Mag-log inBar mewah itu berdiri di lantai teratas sebuah gedung pencakar langit. Dari luar, lampu-lampu keemasan sudah memberi tanda bahwa ini bukan tempat biasa. Begitu mereka masuk, suara musik jazz modern menyambut, halus tapi penuh gengsi.
Pelayan langsung menunduk hormat begitu melihat Alvaro. Ia berjalan dengan langkah pasti, seakan ruangan itu memang diciptakan untuknya. Lyssa, di sisi lain, merasa seperti sedang memasuki panggung yang salah. Semua mata menoleh. Bisikan-bisikan terdengar, lalu kilatan kamera ponsel.
Lyssa menunduk, wajahnya memanas.
“Kenapa ke sini?” tanyanya, hampir seperti bisikan.
Alvaro mengangkat gelas wine begitu pelayan menyajikan. “Karena di sini, kita tidak bisa bersembunyi. Kau harus tahu rasanya berdiri di tengah sorotan. Kau jurnalis lepas, Lyssa. Kau terbiasa menyoroti orang lain. Sekarang giliranmu jadi sorotan. Rasakan, hadapi, dan lihat apakah kau cukup kuat.”
“Dan kalau aku tidak cukup kuat?” suara Lyssa pecah.
Alvaro menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kalau begitu, sebaiknya kau tidak pernah menulis artikel itu.”
Malam semakin larut, tapi bar semakin hidup. Tokoh-tokoh penting bermunculan: pebisnis berjas rapi, artis dengan gaun berkilau, politisi yang tersenyum penuh perhitungan. Semuanya menyapa Alvaro, beberapa dengan ramah, sebagian dengan sikap berhati-hati.
Lyssa hanya duduk, merasa dirinya asing di tengah gemerlap itu. Dunia ini bukan miliknya. Ia hanya seorang jurnalis lepas yang biasanya menulis dari kamar kecil, ditemani kopi dingin dan tumpukan catatan. Tapi kini, ia duduk di meja yang sama dengan orang-orang yang biasanya hanya bisa ia baca di berita.
Seorang pria paruh baya, pemilik salah satu media besar, menatapnya sambil mengangkat alis. “Ah, jadi ini penulis yang kemarin membuat heboh?” Ia tertawa kecil. “Luar biasa, Tuan Pradana. Anda tahu cara memilih pusat perhatian.”
Lyssa hampir kehilangan kata. Ia bisa merasakan nada meremehkan dalam ucapan itu.
Sebelum ia sempat merespons, Alvaro menoleh, tatapannya tajam bagai pisau. “Jangan meremehkannya. Artikel Lyssa lebih jujur daripada ribuan headline dari redaksimu. Dunia percaya pada kejujuran, bukan pada berita berbayar.”
Keheningan mencengkeram meja. Pria itu tertawa kaku, menyesap minumannya, dan memilih diam.
Lyssa menunduk, matanya panas. Ada rasa malu, tapi juga ada rasa hangat karena untuk pertama kalinya, seseorang berdiri melindunginya di depan orang-orang sebesar itu.
Beberapa waktu kemudian. Di balkon bar, jauh dari keramaian, Lyssa akhirnya berani membuka suara. Angin malam membelai rambutnya, membawa aroma kota.
“Kenapa kau membawaku ke sini, Alvaro? Kau tahu aku rapuh di hadapan mereka. Aku hanya jurnalis lepas. Aku bisa dihancurkan dengan satu komentar, satu berita miring. Kau tahu itu.”
Alvaro berdiri di sampingnya, menatap lampu kota yang berkelap-kelip. “Kau salah. Justru karena kau jurnalis lepas, mereka tidak bisa membeli suaramu. Kau tidak terikat. Itu yang membuatmu berbahaya bagi mereka dan menarik bagi dunia. Itulah sebabnya aku membawamu ke sini. Supaya mereka tahu kau tidak bisa diremehkan.”
Lyssa menoleh, menatap matanya. Ada kesombongan, ada kekuasaan, tapi juga ada keyakinan yang anehnya membuatnya merasa lebih kuat.
“Mungkin aku tidak sekuat yang kau pikir,” katanya lirih.
Alvaro menatap balik, sorot matanya menembus. “Maka aku akan membuatmu kuat. Karena mulai malam ini, kau tidak lagi berdiri sendirian.”
Kata-kata itu bergema di dada Lyssa, bercampur dengan ketakutan, kekaguman, dan sesuatu yang belum berani ia namai.
Malam itu, di bawah sorotan lampu bar yang gemerlap, Lyssa sadar dunianya sudah berubah selamanya. Ia bukan lagi sekadar penulis independen yang bekerja dari balik layar. Bersama Alvaro, ia telah melangkah ke panggung yang terlalu besar untuk ia abaikan dan terlalu berbahaya untuk ia tinggalkan.
***
Keesokan harinya.
Hari itu berjalan seakan waktu menolak beranjak. Dari pagi hingga sore, Lyssa hanya mendengar satu nama terus-menerus disebut di layar ponsel, radio, bahkan televisi yang samar terdengar dari kafe sebelah apartemennya: Alvaro Pradana. Dan, yang lebih mengejutkan, nama itu kini selalu disandingkan dengan miliknya: Lyssa Arabella.
Seharian, ia tak berhenti menerima notifikasi. Komentar, pesan pribadi, email, panggilan masuk semuanya campur aduk. Ada yang mendukung keberaniannya menulis artikel kontroversial itu, ada yang memujinya karena berani “menjinakkan” sosok arogan pewaris Pradana Group, tetapi lebih banyak yang mencibir, menuduhnya hanya mencari sensasi.
Lyssa menutup laptopnya dengan kasar. “Aku tidak menulis artikel itu untuk ini…” gumamnya, nyaris seperti orang yang memohon pada dirinya sendiri.
Artikel itu awalnya ia tulis sebagai analisis independen tentang dunia bisnis dan figur Alvaro yang terkenal congkak. Sebagai jurnalis lepas, ia sering menulis dengan sudut pandang yang lebih berani dibanding media besar, justru karena tidak ada yang bisa mengatur isi kepalanya. Kebebasan itu adalah kebanggaan Lyssa, meski juga berarti kelemahan. Tanpa institusi besar di belakangnya, ia tidak punya pelindung ketika kritik berubah menjadi serangan pribadi.
Telepon berdering. Editor paruh baya yang biasa menyalurkan tulisannya langsung bicara tanpa basa-basi.
“Aku hanya menulis apa yang kulihat, tidak lebih.”
Editor itu mendesah berat. “Itu sebelum kau jadi pusat berita. Kau bukan lagi hanya penulis lepas yang suaranya bisa diabaikan. Kau sekarang bagian dari cerita. Dan mereka tidak akan melepaskanmu dengan mudah.”
“Aku tahu…” suara Lyssa melemah. Ia tahu benar apa artinya. Dunia jurnalisme bisa sangat kejam pada mereka yang bekerja sendirian.
Menjelang malam, tubuh Lyssa terasa ringan sekaligus berat. Ia sudah bersiap-siap untuk tidur lebih cepat, mencoba kabur dari kekacauan yang terus menekan dadanya. Tapi tepat pukul delapan, suara klakson halus terdengar di depan apartemennya.
Ia mendekat ke jendela, mengintip lewat celah tirai. Mobil hitam mengilap terparkir dengan elegan, seakan baru saja keluar dari iklan mobil mewah. Di sampingnya, berdiri sosok yang terlalu mudah dikenali dari postur dan aura yang memancar.
Alvaro.
Tegap, percaya diri, seperti tidak terguncang sama sekali oleh badai media. Jam tangan mewah melingkar di pergelangan tangannya, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Ia berdiri di sana seolah dunia memang miliknya, dan waktu hanya berdetak sesuai keinginannya.
Lyssa menutup tirai dengan cepat, jantungnya berpacu. “Kenapa dia harus datang lagi? Malam ini juga?” bisiknya.
Tapi entah kenapa, langkahnya justru bergerak ke pintu.
Ruang kerja Damar malam itu begitu sunyi. Lampu meja menerangi hanya sebagian kecil dari wajahnya, menyisakan setengah sisi lain dalam bayangan gelap yang panjang.Di tangannya, foto Sofia yang diambil dari file magang itu masih tergenggam erat. Ia memandangnya lama, terlalu lama hingga matanya mulai perih.Raut gadis itu... garis rahangnya, cara matanya sedikit menunduk saat tersenyum samar, semuanya terasa begitu akrab. Bagaimana bisa Damar baru menyadarinya sekarang?Pelan-pelan, sesuatu di dalam kepalanya bergetar. Sebuah kenangan lama, yang selama ini ia kubur dalam-dalam, menembus permukaan kesadarannya seperti retakan kecil di kaca.“Nadia…” Damar berbisik lirih, hampir seperti gumaman doa yang tersesat.***Dua puluh lima tahun lalu, suasana rumah keluarga Pradana selalu hangat.Sophia, istrinya, adalah perempuan lembut yang hidup dengan penuh kasih. Ia selalu memastikan setiap sudut rumah terasa nyaman, bahkan bagi tamu yang hanya datang sebentar. Salah satunya, Nadia.Nadia
Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja
Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan
Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat
Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya
Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen







