Sebuah kepala muncul dari balik pintu. Ternyata OB yang bertemu dengan Alea di koridor tadi, datang membawa dua cangkir kopi yang tadi diminta Ferdi.
“Ini, kopinya Pak Ferdi,” tutur OB itu sopan seraya membungkukkan badan.
“Kamu itu bikin saya kaget aja! Sudah sana!” Ferdi menghardik OB tadi, padahal pria itu mungkin seusia ayahnya.
OB itu kemudian berlalu setelah sebelumnya melempar senyum oada Alea. Gadis itu balas tersenyum, sambil menganggukkan kepala.
“Mbak, kenal sama OB, itu?” Ferdi mengajukan pertanyaan menyelidik. Alea tersenyum sinis, kemudian menjawab. “Aku tidak harus kenal, hanya untuk membalas sebuah senyuman, bukan?” sindirnya, melirik ke arah Ferdi yang masih menunjukkan sikap curiga.
“Aku hanya bertemu di koridor dengannya, tadi, sebelum ke ruangan ini!” tegas gadis itu, menjelaskan situasi yang terjadi.
Dengan nafas ngos-ngosan Alea berhenti di depan gedung perkantoran yang akan dia tuju. Gadis itu memegang dada nya dengan sebelah tangan, sedang tangan sebelahnya berada di pinggang. Dia mencoba merasakan detak jantung nya yang tidak karuan. “Huft! Hampir saja,” ucapnya lirih pada diri sendiri. Setelah menarik nafas dengan teratur, dia kemudian merapikan pakaiannya yang kusut karena berlari tadi, lalu berjalan -dengan penuh percaya diri- ke dalam gedung perkantoran itu. Sekarang dia perlu bertemu dengan bendahara perusahaan, guna meminta bukti transaksi keuangan, juga legalitasnya. Langkah kakinya tidak lagi berhenti di depan meja receptionist, melainkan langsung menuju lift, dan berhenti di lantai 13 sesuai arahan OB tadi pagi. Tak butuh waktu lama bagi Alea untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Bendahara yang di temuinya jauh lebih mudah diajak bekerja sama daripada manager keuangan tadi
Setelah melihat mobil yang membawa Alea benar-benar menghilang dari depan rumah, Leon kembali menutup tirai jendela dan perlahan berjalan keluar kamar menemui nenek nya.“Alea sudah pulang, Nek?” tanya Leon bersandiwara. Hamidah memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa pria itu artikan. Yang pasti, saat itu dia merasa dikasihani, dan dia tidak suka.“Kok, ngeliatnya gitu amat, Nek?” Leon mendengus seraya menjatuhkan bobot tubuhnya kesamping Hamidah.“Emang, Nenek kenapa?” Hamidah mencibir ke arah cucunya itu, kemudian menyerahkan berkas yang tadi baru selesai di kerjakan oleh Alea. “Nih, kelakuan Tante mu! Bikin Nenek pusing. Entah bagaimana lagi harus bersikap pada mereka. Kalau bukan karena Bagus, anak nenek, pasti sudah lama Nenek penjarakan Tante mu itu!”Leon menerima berkas yang disodorkan oleh neneknya. Membaca lembar demi lembar kertas itu de
“Kok, pergi gitu aja? Kan belum habis gelangnya dicoba,” seru Bagas membujuk gadis itu. Dia tahu Alea sedang kesal. Yang di tanya tak menjawab, hanya berjalan lurus tanpa melihat kiri kanan.“Eh, itu ada boneka beruang besar banget!” Alea langsung menoleh le arah jari telunjuk Bagas. Benar saja, di salah satu stand dipajang sebuah boneka beruang seukuran manusia. Disana tertulis, jika bisa menembak dengan tepat tiga kali berturut-turut, bisa memperoleh boneka itu.Seketika mata gadis itu membola, memancarkan binar yang lebih terang. Langkah kakinya berbelok ke arah stand boneka itu.“Bang, aku mau main,” ucap Alea pada penjaga stand. Pria yang sedang menjaga stand itu menghampiri Alea dan menyerahkan senjata panah, tidak terlalu besar.Awalnya Alea kebingungan memakainya, tapi setelah memperhatikan pengunjung lain yang sedang memainkannya, Alea langsu
