"I —ini uang apa, Bang?" Amar yang duduk di bangku sekolah menengah menatap lembaran uang merah yang ada di tangannya."Uang SPP dan uang buku. Hari ini jangan ada yang bolos, paham?" seru Hamish tegas.Amar masih mencoba mencerna ucapan Hamish. Ia masih bingung dengan uang yang ada di tangannya."Ta —tapi ini uang siapa, Bang?" tanya Amar lagi. Dilara melarang keras menerima uang dari siapapun apalagi tidak jelas apakah itu yang halal atau uang haram."Haish! Masih pake tanya segala!" Hamish berubah kesal. Beberapa menit yang lalu ia iba karena anak-anak belum membayar uang sekolah, sekarang anak-anak ini malah membuatnya kesal dengan mempertanyakan asal usul uang itu."Uang abang, lah! Kamu pikir uang siapa?" Ia menjawab dengan kesal. "Uang halal, kan Bang? Amar gak berani terima kalau ternyata ini uang curian."Hamish mendelik? Uang curian? Ini penghinaan!Gigi pria itu bergemerak, tangannya mengepal lalu membuang nafas panjang untuk menurunkan emosinya. Sadar yang ia hadapi saat
Uhuk uhuk!!Adam dan Pak Mulyadi tersedak kopi ketika mendengar Hamish mengatakan ia sudah menikah."Tu —tuan muda menikah? Tuan muda serius? Apa tuan habis terbentur sesuatu? Mau saya bawa ke rumah sakit?" Adam tiba-tiba khawatir dengan perubahan Hamish.Ia sudah lama bekerja dengan CEO muda ini, jadi Adam sangat mengerti prinsip hidup Hamish."Memangnya aku kelihatan lagi gak sadar, hah?" balasnya ketus.Dengan cepat Hamish menjelaskan alasannya menikah dengan Dilara. Ia terpaksa melakukannya demi menjaga nama baik gadis itu. Jangan sampai orang berpikiran yang tidak-tidak tentang Dilara."Ada perkembangan tentang Om Syahril?" Hamish masuk pada pokok pembicaraan dan alasan ia meminta Adam segera datang ke Sidoarjo.Ia duduk di sofa single dengan satu kaki menyilang di atas kaki, tangannya bertumpu di atas paha menunggu penjelasan Adam.“Tuan Syahril sedang mengusahakan mengangkat Irvan untuk menggantikan anda, Tuan Muda. Saya juga mendapat informasi tuan Syahril bertemu dengan beber
"Ke — kenapa berdandan untuk ku?" Hamish berubah gugup seperti anak SMA. Tidak pernah ia mendapat perlakukan istimewa seperti ini. "Biar gak bikin malu abang. Terus dapat pahala juga karena menyenangkan suami." Dilara menjawab dengan malu-malu. Dilara akui Hamish adalah pria tampan dengan sejuta pesona. Hidung mancung, rahang persegi. Apalagi saat rambut tipis mulai menutupi rahang Hamish, ketampanan pria itu bertambah berkali lipat.Hamish mengangguk paham. Ia mengeluarkan ponsel yang baru saja ia beli lalu memesan taksi online. Ia tidak mau naik angkot. Tidak lagi!"Bang, itu hape siapa?" Dilara membeliak kaget melihat ponsel mahal yang Hamish gunakan. Ia tahu ponsel dengan merek itu harga di atas 15 juta. Semakin baru, semakin mahal harga."Hape abang, lah!" Hamish menunjukkan ponsel berwarna hitam yang ia beli pagi tadi."A —abang beli?" Dilara melihat ponsel itu penuh kekaguman. Sangat berbeda dengan ponsel miliknya yang kuno yang hanya bisa menerima panggilan telepon."Iya, l
'Abang ini, Hamish Ahmad Akbar! Pengusaha properti sukses, pewaris Akbar Corp.' Hamish menjelaskan dalam hati.“Bang!” Dilara menggoyang lengan Hamish, menyadarkan pria itu dari lamunannya.“Abang ini —" Hamish berpikir sejenak."Abang ini Hamish, suami kamu. Orang yang kamu tolong di pinggir jalan terus kamu rawat sampai sembuh. Kamu kan sudah kenal?” Hamish menjawab sekenanya.Dilara menyipitkan mata, tidak langsung percaya dengan penjelasan Hamish. Ia malah semakin penasaran siapa sebenarnya pria yang ia nikahi. Ia pikir Hamish seorang yang tidak mampu. Bagaimana mungkin pengangguran seperti Hamish bisa memiliki black card dan menggunakannya tanpa perhitungan sama sekali?Atau jangan-jangan suami itu sindikat pembobol kartu kredit? Dilara bergidik ngeri membayangkan jika benar suaminya seorang kriminal.Sebelum Dilara lebih banyak bertanya, ia segera menjauh dari Dilara, berpura pura memperhatikan pelayan yang sedang mengemas belanjaannya. Total ada lima kardus yang harus dibawa pu
