Malam pesta itu akhirnya usai, namun gema pertemuan mereka masih bergaung di kepala Lyssa.
Ia pulang ke apartemen mungilnya dengan langkah cepat, membuka laptop dan menatap layar kosong. Seharusnya ia menulis liputan tentang pesta perusahaan mewah yang baru saja ia hadiri. Namun, yang terlintas di benaknya hanyalah tatapan tajam pria itu. Tatapan yang begitu menusuk hingga membuatnya sulit bernapas. Biasanya, jari-jarinya akan menari cepat, menuangkan opini dan fakta tanpa ragu. Namun malam ini, pikirannya berantakan.
Tatapan pria itu tajam, menusuk, penuh dominasi masih melekat di benaknya. Senyum miringnya, nada suaranya, bahkan cara ia mendekat terlalu dekat… semuanya meninggalkan jejak yang sulit dihapus.
Lyssa mendesah keras, lalu meraih mug kopi yang sudah dingin.
Namun ia tahu, itu bukan sekadar wajah. Itu ancaman. Itu magnet.
Di lantai paling atas kantor pusat Pradana Group, lampu masih menyala. Alvaro belum pulang.
Ia duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, dinding kaca di belakangnya menampilkan panorama kota malam. Lampu jalan, gedung pencakar langit, lalu lintas yang berkelip. Tangannya bermain dengan jam tangan mewah di pergelangan, sesuatu yang selalu ia lakukan ketika sedang merencanakan sesuatu.
Di hadapannya, beberapa artikel tentang pesta semalam terpampang di layar besar. Mayoritas media memuji:
“Pesona Pewaris Muda Pradana Group”
“Alvaro, Simbol Karisma Generasi Baru”
“Keanggunan dan Kecerdasan Sang Pewaris.”
Namun, satu artikel berbeda. Bukan dari media besar, melainkan blog pribadi. Tulisan itu jujur, menusuk, bahkan sedikit kejam.
Penulisnya: Lyssa Arabella.
Alvaro membaca ulang kalimat terakhir di artikel itu, pelan-pelan, seperti sedang menikmati rasa pahit kopi hitam.
Senyum tipis muncul di wajahnya. Bukan senyum marah, melainkan senyum orang yang menemukan permainan baru yang menarik.
Ia menekan bel kecil di mejanya. Tak lama, asistennya masuk dengan wajah tegang.
“Cari semua tentang seorang wanita bernama Lyssa Arabella. Latar belakang, pekerjaan, alamat, semua yang bisa kau dapatkan.”
“Baik Tuan”
Alvaro bersandar, menatap langit kota yang berkilauan. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu. “Kau sudah menantangku, Arabella. Sekarang, kau akan ikut bermain di papan caturku.”
Pagi berikutnya, Lyssa membuka inbox emailnya dan nyaris tersedak kopi.
Logo Pradana Group terpampang jelas di header.
Mata Lyssa membelalak membaca kalimatnya:
“Kami memberi Anda kesempatan untuk menulis narasi resmi tentang citra Tuan Alvaro. Hanya Anda yang dipilih.”
“Tidak… tidak mungkin,” gumamnya panik. “Kenapa aku?”
Ia menutup laptop dengan keras, berdiri, berjalan bolak-balik di ruang tamu kecilnya. Ia merasa ini jebakan. Sungguh jebakan.
Dia sudah menulis artikel yang menghantamnya, dan sekarang orang itu justru mengundangnya secara pribadi? Tidak masuk akal.
Namun sebelum ia bisa menenangkan diri, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat. “Halo?”
Suara berat, dalam, langsung terdengar di telinganya.
Lyssa terpaku. Ia mengenali suara itu seketika. “T-Tuan Pradana?”
Tawa rendah terdengar, lirih namun mengintimidasi. “Ternyata kau masih bisa terkejut.”
Lyssa menelan ludah. “Apa maumu? Saya tidak tertarik bekerja sama dengan Anda.”
