Share

Panggung Terbuka

Penulis: Aetheris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-03 20:21:16

Bar mewah itu berdiri di lantai teratas sebuah gedung pencakar langit. Dari luar, lampu-lampu keemasan sudah memberi tanda bahwa ini bukan tempat biasa. Begitu mereka masuk, suara musik jazz modern menyambut, halus tapi penuh gengsi.

Pelayan langsung menunduk hormat begitu melihat Alvaro. Ia berjalan dengan langkah pasti, seakan ruangan itu memang diciptakan untuknya. Lyssa, di sisi lain, merasa seperti sedang memasuki panggung yang salah. Semua mata menoleh. Bisikan-bisikan terdengar, lalu kilatan kamera ponsel.

Lyssa menunduk, wajahnya memanas.

“Kenapa ke sini?” tanyanya, hampir seperti bisikan.

Alvaro mengangkat gelas wine begitu pelayan menyajikan. “Karena di sini, kita tidak bisa bersembunyi. Kau harus tahu rasanya berdiri di tengah sorotan. Kau jurnalis lepas, Lyssa. Kau terbiasa menyoroti orang lain. Sekarang giliranmu jadi sorotan. Rasakan, hadapi, dan lihat apakah kau cukup kuat.”

“Dan kalau aku tidak cukup kuat?” suara Lyssa pecah.

Alvaro menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kalau begitu, sebaiknya kau tidak pernah menulis artikel itu.”

Malam semakin larut, tapi bar semakin hidup. Tokoh-tokoh penting bermunculan: pebisnis berjas rapi, artis dengan gaun berkilau, politisi yang tersenyum penuh perhitungan. Semuanya menyapa Alvaro, beberapa dengan ramah, sebagian dengan sikap berhati-hati.

Lyssa hanya duduk, merasa dirinya asing di tengah gemerlap itu. Dunia ini bukan miliknya. Ia hanya seorang jurnalis lepas yang biasanya menulis dari kamar kecil, ditemani kopi dingin dan tumpukan catatan. Tapi kini, ia duduk di meja yang sama dengan orang-orang yang biasanya hanya bisa ia baca di berita.

Seorang pria paruh baya, pemilik salah satu media besar, menatapnya sambil mengangkat alis. “Ah, jadi ini penulis yang kemarin membuat heboh?” Ia tertawa kecil. “Luar biasa, Tuan Pradana. Anda tahu cara memilih pusat perhatian.”

Lyssa hampir kehilangan kata. Ia bisa merasakan nada meremehkan dalam ucapan itu.

Sebelum ia sempat merespons, Alvaro menoleh, tatapannya tajam bagai pisau. “Jangan meremehkannya. Artikel Lyssa lebih jujur daripada ribuan headline dari redaksimu. Dunia percaya pada kejujuran, bukan pada berita berbayar.”

Keheningan mencengkeram meja. Pria itu tertawa kaku, menyesap minumannya, dan memilih diam.

Lyssa menunduk, matanya panas. Ada rasa malu, tapi juga ada rasa hangat karena untuk pertama kalinya, seseorang berdiri melindunginya di depan orang-orang sebesar itu.

Beberapa waktu kemudian. Di balkon bar, jauh dari keramaian, Lyssa akhirnya berani membuka suara. Angin malam membelai rambutnya, membawa aroma kota.

“Kenapa kau membawaku ke sini, Alvaro? Kau tahu aku rapuh di hadapan mereka. Aku hanya jurnalis lepas. Aku bisa dihancurkan dengan satu komentar, satu berita miring. Kau tahu itu.”

Alvaro berdiri di sampingnya, menatap lampu kota yang berkelap-kelip. “Kau salah. Justru karena kau jurnalis lepas, mereka tidak bisa membeli suaramu. Kau tidak terikat. Itu yang membuatmu berbahaya bagi mereka dan menarik bagi dunia. Itulah sebabnya aku membawamu ke sini. Supaya mereka tahu kau tidak bisa diremehkan.”

Lyssa menoleh, menatap matanya. Ada kesombongan, ada kekuasaan, tapi juga ada keyakinan yang anehnya membuatnya merasa lebih kuat.

“Mungkin aku tidak sekuat yang kau pikir,” katanya lirih.

Alvaro menatap balik, sorot matanya menembus. “Maka aku akan membuatmu kuat. Karena mulai malam ini, kau tidak lagi berdiri sendirian.”

Kata-kata itu bergema di dada Lyssa, bercampur dengan ketakutan, kekaguman, dan sesuatu yang belum berani ia namai.