"Aahh!!! Lepaskan saya!!" Samar-samar Hamish mendengar teriakan Dilara dari kamarnya. Ia memilih mengabaikan suara itu, tetap memainkan ponselnya. Memeriksa surat elektronik dan menyelesaikan beberapa dokumen kiriman Adam.Hamish memilih masuk ke kamar karena kesal dengan ibu Ida dan Dani yang terus memojokkannya. Ia semakin kesal karena Dilara hanya diam tidak membelanya.Ia terperanjat kaget saat pintunya di gedor dari luar. Suara Amar memanggil namanya sambil berteriak.Dengan malas ia berguling turun dari ranjang yang hanya beralas tikar. Berjalan mendekati pintu untuk menemui Amar."Ba —bang, to —tolong! Mbak Lara ditarik-tarik sama orang." Amar yang ketakutan dan panik menarik tangan Hamish yang masih belum paham maksud Amar."Tunggu!" Hamish menepis tangan Amar. "Ada apa? Bicara yang jelas, jangan buru-buru kayak gitu."Amar mencoba menenangkan dirinya dengan cepat. "Mbak Lara ditarik-tarik orang, Bang! Ayo cepat!" Amar kembali menarik tangan Hamish.Kali ini Hamish mengikuti
"Ini alamatnya?" Hamish menerima selembar kertas berisi alamat pemilik klub malam tempatnya bekerja.Gadis itu masih tertunduk malu tidak berani menatap Hamish setelah apa yang sang suami lakukan di dapur tadi."Abang yakin mau pergi sendiri?" Dilara yang masih malu bertatap muka dengan Hamish berbicara sambil berpura-pura merapikan tempat tidur."Iya! Ini urusan laki-laki, kamu gak usah ikut. Setelah dari sana mungkin abang akan ke kantor ambil peralatan yang dikasih kantor." Hamish yang tahu Dilara sedang menghindarinya tiba-tiba tersenyum licik ketika mendapatkan ide untuk mengerjai Dilara.Ia mau perlahan tanpa suara, sengaja menabrakkan tubuhnya pada sang istri hingga membuat wanita itu mendongak kaget.Hamish mengulurkan tangan, sejenak Dilara hanya menatap tangan yang tadi mencengkram pinggangnya. Tapi akhirnya Dilara mengerti, ia menyambut tangan Hamish dan mengecup punggung tangan sang suami.Hamish pergi ke alamat yang Dilara berikan. Sebuah gedung tinggi di pusat kota Sur
"Tunggu apa lagi? Cepat buka bajumu!" Hamish memberi perintah. Tadi ia menarik tangan Dilara dan memaksa gadis yang merupakan istrinya itu untuk ikut ke kamar. Baik, anggaplah ia messum. Who cares! Dia meseum dengan istrinya sendiri. Dilara benar-benar membuatnya gila. Baru melihat pundak mulusnya saja Hamish sudah ketar-ketir apalagi jika ia melihat bagian lain tubuh istrinya."Ta —tapi, Bang…." Dilara yang duduk di tepi ranjang dibuat merah seperti kepiting rebus oleh Hamish yang sedang gelap mata. Pria Itu terlalu bersemangat untuk melihat lukanya sampai …"Pintunya masih terbuka," Wajah Dilara semakin menunduk malu membayangkan adik-adik di panti melihat kelakuan suaminya.Melihat pintu kamar yang terbuka seperti memberikan tamparan keras yang menyadarkan Hamish bahwa ia sedang melakukan hal yang tidak sepatutnya.Tidak sepatutnya karena itu seperti bukan dirinya yang selalu mengutamakan ego dan harga diri."Ya sudah, kalau masih sakit segera kasih tahu aku. Mungkin kamu harus
Hamish menarik tangan Dilara dan meminta istrinya untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruang pemeriksaan."Kamu ngapain kesini, hum?" Melihat wajah khawatir sang istri, Hamish tidak dapat menahan tangannya untuk merapikan rambut Dilara yang sedikit berantakan dan mengusap pipi hangat gadis itu dengan ibu jari.Ia mengambil beberapa lembar tisu yang ada di atas meja kemudian mengeringkan kening Dilara yang dipenuhi keringat."Saya gak tahu caranya cari kabar abang. Jadi saya nyusul kesini." Dilara menerima air minum kemasan dari Hamish. Menenggaknya hingga habis kemudian kembali fokus kepada sang suami."Itu tadi siapa, Bang?" Dilara belum melupakan rasa ingin tahunya walau Hamish berusaha mengalihkan perhatian gadis itu."Eemm… yang satu utusan kantor. Yang lain pengacara yang kasi kantor." Hamish berusaha menjelaskan sejujur mungkin tanpa membuka identitasnya.Dilara si gadis polos hanya ber-o ria dan menerima penjelasan Hamish. Ia malah berpikir kantor tempat Hamish bekerja sanga