LOGINLangkah Lyssa berhenti tepat di ambang pintu.
Ruang kerja itu jauh dari kata sederhana. Meja besar dari kayu hitam mengilap, rak buku menjulang dengan punggung-punggung berlapis kulit, dan jendela kaca raksasa yang menyuguhkan pemandangan kota dari ketinggian. Lampu gantung modern memancarkan cahaya hangat keemasan, memantulkan bayangan maskulin dari pria yang berdiri membelakanginya.
Alvaro Pradana.
Ia berbalik pelan, seolah sengaja memperpanjang detik demi detik hingga menambah tekanan di dada Lyssa. Senyum miring yang selalu tampak congkak itu terbit di wajahnya.
“Arabella,” sapanya.
Lyssa menarik napas panjang, mencoba menahan getar pada tubuhnya. “Saya di sini hanya untuk wawancara. Tidak lebih.”
Alvaro terkekeh ringan, melangkah mendekat. “Wawancara? Kau yakin ini sekadar wawancara?”
Lyssa membuka tas, mengeluarkan buku catatan kecil dan pena. “Begitulah yang tertulis di email resmi perusahaan Anda.”
“Ah,” ia mendengus singkat, kemudian duduk di kursinya. Sikapnya seperti raja di singgasananya, menunggu rakyat jelata yang berani menentang. “Kalau begitu, silakan mulai. Tanyakan apa pun. Aku akan menjawab… sesuai keinginanku.”
Lyssa mengangkat dagu, menolak untuk tunduk. Ia membuka catatan. “Baik. Pertama, bagaimana rasanya memikul nama besar Pradana Group di usia semuda ini?”
Mata Alvaro menyipit, senyum di bibirnya makin tajam.
“Tapi saya tidak mencari jawaban yang sudah dipoles humas Anda,” balas Lyssa cepat. “Saya mencari sisi yang belum pernah diketahui orang lain.”
Alvaro menyandarkan tubuhnya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja. “Sisi yang belum diketahui orang lain… atau sisi yang bisa kau jadikan peluru untuk tulisanmu?”
Ucapan itu membuat Lyssa tercekat, namun ia menolak mundur. “Mungkin keduanya.”
Sejenak, hening. Lalu, tawa rendah Alvaro memenuhi ruangan. “Kau menarik, Arabella.”
Wawancara berlanjut, tapi setiap pertanyaan yang Lyssa lontarkan selalu berbalik menjadi semacam ujian.
Ketika ia bertanya soal ambisi Alvaro, pria itu menjawab dengan metafora licin.
Lyssa mulai frustrasi. Pria ini seperti dinding baja, tapi pada saat yang sama, ia juga seperti cermin yang memantulkan balik setiap serangan.
Sampai akhirnya, Lyssa memberanikan diri. Ia membuka catatan, menatap lurus ke arahnya.
“Tuan Pradana,” suaranya bergetar sedikit tapi jelas, “apakah Anda lebih suka dipanggil Alvaro… atau Reynanda?”
Keheningan mendadak jatuh.
Alvaro terdiam, tubuhnya sedikit menegang. Tatapan matanya berubah dingin, menusuk, seolah ruangan kehilangan udara.
Lyssa menelan ludah, tapi ia melanjutkan. “Nama Reynanda ada di dokumen resmi keluarga. Namun hampir semua orang hanya mengenal Anda sebagai Alvaro. Kenapa?”
Detik berikutnya, kursi Alvaro berdecit saat ia berdiri. Langkah kakinya terdengar berat saat mendekat, hingga akhirnya ia berdiri tepat di depan Lyssa.
Ia membungkuk sedikit, menatap lurus ke mata Lyssa dengan sorot berbahaya.
Lyssa berusaha tidak bergeming. “Nama itu… ada di catatan publik. Aku hanya penasaran kenapa kau menyembunyikannya.”
Alvaro tersenyum miring, tapi senyum itu tidak lagi angkuh, melainkan getir. “Reynanda adalah luka. Nama yang mengingatkanku pada sisi yang ingin kulenyapkan. Dan aku benci ketika seseorang mencoba menggali apa yang seharusnya terkubur.”
Jantung Lyssa berdetak cepat. Ada kerapuhan yang samar di balik kata-katanya, tapi segera tertutup kembali oleh topeng arogan yang ia kenakan.
“Jadi,” lanjut Alvaro, kembali berdiri tegak, “kau menulis tentangku. Kau bahkan berani menyebutku pewaris arogan. Tapi kau harus tahu satu hal, Arabella.”
Ia menunduk sedikit, berbisik di telinga Lyssa.
Lyssa terdiam, hatinya bergejolak. Ia datang untuk mencari kebenaran, tapi kini ia merasa justru yang terperangkap dalam jebakan emosional pria ini adalah dirinya.
Sesi wawancara berakhir dengan catatan penuh, tapi bukan jawaban yang bisa ia tulis dengan mudah. Ia mendapat sesuatu yang lebih berbahaya: rahasia tentang nama Alvaro, sesuatu yang bisa menjadi senjata atau bumerang.
Saat ia hendak pergi, suara Alvaro menghentikannya.
Lyssa menoleh.
Senyum congkak itu kembali di wajahnya. “Tulislah apa pun yang kau mau. Tapi ingat… semakin keras kau menuliskannya, semakin erat kau terikat padaku.”
Lyssa keluar dengan dada sesak. Ia sadar, pertemuan ini bukan sekadar wawancara. Itu interogasi, itu permainan psikologis, dan ia kini sudah menjadi bagian dari papan catur milik Alvaro.
Dan yang lebih menakutkan, entah kenapa, ia tidak yakin ingin keluar dari permainan itu.
Ruang kerja Damar malam itu begitu sunyi. Lampu meja menerangi hanya sebagian kecil dari wajahnya, menyisakan setengah sisi lain dalam bayangan gelap yang panjang.Di tangannya, foto Sofia yang diambil dari file magang itu masih tergenggam erat. Ia memandangnya lama, terlalu lama hingga matanya mulai perih.Raut gadis itu... garis rahangnya, cara matanya sedikit menunduk saat tersenyum samar, semuanya terasa begitu akrab. Bagaimana bisa Damar baru menyadarinya sekarang?Pelan-pelan, sesuatu di dalam kepalanya bergetar. Sebuah kenangan lama, yang selama ini ia kubur dalam-dalam, menembus permukaan kesadarannya seperti retakan kecil di kaca.“Nadia…” Damar berbisik lirih, hampir seperti gumaman doa yang tersesat.***Dua puluh lima tahun lalu, suasana rumah keluarga Pradana selalu hangat.Sophia, istrinya, adalah perempuan lembut yang hidup dengan penuh kasih. Ia selalu memastikan setiap sudut rumah terasa nyaman, bahkan bagi tamu yang hanya datang sebentar. Salah satunya, Nadia.Nadia
Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja
Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan
Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat
Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya
Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen







