Home / Romansa / Sang Pewaris Arogan / Nama yang Ingin Dikubur

Share

Nama yang Ingin Dikubur

Author: Aetheris
last update Last Updated: 2025-09-03 15:47:44

Studio mulai lengang setelah siaran langsung selesai. Sorot lampu satu per satu meredup, meninggalkan bayangan panjang di lantai panggung. Para kru sibuk membereskan peralatan, sementara host bergegas pergi dengan wajah lelah dan lega karena wawancara panas itu akhirnya usai.

Di kursi tengah, Alvaro masih duduk. Ia menunduk sejenak, menatap jam tangan di pergelangan kirinya. Sekilas, wajah arogan yang tadi ditampilkan di hadapan publik menghilang, berganti sorot mata kosong.

“As expected,” gumamnya lirih. “Mereka semua sama. Selalu menunggu aku jatuh, tapi mereka lupa… aku tidak pernah jatuh.”

Seorang kru perempuan menghampiri, membungkuk sopan. “Tuan Alvaro, apakah Anda ingin minum sebelum pulang?”

Alvaro mengangkat wajahnya, tatapannya kembali dingin. “Tidak perlu.”

Wanita itu segera mundur. Aura pria itu terlalu menekan, membuat siapa pun enggan berada terlalu dekat.

Di balik panggung, asistennya yang tadi melakukan kesalahan masih menunggu. Tangannya gemetar, keringat dingin membasahi kemeja.

Alvaro mendekat perlahan, langkah sepatunya terdengar mantap di lantai marmer. Ia berhenti tepat di hadapan asistennya, menatapnya dalam-dalam.

“Kau tahu aturannya,” katanya pelan tapi tajam. “Nama itu tidak boleh keluar dari mulut siapa pun.”

“A-aku… maaf, Tuan. Itu hanya… refleks.”

Tatapan Alvaro menusuk lebih dalam, membuat pria itu hampir kehilangan napas. Namun, tiba-tiba Alvaro menghela panjang, menepuk bahunya keras.

“Kali ini aku anggap kau lupa. Tapi ingat…” suaranya menurun, hampir berbisik, “sekali lagi kau memanggilku dengan nama itu, aku pastikan besok kau tidak akan punya pekerjaan, bahkan mungkin… tidak punya masa depan.”

Asisten itu mengangguk cepat-cepat, wajahnya pucat pasi.

Alvaro berbalik, meninggalkan bayangan tegang di koridor.

Dalam perjalanan pulang, mobil sport hitamnya melesat di jalanan malam. Lampu kota berkelebat cepat, namun pikiran Alvaro justru melambat. Nama itu kembali bergema di kepalanya, meski ia sudah berusaha menekannya.

Reynanda.

Matanya menutup sesaat. Dan dalam sekejap, ia kembali ke masa kecil.

***

Hujan deras mengguyur kaca jendela rumah besar keluarga Pradana. Seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun berlari kecil di dalam kamar, memeluk boneka beruang lusuh yang sudah kehilangan satu mata.

“Reynanda…” suara lembut seorang wanita terdengar. Sang ibu, dengan rambut panjang terurai dan senyum hangat, mendekat sambil membawa handuk. Ia berjongkok, mengeringkan rambut anaknya dengan hati-hati.

“Jangan main hujan terus, Nak. Kau bisa sakit.”

Bocah itu mendongak, matanya berbinar. “Tapi aku suka hujan, Mama. Hujan bikin aku merasa… bebas.”

Wanita itu tertawa pelan, lalu mencium kening putranya. “Kalau begitu, biarkan hujan jadi sahabatmu. Tapi janji satu hal pada Mama.”

“Apa itu?”

“Jangan pernah berhenti menjadi Reynanda yang Mama kenal. Anak yang hangat, penuh tawa, dan tidak takut apapun.”

Bocah itu mengangguk semangat. “Aku janji, Ma!”

***

Kilatan kenangan itu membuat dada Alvaro sesak. Ia membuka mata kembali, menatap jalanan malam dengan rahang mengeras.

