"Apa tidak boleh?" tanya Jono santai.
"Uhm," deham Desta menormalkan diri, "kenapa tiba-tiba? Bukankah seharusnya kau masih dalam perawatan?"
"Begitulah, kami harus kembali karena tidak ada yang bisa kulakukan di sini." Jono lalu merunduk, mengambil sesuatu di bawah meja."Dan ini, ini adalah uang yang pernah kau berikan padaku, aku sudah memilikinya dan sekarang aku kembalikan," katanya sambil menunjuk sebuah amplop besar ditangannya .Brak!Hal itu membuat Desta dan Winda semakin melongo.
Desta mendekati amplop tersebut dan membukanya."Sejumlah uang yang banyak ini... bagaimana kau mendapatkannya?" tanya Desta keheranan. "Selama ini kau tidak bekerja, bagaimana bisa mendapatkan uang sebanyak ini?"
Pria itu lalu mengitari beberapa perabotan mahal miliknya, seolah kuatir sesuatu telah dijual teman butanya."Terima saja uang itu tanpa harus bertanya bagaimana aku mendapatkannya," balas Jono, setidaknya ia tidak terbebani lagi dengan kebaikan Desta.Tak banyak yang bisa Jono simpulkan dari ekspresi Desta yang tak terlihat olehnya, tapi itu bukan urusannya."Hmm, baiklah, aku terima uang ini. Tapi sebenarnya Winda masih dibutuhkan di perusahaan, apa Winda akan tinggal?"Bibir Jono sedikit terangkat, "Bagaimana menurutmu?"Desta diam, tapi pandangan matanya ke arah Winda di belakang Jono. Isyarat matanya menunjukkan dialog yang unik, bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan dengan keputusan Jono ini."Desta, apa menurutmu aku harus meninggalkan Winda di sini?" tanya Jono kemudian, mengulangi pertanyaan yang membuat Desta gugup."Oh, tidak, tidak, tidak masalah kalau memang kau membutuhkan istrimu, kau membutuhkan perawatan istrimu, dia harus ikut denganmu."Winda hampir kehilangan kendali, memrotes jawaban Desta. Akan tetapi tangan Desta terulur membungkam mulut Winda.Lelucon itu hampir saja membuat Jono melepaskan tawanya.Tapi sebenarnya ia teringat dengan saran Erwin Erwin tempo hari, yang ternyata membuahkan hasil yang bagus.Salah satunya adalah lensa kontak!Siapa sangka pupil palsu ini bisa menolongnya dalam penyamaran yang bagus."Baik, semua sudah selesai, kami akan segera pergi.""Hanya itu? Mana ucapan terimakasihmu, bukankah aku yang selama ini memberimu tumpangan dan juga pengobatan? Tapi kau terkesan tidak membalas kebaikan meskipun cuma ucapan terimakasih?!" kini Desta sedikit mengangkat suaranya dengan angkuh.Tangan Jono mengepal, seolah Desta merasa dirugikan olehnya. Padahal, siapa yang lebih rugi?Jelas sekali mereka berdua saling melempar senyuman tanpa mereka sadari Jono sedang mengawasi. Sedetik kemudian Winda melangkah mendekati Desta dan membisikkan sesuatu yang tidak Jono dengar.Namun sayangnya aksi berpegangan tangan mereka segera bubar dengan kedatangan Laila yang datang dengan mengetuk pintu."Maaf, saya datang hanya untuk mengantar tas perlengkapan yang kebetulan saya bawa, dan ini saya kembalikan" kata Laila ragu, ia sadar kedatangannya membuat suasana berubah canggung."Oh ya, benar juga, Laila. Bukankah ini hari terakhir kamu bekerja?" tanya Jono kemudian."Benar, Pak.""Apa kamu sudah menerima gaji bulan ini?"Laila hanya menunduk diam."Mas, dia kan tidak menyelesaikan kerjanya dengan satu bulan penuh? Kenapa kita