEPET KE LUAR!"Diara mendengus sebal, pasalnya bukan hanya karena Zaenal yang tidak jadi melahap dadanya, namun lelaki itu sampai m
"Apa?!""Hhmm ... Soalnya Mas gak tau kalo kamu suka bunga atau nggak. Emangnya beneran kamu suka bunga juga?"Diara mendecih malas. "Mau aku suka bunga atau enggak, seharusnya Mas tetep ngelakuin hal yang sama dong, kaya yang Mas lakuin ke Mbak Echa. Kalo gini caranya, Mas udah pilih kasih.""Pilih kasih gimana sih, sayang? 'kan Mas gak tahu, lagian Mas juga udah gak pernah ngelakuin lagi. Mas ngelakuin itu jauh sebelum ada kamu."Memang benar tapi tetap saja Diara kesal mendengar bahwa ternyata Zaenal seromantis itu pada Echa. Diara iri, ia tidak mau tahu, pokoknya apa yang Echa dapatkan harus Diara dapatkan juga. Kalau bisa lebih dari Echa."Pokoknya aku mau Mas kaya gitu juga sama aku. Titik!"Zaenal menghembus napas lelah. "Iya, iya. Mulai besok Mas bakal kasih kamu bunga. Emangnya kamu suka bunga apa?"Diara tersenyum senang mendengarnya, kemudian ia diam sejenak. Jujur saja ia tidak mengerti soal bunga, ia meminta agar tidak kalah dari Echa "Hhmm emangnya Mas suka kasih bunga
Usai memberikan kalimat ancaman pada Echa, tanpa ada rasa bersalah sama sekali, Zaenal pergi seraya menggandeng istri mudanya meninggalkan istri tua yang diam terpaku.Diara tidak tahu persisnya bagaimana hubungan suami-istri antara Zaenal dan Echa berjalan selama ini. Apakah berjalan dengan harmonis, atau malah sejak awal sudah banyak perselisihan diantara mereka.Namun yang jelas, Diara bisa melihat dari sepasang mata Echa yang berkaca, agaknya wanita itu sangat terpukul dan sakit hati mendengar kalimat tersebut ke luar dari belah bibir Zaenal untuknya.Jika Diara berada di posisi Echa, ia juga pasti akan merasakan hal yang sama. Tidak peduli, hubungan meraka memang sudah rusak dari awal atau tidak, tapi kalimat yang diucapkan Zaenal barusan tetaplah menyakitkan.Tapi untunglah itu bukan ditujukkan untuk Diara, dan beruntung Diara bukanlah Echa yang malang dan lemah itu. Diara adalah wanita yang terlahir untuk menaklukkan banyak pria.Omong-omong soal hubungan pernikahan Echa dan Z
Menghirup dalam udara segar membuat Diara jadi lebih rileks. Ah rasanya senang sekali bisa ke luar dari rumah, walau hanya di perkarangan saja.Beberapa hari lalu, Diara sudah seperti seekor burung yang terjebak di dalam sangkar. Maka wajar apabila sekarang ia begitu sangat bahagia.Ditemani sang suami yang tak lepas menggenggam tangannya, Diara berjalan-jalan kecil mengitari halaman depan rumah. Depan rumah Zaenal halamannya memang cukup luas dan terdapat pula taman kecil dengan berbagai jenis bunga-bunga indah yang menghiasi.Diara akui Echa memang pandai sekali dalam merawat rumah, tapi sayang wanita itu tak pandai merawat dan menjaga suaminya dari godaan wanita lain, sehingga dengan sangat mudah Diara masuk--menyisipkan diri ditengah-tengah rumah tangganya.Diara pikir setiap wanita itu jangan hanya pintar dalam satu bidang saja, tapi harus disemua bidang, terutama menyenangkan suami di atas ranjang, dan Echa tidak bisa seperti itu, sehingga perlu untuk Diara melengkapi.Ah Diara
Setelah satu minggu akhirnya kamar Diara selesai di renovasi. Ah syukurlah Diara bisa segera meninggalkan kamar sempit nan sumpek itu.Tanpa membuang waktu, gadis itu lekas memindahkan barang-barangnya kembali ke sana. Hanya beberapa helai baju saja sih, dan itupun Zaenal yang membawakannya.Selama satu minggu itu, kondisi Diara juga berangsur-angsur membaik, perutnya sudah tidak sering merasakan sakit lagi dan hal tersebut membuatnya merasa jadi lebih bugar--tidak tampak lemah seperti sebelum-sebelumnya.Tinggal menunggu beberapa saat lagi, ia bisa merealisasikan semua rencana yang sudah tersusun dalam batang otaknya.Iya, selama kurun waktu satu minggu itu, tak henti ia memikirkan cara untuk membalas Echa Entah, Diara begitu kesal dan mendendam pada madunya itu. Meski Diara tahu Echa tidak salah apa-apa, tapi Diara tetap membencinya.Diara yang mengizinkan Zaenal untuk bersamanya--dalam kata lain--membiarkan Echa melayani suami mereka, tapi Diara juga yang acapkali sering uring-uri
Jadi apa kata yang tepat untuk Diara berikan pada Echa, hm? Munafik 'kah? Ah ya, sepertinya kata itu cukup cocok untuknya.Echa memang munafik! Mengapa Diara bisa berkata demikian? Karena apa yang diucapkan olehnya sangat berbeda jauh dengan apa yang ia lakukan. Echa berucap kukuh ingin bercerai, tapi mengapa ia masih mau melayani suaminya itu di atas ranjang?Diara yakin Echa tidak terpaksa, Diara yakin wanita itu menikmatinya juga. Diara bisa mendengar dari bagaimana cara Echa mendesah semalam. Jelas sekali wanita itu sangat menikmati permainan yang diberikan oleh suami mereka.Dasar wanita plin-plan dan munafik!Setelah mengetahui keberadaan Zaenal, yang ternyata tengah bercinta dengan istri pertamanya. Diara tidak bersikap bar-bar dengan menggedor pintu kamar Echa dan membuat percintaan mereka berhenti. ia justru lebih memilih untuk kembali ke kamar yang ia tempati sendiri.Alasannya bukan karena Diara tidak berani, tapi ia hanya tidak mau membuang-buang energi untuk melakukan hal