Pagi ini Diara terbangun sedikit lebih telat dari biasanya. Kau pasti sudah tahu 'kan apa penyebabnya?
Iya. Benar. Semalam Diara melakukannya. Melakukan sesuatu yang sudah lama sekali tidak ia lakukan. Sungguh ia sangat senang sekali, akhirnya ia bisa merasakan kenikmatan itu lagi. Dan ... Apa kau tahu? Ada satu hal lagi yang membuat perasaan Diara berkali-kali lipat lebih senang dan begitu bahagia. Iya. Itu karena ia melakukannya dengan seseorang yang sudah lama ia kagumi secara diam-diam. Bima Pratama. Lelaki yang sejak awal melihatnya, Diara sudah menaruh kekaguman padanya. Bagaimana tidak? Lelaki itu, begitu luar biasa sempurna. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan tinggi, berwibawa dan pastinya mapan. Ah beruntung sekali Nadia--istri Bima--bisa memiliki suami seperti majikan lelakinya tersebut. Jika boleh jujur, sebenarnya Diara sempat merasa iri, tapi ia tepis rasa iri itu karena ia cukup tahu diri. Namun siapa sangka, kini ia bahkan sudah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan Bima. Ini sebenarnya sesuatu yang sangat mustahil terjadi, sebab yang Diara tahu Bima begitu mencintai istrinya. Ah tapi agaknya secinta-cintanya lelaki pada wanitanya, sesetia apapun dia, bahkan sebaik apapun dia dalam agamanya. Pasti akan kalah juga jika disodorkan tubuh molek seorang wanita muda, bukan? Apalagi tubuh Diara masih sangat bagus dan ranum. Bukan Diara ingin memuji dirinya sendiri, tapi memang kenyataannya seperti itu. Diara memiliki tubuh tinggi semampai, tidak kurus, juga tidak gemuk. Pokoknya pas pada porsinya, cuman agak sedikit ada yang membesar dibeberapa bagian saja seperti pada dada dan bokong. Namun hal itu malah semakin menambah daya tarik. Kulitnya cukup bersih dibanding ART pada umumnya, ia juga miliki paras yang bisa dibilang cantik. Diara rasa hal tersebut juga yang membuat Bima sampai nekat menidurinya semalam. Yah, siapa yang akan kuat menahannya, apalagi Bima sudah melihat sedikit tubuh Diara ketika gadis itu tengah melakukan hal bodoh saat mengintip. Ingatkan Diara terus melayang dan berputar pada kejadian semalam yang membuat senyuman di bibirnya terus mengembang dan membuatnya menjadi tidak begitu fokus pada pekerjaan yang tengah membuat sarapan untuk kedua majikannya pagi ini. Sampai sebuah tangan tiba-tiba saja melingkari pinggang rampingnya, yang sontak membuat Diara tersentak kaget dan seketika memoleh ke belakang. "P-pak Bima!" "Sstt ... Jangan berisik. Nanti istriku dengar." Katanya seraya mengeratkan pelukannya pada pinggang Diara. Mendengar itu seketika membuat Diara terdiam dan ia hanya pasrah dengan apa yang dilakukan oleh majikannya tersebut. Tidak lama Bima memeluknya, hanya sekitar lima menit saja. Sepertinya Bima takut istrinya memergoki. Tapi sebelum pelukkan itu benar-benar terlepas. Bima menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah pada celah dada Diara seraya berbisik dengan seduktif. "Untukmu jajan dan jangan lupa beli obat penjegah hamil, ya." 