harus membayarnya?" Winda langsung menimpali."Apa maksudmu, Winda? Apakah kamu tidak bersedia membayar gadis ini yang sudah bekerja keras merawatku? Dia sudah bekerja, kamu harus menunaikan kewajiban untuk membayarnya.""Aku tidak mau, Mas. Perjanjian kita satu bulan bekerja baru dibayar, kalau belum genap satu bulan bagaimana aku membayarnya?" bantah Winda.Jono benar-benar dibuat kesal karena kecerobohan Winda."Tidak apa-apa Pak, saya ikhlas kok. Saya kemari bukan untuk meminta bayaran tapi karena mau mengembalikan barang ini. Sudahlah Pak, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.""Benar, Jono. Gadis ini sudah ikhlas membantu, kenapa harus dipermasalahkan?" kata Desta ikut berkomentar."Iya, Mas. Itu sudah sesuai karena dia juga tidak mempermasalahkan, jadi apalagi?"Tidak demikian dengan Jono, ia bisa merasakan kekecewaan pada gadis itu meskipun sangat samar. Ia sangat mengerti bagaimana gadis itu berjuang mati-matian demi merawat wanita tua yang hidup sebatang kara sehingga uang itu pastilah sangat berarti untuk kehidupannya.Jono masih dalam keadaan memikirkan betapa sesuainya dua manusia ini, mereka toh semena-mena pada gadis yang mengeluarkan keringat untuk bekerja, apalagi dengan dirinya yang tidak punya kontribusi?"Dia bekerja dengan sungguh-sungguh, seharusnya kau membayarnya dengan baik," Jono masih mengeluh."Kau sangat cerewet, kau bahkan hanya tahu makan dan tidur, kenapa kau perduli bagaimana aku akan membayarnya atau tidak?""Be-benar Pak, saya sudah katakan tadi, saya tidak meminta bayaran lagi, ini sudah lebih dari cukup."Wajah Jono memerah, gerahamnya mengerat menahan emosi. Ia tak mengerti bagaimana bisa Winda seculas itu?"Winda, jika kau tidak membayarnya penuh, setidaknya bayarlah sejumlah hari yang dia bekerja. Bukankah dia telah merawat keperluan kamu dan suamimu yang buta ini? Kau harus membayarnya atau aku akan..."Ya, Jono hampir saja menalak istrinya saat ini juga, akan tetapi ia menahan semua itu demi sebuah tujuan lain yang lebih besar.
"Aku akan membayarnya," lanjut Jono akhirnya.
Kini, Winda tampak semakin kaget. Apakah suaminya memang memiliki uang sebanyak itu? Bagaimana bisa?
"Kau... kau sungguh mau membayarnya, Mas?" Wajah Winda tersirat keraguan, sangat aneh rasanya karena tiba-tiba Jono punya uang dalam jumlah besar."Hmm, tentu saja. Aku yang akan membayarnya."Kini, Laila tak bisa berkata-kata. Ia memang membutuhkan uang itu untuk mengobati sang ibu yang sedang berada di rumah sakit saat ini, dan uang gaji ini memang sangat berarti.Pagi itu, Laila menerima pembayaran dari Jono sebagai gaji terakhirnya. Bagaimanapun, ia sangat berterima kasih karena Jono membayarnya dengan gaji penuh dan juga bonus yang cukup besar.Jono memberikan uang itu disaat Desta dan Winda sedang keluar rumah karena Winda mengantar Desta yang hendak kembali. Saat itulah, Jono memberikan sejumlah uang bonus tersebut tanpa diketahui siapa pun."Terima kasih banyak, Pak. Uang ini sangat berarti buat saya, saya akan berterimakasih dan mudah-mudahan bisa membalas kebaikan pak Jono suatu hari nanti," katanya dengan meneteskan air mata.Setelah itu, Laila pulang dan Winda sudah me
Di sisi lain, Winda yang tidak habis pikir kenapa Jono melakukannya.Ia mulai masuk ke kamar yang satu lagi, kamar yang lebih sempit dan pengap."Lihat saja nanti, aku tidak akan hidup seperti ini lagi," gerutunya. "Aku akan menelepon Desta dan mengirim uang untukku, aku tidak akan sudi tinggal di tempat kumuh ini!"Winda sangat kesal, tapi ia hanya bisa meluapkan amarahnya di balik tembok kamar yang sekarang ia tempati. Sepertinya harapan indah untuk menjadi wanita modis sudah semakin menipis.****Keesokan harinya, Jono bangun pagi dan mendapati rumah masih berantakan. Ia juga tidak melihat ada makanan di meja dapur padahal ia sudah berpesan untuk memasak makanan dengan sejumlah uang yang ia berikan. Tapi nyatanya Winda masih tidur pulas di kamarnya.Ia pun hanya menggelengkan kepalanya dan segera membersihkan tubuhnya. Lalu, pergi dengan mengunci kembali pintu rumahnya.Winda segera bangkit dan tersenyum licik. Ia sengaja pura-pura tidur dan tidak memasak untuk Jono."Rasakan, inil
Dengan gusar pria itu mengepalkan tangannya, ia tak sanggup untuk bercerita."Suatu saat, kau akan tahu bagaimana kisah pernikahan kamu," pelan Jovan kemudian.Jono mengangguk, menerima ucapan ulang ayah."Jono, aku adalah ayahmu, aku berharap kau bisa menggantikan posisiku karena aku sudah tidak muda lagi, kau harus bersedia?" kata Jovan menegaskan."Aku butuh waktu untuk memikirkannya." jawabnya.Hal itu tentu saja membuat Jovan sedikit kecewa"Terserah padamu, tapi aku tidak bisa menunggu lama," katanya kemudian. "Selain itu kau harus melakukan operasi mata supaya keadaan matamu kembali sempurna.""Tidak, itu tidak diperlukan lagi.""....""Aku membutuhkanmu sebagai seorang ayah, itu sudah lebih dari cukup bagiku.""Apakah karena istrimu?" tanya Jovan ragu.Jono terdiam. Berbicara soal istrinya melukai harga dirinya. Kilatan kebencian jelas terlihat di wajah putranya sehingga Jovan meras
Hahaha, sangat mudah ternyata."Aku ingin mobil dengan atap terbuka," katanya kemudian."Baik, Pak. Saya akan segeralah membawa mobil itu untuk bapak.""Hei, apa kau bercanda?" tiba-tiba Jono merasa ragu lagi."Maaf?""Apa kau sungguh mengabulkan mobil itu?""Tentu, Pak.""Hahaha, baiklah, bawakan untukku."Rasa tak percaya dan juga bahagia bercampur aduk dalam pikirannya. Ia benar-benar merasakan enaknya menjadi kaya raya sekarang ini. Lalu iapun menyusut darah yang mengalir di sudut bibirnya."Winda, Desta, kalian akan membuatku seperti ini, aku tidak akan melepaskan kalian berdua," katanya dengan mengepalkan tangannya.Setelah bangkit dan membersihkan diri, sekarang ia menunggu ucapan dalam percakapan di ponsel itu terbukti. Dan ternyata benar, tak lama kemudian sebuah mobil berwarna hitam pekat sudah berada di pekarangan rumah dengan seorang sopir."Selamat siang Pak Jono, mob
Hanah tak perduli, dia masih penasaran dengan lelaki itu."Serius, aku kecewa dengan selera kamu Hanah. Coba pikirkan level kamu dengannya, bahkan aku tidak mengira dia membayar berkuliah di sini. Bisa saja dia cuma siswa penerima bantuan.""Terserah kalian mau bilang apa, aku kan cuma penasaran, kenapa kalian ribut?""Enggak Han, kamu itu tertarik sama tuh cowok."Hanah menggigit bibirnya, "Dia sudah beristri, aku bisa apa," lirihnya nyaris tak terdengar.Sementara itu Jono melenggang ke area kampus dengan tenang. Saat itu ia melihat seorang gadis yang cukup di kenalnya berada di sudut ruangan."Laila?" gumamnya keheranan. "Apa dia sungguh berkuliah di sini?"Gadis itu masih fokus dengan penjelasan seorang dosen di depan kelas. Tentu saja Jono sangat terkejut melihat Laila yang dulu bekerja sebagai pelayan di rumahnya berada dalam satu ruangan dengannya.Beberapa menit kemudian dosen sudah selesai dengan mata k
