Home / Romansa / Sang Pewaris Arogan / Artikel yang Menggemparkan

Share

Artikel yang Menggemparkan

Author: Aetheris
last update Last Updated: 2025-09-03 16:01:55

Pagi itu udara kota dipenuhi kelembapan sisa hujan semalam. Langit masih kelabu, dan di apartemen mungilnya, Lyssa duduk terpaku di depan laptop. Layar putih menyorot wajahnya yang pucat namun berapi-api.

Jari-jarinya gemetar di atas keyboard, tetapi tatapannya kokoh. Tulisan yang ia susun sepanjang malam kini sudah rampung. Ia membaca ulang paragraf terakhir, mencoba menimbang ulang apakah ia cukup berani menekan tombol publish.

Artikel itu bukan sekadar opini. Ia tahu ini akan jadi batu yang dilempar ke kaca istana. Pecahannya akan melukai banyak pihak. Namun yang lebih ia takutkan, pecahan itu mungkin akan berbalik melukai dirinya sendiri.

Ia menutup mata, mengingat kembali sorot mata Alvaro ketika mereka terakhir bertemu. Sorot yang menusuk, menantang, seolah berkata: “Semakin keras kau menuliskannya, semakin erat kau terikat padaku.”

Kata-kata itu bagai racun yang mengalir di nadinya, menimbulkan rasa ngeri sekaligus candu. Ia tahu, menuliskan artikel ini berarti menantang pria paling berkuasa yang pernah ia hadapi. Tapi jika ia mundur, maka seluruh jati dirinya sebagai jurnalis akan runtuh.

Tangannya bergetar, tapi akhirnya ia mengetik satu kalimat tambahan di akhir artikel lebih tajam, lebih menusuk daripada semua yang pernah ia tulis sebelumnya:

“Apa artinya menjadi pewaris arogan, bila pada akhirnya kau hanyalah bayangan yang takut pada nama aslimu sendiri?”

Jantung Lyssa berdetak kencang. Ia menutup mata, lalu menekan tombol publish.

Hanya butuh dua jam, dan seluruh dunia digital membicarakannya.

Artikel itu menyebar dengan cepat, seperti percikan api yang menjalar di ladang kering. Dalam beberapa jam saja, linimasa media sosial dipenuhi potongan kalimat Lyssa. Tagar #SangPewarisArogan melesat ke puncak trending.

Sebagian netizen menyebut tulisannya berani dan jujur, seolah Lyssa mengungkap sesuatu yang selama ini hanya berani mereka bisikkan. Sebagian lain justru mengecam, menuduhnya mencari ketenaran lewat nama besar Pradana. Di tengah riuh itu, muncul pula suara-suara netral: orang-orang yang tak peduli siapa benar atau salah, tapi tak ingin melewatkan drama pewaris muda yang kini disorot seluruh negeri.

Namun satu hal jelas: tulisan Lyssa mengguncang citra sempurna pewaris muda Pradana Group.

Telepon Lyssa tak berhenti berdering. Pesan masuk menumpuk: tawaran wawancara, permintaan konfirmasi, bahkan ancaman samar.

Ia duduk di sofa ruang tamunya, memeluk bantal dengan wajah penuh kebingungan. Sebagian dirinya ingin bersorak, ia berhasil mengguncang sosok yang selama ini dielu-elukan media. Tetapi sisi lain dari dirinya dicekam ketakutan: bagaimana jika Alvaro benar-benar marah?

Ia tahu betul pria itu bukan sekadar pewaris kaya. Ia adalah predator sosial, seseorang yang bisa menjatuhkan siapa pun hanya dengan satu langkah strategis.

“Ya Tuhan…” bisiknya, menutup wajah dengan kedua tangan. “Apa yang sudah kulakukan?”

Di gedung kaca tertinggi pusat kota, suasana berbeda jauh.

Di lantai paling atas, ruang kerja Alvaro sunyi, hanya dihiasi suara detik jam dinding. Layar besar di mejanya menampilkan artikel Lyssa yang sudah ia baca berulang kali.

Asistennya masuk dengan wajah panik, membawa tumpukan koran dan tablet penuh laporan. “T-Tuan, artikel itu sudah viral. Reputasi perusahaan… saham pagi ini turun dua persen. Dewan direksi meminta penjelasan. Jika tidak segera...”

“Keluar.”

