Share

Jebakan Halus

Author: Aetheris
last update Last Updated: 2025-09-03 15:48:00

Malam pesta itu akhirnya usai, namun gema pertemuan mereka masih bergaung di kepala Lyssa.

Ia pulang ke apartemen mungilnya dengan langkah cepat, membuka laptop dan menatap layar kosong. Seharusnya ia menulis liputan tentang pesta perusahaan mewah yang baru saja ia hadiri. Namun, yang terlintas di benaknya hanyalah tatapan tajam pria itu. Tatapan yang begitu menusuk hingga membuatnya sulit bernapas. Biasanya, jari-jarinya akan menari cepat, menuangkan opini dan fakta tanpa ragu. Namun malam ini, pikirannya berantakan.

Tatapan pria itu tajam, menusuk, penuh dominasi masih melekat di benaknya. Senyum miringnya, nada suaranya, bahkan cara ia mendekat terlalu dekat… semuanya meninggalkan jejak yang sulit dihapus.

Lyssa mendesah keras, lalu meraih mug kopi yang sudah dingin.

“Kenapa aku bahkan membiarkan wajahnya terlintas di kepalaku? Ini konyol.”

Namun ia tahu, itu bukan sekadar wajah. Itu ancaman. Itu magnet.

Di lantai paling atas kantor pusat Pradana Group, lampu masih menyala. Alvaro belum pulang.

Ia duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, dinding kaca di belakangnya menampilkan panorama kota malam. Lampu jalan, gedung pencakar langit, lalu lintas yang berkelip. Tangannya bermain dengan jam tangan mewah di pergelangan, sesuatu yang selalu ia lakukan ketika sedang merencanakan sesuatu.

Di hadapannya, beberapa artikel tentang pesta semalam terpampang di layar besar. Mayoritas media memuji:
“Pesona Pewaris Muda Pradana Group”
“Alvaro, Simbol Karisma Generasi Baru”
“Keanggunan dan Kecerdasan Sang Pewaris.”

Namun, satu artikel berbeda. Bukan dari media besar, melainkan blog pribadi. Tulisan itu jujur, menusuk, bahkan sedikit kejam.

Penulisnya: Lyssa Arabella.

Alvaro membaca ulang kalimat terakhir di artikel itu, pelan-pelan, seperti sedang menikmati rasa pahit kopi hitam.

Kesombonganmu hanya membungkus kelemahan. Tanpa nama keluargamu, kau bukan pewaris, kau hanyalah lelaki kosong yang bersembunyi di balik jas mahal.

Senyum tipis muncul di wajahnya. Bukan senyum marah, melainkan senyum orang yang menemukan permainan baru yang menarik.

“Berani sekali kau menulis ini.”

Ia menekan bel kecil di mejanya. Tak lama, asistennya masuk dengan wajah tegang.

“Ya, Tuan?”

“Cari semua tentang seorang wanita bernama Lyssa Arabella. Latar belakang, pekerjaan, alamat, semua yang bisa kau dapatkan.”

“Baik Tuan”

Alvaro bersandar, menatap langit kota yang berkilauan. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu. “Kau sudah menantangku, Arabella. Sekarang, kau akan ikut bermain di papan caturku.”

Pagi berikutnya, Lyssa membuka inbox emailnya dan nyaris tersedak kopi.

Logo Pradana Group terpampang jelas di header.

Isinya: sebuah undangan resmi untuk wawancara eksklusif bersama Alvaro Pradana.

Mata Lyssa membelalak membaca kalimatnya:
“Kami memberi Anda kesempatan untuk menulis narasi resmi tentang citra Tuan Alvaro. Hanya Anda yang dipilih.”

“Tidak… tidak mungkin,” gumamnya panik. “Kenapa aku?”

Ia menutup laptop dengan keras, berdiri, berjalan bolak-balik di ruang tamu kecilnya. Ia merasa ini jebakan. Sungguh jebakan.

Dia sudah menulis artikel yang menghantamnya, dan sekarang orang itu justru mengundangnya secara pribadi? Tidak masuk akal.

Namun sebelum ia bisa menenangkan diri, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal.

Dengan tangan gemetar, ia mengangkat. “Halo?”

Suara berat, dalam, langsung terdengar di telinganya.

“Arabella.”

Lyssa terpaku. Ia mengenali suara itu seketika. “T-Tuan Pradana?”

Tawa rendah terdengar, lirih namun mengintimidasi. “Ternyata kau masih bisa terkejut.”