'Owh.. Apa katanya? Dia menyuruh aku untuk membeli obat pencegah hamil? Itu artinya Pak Bima akan terus melakukannya denganku?' Sumpah demi apapun Diara senang sekali. Ia bersorak senang dalam hati. Semalam Bima memang mengeluarkannya di luar. Diara tahu lelaki itu tidak ingin gegabah dan membuatnya hamil lalu setelahnya berdampak pada rumah tangganya sendiri. Bagaimanapun juga Diara tahu, Bima sangat mencintai keluarga kecilnya. Lantas Diara hanya membalas ucapan Bima dengan senyuman dan sebuah anggukan setuju saja. Lagipula Diara memang belum siap hamil. Dan ia juga tidak begitu keberadaan jika Bima memang hanya ingin menjadikannya sebagai pemuas nafsu. Toh Diara memang sudah tidak perawan, dan bisa menikmati tubuh Bima serta memuaskannya. Sudah cukup membuat wanita itu berbangga hati dan bahagia. Namun kau tahu? sekarang ini jantung Diara berdebar begitu kencang, kedua pipinya juga memanas dan mungkin sekarang sudah terlihat memerah. Karena ia melihat Bima yang kini melemparkan senyum madu padanya. Oh Tuhan, laki-laki itu benar-benar tampan sekali. Ingin rasanya Diara segera menghambur untuk memeluk tubuh kekarnya. Tapi pikiran itu, jelas saja tidak Diara lakukan. Selain karena ia yang masih takut dan canggung, juga karena didetik selanjutnya ada sebuah suara lain yang terdengar mengudara, membuat Diara dan Bima seketika terkejut setengah mati. "Papa! Sedang apa di dapur pagi-pagi begini?" Tanya Nadia, yang saat ini sudah melangkahkan kakinya ke arah keduanya dengan Nayla (Anak mereka) dalam gendongan. Bima terlihat sedang mengatur napasnya. Sedangkan Diara hanya mampu terdiam. "O-oh Mama! I-ini Papa lagi minta Diara buatin Papa kopi." Jawabnya beralasan. Nadia menautkan kedua alisnya. "Sejak kapan Papa suka minum kopi pagi-pagi?" Tanyanya menyelidik. 'Aduh ... Pak Bima ini kenapa memberikan alasan itu sih? Sudah pasti Bu Nadia akan menaruh curiga karena Pak Bima emang gak pernah mau meminum kopi di pagi hari.' batin Diara. Enam bulan bekerja di rumah itu, jelas membuat Diara mengetahui kebiasaan-kebiasaan majikannya. Apalagi hal tersebut sudah di beritahu dan diwanti-wanti langsung oleh Nadia selaku istrinya. 'Jangan buatkan suami saya kopi di pagi hari. Dia tidak bisa minum kopi pagi-pagi apalagi dalam keadaan perut kosong karena bisa mengakibatkan lambungnya bermasalah.' Itu yang dikatakan Nadia saat Diara baru satu hari kerja di sana. Bima menggosok-gosok tengkuk lehernya. "Gak tahu kenapa hari ini Papa tiba-tiba pengen minum kopi Ma, hehehe." Ujarnya disertai kekehan kering. Nadia hanya mengangguk pelan seraya masih menatap curiga pada suaminya. "Oh ya, Diara. Apa masakannya sudah matang?" Tanya Bima pada Diara, sepertinya ia ingin mengalihkan pembicaraan. "S-sebentar lagi matang, Pak." Jawab Diara. "Ya sudah cepat selasaikan." "Baik Pak." "Kita tunggu diruang televisi saja yuk, Ma." Ajaknya pada Nadia seraya merangkul pundaknya. Namun sebelum Bima melangkah pergi, ia sempat menoleh ke belakang untuk memberikan senyuman tipis serta mengerlingkan sebelah matanya pada Diara. Tentu saja hal tersebut membuat Diara kegirangan bukan kepalang. 'Gak apa-apa walau hanya dijadikan pemuas nafsu semata. Yang terpenting Pak Bima sekarang menyukai aku dan sudah berada dalam genggamanku. Lagipula aku senang menjalin hubungan kaya gini. Lebih menantang!' Diara membatin. Setelah kedua majikannya tidak terlihat dalam pandangan, Diara teringat akan uang yang Bima selipkan tadi di dadanya. Ia lantas merogoh dan mengambil uang tersebut kemudian menghitungnya. Jumlahnya satu juta rupiah. 