Satu kata itu terucap datar, namun cukup untuk membuat sang asisten pucat dan segera menyingkir.

Alvaro tetap berdiri di depan jendela, punggungnya tegap, menatap panorama kota yang berkilau meski langit masih mendung. Satu tangannya memainkan jam mewah di pergelangan.

Matanya beralih ke kalimat terakhir artikel Lyssa. Bibirnya melengkung perlahan, menampilkan senyum yang sulit ditebak.

“Bayangan yang takut pada nama aslinya…” gumamnya pelan.

Ada amarah yang bergejolak di dadanya, tapi lebih dari itu ada gairah yang aneh, semacam tantangan yang membuat nadinya berdenyut lebih cepat. Ia sudah terbiasa dipuja, ditinggikan, dihormati. Tapi dipukul dengan kata-kata seperti itu? Jarang sekali ada yang berani.

Alvaro meneguk whiskey dari gelas kristal, cairan keemasan itu membakar kerongkongan. “Kau benar-benar menarik, Arabella. Kau tahu bagaimana menusuk tepat di luka yang paling dalam.”

Sementara itu, Lyssa mencoba menenangkan diri di kafe kecil langganannya. Aroma kopi hitam memenuhi udara, namun rasanya tak mampu menenangkan kepanikan yang bersemayam di dada.

Ia menatap ponselnya yang terus bergetar. Puluhan pesan baru masuk, tapi tidak ada satu pun dari nomor yang ia takutkan sekaligus tunggu: Alvaro.

Ia tahu pria itu bukan tipe yang bersembunyi. Cepat atau lambat, ia akan muncul. Dan kemungkinan besar, itu akan menjadi pertemuan yang tidak bisa ia lupakan.

“Arabella.”

Suara berat itu membuat tubuhnya menegang.

Ia mendongak. Dan di sana, berdiri sosok yang sudah memenuhi pikirannya sejak beberapa hari terakhir. Alvaro.

Bukan dengan jas mewah seperti biasanya, melainkan kemeja hitam sederhana dengan lengan digulung. Namun justru kesederhanaan itu menambah pesonanya. Maskulin, kuat, mematikan. Semua mata di kafe menoleh ke arahnya, tapi tatapan pria itu hanya terfokus pada satu orang: Lyssa.

“Boleh aku duduk?” tanyanya, meski intonasinya lebih mirip perintah.

Lyssa mencoba menegakkan bahu. “Jika tujuannya hanya untuk mengintimidasi, kau tak perlu repot-repot duduk.”

Alvaro menarik kursi tanpa menunggu izin, lalu duduk dengan gerakan santai yang justru semakin menegangkan. Senyum miring menghiasi wajahnya.

“Kau membuat dunia membicarakanku,” ujarnya tenang, meski sorot matanya berbahaya. “Dan kau menyentuh nama itu… Reynanda. Nama yang bahkan aku kubur dalam-dalam.”

Lyssa menggenggam erat cangkir kopinya. “Itu kebenaran. Kau tidak bisa selamanya bersembunyi di balik nama Alvaro.”

Tatapan Alvaro mengeras. “Kau lupa satu hal. Orang tidak peduli pada kebenaran, Arabella. Mereka hanya peduli pada siapa yang berkuasa. Dan aku masih berkuasa.”

Lyssa tercekat. Kata-kata itu sederhana tapi menohok. Benar, sejujurnya ia tahu. Dunia lebih sering memilih percaya pada citra, bukan realita.

Namun ia tak ingin kalah begitu saja. “Kekuasaanmu tidak membuatmu kebal dari kebenaran. Orang akan mulai melihat siapa dirimu sebenarnya.”

Alvaro tertawa pelan, tawa rendah yang membuat bulu kuduk Lyssa meremang. Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap langsung ke matanya.

“Dengan artikel itu, kau bukan hanya menantangku. Kau menjerat dirimu sendiri. Sekarang kau berada di bawah sorotan lampu. Dan aku…” ia berhenti sejenak, menatap tajam, “…aku satu-satunya yang bisa menutup atau membiarkannya membakar habis dirimu.”

Lyssa terdiam. Kata-kata itu bukan ancaman kosong. Ia tahu, dengan sekali perintah, Alvaro bisa membuat kariernya hancur, bahkan hidupnya porak poranda.

Namun entah kenapa, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lain, sebuah tarikan aneh yang membuatnya sulit berpaling dari mata pria itu.

Ia menggertakkan gigi. “Kalau begitu, lakukan apa pun yang kau mau. Aku tidak takut.”

Sekejap, hening.

Alvaro tersenyum, kali ini lebih lebar. Senyum seorang pria yang menemukan lawan yang layak. “Berani sekali kau, Arabella. Semakin kau melawan, semakin aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan.”

Ia bangkit, berdiri tegap, tubuhnya menjulang, membuat Lyssa merasa kecil namun justru semakin keras kepala.

“Anggap saja artikelmu tadi langkah pertama,” katanya sambil merapikan lengan kemejanya. “Sekarang, permainan baru saja dimulai.”

Dengan satu lirikan terakhir, ia berjalan keluar dari kafe, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar namun menghantui.

Lyssa masih duduk terpaku, jantungnya berdetak begitu keras hingga hampir menembus dada. Ia seharusnya merasa menang, karena berhasil menantang pewaris arogan itu. Tetapi yang ia rasakan justru sesuatu yang jauh lebih berbahaya: ketertarikan tak kasat mata, magnet yang semakin menariknya ke dalam dunia gelap milik Alvaro.

Dan ia sadar, semakin keras ia mencoba melawan, semakin dalam ia akan terjerat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pewaris Arogan   Bayangan yang Kembali Hidup

    Ruang kerja Damar malam itu begitu sunyi. Lampu meja menerangi hanya sebagian kecil dari wajahnya, menyisakan setengah sisi lain dalam bayangan gelap yang panjang.Di tangannya, foto Sofia yang diambil dari file magang itu masih tergenggam erat. Ia memandangnya lama, terlalu lama hingga matanya mulai perih.Raut gadis itu... garis rahangnya, cara matanya sedikit menunduk saat tersenyum samar, semuanya terasa begitu akrab. Bagaimana bisa Damar baru menyadarinya sekarang?Pelan-pelan, sesuatu di dalam kepalanya bergetar. Sebuah kenangan lama, yang selama ini ia kubur dalam-dalam, menembus permukaan kesadarannya seperti retakan kecil di kaca.“Nadia…” Damar berbisik lirih, hampir seperti gumaman doa yang tersesat.***Dua puluh lima tahun lalu, suasana rumah keluarga Pradana selalu hangat.Sophia, istrinya, adalah perempuan lembut yang hidup dengan penuh kasih. Ia selalu memastikan setiap sudut rumah terasa nyaman, bahkan bagi tamu yang hanya datang sebentar. Salah satunya, Nadia.Nadia

  • Sang Pewaris Arogan   Janji di Depan Layar

    Layar televisi memercikkan cahaya biru di wajah Reina. Di ruang tamu yang senyap, bunyi berita bergulir tanpa henti. Suara penyiar yang resmi, potongan foto, serta klip video yang berulang-ulang menayangkan wajah ibunya dengan judul penuh tuduhan. Maya Pradana, yang dulu dipuji sebagai istri berkelas dan sosok sosialita yang berprinsip, kini ditangkap polisi; wajahnya terpampang, pucat dan terluka oleh kejatuhan yang sama sekali tak ia bayangkan.Reina duduk membeku di sofa. Jari-jari kecilnya mencengkeram lengan baju hingga kuku memerah. Di luar, angin siang berbisik di antara pepohonan, namun di dalam dadanya ada badai: kemarahan, kecewa, dan rasa dikhianati yang panas."Bajingan!" umpat Reina.Sejak insiden kecelakaan yang hampir menelan nyawa Reina, sejak foto-foto itu, sampai pesta yang lalu, semuanya tampak seperti benang-benang yang ditarik oleh tangan yang sama. Alvaro yang muncul dari kabut kematian, yang menempatkan dirinya sebagai penyelamat, yang hadir memberi tawa di meja