Wiliam masih diam memperhatikan Jono.Ia tidak melihat Jono datang sebagai pengacau. Bisa jadi Jono memanglah kerabat istrinya."Kalau begitu, kita adalah orang dekat. Maaf karena aku tidak mengenalmu," kata Wiliam merendah."Bagus. Tapi aku memintamu untuk membatalkan kerja sama dengan Gress korporasi, bukankah perusahaan itu tidak terlalu bagus untukmu?"Gress adalah perusahaan milik Desta, perusahaan tersebut sedang devisit dan nyaris tumbang karena kekacauan manajemen."Tapi... bagaimana kau bisa tahu soal itu? Aku bahkan belum memutuskan apapun."Jono tertawa tanpa suara, ia juga tahu perusahaan Wiliam dalam kondisi pailit. Bagaimana dia bisa tahu? Ah, apa susahnya jika memiliki banyak uang? "Putuskan saja sekarang, lalu jual perusahaanmu padaku, beres bukan?"Mendengar hal itu Wiliam malah heran sekarang. Air wajahnya berubah merah padam. Tersinggung."Jangan percaya, sayang. Dia cuma orang miski
Hati Winda meremang, ia merasa Jono telah menipunya selama ini. Ini sangat tidak adil karena hidupnya sangat sengsara waktu itu."Mas, apa semua ini nyata?" Winda mengejar langkah Jono yang menuju gerbang sementara pengawal masih mengekor di belakang Jono.Jono meliriknya sekilas, dia hanya melihat seujung kuku, seolah tak pernah mengenalnya."Mas, jelaskan padaku, kau sengaja menyembunyikan kekayaanmu supaya aku tidak memintanya darimu? Apa sih tujuanmu sebenarnya?!" ujarnya dan menarik ujung kemeja yang dikenakan Jono.Tak ayal lagi Jono tidak bisa melanjutkan langkahnya. Ia terhenti karena tarikan Winda."Kau siapa berani bertanya tujuanku? Kalau memang seperti itu, bukankah lebih menyenangkan kamu? Kita sudah bebas sekarang, menikah saja dengan Desta, jangan urusi hidupku!""Mas! Kau harus membayar kesalahanmu karena menipuku!" teriak Winda, tapi Jono sudah tidak menggubrisnya.Desta juga bisa melihatnya, melihat bag
Jono diam, ia memang sedang kesal karena ayahnya membahas soal pernikahan. Masalah ibunya memang bukan salah ayahnya sepenuhnya, tapi biar saja ayahnya merasa disalahkan sekarang ini."Ibumu, apa yang kau dapatkan?" lanjut Jovan kemudian. "Tidak banyak, dia ada di Jakarta ini, tapi mungkin tidak baik-baik saja."Tangan Jovan mulai gemetaran mendengar kabar istrinya tidak baik-baik saja. Ia takut wanita itu lebih menderita lagi."Itu semua salahku, seharusnya aku bisa melakukan sesuatu untuk membawanya jauh dan tidak ditemukan.""Ayah, masa lalu tidak lagi penting saat ini. Bagaimanapun caranya aku pasti akan menemukan ibu, ayah tidak usah berpikiran semacam itu dan menyalahkan diri sendiri."Sejumput air bening menyembul di sudut mata yang mulai kentara garis keriputnya, hati Jono menjadi sesak melihat ayahnya bersedih.Ia mulai menyesal sekarang, hati ayahnya yang selembut sutra menjadi luapan kekesalannya tadi."A