Beranda / Romansa / Sang Pewaris Arogan / Pertemuan Pertama

Share

Pertemuan Pertama

Penulis: Aetheris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-03 15:47:55

Lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom hotel bintang lima, memantulkan cahaya keemasan yang berkilau di permukaan lantai marmer. Musik jazz lembut mengalun, dimainkan oleh band kecil di sudut ruangan, menciptakan atmosfer elegan yang dipenuhi gelas sampanye beradu, tawa pura-pura, dan obrolan basa-basi yang penuh kepentingan.

Acara malam itu adalah pesta tahunan Pradana Group, sebuah ajang yang selalu ditunggu oleh para pebisnis, pejabat tinggi, dan sosialita yang ingin terlihat penting. Di sanalah kekuasaan dipertontonkan, diukur, dan dibicarakan dalam senyum ramah yang seringkali palsu.

Di tengah kerumunan, berdiri seorang pria muda yang menjadi pusat perhatian: Alvaro.

Jas hitam Armani membungkus tubuhnya dengan presisi sempurna, dasi sutra abu-abu terikat rapi di leher, sementara sepatu kulitnya berkilau tanpa cela. Ia berdiri dengan postur tegak, penuh percaya diri, seperti seorang raja muda yang tahu betul bahwa seluruh ruangan ada dalam genggamannya.

Para pengusaha berdesakan untuk menyalami dan memuji.

“Alvaro, luar biasa sekali pidato Anda tadi,” kata seorang pria paruh baya dengan suara penuh kekaguman.

“Ya, sungguh menginspirasi generasi muda,” timpal yang lain.

Alvaro hanya menanggapi dengan senyum tipis dan anggukan singkat. Matanya yang dingin seakan berkata: aku tidak butuh validasi kalian.

Senyum itu, meski tipis, mampu membuat mereka semakin tunduk. Mereka tertawa lebih keras, menyanjung lebih tinggi, berusaha memastikan diri tetap berada di lingkaran pengaruhnya.

Namun, di balik semua itu, mata Alvaro tampak bosan. Ia sudah terlalu sering menghadapi orang-orang seperti ini, penuh kepura-puraan, haus keuntungan, mengelilinginya hanya karena nama Pradana.

Di sisi lain ballroom, Lyssa melangkah pelan, tubuhnya agak kaku. Ia mengenakan dress biru tua sederhana dengan potongan rapi, jauh berbeda dari gaun-gaun mahal para tamu wanita lain. Sepatu hak rendah yang ia kenakan tidak memantulkan cahaya semegah sepatu para sosialita, namun langkahnya mantap.

Di tangan kirinya tergenggam sebuah buku catatan kecil dan pena, senjata andalannya sebagai jurnalis lepas. Kesempatan menghadiri acara ini ia dapatkan dengan susah payah, melalui rekomendasi temannya yang bekerja di media lokal. Baginya, malam ini bukan sekadar pesta, melainkan medan pertempuran.

Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang sudah lama ia incar. Dan ketika menemukannya, napasnya nyaris tercekat.

Di sana. Tepat di tengah pusat cahaya dan perhatian, pria itu berdiri. Alvaro Pradana.

Tampak lebih nyata, lebih hidup daripada foto-foto yang pernah ia lihat di internet. Lebih dingin, lebih arogan.

Lyssa menggertakkan gigi. Pria ini… yang merasa dunia ada di bawah kakinya. Yang kata-katanya sudah menghina banyak orang. Yang sudah kubongkar dalam artikel.

Rasa takut sempat menyelinap, tapi Lyssa menekannya dengan keras. Aku tidak boleh gentar. Aku sudah menulis kebenaran tentangnya. Dan kebenaran tidak akan pernah bisa dipatahkan hanya dengan tatapan tajam.

Seolah mendengar suara hatinya, Alvaro tiba-tiba menoleh. Pandangannya menyapu ruangan, lalu berhenti tepat pada Lyssa.

Waktu seperti berhenti.

Tatapan mata itu menembus, tajam, dan penuh penguasaan. Lyssa merasa jantungnya berdegup terlalu kencang, namun ia menolak mengalihkan pandangan.

Senyum tipis menyungging di bibir Alvaro. Bukan senyum hangat, melainkan senyum yang penuh ironi seakan ia menemukan sesuatu yang akan menghiburnya malam itu.

Tanpa ragu, ia meninggalkan kerumunan orang yang masih berusaha mengajaknya bicara. Langkahnya panjang, mantap, membuat orang-orang otomatis menyingkir. Aura kekuasaan itu begitu nyata hingga Lyssa merasa udara di sekitarnya ikut berubah saat pria itu mendekat.

Dan akhirnya, mereka berdiri hanya berjarak satu langkah.

Alvaro menundukkan kepala sedikit, menatap Lyssa dengan sorot mata tajam.

“Jadi ini dia,” suaranya rendah namun jelas, terdengar di tengah musik dan riuh pesta, “penulis kecil yang berani mencoret-coret namaku dengan tinta murahan.”

Lyssa mengangkat dagunya, meski jantungnya masih berdebar hebat. “Jika Anda merasa tersinggung, mungkin karena kata-kata saya benar.”

Sekilas, keheningan meliputi mereka. Beberapa tamu di sekitar mencuri pandang, mencoba memahami siapa wanita muda yang berani bicara begitu lantang kepada Alvaro.

Alvaro tersenyum kecil, lalu tertawa lirih, nada suaranya penuh sindiran. “Benar? Kau pikir kau bisa menilai siapa aku hanya dari beberapa paragraf tulisan? Dunia ini, Arabella, tidak sesederhana opini murahan yang kau ketik di layar laptopmu.”

“Dan dunia juga tidak akan berubah,” balas Lyssa cepat, matanya menyala, “jika orang-orang seperti Anda terus merasa berada di atas segalanya.”

Senyum Alvaro perlahan memudar. Sorot matanya berganti tajam, menusuk, seolah ingin menguliti keberanian gadis di hadapannya. Ia melangkah setengah langkah lebih dekat, cukup untuk membuat Lyssa bisa merasakan hawa dingin dari tubuhnya.

“Aku penasaran,” suaranya menurun, hampir berbisik, namun cukup jelas, “apakah kau masih bisa berkata begitu… setelah benar-benar mengenalku.”

Lyssa menahan napas. Tubuhnya ingin mundur, tapi hatinya menolak. Ia memaksa bibirnya membentuk senyum tipis. “Saya tidak takut pada Anda, Tuan Pradana.”

Alvaro memandanginya beberapa detik, lama, seolah sedang menilai keteguhan hatinya. Lalu senyum miring muncul di wajahnya, senyum yang lebih menyerupai ancaman daripada persetujuan.

“Kau seharusnya takut, Lyssa. Karena mulai malam ini…” ia menunduk sedikit, menatap langsung ke dalam mata Lyssa, “…kau sudah masuk ke dalam dunia yang tidak pernah kau pahami.”

Lyssa menggenggam erat buku catatannya. Tangannya dingin, tapi ia tidak goyah. Ia tahu pria di depannya bukan lawan yang mudah. Namun ia juga tahu, jika ia mundur malam ini, maka seluruh perjuangan dan keberaniannya akan sia-sia.

Sementara itu, bagi Alvaro, pertemuan ini adalah titik balik. Wanita yang tadinya hanya ia kenal sebagai pengganggu di dunia maya, kini hadir di hadapannya dengan keberanian yang tak biasa. Itu membuatnya… tertarik.

Bukan tertarik dengan cara yang manis, melainkan tertarik untuk bermain.

Karena bagi Alvaro Pradana, hidup adalah permainan kekuasaan. Dan Lyssa Arabella baru saja masuk ke dalam papan catur yang ia kuasai.

Malam itu, di antara gemerlap pesta dan denting gelas sampanye, dua dunia yang bertolak belakang saling beradu pandang.

Yang satu, pewaris arogan yang hidup dengan nama dan kekuasaan.

Yang lain, seorang wanita sederhana yang berani menantangnya dengan kata-kata.

Dan permainan baru pun dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Pewaris Arogan   Mahkota Berduri

    Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam

  • Sang Pewaris Arogan   Api di Dada, Bara di Tahta

    Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia

  • Sang Pewaris Arogan   Menunggu di Ambang Luka

    Dua bulan laluHari-hari setelah kabar kematian Alvaro menyeruak ke publik menjadi mimpi buruk bagi Lyssa.Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia berharap semuanya hanya mimpi buruk. Bahwa ia akan menerima pesan dari Alvaro, sekadar satu kata, bahkan satu titik sekalipun untuk menandakan pria itu masih ada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Yang ada hanyalah layar ponsel yang sunyi, kosong, dingin, dan berita-berita yang menghantam dirinya tanpa belas kasihan.Media menggilas Lyssa tanpa ampun. Foto-fotonya saat bersama Alvaro sebelumnya terus-menerus dimunculkan. Judul-judul berita menyorotnya dengan kejam."Kekasih tersembunyi Alvaro? Apakah kematian sang pewaris ada kaitannya dengannya?""Perempuan di balik kecelakaan sang pewaris?""Apakah Lyssa tahu lebih banyak dari yang ia katakan?"Setiap kamera yang menyorotnya adalah luka baru. Setiap microphone yang dipaksa masuk ke wajahnya adalah penghinaan bagi kesedihannya.Lyssa mencoba mengabaikan semuanya. Ia menutup tirai apartem

  • Sang Pewaris Arogan   Rindu yang Tak Pernah Mati

    Suara napas mereka masih saling bertubrukan, berat dan terengah, ketika Alvaro menindih tubuh Lyssa. Lampu kamar hanya menyisakan cahaya redup, cukup untuk membuat bayangan tubuh mereka menari di dinding. Bayangan itu bergerak perlahan, seiring gerakan dua tubuh yang sedang mencari kehangatan setelah terlalu lama terpisah oleh waktu dan kepalsuan.Lyssa merasakan kulit hangat Alvaro menempel pada kulitnya, membuat jantungnya berdegup seolah hendak meloncat keluar. Tubuhnya masih terhuyung dalam derasnya emosi, antara rindu, cinta, dan kelegaan.Alvaro menatapnya lekat, jemarinya menyusuri garis wajah Lyssa seperti menghafal setiap detail. “Aku masih tak percaya kau benar-benar di sini bersamaku.”Lyssa menggenggam pergelangan tangannya, menahan jemari Alvaro di pipinya. Tatapannya basah, matanya berkilau oleh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hasrat.“Dua bulan lalu…” suaranya lirih, nyaris tercekat, “…aku benar-benar percaya kau mati, Alvaro.”Alvaro terdiam. Bibirnya yang ta

  • Sang Pewaris Arogan   Antara Nafasmu dan Nafasku

    Alvaro mengangkat dagu Lyssa perlahan dengan jemarinya, memaksa Lyssa yang tenggelam dalam pelukan untuk menatapnya kembali. “Lyssa, bolehkah aku egois malam ini?” suaranya berat, namun tidak ada nada paksaan di dalamnya.Sebelum Lyssa sempat menjawab, bibir Alvaro menyentuh bibirnya hangat, lembut, namun penuh kerinduan yang selama ini mereka pendam.Lyssa terperangkap. Detak jantungnya berpacu, tubuhnya menegang sesaat, tapi kemudian ia luluh. Tangannya bergerak naik, menempel di dada Alvaro yang bergetar cepat. Nafas mereka berbaur, menyatu, tak lagi bisa dibedakan mana milik siapa.Alvaro menariknya lebih dekat, seolah takut Lyssa akan pergi jika ia melepaskan. Pelukan itu begitu erat, begitu mengikat, seakan malam dan dunia hanya tercipta untuk mereka berdua.“Alvaro…” Lyssa berbisik di sela napas yang masih terengah.“Shh…” Alvaro menyentuhkan keningnya pada kening Lyssa, mata mereka terpejam. “Jangan katakan apa pun. Biarkan aku merasakanmu… biarkan aku percaya bahwa kau benar-

  • Sang Pewaris Arogan   Tenggelam dalam Pelukanmu

    Lampu gantung di restoran kecil itu dipadamkan satu per satu. Hanya cahaya dari dapur yang masih tersisa, menemani Alvaro, Lyssa, dan Raka merapikan meja dan kursi. Aroma kaldu yang tadi memenuhi ruangan sudah perlahan pudar, digantikan bau sabun cuci piring.“Sudah, biar aku yang bereskan sisanya,” ujar Alvaro sambil melipat kain lap di tangannya.Raka menoleh, keringat masih membasahi pelipisnya. “Kau yakin, Bos? Kain lapnya belum aku cuci.”Alvaro hanya mengangguk pendek. “Pergilah duluan, kau harus pulang. Jalan ke rumahmu jauh kalau terlalu malam.”Raka sempat membuka mulut, hendak membantah, tapi tatapan Alvaro cukup untuk membuatnya menyerah. Ia menaruh celemek di gantungan dekat pintu dapur, lalu mengambil kantong sampah untuk sekalian membuangnya saat keluar nanti.“Oke, kalau begitu aku pamit dulu.” Ia melirik Lyssa yang masih sibuk mengeringkan gelas. “Kau juga hati-hati di jalan nanti.”Lyssa tersenyum kecil. “Ya, terima kasih, Raka.”Raka mengangguk, lalu melangkah keluar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status