Pagi itu udara kota dipenuhi kelembapan sisa hujan semalam. Langit masih kelabu, dan di apartemen mungilnya, Lyssa duduk terpaku di depan laptop. Layar putih menyorot wajahnya yang pucat namun berapi-api.
Jari-jarinya gemetar di atas keyboard, tetapi tatapannya kokoh. Tulisan yang ia susun sepanjang malam kini sudah rampung. Ia membaca ulang paragraf terakhir, mencoba menimbang ulang apakah ia cukup berani menekan tombol publish.
Artikel itu bukan sekadar opini. Ia tahu ini akan jadi batu yang dilempar ke kaca istana. Pecahannya akan melukai banyak pihak. Namun yang lebih ia takutkan, pecahan itu mungkin akan berbalik melukai dirinya sendiri.
Ia menutup mata, mengingat kembali sorot mata Alvaro ketika mereka terakhir bertemu. Sorot yang menusuk, menantang, seolah berkata: “Semakin keras kau menuliskannya, semakin erat kau terikat padaku.”
Kata-kata itu bagai racun yang mengalir di nadinya, menimbulkan rasa ngeri sekaligus candu. Ia tahu, menuliskan artikel ini berarti menantang pria paling berkuasa yang pernah ia hadapi. Tapi jika ia mundur, maka seluruh jati dirinya sebagai jurnalis akan runtuh.
Tangannya bergetar, tapi akhirnya ia mengetik satu kalimat tambahan di akhir artikel lebih tajam, lebih menusuk daripada semua yang pernah ia tulis sebelumnya:
“Apa artinya menjadi pewaris arogan, bila pada akhirnya kau hanyalah bayangan yang takut pada nama aslimu sendiri?”
Jantung Lyssa berdetak kencang. Ia menutup mata, lalu menekan tombol publish.
Hanya butuh dua jam, dan seluruh dunia digital membicarakannya.
Artikel itu menyebar dengan cepat, seperti percikan api yang menjalar di ladang kering. Dalam beberapa jam saja, linimasa media sosial dipenuhi potongan kalimat Lyssa. Tagar #SangPewarisArogan melesat ke puncak trending.
Sebagian netizen menyebut tulisannya berani dan jujur, seolah Lyssa mengungkap sesuatu yang selama ini hanya berani mereka bisikkan. Sebagian lain justru mengecam, menuduhnya mencari ketenaran lewat nama besar Pradana. Di tengah riuh itu, muncul pula suara-suara netral: orang-orang yang tak peduli siapa benar atau salah, tapi tak ingin melewatkan drama pewaris muda yang kini disorot seluruh negeri.
Namun satu hal jelas: tulisan Lyssa mengguncang citra sempurna pewaris muda Pradana Group.
Telepon Lyssa tak berhenti berdering. Pesan masuk menumpuk: tawaran wawancara, permintaan konfirmasi, bahkan ancaman samar.
Ia duduk di sofa ruang tamunya, memeluk bantal dengan wajah penuh kebingungan. Sebagian dirinya ingin bersorak, ia berhasil mengguncang sosok yang selama ini dielu-elukan media. Tetapi sisi lain dari dirinya dicekam ketakutan: bagaimana jika Alvaro benar-benar marah?
Ia tahu betul pria itu bukan sekadar pewaris kaya. Ia adalah predator sosial, seseorang yang bisa menjatuhkan siapa pun hanya dengan satu langkah strategis.
“Ya Tuhan…” bisiknya, menutup wajah dengan kedua tangan. “Apa yang sudah kulakukan?”
Di gedung kaca tertinggi pusat kota, suasana berbeda jauh.
Di lantai paling atas, ruang kerja Alvaro sunyi, hanya dihiasi suara detik jam dinding. Layar besar di mejanya menampilkan artikel Lyssa yang sudah ia baca berulang kali.
Asistennya masuk dengan wajah panik, membawa tumpukan koran dan tablet penuh laporan. “T-Tuan, artikel itu sudah viral. Reputasi perusahaan… saham pagi ini turun dua persen. Dewan direksi meminta penjelasan. Jika tidak segera...”
“Keluar.”
Satu kata itu terucap datar, namun cukup untuk membuat sang asisten pucat dan segera menyingkir.
Alvaro tetap berdiri di depan jendela, punggungnya tegap, menatap panorama kota yang berkilau meski langit masih mendung. Satu tangannya memainkan jam mewah di pergelangan.
Matanya beralih ke kalimat terakhir artikel Lyssa. Bibirnya melengkung perlahan, menampilkan senyum yang sulit ditebak.
“Bayangan yang takut pada nama aslinya…” gumamnya pelan.
Ada amarah yang bergejolak di dadanya, tapi lebih dari itu ada gairah yang aneh, semacam tantangan yang membuat nadinya berdenyut lebih cepat. Ia sudah terbiasa dipuja, ditinggikan, dihormati. Tapi dipukul dengan kata-kata seperti itu? Jarang sekali ada yang berani.
Alvaro meneguk whiskey dari gelas kristal, cairan keemasan itu membakar kerongkongan. “Kau benar-benar menarik, Arabella. Kau tahu bagaimana menusuk tepat di luka yang paling dalam.”
Sementara itu, Lyssa mencoba menenangkan diri di kafe kecil langganannya. Aroma kopi hitam memenuhi udara, namun rasanya tak mampu menenangkan kepanikan yang bersemayam di dada.
Ia menatap ponselnya yang terus bergetar. Puluhan pesan baru masuk, tapi tidak ada satu pun dari nomor yang ia takutkan sekaligus tunggu: Alvaro.
Ia tahu pria itu bukan tipe yang bersembunyi. Cepat atau lambat, ia akan muncul. Dan kemungkinan besar, itu akan menjadi pertemuan yang tidak bisa ia lupakan.
“Arabella.”
Suara berat itu membuat tubuhnya menegang.
Ia mendongak. Dan di sana, berdiri sosok yang sudah memenuhi pikirannya sejak beberapa hari terakhir. Alvaro.
Bukan dengan jas mewah seperti biasanya, melainkan kemeja hitam sederhana dengan lengan digulung. Namun justru kesederhanaan itu menambah pesonanya. Maskulin, kuat, mematikan. Semua mata di kafe menoleh ke arahnya, tapi tatapan pria itu hanya terfokus pada satu orang: Lyssa.
“Boleh aku duduk?” tanyanya, meski intonasinya lebih mirip perintah.
Lyssa mencoba menegakkan bahu. “Jika tujuannya hanya untuk mengintimidasi, kau tak perlu repot-repot duduk.”
Alvaro menarik kursi tanpa menunggu izin, lalu duduk dengan gerakan santai yang justru semakin menegangkan. Senyum miring menghiasi wajahnya.
“Kau membuat dunia membicarakanku,” ujarnya tenang, meski sorot matanya berbahaya. “Dan kau menyentuh nama itu… Reynanda. Nama yang bahkan aku kubur dalam-dalam.”
Lyssa menggenggam erat cangkir kopinya. “Itu kebenaran. Kau tidak bisa selamanya bersembunyi di balik nama Alvaro.”
Tatapan Alvaro mengeras. “Kau lupa satu hal. Orang tidak peduli pada kebenaran, Arabella. Mereka hanya peduli pada siapa yang berkuasa. Dan aku masih berkuasa.”
Lyssa tercekat. Kata-kata itu sederhana tapi menohok. Benar, sejujurnya ia tahu. Dunia lebih sering memilih percaya pada citra, bukan realita.
Namun ia tak ingin kalah begitu saja. “Kekuasaanmu tidak membuatmu kebal dari kebenaran. Orang akan mulai melihat siapa dirimu sebenarnya.”
Alvaro tertawa pelan, tawa rendah yang membuat bulu kuduk Lyssa meremang. Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap langsung ke matanya.
“Dengan artikel itu, kau bukan hanya menantangku. Kau menjerat dirimu sendiri. Sekarang kau berada di bawah sorotan lampu. Dan aku…” ia berhenti sejenak, menatap tajam, “…aku satu-satunya yang bisa menutup atau membiarkannya membakar habis dirimu.”
Lyssa terdiam. Kata-kata itu bukan ancaman kosong. Ia tahu, dengan sekali perintah, Alvaro bisa membuat kariernya hancur, bahkan hidupnya porak poranda.
Namun entah kenapa, di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lain, sebuah tarikan aneh yang membuatnya sulit berpaling dari mata pria itu.
Ia menggertakkan gigi. “Kalau begitu, lakukan apa pun yang kau mau. Aku tidak takut.”
Sekejap, hening.
Alvaro tersenyum, kali ini lebih lebar. Senyum seorang pria yang menemukan lawan yang layak. “Berani sekali kau, Arabella. Semakin kau melawan, semakin aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan.”
Ia bangkit, berdiri tegap, tubuhnya menjulang, membuat Lyssa merasa kecil namun justru semakin keras kepala.
“Anggap saja artikelmu tadi langkah pertama,” katanya sambil merapikan lengan kemejanya. “Sekarang, permainan baru saja dimulai.”
Dengan satu lirikan terakhir, ia berjalan keluar dari kafe, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar namun menghantui.
Lyssa masih duduk terpaku, jantungnya berdetak begitu keras hingga hampir menembus dada. Ia seharusnya merasa menang, karena berhasil menantang pewaris arogan itu. Tetapi yang ia rasakan justru sesuatu yang jauh lebih berbahaya: ketertarikan tak kasat mata, magnet yang semakin menariknya ke dalam dunia gelap milik Alvaro.
Dan ia sadar, semakin keras ia mencoba melawan, semakin dalam ia akan terjerat.
Satu bulan yang laluLampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh aula megah itu. Dindingnya dilapisi kain beludru merah, sementara pilar-pilar tinggi dihiasi emblem keluarga yang selama puluhan tahun berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kejayaan. Malam itu, bukan sekadar pesta. Malam itu adalah malam penobatan, malam pengalihan kekuasaan, malam di mana Damar, sang pemimpin yang selama ini ditakuti sekaligus disegani, menyerahkan tahta kepada suami adiknya, Adrian.Para tamu undangan telah memenuhi ruangan. Ada para politisi dengan jas hitam rapi, para pengusaha besar yang menyembunyikan senyum licik di balik gelas sampanye, dan wartawan yang sibuk memotret setiap detik pergerakan penting. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga lili yang menghiasi panggung utama.Adrian berdiri di belakang panggung, mengenakan setelan hitam yang dipilih khusus oleh Maya. Jasnya terlihat sempurna, dasinya terikat tanpa celah, seakan tubuhnya benar-benar pantas berada di sana. Nam
Cahaya keemasan menembus tirai tipis kamar Alvaro. Debu-debu halus beterbangan di udara, menari dalam pancaran cahaya pagi. Ruangan itu masih menyimpan kehangatan malam sebelumnya. Bau lembut parfum Lyssa bercampur dengan aroma maskulin khas Alvaro.Lyssa duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan menyentuh kain sprei yang berantakan, lalu merapikannya dengan dua tangan mungilnya itu.Matanya lalu terarah pada sosok pria di hadapannya. Alvaro sedang mengenakan kemeja putih, membuka dua kancing teratas, memperlihatkan dada bidang yang sejak tadi membuat wajah Lyssa memanas. Setiap kali jemarinya menekan kancing, Lyssa seolah bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Dada itu tempat ia bersandar semalam, tempat ia menangis, tempat ia menyerahkan seluruh resah dan rindunya.Senyum samar muncul di bibir Lyssa. Ia merasa hangat, seolah api dari malam tadi belum padam. Tubuhnya masih menyimpan getaran, namun hatinya jauh lebih tenang dibandingkan dua bulan penuh penderitaan yang baru saja ia
Dua bulan laluHari-hari setelah kabar kematian Alvaro menyeruak ke publik menjadi mimpi buruk bagi Lyssa.Setiap pagi, ketika ia membuka matanya, ia berharap semuanya hanya mimpi buruk. Bahwa ia akan menerima pesan dari Alvaro, sekadar satu kata, bahkan satu titik sekalipun untuk menandakan pria itu masih ada. Tapi kenyataan jauh lebih kejam. Yang ada hanyalah layar ponsel yang sunyi, kosong, dingin, dan berita-berita yang menghantam dirinya tanpa belas kasihan.Media menggilas Lyssa tanpa ampun. Foto-fotonya saat bersama Alvaro sebelumnya terus-menerus dimunculkan. Judul-judul berita menyorotnya dengan kejam."Kekasih tersembunyi Alvaro? Apakah kematian sang pewaris ada kaitannya dengannya?""Perempuan di balik kecelakaan sang pewaris?""Apakah Lyssa tahu lebih banyak dari yang ia katakan?"Setiap kamera yang menyorotnya adalah luka baru. Setiap microphone yang dipaksa masuk ke wajahnya adalah penghinaan bagi kesedihannya.Lyssa mencoba mengabaikan semuanya. Ia menutup tirai apartem
Suara napas mereka masih saling bertubrukan, berat dan terengah, ketika Alvaro menindih tubuh Lyssa. Lampu kamar hanya menyisakan cahaya redup, cukup untuk membuat bayangan tubuh mereka menari di dinding. Bayangan itu bergerak perlahan, seiring gerakan dua tubuh yang sedang mencari kehangatan setelah terlalu lama terpisah oleh waktu dan kepalsuan.Lyssa merasakan kulit hangat Alvaro menempel pada kulitnya, membuat jantungnya berdegup seolah hendak meloncat keluar. Tubuhnya masih terhuyung dalam derasnya emosi, antara rindu, cinta, dan kelegaan.Alvaro menatapnya lekat, jemarinya menyusuri garis wajah Lyssa seperti menghafal setiap detail. “Aku masih tak percaya kau benar-benar di sini bersamaku.”Lyssa menggenggam pergelangan tangannya, menahan jemari Alvaro di pipinya. Tatapannya basah, matanya berkilau oleh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar hasrat.“Dua bulan lalu…” suaranya lirih, nyaris tercekat, “…aku benar-benar percaya kau mati, Alvaro.”Alvaro terdiam. Bibirnya yang ta
Alvaro mengangkat dagu Lyssa perlahan dengan jemarinya, memaksa Lyssa yang tenggelam dalam pelukan untuk menatapnya kembali. “Lyssa, bolehkah aku egois malam ini?” suaranya berat, namun tidak ada nada paksaan di dalamnya.Sebelum Lyssa sempat menjawab, bibir Alvaro menyentuh bibirnya hangat, lembut, namun penuh kerinduan yang selama ini mereka pendam.Lyssa terperangkap. Detak jantungnya berpacu, tubuhnya menegang sesaat, tapi kemudian ia luluh. Tangannya bergerak naik, menempel di dada Alvaro yang bergetar cepat. Nafas mereka berbaur, menyatu, tak lagi bisa dibedakan mana milik siapa.Alvaro menariknya lebih dekat, seolah takut Lyssa akan pergi jika ia melepaskan. Pelukan itu begitu erat, begitu mengikat, seakan malam dan dunia hanya tercipta untuk mereka berdua.“Alvaro…” Lyssa berbisik di sela napas yang masih terengah.“Shh…” Alvaro menyentuhkan keningnya pada kening Lyssa, mata mereka terpejam. “Jangan katakan apa pun. Biarkan aku merasakanmu… biarkan aku percaya bahwa kau benar-
Lampu gantung di restoran kecil itu dipadamkan satu per satu. Hanya cahaya dari dapur yang masih tersisa, menemani Alvaro, Lyssa, dan Raka merapikan meja dan kursi. Aroma kaldu yang tadi memenuhi ruangan sudah perlahan pudar, digantikan bau sabun cuci piring.“Sudah, biar aku yang bereskan sisanya,” ujar Alvaro sambil melipat kain lap di tangannya.Raka menoleh, keringat masih membasahi pelipisnya. “Kau yakin, Bos? Kain lapnya belum aku cuci.”Alvaro hanya mengangguk pendek. “Pergilah duluan, kau harus pulang. Jalan ke rumahmu jauh kalau terlalu malam.”Raka sempat membuka mulut, hendak membantah, tapi tatapan Alvaro cukup untuk membuatnya menyerah. Ia menaruh celemek di gantungan dekat pintu dapur, lalu mengambil kantong sampah untuk sekalian membuangnya saat keluar nanti.“Oke, kalau begitu aku pamit dulu.” Ia melirik Lyssa yang masih sibuk mengeringkan gelas. “Kau juga hati-hati di jalan nanti.”Lyssa tersenyum kecil. “Ya, terima kasih, Raka.”Raka mengangguk, lalu melangkah keluar