Lyssa menelan ludah. “Apa maumu? Saya tidak tertarik bekerja sama dengan Anda.”

“Kau terlalu cepat menyimpulkan.” Nada suaranya tenang, tapi tajam, seperti bilah yang mengiris halus. “Aku hanya ingin memberimu kesempatan. Kau menulis banyak tentangku tanpa mengenalku. Sekarang aku membiarkanmu mengenalku lebih dekat. Bukankah itu… adil?”

Lyssa mengepalkan tangan. “Itu jebakan. Anda hanya ingin mengendalikan apa yang saya tulis.”

Keheningan singkat, lalu suara itu kembali. “Semua orang dikendalikan oleh sesuatu, Arabella. Uang, ambisi, bahkan kebenaran yang kau banggakan. Bedanya, aku selalu memastikan akulah yang memegang kendali.”

Kata-kata itu menghantam keras. Lyssa tahu ia sedang ditantang, bahkan diprovokasi. Namun justru karena itulah lidahnya bergetar menjawab. “Kalau begitu, saya akan menulis kebenaran yang tidak bisa Anda kendalikan.”

Alvaro terdiam sebentar, lalu tertawa kecil, rendah, penuh kepuasan. “Aku menunggu itu. Tapi jangan salah… semakin kau mencoba melawan, semakin dalam kau akan masuk ke dalam permainanku.”

Klik. Sambungan terputus.

Lyssa menatap ponselnya lama, tubuhnya gemetar. Rasanya seperti baru saja dipaksa masuk ke arena pertarungan, tanpa tahu aturan mainnya.

Beberapa hari kemudian, langkah kaki Lyssa bergema di lobi gedung kaca menjulang Pradana Group.

Ia datang setelah berkali-kali menolak, tapi akhirnya menyerah pada desakan rasa ingin tahu. Jika ia tidak datang, ia tidak akan pernah tahu apa yang sedang direncanakan pria itu.

Lobi luas dengan marmer putih berkilau membuatnya merasa kecil. Semua orang berpakaian rapi, berjalan dengan ritme yang seolah teratur, seakan seluruh gedung mengikuti detak jantung satu orang: Alvaro.

“Arabella, benar?” Seorang sekretaris elegan dengan rambut disanggul menyapanya.

Lyssa mengangguk. “Ya.”

“Silakan ikut saya. Tuan Alvaro sudah menunggu.”

Mereka masuk lift. Angka-angka digital naik perlahan menuju lantai paling atas. Lyssa merasakan perutnya mengeras. Semakin tinggi, semakin sesak.

Pintu terbuka. Lantai tertinggi.

Ruang kerja Alvaro terbentang luas, dengan jendela kaca raksasa yang menampilkan seluruh panorama kota. Di depan jendela itu, berdiri pria yang selama ini hanya ia kenal lewat layar.

Alvaro berbalik perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Senyum yang sama seperti di pesta malam itu.

“Selamat datang di duniaku, Arabella.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pewaris Arogan   Janji di Depan Layar

    Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja

  • Sang Pewaris Arogan   Dosa Dua Puluh Tahun Lalu

    Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan

  • Sang Pewaris Arogan   Dendam

    Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat

  • Sang Pewaris Arogan   Luka dan Trauma

    Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya

  • Sang Pewaris Arogan   Bara di Balik Abu

    Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen

  • Sang Pewaris Arogan   Tubuh yang Berbicara

    Lampu ruang tamu rumah Alvaro meredup, menyisakan cahaya hangat dari satu lampu meja di sudut. Bayangan lembut menari di dinding, mengikuti gemericik hujan yang memantul dari jendela. Udara malam itu terasa tebal, seolah menampung semua kata yang belum sempat terucap di antara mereka.“Jangan lakukan semuanya sendirian,” kata Lyssa, pelan tapi penuh penekanan.Suaranya terdengar seperti doa yang disampaikan di antara deru hujan. Ia berdiri di hadapan Alvaro, matanya menelusuri wajah lelaki itu dengan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan oleh sikap tenang yang selama ini ia tunjukkan.“Lihat aku, Alvaro,” kata Lyssa lagi, suaranya mengandung sedikit paksaan yang lembut.Pria itu menatapnya. Mata mereka bertemu, tatapan yang mengungkap ketakutan untuk kehilangan, keengganan untuk berbagi, dan cinta yang begitu besar hingga nyaris menyesakkan dada. Lyssa tahu, hanya sentuhan yang bisa menembus dinding pertahanan Alvaro saat ini.Lyssa mendekat, langkahnya pelan, penuh kehati-hatian. T

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status