Malam itu, di bawah sorotan lampu bar yang gemerlap, Lyssa sadar dunianya sudah berubah selamanya. Ia bukan lagi sekadar penulis independen yang bekerja dari balik layar. Bersama Alvaro, ia telah melangkah ke panggung yang terlalu besar untuk ia abaikan dan terlalu berbahaya untuk ia tinggalkan.

***

Keesokan harinya.

Hari itu berjalan seakan waktu menolak beranjak. Dari pagi hingga sore, Lyssa hanya mendengar satu nama terus-menerus disebut di layar ponsel, radio, bahkan televisi yang samar terdengar dari kafe sebelah apartemennya: Alvaro Pradana. Dan, yang lebih mengejutkan, nama itu kini selalu disandingkan dengan miliknya: Lyssa Arabella.

Seharian, ia tak berhenti menerima notifikasi. Komentar, pesan pribadi, email, panggilan masuk semuanya campur aduk. Ada yang mendukung keberaniannya menulis artikel kontroversial itu, ada yang memujinya karena berani “menjinakkan” sosok arogan pewaris Pradana Group, tetapi lebih banyak yang mencibir, menuduhnya hanya mencari sensasi.

Lyssa menutup laptopnya dengan kasar. “Aku tidak menulis artikel itu untuk ini…” gumamnya, nyaris seperti orang yang memohon pada dirinya sendiri.

Artikel itu awalnya ia tulis sebagai analisis independen tentang dunia bisnis dan figur Alvaro yang terkenal congkak. Sebagai jurnalis lepas, ia sering menulis dengan sudut pandang yang lebih berani dibanding media besar, justru karena tidak ada yang bisa mengatur isi kepalanya. Kebebasan itu adalah kebanggaan Lyssa, meski juga berarti kelemahan. Tanpa institusi besar di belakangnya, ia tidak punya pelindung ketika kritik berubah menjadi serangan pribadi.

Telepon berdering. Editor paruh baya yang biasa menyalurkan tulisannya langsung bicara tanpa basa-basi.

“Lyssa, apa yang sudah kau lakukan pada dirimu?”

“Aku hanya menulis apa yang kulihat, tidak lebih.”

Editor itu mendesah berat. “Itu sebelum kau jadi pusat berita. Kau bukan lagi hanya penulis lepas yang suaranya bisa diabaikan. Kau sekarang bagian dari cerita. Dan mereka tidak akan melepaskanmu dengan mudah.”

“Aku tahu…” suara Lyssa melemah. Ia tahu benar apa artinya. Dunia jurnalisme bisa sangat kejam pada mereka yang bekerja sendirian.

Menjelang malam, tubuh Lyssa terasa ringan sekaligus berat. Ia sudah bersiap-siap untuk tidur lebih cepat, mencoba kabur dari kekacauan yang terus menekan dadanya. Tapi tepat pukul delapan, suara klakson halus terdengar di depan apartemennya.

Ia mendekat ke jendela, mengintip lewat celah tirai. Mobil hitam mengilap terparkir dengan elegan, seakan baru saja keluar dari iklan mobil mewah. Di sampingnya, berdiri sosok yang terlalu mudah dikenali dari postur dan aura yang memancar.

Alvaro.

Tegap, percaya diri, seperti tidak terguncang sama sekali oleh badai media. Jam tangan mewah melingkar di pergelangan tangannya, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Ia berdiri di sana seolah dunia memang miliknya, dan waktu hanya berdetak sesuai keinginannya.

Lyssa menutup tirai dengan cepat, jantungnya berpacu. “Kenapa dia harus datang lagi? Malam ini juga?” bisiknya.

Tapi entah kenapa, langkahnya justru bergerak ke pintu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Pewaris Arogan   Pagi yang Hangat

    Pagi itu, matahari menembus sela-sela dedaunan flamboyan di halaman rumah tua itu. Angin berhembus pelan, membawa aroma teh hangat dan roti panggang dari teras. Di kursi kayu, seorang lelaki tua dengan rambut yang beruban rapi duduk santai, membaca koran. Wajahnya tegas, penuh wibawa, tapi di balik itu ada sinar yang begitu hangat. Dialah Guntur Pradana, kakek Alvaro.Suara mesin mobil berhenti di halaman membuat Guntur mengangkat kepala. Dari balik kaca besar ruang tamu, ia bisa melihat seorang pria tinggi keluar dengan langkah hati-hati. Mengenakan topi hitam dan masker, ia tampak waspada, matanya menyapu sekeliling, seolah takut ada orang asing yang bisa mengenalinya.Guntur menghela napas sambil tersenyum samar.Alvaro berjalan mendekat, menggandeng seorang wanita di sisinya, Lyssa. Meski wajah Alvaro sebagian tertutup, tatapannya jelas penuh kehati-hatian, tapi juga hangat setiap kali menoleh pada Lyssa.Alvaro menunduk hormat, lalu mencium tangan kakeknya. “Kek.”Guntur menepuk

