Di ruang kerja Damar. Cahaya lampu meja menerangi wajah seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Damar duduk tenang di kursi kulit, matanya tajam menelusuri dokumen-dokumen di hadapannya.Jari-jarinya mengetuk meja perlahan, mengikuti irama pikirannya.Di atas meja itu, berjejer laporan keuangan, bukti transfer, dan salinan kontrak yang sudah ia tandai dengan stabilo merah. Semua itu berbicara dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh orang sepertinya. Bahasa kebohongan, penggelapan, dan kerakusan.Damar menutup satu berkas, lalu membuka lembar lain. Senyumnya tipis.“Adrian… Adrian…” gumamnya. “Kau benar-benar memberi makan harimau dengan tangan kosong.”Ia sudah bisa, jika mau menyeret Adrian ke meja hijau. Semua bukti ada di sini, rapi, jelas, tak terbantahkan. Sekali ia serahkan ke aparat, nama Adrian akan hancur dalam sekejap.Namun Damar tidak tergesa. Ia meneguk kopinya yang sudah dingin, membiarkan rasa pahitnya menempel di lidah.“Menghancurkanmu sekarang… terlalu m
Langkah-langkah Maya terdengar mantap saat keluar dari ruang rapat, tapi wajahnya menyiratkan amarah yang terpendam. Sepasang sepatu hak tinggi yang ia kenakan beradu dengan lantai marmer, menciptakan gema yang menusuk telinga, seakan menegaskan keberadaannya. Namun, bagi Maya sendiri, langkah itu lebih seperti pelarian. Pelarian dari tatapan menusuk para kolega yang baru saja menutup rapat.Rapat itu, yang seharusnya menjadi ruang diskusi profesional, justru berubah menjadi arena penuh sindiran halus. Kata-kata yang disampaikan koleganya terdengar manis di permukaan, tetapi Maya, dengan instingnya yang tajam, mampu menangkap duri di baliknya.Koridor panjang gedung itu sepi. Maya berjalan cepat, menyingkirkan segala tatapan bayangan dari pikirannya. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Di balik semua gengsi dan kekuatan yang selalu ia tunjukkan, Maya hanyalah seorang perempuan yang mulai lelah. Lelah menopang bayang-bayang suaminya yang semakin redup.Begitu membuka pintu ruang kerja A
Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam
Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia
Dua bulan laluHari-hari setelah kabar kematian Alvaro menyeruak ke publik menjadi mimpi buruk bagi Lyssa.Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia berharap semuanya hanya mimpi buruk. Bahwa ia akan menerima pesan dari Alvaro, sekadar satu kata, bahkan satu titik sekalipun untuk menandakan pria itu masih ada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Yang ada hanyalah layar ponsel yang sunyi, kosong, dingin, dan berita-berita yang menghantam dirinya tanpa belas kasihan.Media menggilas Lyssa tanpa ampun. Foto-fotonya saat bersama Alvaro sebelumnya terus-menerus dimunculkan. Judul-judul berita menyorotnya dengan kejam."Kekasih tersembunyi Alvaro? Apakah kematian sang pewaris ada kaitannya dengannya?""Perempuan di balik kecelakaan sang pewaris?""Apakah Lyssa tahu lebih banyak dari yang ia katakan?"Setiap kamera yang menyorotnya adalah luka baru. Setiap microphone yang dipaksa masuk ke wajahnya adalah penghinaan bagi kesedihannya.Lyssa mencoba mengabaikan semuanya. Ia menutup tirai apartem
Suara napas mereka masih saling bertubrukan, berat dan terengah, ketika Alvaro menindih tubuh Lyssa. Lampu kamar hanya menyisakan cahaya redup, cukup untuk membuat bayangan tubuh mereka menari di dinding. Bayangan itu bergerak perlahan, seiring gerakan dua tubuh yang sedang mencari kehangatan setelah terlalu lama terpisah oleh waktu dan kepalsuan.Lyssa merasakan kulit hangat Alvaro menempel pada kulitnya, membuat jantungnya berdegup seolah hendak meloncat keluar. Tubuhnya masih terhuyung dalam derasnya emosi, antara rindu, cinta, dan kelegaan.Alvaro menatapnya lekat, jemarinya menyusuri garis wajah Lyssa seperti menghafal setiap detail. “Aku masih tak percaya kau benar-benar di sini bersamaku.”Lyssa menggenggam pergelangan tangannya, menahan jemari Alvaro di pipinya. Tatapannya basah, matanya berkilau oleh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hasrat.“Dua bulan lalu…” suaranya lirih, nyaris tercekat, “…aku benar-benar percaya kau mati, Alvaro.”Alvaro terdiam. Bibirnya yang ta