Mag-log inSaat ia melangkah keluar, Alvaro sudah menunggu, mengenakan setelan abu-abu gelap yang membuatnya tampak lebih tenang tapi tetap berwibawa.
“Kau datang,” ucapnya singkat.
“Aku tidak punya pilihan, kan?” sahut Lyssa dengan nada setengah kesal.
Alvaro menoleh, seulas senyum samar menghiasi wajahnya. “Kau selalu punya pilihan. Kau hanya memilih untuk mengikutiku.”
Lyssa terdiam. Jawaban itu terlalu menusuk untuk dibantah.
Mobil melaju menembus lalu lintas malam kota, menuju arah yang tidak ia kenal. Kali ini, Alvaro lebih banyak diam. Hanya ada musik instrumental lembut yang mengisi ruang.
Lyssa akhirnya membuka suara. “Kenapa kau terus membawaku ke tempat-tempat ini? Seolah aku bagian dari duniamu. Padahal aku bukan siapa-siapa, Alvaro. Aku hanya jurnalis lepas. Aku tidak punya nama besar, tidak punya kekuasaan-”
“Tepat.” Alvaro memotong kalimatnya. “Justru itu yang membuatmu berbeda. Kau tidak terikat, tidak bisa dibeli. Kau punya suara yang tidak bisa mereka kendalikan. Dunia butuh orang sepertimu.”
Lyssa menoleh, menatapnya lekat. Ada ketulusan di balik kesombongan itu, sesuatu yang membuat hatinya bergetar.
“Tapi aku lelah jadi sorotan,” katanya lirih.
Alvaro menoleh cepat, tatapannya menusuk. Bibirnya terangkat dalam senyum tipis yang lebih mirip ejekan.
“Lelah? Kau yang menyalakan api itu. Kau yang memilih menulis tentangku, lalu sekarang kau mengeluh panasnya membakar kulitmu? Jangan salahkan sorotan, sorotan hanyalah konsekuensi dari keberanianmu sendiri. Kalau kau ingin hidup tenang, kau seharusnya tidak pernah menyinggung namaku.”
Lyssa menatapnya tajam, suaranya bergetar tapi penuh keberanian.
“Lucu sekali. Kau menuduhku haus sorotan, padahal kau sendiri yang hidup darinya. Tanpa sorotan, tulisanmu hanya coretan di kertas yang tak akan pernah dibaca siapa pun. Kau butuh aku, sama seperti aku butuh musuh. Bedanya, aku cukup jujur mengakuinya, sementara kau… bersembunyi di balik kata ‘kebenaran’ untuk menutupi rasa laparmu akan pengakuan.” Senyum tipis Alvaro muncul di sudut bibirnya, dingin, sinis, penuh ejekan.
Lyssa mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya menusuk. “Haus pengakuan? Kau bercanda. Kau menyebut dirimu jujur, tapi semua yang kau lakukan hanyalah menutupi ketakutan dan kekosonganmu dengan ejekan dan sinisme. Kau hidup di dunia yang kau ciptakan sendiri, di mana kata-kata adalah senjata untuk menakut-nakuti orang yang berani melawanmu. Tapi dengarkan baik-baik, Alvaro… aku tidak takut. Aku tidak butuh sorotanmu, aku tidak perlu pengakuanmu. Kau bisa mencoba menundukkan orang lain, menghancurkan karier mereka, tapi kau tidak bisa membeli hati nurani. Dan percayalah, kebenaran yang kukatakan lebih besar dari egomu yang rapuh itu.”
Alvaro melirik Lyssa, matanya menyala dingin, senyum tipisnya menghilang sepenuhnya.
Kata-kata itu menjuntai di udara, berat seperti besi. Lyssa menelan ludah, jari-jarinya mengepal di pangkuan. Napasnya tercekat, matanya menatap lurus, tapi untuk pertama kali ia tak menemukan kata untuk dibalas. Diamnya bukan karena takut… tapi karena kata-kata itu menembus lapisan pertahanannya, menyingkap kerapuhan yang selama ini ia sembunyikan.
Mobil tetap melaju, lampu kota memantul di kaca, tapi di dalamnya hanya ada keheningan yang tegang. Dua ego yang saling menahan napas, sementara kata-kata terakhir Alvaro menggantung, berat, dan tak terbalas.
Mereka tiba di sebuah tempat yang sama sekali berbeda dari bar mewah malam sebelumnya. Sebuah restoran kecil di tepi kota, dengan lampu gantung sederhana dan aroma masakan yang menguar dari dapur terbuka. Tidak ada kamera, tidak ada tamu dengan jas mahal. Hanya tawa pengunjung biasa dan musik akustik yang hangat.
