Share

Tujuh

"Apa tidak boleh?" tanya Jono santai.

"Uhm," deham Desta menormalkan diri, "kenapa tiba-tiba? Bukankah seharusnya kau masih dalam perawatan?" 

"Begitulah, kami harus kembali karena tidak ada yang bisa kulakukan di sini." Jono lalu merunduk, mengambil sesuatu di bawah meja.

"Dan ini, ini adalah uang yang pernah kau berikan padaku, aku sudah memilikinya dan sekarang aku kembalikan," katanya sambil menunjuk sebuah amplop besar ditangannya .

Brak!

Hal itu membuat Desta dan Winda semakin melongo.

Desta mendekati amplop tersebut dan membukanya.

"Sejumlah uang yang banyak ini... bagaimana kau mendapatkannya?" tanya Desta keheranan. "Selama ini kau tidak bekerja, bagaimana bisa mendapatkan uang sebanyak ini?"

Pria itu lalu mengitari beberapa perabotan mahal miliknya, seolah kuatir sesuatu telah dijual teman butanya.

"Terima saja uang itu tanpa harus bertanya bagaimana aku mendapatkannya," balas Jono, setidaknya ia tidak terbebani lagi dengan kebaikan Desta.

Tak banyak yang bisa Jono simpulkan dari ekspresi Desta yang tak terlihat olehnya, tapi itu bukan urusannya.

"Hmm, baiklah, aku terima uang ini. Tapi sebenarnya Winda masih dibutuhkan di perusahaan, apa Winda akan tinggal?"

Bibir Jono sedikit terangkat, "Bagaimana menurutmu?"

Desta diam, tapi pandangan matanya ke arah Winda di belakang Jono. Isyarat matanya menunjukkan dialog yang unik, bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan dengan keputusan Jono ini.

"Desta, apa menurutmu aku harus meninggalkan Winda di sini?" tanya Jono kemudian, mengulangi pertanyaan yang membuat Desta gugup.

"Oh, tidak, tidak, tidak masalah kalau memang kau membutuhkan istrimu, kau membutuhkan perawatan istrimu, dia harus ikut denganmu."

Winda hampir kehilangan kendali, memrotes jawaban Desta. Akan tetapi tangan Desta terulur membungkam mulut Winda.

Lelucon itu hampir saja membuat Jono melepaskan tawanya.

Tapi sebenarnya ia teringat dengan saran Erwin Erwin tempo hari, yang ternyata membuahkan hasil yang bagus.

Salah satunya adalah lensa kontak!

Siapa sangka pupil palsu ini bisa menolongnya dalam penyamaran yang bagus.

"Baik, semua sudah selesai, kami akan segera pergi."

"Hanya itu? Mana ucapan terimakasihmu, bukankah aku yang selama ini memberimu tumpangan dan juga pengobatan? Tapi kau terkesan tidak membalas kebaikan meskipun cuma ucapan terimakasih?!" kini Desta sedikit mengangkat suaranya dengan angkuh.

Tangan Jono mengepal, seolah Desta merasa dirugikan olehnya. Padahal, siapa yang lebih rugi?

Jelas sekali mereka berdua saling melempar senyuman tanpa mereka sadari Jono sedang mengawasi. Sedetik kemudian Winda melangkah mendekati Desta dan membisikkan sesuatu yang tidak Jono dengar.

Namun sayangnya aksi berpegangan tangan mereka segera bubar dengan kedatangan Laila yang datang dengan mengetuk pintu.

"Maaf, saya datang hanya untuk mengantar tas perlengkapan yang kebetulan saya bawa, dan ini saya kembalikan" kata Laila ragu, ia sadar kedatangannya membuat suasana berubah canggung.

"Oh ya, benar juga, Laila. Bukankah ini hari terakhir kamu bekerja?" tanya Jono kemudian.

"Benar, Pak."

"Apa kamu sudah menerima gaji bulan ini?"

Laila hanya menunduk diam.

"Mas, dia kan tidak menyelesaikan kerjanya dengan satu bulan penuh? Kenapa kita harus membayarnya?" Winda langsung menimpali.

"Apa maksudmu, Winda? Apakah kamu tidak bersedia membayar gadis ini yang sudah bekerja keras merawatku? Dia sudah bekerja, kamu harus menunaikan kewajiban untuk membayarnya."

"Aku tidak mau, Mas. Perjanjian kita satu bulan bekerja baru dibayar, kalau belum genap satu bulan bagaimana aku membayarnya?" bantah Winda.

Jono benar-benar dibuat kesal karena kecerobohan Winda.

"Tidak apa-apa Pak, saya ikhlas kok. Saya kemari bukan untuk meminta bayaran tapi karena mau mengembalikan barang ini. Sudahlah Pak, tidak ada yang perlu dipermasalahkan."

"Benar, Jono. Gadis ini sudah ikhlas membantu, kenapa harus dipermasalahkan?" kata Desta ikut berkomentar.

"Iya, Mas. Itu sudah sesuai karena dia juga tidak mempermasalahkan, jadi apalagi?"

Tidak demikian dengan Jono, ia bisa merasakan kekecewaan pada gadis itu meskipun sangat samar. Ia sangat mengerti bagaimana gadis itu berjuang mati-matian demi merawat wanita tua yang hidup sebatang kara sehingga uang itu pastilah sangat berarti untuk kehidupannya.

Jono masih dalam keadaan memikirkan betapa sesuainya dua manusia ini, mereka toh semena-mena pada gadis yang mengeluarkan keringat untuk bekerja, apalagi dengan dirinya yang tidak punya kontribusi?

"Dia bekerja dengan sungguh-sungguh, seharusnya kau membayarnya dengan baik," Jono masih mengeluh.

"Kau sangat cerewet, kau bahkan hanya tahu makan dan tidur, kenapa kau perduli bagaimana aku akan membayarnya atau tidak?"

"Be-benar Pak, saya sudah katakan tadi, saya tidak meminta bayaran lagi, ini sudah lebih dari cukup."

Wajah Jono memerah, gerahamnya mengerat menahan emosi. Ia tak mengerti bagaimana bisa Winda seculas itu?

"Winda, jika kau tidak membayarnya penuh, setidaknya bayarlah sejumlah hari yang dia bekerja. Bukankah dia telah merawat keperluan kamu dan suamimu yang buta ini? Kau harus membayarnya atau aku akan..."

Ya, Jono hampir saja menalak istrinya saat ini juga, akan tetapi ia menahan semua itu demi sebuah tujuan lain yang lebih besar.

"Aku akan membayarnya," lanjut Jono akhirnya.

Kini, Winda tampak semakin kaget. Apakah suaminya memang memiliki uang sebanyak itu? Bagaimana bisa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status