  • Sang Pewaris Arogan   Jeritan dalam Sunyi

    Di ruang kerja Damar. Cahaya lampu meja menerangi wajah seorang pria dengan rambut yang mulai memutih. Damar duduk tenang di kursi kulit, matanya tajam menelusuri dokumen-dokumen di hadapannya.Jari-jarinya mengetuk meja perlahan, mengikuti irama pikirannya.Di atas meja itu, berjejer laporan keuangan, bukti transfer, dan salinan kontrak yang sudah ia tandai dengan stabilo merah. Semua itu berbicara dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh orang sepertinya. Bahasa kebohongan, penggelapan, dan kerakusan.Damar menutup satu berkas, lalu membuka lembar lain. Senyumnya tipis.“Adrian… Adrian…” gumamnya. “Kau benar-benar memberi makan harimau dengan tangan kosong.”Ia sudah bisa, jika mau menyeret Adrian ke meja hijau. Semua bukti ada di sini, rapi, jelas, tak terbantahkan. Sekali ia serahkan ke aparat, nama Adrian akan hancur dalam sekejap.Namun Damar tidak tergesa. Ia meneguk kopinya yang sudah dingin, membiarkan rasa pahitnya menempel di lidah.“Menghancurkanmu sekarang… terlalu m

  • Sang Pewaris Arogan   Racun di Balik Senyuman

    Langkah-langkah Maya terdengar mantap saat keluar dari ruang rapat, tapi wajahnya menyiratkan amarah yang terpendam. Sepasang sepatu hak tinggi yang ia kenakan beradu dengan lantai marmer, menciptakan gema yang menusuk telinga, seakan menegaskan keberadaannya. Namun, bagi Maya sendiri, langkah itu lebih seperti pelarian. Pelarian dari tatapan menusuk para kolega yang baru saja menutup rapat.Rapat itu, yang seharusnya menjadi ruang diskusi profesional, justru berubah menjadi arena penuh sindiran halus. Kata-kata yang disampaikan koleganya terdengar manis di permukaan, tetapi Maya, dengan instingnya yang tajam, mampu menangkap duri di baliknya.Koridor panjang gedung itu sepi. Maya berjalan cepat, menyingkirkan segala tatapan bayangan dari pikirannya. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Di balik semua gengsi dan kekuatan yang selalu ia tunjukkan, Maya hanyalah seorang perempuan yang mulai lelah. Lelah menopang bayang-bayang suaminya yang semakin redup.Begitu membuka pintu ruang kerja A

  • Sang Pewaris Arogan   Mahkota Berduri

    Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam

  • Sang Pewaris Arogan   Api di Dada, Bara di Tahta

    Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia

  • Sang Pewaris Arogan   Menunggu di Ambang Luka

    Dua bulan laluHari-hari setelah kabar kematian Alvaro menyeruak ke publik menjadi mimpi buruk bagi Lyssa.Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia berharap semuanya hanya mimpi buruk. Bahwa ia akan menerima pesan dari Alvaro, sekadar satu kata, bahkan satu titik sekalipun untuk menandakan pria itu masih ada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Yang ada hanyalah layar ponsel yang sunyi, kosong, dingin, dan berita-berita yang menghantam dirinya tanpa belas kasihan.Media menggilas Lyssa tanpa ampun. Foto-fotonya saat bersama Alvaro sebelumnya terus-menerus dimunculkan. Judul-judul berita menyorotnya dengan kejam."Kekasih tersembunyi Alvaro? Apakah kematian sang pewaris ada kaitannya dengannya?""Perempuan di balik kecelakaan sang pewaris?""Apakah Lyssa tahu lebih banyak dari yang ia katakan?"Setiap kamera yang menyorotnya adalah luka baru. Setiap microphone yang dipaksa masuk ke wajahnya adalah penghinaan bagi kesedihannya.Lyssa mencoba mengabaikan semuanya. Ia menutup tirai apartem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status