Lyssa mengerutkan kening. “Kau… membawaku ke sini?”
“Kau ingin tahu siapa aku di balik semua sorotan, bukan? Inilah tempatku ketika aku ingin melupakan dunia.”
Mereka duduk di sudut ruangan, meja kayu sederhana dengan lilin kecil di tengah. Untuk pertama kalinya, Lyssa melihat Alvaro tanpa lapisan formalitas. Ia memesan makanan dengan santai, bahkan bercakap hangat dengan pemilik restoran yang memanggilnya “Nak Alvaro” dengan nada akrab.
Lyssa terkesiap. “Kau… sudah sering ke sini?”
Alvaro meneguk air mineralnya sebelum menjawab. “Sejak kuliah. Tempat ini mengingatkanku bahwa aku juga manusia biasa, bukan hanya pewaris nama besar. Aku ingin kau melihat sisi itu.”
Mata Lyssa melembut. Dalam keheningan yang hangat itu, ia menyadari sesuatu: Alvaro bukan hanya pria arogan yang berdiri di puncak kekuasaan. Ia juga seseorang yang diam-diam mencari tempat untuk menjadi dirinya sendiri.
Makan malam berjalan dengan tenang. Lyssa mendengar banyak hal yang sebelumnya tidak pernah muncul di media: bagaimana Alvaro sebenarnya ingin membangun bisnis media independen agar berita tidak lagi dikendalikan oleh uang, bagaimana ia muak melihat kebenaran dipelintir demi kepentingan politik.
“Karena itu kau tidak membungkam artikelku?” tanya Lyssa hati-hati.
Alvaro menatapnya lama, lalu mengangguk. “Aku bisa menghancurkan artikel itu dalam sehari. Tapi aku memilih menghadapinya. Karena jika aku tidak bisa menahan kritik darimu, bagaimana aku bisa mengubah cara dunia memandang media?”
Kata-kata itu membuat Lyssa tercekat. Ia merasakan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar hubungan pribadi di antara mereka. Ini bukan hanya tentang gosip atau sorotan media, tapi tentang idealisme yang tak pernah ia sangka keluar dari mulut Alvaro.
Saat mereka keluar dari restoran, angin malam menyambut lembut. Lyssa berjalan di samping Alvaro, hatinya kacau antara kagum dan takut.
“Kenapa aku?” tanyanya tiba-tiba.
Alvaro berhenti, menoleh dengan sorot mata tajam tapi lembut. “Karena kau berani menulis kebenaran tentangku. Kau tidak takut pada namaku. Dan sekarang, aku ingin kau menulis kebenaran lain tentang siapa aku sebenarnya.”
Lyssa terdiam. Di balik cahaya lampu jalan, ia melihat pria itu bukan lagi sekadar pewaris arogan, melainkan seseorang yang perlahan membuka topengnya di hadapannya.
Malam itu, Lyssa sadar bahwa undangan kedua ini bukan sekadar ajakan pergi. Ini adalah langkah awal menuju ikatan yang jauh lebih rumit antara seorang jurnalis lepas yang mencari kebenaran, dan seorang pewaris yang mencoba mendefinisikan ulang dirinya.
Ruang kerja Damar malam itu begitu sunyi. Lampu meja menerangi hanya sebagian kecil dari wajahnya, menyisakan setengah sisi lain dalam bayangan gelap yang panjang.Di tangannya, foto Sofia yang diambil dari file magang itu masih tergenggam erat. Ia memandangnya lama, terlalu lama hingga matanya mulai perih.Raut gadis itu... garis rahangnya, cara matanya sedikit menunduk saat tersenyum samar, semuanya terasa begitu akrab. Bagaimana bisa Damar baru menyadarinya sekarang?Pelan-pelan, sesuatu di dalam kepalanya bergetar. Sebuah kenangan lama, yang selama ini ia kubur dalam-dalam, menembus permukaan kesadarannya seperti retakan kecil di kaca.“Nadia…” Damar berbisik lirih, hampir seperti gumaman doa yang tersesat.***Dua puluh lima tahun lalu, suasana rumah keluarga Pradana selalu hangat.Sophia, istrinya, adalah perempuan lembut yang hidup dengan penuh kasih. Ia selalu memastikan setiap sudut rumah terasa nyaman, bahkan bagi tamu yang hanya datang sebentar. Salah satunya, Nadia.Nadia
Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja
Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan
Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat
Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya
Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen







