Studio mulai lengang setelah siaran langsung selesai. Sorot lampu satu per satu meredup, meninggalkan bayangan panjang di lantai panggung. Para kru sibuk membereskan peralatan, sementara host bergegas pergi dengan wajah lelah dan lega karena wawancara panas itu akhirnya usai.
Di kursi tengah, Alvaro masih duduk. Ia menunduk sejenak, menatap jam tangan di pergelangan kirinya. Sekilas, wajah arogan yang tadi ditampilkan di hadapan publik menghilang, berganti sorot mata kosong.
“As expected,” gumamnya lirih. “Mereka semua sama. Selalu menunggu aku jatuh, tapi mereka lupa… aku tidak pernah jatuh.”
Seorang kru perempuan menghampiri, membungkuk sopan. “Tuan Alvaro, apakah Anda ingin minum sebelum pulang?”
Alvaro mengangkat wajahnya, tatapannya kembali dingin. “Tidak perlu.”
Wanita itu segera mundur. Aura pria itu terlalu menekan, membuat siapa pun enggan berada terlalu dekat.
Di balik panggung, asistennya yang tadi melakukan kesalahan masih menunggu. Tangannya gemetar, keringat dingin membasahi kemeja.
Alvaro mendekat perlahan, langkah sepatunya terdengar mantap di lantai marmer. Ia berhenti tepat di hadapan asistennya, menatapnya dalam-dalam.
“Kau tahu aturannya,” katanya pelan tapi tajam. “Nama itu tidak boleh keluar dari mulut siapa pun.”
“A-aku… maaf, Tuan. Itu hanya… refleks.”
Tatapan Alvaro menusuk lebih dalam, membuat pria itu hampir kehilangan napas. Namun, tiba-tiba Alvaro menghela panjang, menepuk bahunya keras.
“Kali ini aku anggap kau lupa. Tapi ingat…” suaranya menurun, hampir berbisik, “sekali lagi kau memanggilku dengan nama itu, aku pastikan besok kau tidak akan punya pekerjaan, bahkan mungkin… tidak punya masa depan.”
Asisten itu mengangguk cepat-cepat, wajahnya pucat pasi.
Alvaro berbalik, meninggalkan bayangan tegang di koridor.
Dalam perjalanan pulang, mobil sport hitamnya melesat di jalanan malam. Lampu kota berkelebat cepat, namun pikiran Alvaro justru melambat. Nama itu kembali bergema di kepalanya, meski ia sudah berusaha menekannya.
Reynanda.
Matanya menutup sesaat. Dan dalam sekejap, ia kembali ke masa kecil.
***
Hujan deras mengguyur kaca jendela rumah besar keluarga Pradana. Seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun berlari kecil di dalam kamar, memeluk boneka beruang lusuh yang sudah kehilangan satu mata.
“Reynanda…” suara lembut seorang wanita terdengar. Sang ibu, dengan rambut panjang terurai dan senyum hangat, mendekat sambil membawa handuk. Ia berjongkok, mengeringkan rambut anaknya dengan hati-hati.
“Jangan main hujan terus, Nak. Kau bisa sakit.”
Bocah itu mendongak, matanya berbinar. “Tapi aku suka hujan, Mama. Hujan bikin aku merasa… bebas.”
Wanita itu tertawa pelan, lalu mencium kening putranya. “Kalau begitu, biarkan hujan jadi sahabatmu. Tapi janji satu hal pada Mama.”
“Apa itu?”
“Jangan pernah berhenti menjadi Reynanda yang Mama kenal. Anak yang hangat, penuh tawa, dan tidak takut apapun.”
Bocah itu mengangguk semangat. “Aku janji, Ma!”
***
Kilatan kenangan itu membuat dada Alvaro sesak. Ia membuka mata kembali, menatap jalanan malam dengan rahang mengeras.
Janji? Ia tertawa pahit dalam hati.
Janji itu mati bersamamu, Ma. Reynanda juga mati bersamamu.
Sekarang yang tersisa hanyalah Alvaro yang dingin, kuat, dan arogan. Topeng yang ia kenakan agar tidak ada yang bisa melukai dirinya lagi.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit megah, salah satu properti milik keluarganya. Dari luar, tampak seperti istana kaca yang berkilau. Namun bagi Alvaro, gedung itu hanya penjara emas.
Ia melangkah masuk, disambut oleh resepsionis yang langsung menunduk hormat. Semua orang menyingkir ketika ia lewat, seakan kehadirannya membawa gravitasi yang menekan.
Setibanya di apartemen penthouse di lantai teratas, Alvaro melempar jasnya sembarangan, duduk di sofa kulit, dan membuka ponselnya.
Artikel Lyssa Arabella terpampang jelas di layar. Ia membacanya lagi, kali ini lebih lambat, memperhatikan setiap kalimat.
Kesombongan hanya akan membangun kerajaan rapuh.
Alvaro mengepalkan tangan. Kata-kata itu terasa seperti tamparan.
“Kerajaan rapuh, huh?” Ia menyeringai sinis. “Kau pikir kau tahu siapa aku? Kau bahkan tidak tahu apa-apa.”
Namun dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik: Kalau memang kerajaanku rapuh… apakah itu karena aku bukan Alvaro, melainkan… Reynanda?
Ia menepis pikiran itu cepat-cepat, meneguk wine dari gelas kristal di meja.
Di sisi lain kota, Lyssa merebahkan tubuhnya di kasur tipis. Ia menatap layar ponselnya yang penuh notifikasi. Artikel barunya sedang ramai diperbincangkan.