Janji? Ia tertawa pahit dalam hati.
Janji itu mati bersamamu, Ma. Reynanda juga mati bersamamu.

Sekarang yang tersisa hanyalah Alvaro yang dingin, kuat, dan arogan. Topeng yang ia kenakan agar tidak ada yang bisa melukai dirinya lagi.

Mobil berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit megah, salah satu properti milik keluarganya. Dari luar, tampak seperti istana kaca yang berkilau. Namun bagi Alvaro, gedung itu hanya penjara emas.

Ia melangkah masuk, disambut oleh resepsionis yang langsung menunduk hormat. Semua orang menyingkir ketika ia lewat, seakan kehadirannya membawa gravitasi yang menekan.

Setibanya di apartemen penthouse di lantai teratas, Alvaro melempar jasnya sembarangan, duduk di sofa kulit, dan membuka ponselnya.

Artikel Lyssa Arabella terpampang jelas di layar. Ia membacanya lagi, kali ini lebih lambat, memperhatikan setiap kalimat.

Kesombongan hanya akan membangun kerajaan rapuh.

Alvaro mengepalkan tangan. Kata-kata itu terasa seperti tamparan.

“Kerajaan rapuh, huh?” Ia menyeringai sinis. “Kau pikir kau tahu siapa aku? Kau bahkan tidak tahu apa-apa.”

Namun dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik: Kalau memang kerajaanku rapuh… apakah itu karena aku bukan Alvaro, melainkan… Reynanda?

Ia menepis pikiran itu cepat-cepat, meneguk wine dari gelas kristal di meja.

Di sisi lain kota, Lyssa merebahkan tubuhnya di kasur tipis. Ia menatap layar ponselnya yang penuh notifikasi. Artikel barunya sedang ramai diperbincangkan.

Beberapa memujinya karena berani mengkritik pewaris besar, beberapa mencemoohnya karena dianggap mencari sensasi. Namun Lyssa tersenyum puas.

“Kalau dia memang sekuat itu, biarkan dia membuktikannya,” bisiknya. “Aku tidak takut pada pria arogan macam dia.”

Tanpa sadar, dua dunia yang berbeda itu mulai bergerak saling mendekat. Dunia pewaris arogan dengan nama yang penuh luka, dan dunia seorang wanita sederhana yang berani melawan dengan kata-kata.

Pertemuan mereka hanya tinggal menunggu waktu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pewaris Arogan   Bayangan yang Kembali Hidup

    Ruang kerja Damar malam itu begitu sunyi. Lampu meja menerangi hanya sebagian kecil dari wajahnya, menyisakan setengah sisi lain dalam bayangan gelap yang panjang.Di tangannya, foto Sofia yang diambil dari file magang itu masih tergenggam erat. Ia memandangnya lama, terlalu lama hingga matanya mulai perih.Raut gadis itu... garis rahangnya, cara matanya sedikit menunduk saat tersenyum samar, semuanya terasa begitu akrab. Bagaimana bisa Damar baru menyadarinya sekarang?Pelan-pelan, sesuatu di dalam kepalanya bergetar. Sebuah kenangan lama, yang selama ini ia kubur dalam-dalam, menembus permukaan kesadarannya seperti retakan kecil di kaca.“Nadia…” Damar berbisik lirih, hampir seperti gumaman doa yang tersesat.***Dua puluh lima tahun lalu, suasana rumah keluarga Pradana selalu hangat.Sophia, istrinya, adalah perempuan lembut yang hidup dengan penuh kasih. Ia selalu memastikan setiap sudut rumah terasa nyaman, bahkan bagi tamu yang hanya datang sebentar. Salah satunya, Nadia.Nadia

  • Sang Pewaris Arogan   Janji di Depan Layar

    Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja

  • Sang Pewaris Arogan   Dosa Dua Puluh Tahun Lalu

    Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan

  • Sang Pewaris Arogan   Dendam

    Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat

  • Sang Pewaris Arogan   Luka dan Trauma

    Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya

  • Sang Pewaris Arogan   Bara di Balik Abu

    Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status