'Gila .. Apa Pak Bima gak salah kasih aku uang sebanyak ini? Kalau begini caranya kenapa tidak dari awal bekerja di sini saja aku melakukan hal seperti semalam. hahaha. Sebab ini sangat menguntungkan, karena selain mendapatkan kenikmatan aku juga mendapatkan uang.' Ada sedikit rasa menyesal di hari Diara karena baru melakukannya sekarang. Tapi ya sudahlah, yang terpenting sekarang ia sudah mendapatkannya. 'Hhhmm omong-omong harus aku belanjain apa ya uang ini? Kayanya hari ini aku harus mikirin alasan supaya aku bisa izin ke luar lebih lama.' Bersambung ..."Ck! Ngapain sih dia? Ganggu aja deh.""Mungkin ada yang penting sayang. Mas ke luar dulu ya sebentar, ngecek dulu."Zaenal membantu Diara untuk beranjak dari pangkuannya. Namun sang istri sama sekali tidak menurutinya. Diara tidak mau bergerak dari sana."Gak usahlah paling juga dia mau ganggu doang. Dia pasti gak suka Mas lama-lama di sini makanya nyari-nyari alesan biar Mas ke luar."Zaenal hanya diam saja. Mungkin bimbang harus bagaimana? Diara menggunakan kesempatan tersebut untuk menggoda sang suami dengan dadanya yang sengaja belum ditutup. ia menyodorkan benda kenyal nan lembut itu hingga ke depan mulut Zaenal.Tinggal sekali hup saja, aset tersebut sudah berpindah tempat ke dalam mulut Zaenal. Namun lagi-lagi sial, sebelum Zaenal sempat melahapnya, Echa sudah lebih dulu berteriak lagi dari luar pintu--suaranya lebih kencang dari sebelumnya."MAS CEPET KE LUAR!"Diara mendengus sebal, pasalnya bukan hanya karena Zaenal yang tidak jadi melahap dadanya, namun lelaki itu sampai m
"Apa?!""Hhmm ... Soalnya Mas gak tau kalo kamu suka bunga atau nggak. Emangnya beneran kamu suka bunga juga?"Diara mendecih malas. "Mau aku suka bunga atau enggak, seharusnya Mas tetep ngelakuin hal yang sama dong, kaya yang Mas lakuin ke Mbak Echa. Kalo gini caranya, Mas udah pilih kasih.""Pilih kasih gimana sih, sayang? 'kan Mas gak tahu, lagian Mas juga udah gak pernah ngelakuin lagi. Mas ngelakuin itu jauh sebelum ada kamu."Memang benar tapi tetap saja Diara kesal mendengar bahwa ternyata Zaenal seromantis itu pada Echa. Diara iri, ia tidak mau tahu, pokoknya apa yang Echa dapatkan harus Diara dapatkan juga. Kalau bisa lebih dari Echa."Pokoknya aku mau Mas kaya gitu juga sama aku. Titik!"Zaenal menghembus napas lelah. "Iya, iya. Mulai besok Mas bakal kasih kamu bunga. Emangnya kamu suka bunga apa?"Diara tersenyum senang mendengarnya, kemudian ia diam sejenak. Jujur saja ia tidak mengerti soal bunga, ia meminta agar tidak kalah dari Echa "Hhmm emangnya Mas suka kasih bunga
Usai memberikan kalimat ancaman pada Echa, tanpa ada rasa bersalah sama sekali, Zaenal pergi seraya menggandeng istri mudanya meninggalkan istri tua yang diam terpaku.Diara tidak tahu persisnya bagaimana hubungan suami-istri antara Zaenal dan Echa berjalan selama ini. Apakah berjalan dengan harmonis, atau malah sejak awal sudah banyak perselisihan diantara mereka.Namun yang jelas, Diara bisa melihat dari sepasang mata Echa yang berkaca, agaknya wanita itu sangat terpukul dan sakit hati mendengar kalimat tersebut ke luar dari belah bibir Zaenal untuknya.Jika Diara berada di posisi Echa, ia juga pasti akan merasakan hal yang sama. Tidak peduli, hubungan meraka memang sudah rusak dari awal atau tidak, tapi kalimat yang diucapkan Zaenal barusan tetaplah menyakitkan.Tapi untunglah itu bukan ditujukkan untuk Diara, dan beruntung Diara bukanlah Echa yang malang dan lemah itu. Diara adalah wanita yang terlahir untuk menaklukkan banyak pria.Omong-omong soal hubungan pernikahan Echa dan Z