Beberapa memujinya karena berani mengkritik pewaris besar, beberapa mencemoohnya karena dianggap mencari sensasi. Namun Lyssa tersenyum puas.
“Kalau dia memang sekuat itu, biarkan dia membuktikannya,” bisiknya. “Aku tidak takut pada pria arogan macam dia.”
Tanpa sadar, dua dunia yang berbeda itu mulai bergerak saling mendekat. Dunia pewaris arogan dengan nama yang penuh luka, dan dunia seorang wanita sederhana yang berani melawan dengan kata-kata.
Pertemuan mereka hanya tinggal menunggu waktu.
Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam
Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia
Dua bulan laluHari-hari setelah kabar kematian Alvaro menyeruak ke publik menjadi mimpi buruk bagi Lyssa.Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia berharap semuanya hanya mimpi buruk. Bahwa ia akan menerima pesan dari Alvaro, sekadar satu kata, bahkan satu titik sekalipun untuk menandakan pria itu masih ada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Yang ada hanyalah layar ponsel yang sunyi, kosong, dingin, dan berita-berita yang menghantam dirinya tanpa belas kasihan.Media menggilas Lyssa tanpa ampun. Foto-fotonya saat bersama Alvaro sebelumnya terus-menerus dimunculkan. Judul-judul berita menyorotnya dengan kejam."Kekasih tersembunyi Alvaro? Apakah kematian sang pewaris ada kaitannya dengannya?""Perempuan di balik kecelakaan sang pewaris?""Apakah Lyssa tahu lebih banyak dari yang ia katakan?"Setiap kamera yang menyorotnya adalah luka baru. Setiap microphone yang dipaksa masuk ke wajahnya adalah penghinaan bagi kesedihannya.Lyssa mencoba mengabaikan semuanya. Ia menutup tirai apartem
Suara napas mereka masih saling bertubrukan, berat dan terengah, ketika Alvaro menindih tubuh Lyssa. Lampu kamar hanya menyisakan cahaya redup, cukup untuk membuat bayangan tubuh mereka menari di dinding. Bayangan itu bergerak perlahan, seiring gerakan dua tubuh yang sedang mencari kehangatan setelah terlalu lama terpisah oleh waktu dan kepalsuan.Lyssa merasakan kulit hangat Alvaro menempel pada kulitnya, membuat jantungnya berdegup seolah hendak meloncat keluar. Tubuhnya masih terhuyung dalam derasnya emosi, antara rindu, cinta, dan kelegaan.Alvaro menatapnya lekat, jemarinya menyusuri garis wajah Lyssa seperti menghafal setiap detail. “Aku masih tak percaya kau benar-benar di sini bersamaku.”Lyssa menggenggam pergelangan tangannya, menahan jemari Alvaro di pipinya. Tatapannya basah, matanya berkilau oleh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hasrat.“Dua bulan lalu…” suaranya lirih, nyaris tercekat, “…aku benar-benar percaya kau mati, Alvaro.”Alvaro terdiam. Bibirnya yang ta
Alvaro mengangkat dagu Lyssa perlahan dengan jemarinya, memaksa Lyssa yang tenggelam dalam pelukan untuk menatapnya kembali. “Lyssa, bolehkah aku egois malam ini?” suaranya berat, namun tidak ada nada paksaan di dalamnya.Sebelum Lyssa sempat menjawab, bibir Alvaro menyentuh bibirnya hangat, lembut, namun penuh kerinduan yang selama ini mereka pendam.Lyssa terperangkap. Detak jantungnya berpacu, tubuhnya menegang sesaat, tapi kemudian ia luluh. Tangannya bergerak naik, menempel di dada Alvaro yang bergetar cepat. Nafas mereka berbaur, menyatu, tak lagi bisa dibedakan mana milik siapa.Alvaro menariknya lebih dekat, seolah takut Lyssa akan pergi jika ia melepaskan. Pelukan itu begitu erat, begitu mengikat, seakan malam dan dunia hanya tercipta untuk mereka berdua.“Alvaro…” Lyssa berbisik di sela napas yang masih terengah.“Shh…” Alvaro menyentuhkan keningnya pada kening Lyssa, mata mereka terpejam. “Jangan katakan apa pun. Biarkan aku merasakanmu… biarkan aku percaya bahwa kau benar-
Lampu gantung di restoran kecil itu dipadamkan satu per satu. Hanya cahaya dari dapur yang masih tersisa, menemani Alvaro, Lyssa, dan Raka merapikan meja dan kursi. Aroma kaldu yang tadi memenuhi ruangan sudah perlahan pudar, digantikan bau sabun cuci piring.“Sudah, biar aku yang bereskan sisanya,” ujar Alvaro sambil melipat kain lap di tangannya.Raka menoleh, keringat masih membasahi pelipisnya. “Kau yakin, Bos? Kain lapnya belum aku cuci.”Alvaro hanya mengangguk pendek. “Pergilah duluan, kau harus pulang. Jalan ke rumahmu jauh kalau terlalu malam.”Raka sempat membuka mulut, hendak membantah, tapi tatapan Alvaro cukup untuk membuatnya menyerah. Ia menaruh celemek di gantungan dekat pintu dapur, lalu mengambil kantong sampah untuk sekalian membuangnya saat keluar nanti.“Oke, kalau begitu aku pamit dulu.” Ia melirik Lyssa yang masih sibuk mengeringkan gelas. “Kau juga hati-hati di jalan nanti.”Lyssa tersenyum kecil. “Ya, terima kasih, Raka.”Raka mengangguk, lalu melangkah keluar