“Kau terlalu cepat menyimpulkan.” Nada suaranya tenang, tapi tajam, seperti bilah yang mengiris halus. “Aku hanya ingin memberimu kesempatan. Kau menulis banyak tentangku tanpa mengenalku. Sekarang aku membiarkanmu mengenalku lebih dekat. Bukankah itu… adil?”
Lyssa mengepalkan tangan. “Itu jebakan. Anda hanya ingin mengendalikan apa yang saya tulis.”
Keheningan singkat, lalu suara itu kembali. “Semua orang dikendalikan oleh sesuatu, Arabella. Uang, ambisi, bahkan kebenaran yang kau banggakan. Bedanya, aku selalu memastikan akulah yang memegang kendali.”
Kata-kata itu menghantam keras. Lyssa tahu ia sedang ditantang, bahkan diprovokasi. Namun justru karena itulah lidahnya bergetar menjawab. “Kalau begitu, saya akan menulis kebenaran yang tidak bisa Anda kendalikan.”
Alvaro terdiam sebentar, lalu tertawa kecil, rendah, penuh kepuasan. “Aku menunggu itu. Tapi jangan salah… semakin kau mencoba melawan, semakin dalam kau akan masuk ke dalam permainanku.”
Klik. Sambungan terputus.
Lyssa menatap ponselnya lama, tubuhnya gemetar. Rasanya seperti baru saja dipaksa masuk ke arena pertarungan, tanpa tahu aturan mainnya.
Beberapa hari kemudian, langkah kaki Lyssa bergema di lobi gedung kaca menjulang Pradana Group.
Ia datang setelah berkali-kali menolak, tapi akhirnya menyerah pada desakan rasa ingin tahu. Jika ia tidak datang, ia tidak akan pernah tahu apa yang sedang direncanakan pria itu.
Lobi luas dengan marmer putih berkilau membuatnya merasa kecil. Semua orang berpakaian rapi, berjalan dengan ritme yang seolah teratur, seakan seluruh gedung mengikuti detak jantung satu orang: Alvaro.
“Arabella, benar?” Seorang sekretaris elegan dengan rambut disanggul menyapanya.
Lyssa mengangguk. “Ya.”
“Silakan ikut saya. Tuan Alvaro sudah menunggu.”
Mereka masuk lift. Angka-angka digital naik perlahan menuju lantai paling atas. Lyssa merasakan perutnya mengeras. Semakin tinggi, semakin sesak.
Pintu terbuka. Lantai tertinggi.
Ruang kerja Alvaro terbentang luas, dengan jendela kaca raksasa yang menampilkan seluruh panorama kota. Di depan jendela itu, berdiri pria yang selama ini hanya ia kenal lewat layar.
Alvaro berbalik perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Senyum yang sama seperti di pesta malam itu.
“Selamat datang di duniaku, Arabella.”
Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam
Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia
Dua bulan laluHari-hari setelah kabar kematian Alvaro menyeruak ke publik menjadi mimpi buruk bagi Lyssa.Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia berharap semuanya hanya mimpi buruk. Bahwa ia akan menerima pesan dari Alvaro, sekadar satu kata, bahkan satu titik sekalipun untuk menandakan pria itu masih ada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Yang ada hanyalah layar ponsel yang sunyi, kosong, dingin, dan berita-berita yang menghantam dirinya tanpa belas kasihan.Media menggilas Lyssa tanpa ampun. Foto-fotonya saat bersama Alvaro sebelumnya terus-menerus dimunculkan. Judul-judul berita menyorotnya dengan kejam."Kekasih tersembunyi Alvaro? Apakah kematian sang pewaris ada kaitannya dengannya?""Perempuan di balik kecelakaan sang pewaris?""Apakah Lyssa tahu lebih banyak dari yang ia katakan?"Setiap kamera yang menyorotnya adalah luka baru. Setiap microphone yang dipaksa masuk ke wajahnya adalah penghinaan bagi kesedihannya.Lyssa mencoba mengabaikan semuanya. Ia menutup tirai apartem
Suara napas mereka masih saling bertubrukan, berat dan terengah, ketika Alvaro menindih tubuh Lyssa. Lampu kamar hanya menyisakan cahaya redup, cukup untuk membuat bayangan tubuh mereka menari di dinding. Bayangan itu bergerak perlahan, seiring gerakan dua tubuh yang sedang mencari kehangatan setelah terlalu lama terpisah oleh waktu dan kepalsuan.Lyssa merasakan kulit hangat Alvaro menempel pada kulitnya, membuat jantungnya berdegup seolah hendak meloncat keluar. Tubuhnya masih terhuyung dalam derasnya emosi, antara rindu, cinta, dan kelegaan.Alvaro menatapnya lekat, jemarinya menyusuri garis wajah Lyssa seperti menghafal setiap detail. “Aku masih tak percaya kau benar-benar di sini bersamaku.”Lyssa menggenggam pergelangan tangannya, menahan jemari Alvaro di pipinya. Tatapannya basah, matanya berkilau oleh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hasrat.“Dua bulan lalu…” suaranya lirih, nyaris tercekat, “…aku benar-benar percaya kau mati, Alvaro.”Alvaro terdiam. Bibirnya yang ta
Alvaro mengangkat dagu Lyssa perlahan dengan jemarinya, memaksa Lyssa yang tenggelam dalam pelukan untuk menatapnya kembali. “Lyssa, bolehkah aku egois malam ini?” suaranya berat, namun tidak ada nada paksaan di dalamnya.Sebelum Lyssa sempat menjawab, bibir Alvaro menyentuh bibirnya hangat, lembut, namun penuh kerinduan yang selama ini mereka pendam.Lyssa terperangkap. Detak jantungnya berpacu, tubuhnya menegang sesaat, tapi kemudian ia luluh. Tangannya bergerak naik, menempel di dada Alvaro yang bergetar cepat. Nafas mereka berbaur, menyatu, tak lagi bisa dibedakan mana milik siapa.Alvaro menariknya lebih dekat, seolah takut Lyssa akan pergi jika ia melepaskan. Pelukan itu begitu erat, begitu mengikat, seakan malam dan dunia hanya tercipta untuk mereka berdua.“Alvaro…” Lyssa berbisik di sela napas yang masih terengah.“Shh…” Alvaro menyentuhkan keningnya pada kening Lyssa, mata mereka terpejam. “Jangan katakan apa pun. Biarkan aku merasakanmu… biarkan aku percaya bahwa kau benar-
Lampu gantung di restoran kecil itu dipadamkan satu per satu. Hanya cahaya dari dapur yang masih tersisa, menemani Alvaro, Lyssa, dan Raka merapikan meja dan kursi. Aroma kaldu yang tadi memenuhi ruangan sudah perlahan pudar, digantikan bau sabun cuci piring.“Sudah, biar aku yang bereskan sisanya,” ujar Alvaro sambil melipat kain lap di tangannya.Raka menoleh, keringat masih membasahi pelipisnya. “Kau yakin, Bos? Kain lapnya belum aku cuci.”Alvaro hanya mengangguk pendek. “Pergilah duluan, kau harus pulang. Jalan ke rumahmu jauh kalau terlalu malam.”Raka sempat membuka mulut, hendak membantah, tapi tatapan Alvaro cukup untuk membuatnya menyerah. Ia menaruh celemek di gantungan dekat pintu dapur, lalu mengambil kantong sampah untuk sekalian membuangnya saat keluar nanti.“Oke, kalau begitu aku pamit dulu.” Ia melirik Lyssa yang masih sibuk mengeringkan gelas. “Kau juga hati-hati di jalan nanti.”Lyssa tersenyum kecil. “Ya, terima kasih, Raka.”Raka mengangguk, lalu melangkah keluar