Menghirup dalam udara segar membuat Diara jadi lebih rileks. Ah rasanya senang sekali bisa ke luar dari rumah, walau hanya di perkarangan saja.Beberapa hari lalu, Diara sudah seperti seekor burung yang terjebak di dalam sangkar. Maka wajar apabila sekarang ia begitu sangat bahagia.Ditemani sang suami yang tak lepas menggenggam tangannya, Diara berjalan-jalan kecil mengitari halaman depan rumah. Depan rumah Zaenal halamannya memang cukup luas dan terdapat pula taman kecil dengan berbagai jenis bunga-bunga indah yang menghiasi.Diara akui Echa memang pandai sekali dalam merawat rumah, tapi sayang wanita itu tak pandai merawat dan menjaga suaminya dari godaan wanita lain, sehingga dengan sangat mudah Diara masuk--menyisipkan diri ditengah-tengah rumah tangganya.Diara pikir setiap wanita itu jangan hanya pintar dalam satu bidang saja, tapi harus disemua bidang, terutama menyenangkan suami di atas ranjang, dan Echa tidak bisa seperti itu, sehingga perlu untuk Diara melengkapi.Ah Diara
Setelah satu minggu akhirnya kamar Diara selesai di renovasi. Ah syukurlah Diara bisa segera meninggalkan kamar sempit nan sumpek itu.Tanpa membuang waktu, gadis itu lekas memindahkan barang-barangnya kembali ke sana. Hanya beberapa helai baju saja sih, dan itupun Zaenal yang membawakannya.Selama satu minggu itu, kondisi Diara juga berangsur-angsur membaik, perutnya sudah tidak sering merasakan sakit lagi dan hal tersebut membuatnya merasa jadi lebih bugar--tidak tampak lemah seperti sebelum-sebelumnya.Tinggal menunggu beberapa saat lagi, ia bisa merealisasikan semua rencana yang sudah tersusun dalam batang otaknya.Iya, selama kurun waktu satu minggu itu, tak henti ia memikirkan cara untuk membalas Echa Entah, Diara begitu kesal dan mendendam pada madunya itu. Meski Diara tahu Echa tidak salah apa-apa, tapi Diara tetap membencinya.Diara yang mengizinkan Zaenal untuk bersamanya--dalam kata lain--membiarkan Echa melayani suami mereka, tapi Diara juga yang acapkali sering uring-uri
Jadi apa kata yang tepat untuk Diara berikan pada Echa, hm? Munafik 'kah? Ah ya, sepertinya kata itu cukup cocok untuknya.Echa memang munafik! Mengapa Diara bisa berkata demikian? Karena apa yang diucapkan olehnya sangat berbeda jauh dengan apa yang ia lakukan. Echa berucap kukuh ingin bercerai, tapi mengapa ia masih mau melayani suaminya itu di atas ranjang?Diara yakin Echa tidak terpaksa, Diara yakin wanita itu menikmatinya juga. Diara bisa mendengar dari bagaimana cara Echa mendesah semalam. Jelas sekali wanita itu sangat menikmati permainan yang diberikan oleh suami mereka.Dasar wanita plin-plan dan munafik!Setelah mengetahui keberadaan Zaenal, yang ternyata tengah bercinta dengan istri pertamanya. Diara tidak bersikap bar-bar dengan menggedor pintu kamar Echa dan membuat percintaan mereka berhenti. ia justru lebih memilih untuk kembali ke kamar yang ia tempati sendiri.Alasannya bukan karena Diara tidak berani, tapi ia hanya tidak mau membuang-buang energi untuk melakukan hal