  • Sang Pewaris Arogan   Dosa Dua Puluh Tahun Lalu

    Malam turun dengan sunyi yang berat. Lampu kamar hanya menyala redup, menerangi sosok Alvaro yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil meski suhu ruangan cukup hangat. Napasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya.Lyssa duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas sambil menggenggam tangan Alvaro erat.Sejak sore tadi tubuh Alvaro tiba-tiba panas, dan meski ia mencoba menolak untuk dibawa ke rumah sakit, Lyssa tahu itu bukan demam biasa. Ada sesuatu di balik mata lelaki itu, seperti ketakutan yang menolak hilang.“Sayang, bangun…” Lyssa berbisik pelan, menepuk pipinya lembut. Tapi Alvaro tak bergerak, matanya tetap terpejam rapat, napasnya terengah.Di dalam mimpi, dunia terasa kabur. Alvaro berdiri di tengah taman yang asing, diselimuti kabut putih yang tebal. Semua terasa sunyi, kecuali suara desir angin dan gemericik air dari arah yang tak terlihat.“Reynanda…”Suara itu lembut, suara yang sudah dua puluh tahun tidak ia dengar.Ia menoleh cepat, matan

  • Sang Pewaris Arogan   Dendam

    Sofia duduk di kursi kayu yang menghadap jendela besar, di dalam ruangan apartemen yang sunyi. Matahari siang menembus tirai tipis, memantulkan cahaya keemasan di rambut hitamnya yang tergerai. Di atas meja, ponsel bergetar pelan pesan masuk dari seseorang yang ia tugaskan memantau situasi di rumah Alvaro.“Laporan diterima. Pemicu masa lalu berhasil bekerja.”Sudut bibir Sofia perlahan terangkat. Ia menutup ponselnya, lalu menatap ke luar jendela, ke langit Velora city yang kelabu, seperti menyimpan beban yang sama dengannya.“Bagus,” gumamnya pelan, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.Ia bisa membayangkan ekspresi Alvaro saat ini: wajah pucat itu, mata yang kosong, tangan yang gemetar. Semua kepingan masa lalu yang telah ia kubur bertahun-tahun kini bangkit tanpa ampun. Dan semua itu, pikir Sofia, adalah langkah pertama.Ia mengangkat cangkir kopi di depannya, menyesap perlahan. Rasa pahit memenuhi lidahnya, tapi justru membuatnya tenang. Ia menyukai rasa pahit; pahit mengingat

  • Sang Pewaris Arogan   Luka dan Trauma

    Alvaro terduduk di lantai ruang tamu. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada selembar foto yang ia genggam erat di tangannya. Napasnya berat, bergetar di dada. Lyssa, masih di sisinya, menatap dengan campuran cemas dan bingung.“Alvaro… apa itu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Alvaro tidak menjawab. Ia bahkan seolah tak mendengar apa pun. Matanya tak beranjak dari gambar yang menatap balik padanya, seolah masa lalu yang lama ia kubur kini menampakkan wajahnya lagi, tanpa ampun.Tangan Alvaro gemetar. Ia memandangi foto itu lama, lalu mengembuskan napas yang terdengar seperti keluhan dari dasar dadanya. Pundaknya bergetar, suaranya serak saat ia berbisik,“Tidak… ini tidak mungkin… ini tidak benar…”Lyssa menatapnya, matanya membulat. Ia mencoba mengambil foto itu dari tangan Alvaro, tapi pria itu menahan genggamannya kuat-kuat. Jemarinya mencengkeram tepi foto sampai kertasnya hampir robek.“Aku tidak mungkin… aku tidak mungkin melakukan itu…” suaranya

  • Sang Pewaris Arogan   Bara di Balik Abu

    Aroma roti panggang dan suara lembut alat masak beradu memenuhi dapur kecil rumah Alvaro.Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis-garis hangat di lantai.Lyssa berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar milik Alvaro dan celana pendek lembut yang nyaris kebesaran di pinggangnya. Rambutnya digelung seadanya, beberapa helai jatuh di sisi pipinya yang masih tampak merah muda oleh sisa malam.Pagi itu tenang hampir terlalu tenang.Lyssa menyalakan mesin kopi, membiarkan aroma robusta memenuhi udara. Ia menatap ke arah ruang tamu di mana Alvaro masih tertidur di sofa, tubuhnya berselimut selimut abu-abu tipis. Ada kelegaan di wajah pria itu yang jarang ia lihat akhir-akhir ini. Damai, seolah beban yang selama ini menumpuk semalam sempat sedikit terangkat.Senyum kecil muncul di bibir Lyssa.Ia menatapnya lama, lalu berbalik kembali ke dapur, berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana tapi hangat. Suara alat masak berpadu dengan nyanyian burung di luar jendela.Sejen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status