Share

Mahar 100 Ribu

"Apa? Ni — nikah?" Hamish mengulangi ucapan ketua RT yang disambut anggukan kepala oleh pimpinan warga itu.

Ia menoleh melihat Dilara yang masih menunduk kemudian tertawa kaku. Berkali-kali menggeleng untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini.

Menikah?

Ia belum siap untuk berkomitmen, belum mau terikat dengan siapapun!

"Pak RT serius?" tanya Hamish masih tidak percaya walau ia tidak yakin pria itu sedang bercanda.

Tubuh Hamish mendadak lemas melihat anggukan Pak RT dan ustadz Imam. Pun begitu dengan Dilara yang nyaris melorot dari tempat duduknya.

Hamish memijat pelipis, memikirkan jalan lain yang lebih baik dari menikah. Ia bisa pergi dari sini, kan?

Namun, Hamish lantas menggeleng. Tidak, ia harus mengesampingkan pilihan itu. Ia harus tetap disini, menyembunyikan identitasnya sampai musuh keluarga Akbar terungkap.

Hamish menoleh mendengar isakan samar Dilara. Tangannya sibuk mengusap air mata yang sejak tadi tidak berhenti mengalir membasahi pipinya.

Entah kenapa ia merasa kasihan melihat Dilara yang tidak berdaya. Ia tidak bisa membela diri apalagi warga terlanjur berpikir buruk tentangnya.

"Bagaimana mas Hamish, apa pilihan mas Hamish?" Suara Pak RT membuyarkan lamunan Hamish.

Pria itu menarik nafas panjang, meyakinkan dirinya atas pilihan yang ia buat.

Dengan satu hembusan nafas panjang Hamish mengatakan, "Baik, Pak, saya akan menikahi Dilara. Tetapi aku ingin semua dilakukan dengan layak."

"Alhamdulillah!" Ustad Imam Pak RT dan juga perwakilan warga bernapas sambil mengucap syukur keputusan Hamish.

"Maaf, maksudnya layak gimana, ya Mas?" tanya Pak RT kemudian.

Hamish kembali melirik Dilara lalu berkata, "Aku mau bukan hanya ada akad nikah, tapi juga resepsi. Terserah Dilara mau seperti apa. Begitu juga dengan seserahan dan lain-lain. Aku mau ini jadi pernikahan orang lain, bukan karena salah paham."

Hamish sendiri bingung kenapa ia seperti ini, tetapi ia pantang menarik kata-katanya. Jadi Hamish tidak meralat apapun.

"Kamu mau bayar pake apa, hah? Emang kamu pikir bikin acara dan beli seserahan gak pake duit? Hah!" seru ibu Ida.

"Apa pak ustad dan Pak RT gak kasihan kalau Lara menikah sama dia? Asal usulnya gak jelas, melarat lagi. Anak saya mau dikasih makan apa, Pak?! Kenapa gak diusir aja, sih dia?!" Mata ibu Ida mendelik nyaris keluar dari tempatnya. Urat di leher tercetak saat ia berbicara dengan nada tinggi, tidak setuju dengan pernikahan ini.

Pak RT dan ustad Imam saling panjang. Ustadz Imam lalu menjelaskan jika Allah sudah menjanjikan rezeki bagi mereka yang memutuskan untuk menikah yang terpenting Dilara dan Hamish tidak berhenti berusaha dan berdoa.

Ibu Ida mencebikkan bibirnya, ia memilih bangkit dan masuk ke dalam kamar tidak ingin mendengarkan ceramah ustadz Imam dan terlibat dengan pernikahan Dilara.

Ustadz Imam melanjutkan pembicaraan tentang pernikahan Hamish dengan Dilara. Ustadz meminta mereka melakukan pernikahan secara agama terlebih dahulu setelah itu baru mempersiapkan pernikahan seperti yang Dilara inginkan.

"Mbak Dilara punya paman dari ayah yang bisa dijadikan wali?" tanya ustadz Imam yang sejak tadi terlihat sangat tenang termasuk saat menghadapi ibu Ida tadi.

Gadis itu menggeleng. Ia duduk di ujung sofa, seperti takut berdekatan dengan Hamish. Gadis itu belum mengeluarkan sepatah kata pun kecuali saat tadi menjelaskan apa yang terjadi.

Tidak ada lagi alasan untuk menunda pernikahan sirih Hamish dengan Dilara. Sore nanti akad akan dilangsungkan di panti asuhan dengan mas kawin uang senilai 100 ribu.

"Alhamdulillah!" seru ustadz Imam lagi setelah semua direncanakan. Pak RT sudah meninggalkan panti asuhan untuk mengurus persiapan pernikahan dua orang yang tidak saling cinta ini.

"Setelah ini, mudah-mudahan mbak Lara bisa keluar dari pekerjaan yang sekarang. Walaupun halal tetapi kerjaan mbak Lara sekarang mendekati maksiat. Takutnya mbak Lara kepleset terus khilaf." Ustadz Imam memberikan nasihat dengan suara sangat lembut.

"Setelah menikah nanti, saya titipkan mbak Lara ke njenengan, nggeh mas Hamish? Tolong di bimbing, disayang dan dinafkahi dengan yang halal. Percaya saja, Allah pasti melebarkan rezeki untuk kalian dan panti ini. Tinggal bagaimana kalian berikhtiar." Ustadz Imam beralih kepada Hamish.

Perbincangan mereka terhenti ketika ibu-ibu pengajian datang untuk membantu Dilara mempersiapkan diri.

Dilara dibawa masuk ke kamarnya, sedang Hamish berada di kamarnya sedang menghafalkan ijabnya nanti.

'Saya terima nikah dan kawinnya Dilara Cahaya Binti Wisnu dengan mas kawin 100 ribu rupiah.'

Hamish membuang panjang kemudian menghirup dalam udara untuk menenangkan dirinya yang sedang gugup.

Walaupun pernikahan ini terpaksa, tetapi ia gugup sekaligus kesal.

Seorang keturunan keluarga Akbar memberikan mas kawin hanya senilai 100 ribu. Tidak ada cincin berlian dan aset berharga.

Dilara dengan polosnya meminta mas kawin sesuai dengan jumlah uang yang ada di dompet Hamish. Setelah membuka meja dan membayar taksi semalam, uang yang tersisa di dompet Hamish hanya selembar 100 ribu rupiah.

'Nenek moyang pasti lagi ngetawain aku, nih!' gumamnya sendiri.

Tidak bisa! Ia harus menambah mas kawinnya. Jangan sampai ia mempermalukan keluarga Akbar.

Hamish keluar dari kamar mencari keberadaan ustadz Imam. Ia dan beberapa warga sedang menyiapkan panti untuk melangsungkan akad nikahnya sore ini.

"Pak ustadz!" Hamish menemukan ustad Imam sedang berada di ruang tamu bersama dengan para warga yang sedang menyusun ulang sofa serta meja.

Ustadz Imam yang melihat kami sedang kebingungan sekarang mendatangi lelaki itu. "Ada apa, Mas Hamish?"

"Pak, aku mau nambahin mahar untuk Dilara. Aku minta ijin untuk ke atm."

Ustadz Imam tersenyum menanggapi ucapan Hamid kemudian ia berkata dengan lembut, "Mas Hamish tidak perlu khawatir soal maskawin. Berapapun itu tidak masalah bahkan kalau mas Hamish memberikan hafalan ayat yang mas hafal pun bisa. Yang penting diberikan dengan penuh kerelaan. Lagipula, wanita yang baik hatinya adalah wanita yang tidak mempermudah mas kawinnya."

Hamish tercenung, memikirkan perkataan ustadz Imam barusan. Apa itu artinya Dilara gadis yang baik? Jujur saja mengingat pekerjaan Dilara, ia belum yakin.

Hamish kembali ke kamarnya, membersihkan diri dan bersiap. Semua sudah diurus oleh ibu-ibu pengajian termasuk kemeja dan jas serta peci yang akan ia kenakan.

Ia memperhatikan penampilannya di depan cermin kecil yang tergantung di dinding. Beberapa menit lagi ia akan melanggar prinsipnya sendiri untuk tidak berkomitmen.

Hamish melepaskan peci, ia keluar dari kamar dan langsung menemui ustad Imam.

"Ustad, saya permisi ke ATM sebentar. Saya akan tambahkan mas kawin untuk Dilara!" Tanpa menunggu jawaban ustad Imam, Hamish langsung pergi. Meninggalkan panti begitu saja tidak mempedulikan tatapan warga yang salah paham akan kepergiannya

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nur Chasanah
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Sri Swasta
Seru ceritanya
goodnovel comment avatar
Sri Swasta
Kebanyakan koin jdi gk bisa baca
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status