Pagi yang cerah, memancarkan sinar lembut, yang menyeruak dari balik tirai jendela. Alea mengucek mata, masih enggan untuk bangkit dari ranjang empuknya. Bersyukur dia adalah seorang wanita, dengan keistimewaan dari Tuhan, jadi punya saat-saat dimana dia bisa bangun lebih lama.Gadis itu melirik jam di atas nakas, 06.30 WIB. Perlahan dia bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Membersihkan tubuh adalah ritual pertama di pagi hari, agar badan menjadi segar untuk memulai aktifitas. Hari ini ada jadwal ke perusahaan Leon, bersama Oma.Seharusnya gadis itu kesal, seharusnya dia tidak suka ke sana, karena pasti akan bertemu dengan Leon, tapi entah kenapa mood nya malah naik hari ini, dan dia sangat bersemangat. Membuka lemari, lalu menatap pada deretan baju yang tersusun rapi, dilipat dan di gantung. Mata gadis itu bergerak dari satu sudut ke sudut satunya lagi. Sepertinya tidak ada yang menarik perhatiannya. Tiba-tiba gadis itu merasa semua pakaia
“Saya tidak ingin berdebat!” Suara Leon sangat datar, dingin dan penuh tekanan.“Apa maksudmu dengan tidak ingin berdebat! Kau ...,”“Sudah, Ma! Hentikan!” Bagas menyela ucapan ibunya. Pria itu bergerak bangkit dari duduk, dan menyeret ibunya keluar dari ruangan rapat. Soraya meronta, tidak terima di perlakukan demikian oleh Bagas.“Lepasin! Mama mau ngasih pelajaran sama anak tidak tahu diri itu. Dia sama saja dengan ayahnya, si tukang rebut hak orang.” Soraya menghempaskan cekakan tangan putranya, lalu berjalan menghampiri Leon. “Jangan harap, kamu akan selamanya duduk di kursi itu!” jari telunjuk wanita paruh baya itu menuding tepat di depan wajah Leon.“Plak!”Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Soraya. Wanita itu terkesiap, pun orang-orang yang ada di sana. Hamidah kini berdiri tegak diantara Leon da
Drrtt ....Ponsel di dalam tas Alea bergetar. Gadis itu merogoh ke dalam dan mengeluarkan benda pipih itu dari sana. Sekilas ada pancaran kelegaan di wajahnya yang cantik.[Aku dan Mama baik-baik saja][Terima kasih, sudah mengkhawatirkan ku.]Isi pesan chat di aplikasi berwarna hijau dari Bagas. Balasan dari chat nya dua hari yang lalu.Alea menyimpan ponselnya, lalu kembali fokus pada pembicaraan Lukman dan Hamidah, juga pengacara Hamdidah yang juga hadir di sana.“Kau tahu bagaimana sikap ku tentang itu, Lukman!” desis Hamidah tajam. Sorot matanya seolah ingin menelan Lukman hidup-hidup karena membicarakan hal yang sangat tidak di sukainya.“Maaf, Nyonya ...,” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Lukman. Pria itu terlalu hafal sifat majikannya.“Silahkan, Pak Setyo! Sepertinya semua sudah di putusk
Alea hendak bangkit berdiri, tapi di tahan oleh Bagas. Sementara Leon dan kedua orang teman nya segera berlalu keluar dari restoran itu. Leon berjalan dengan cepat hampir mengabaikan tamunya, jika saja Mr. Taro tidak menegurnya.“Anda terlihat sangat kesal, Tuan Leon! Tidak apa-apa, kita bisa makan di tempat lain,” saran Mr. Taro menyadarkan Leon, kalau dia sudah membuat tamunya tidak nyaman.“Ah, maafkan saya! Saya akan mengajak anda ke tempat lain yang lebih bagus.” Leon memelankan langkah agar kedua tamunya bisa mengejar.“Santai saja, Tuan Leon!” sahut Mr. Kenzi tersenyum.***Di resto, Alea sudah bangkit dari duduknya, meraih tas lalu bergegas keluar. Bagas menyusul setelah membayar tagihan. Pria itu menghentikan langkah Alea di depan restoran.“Ada apa, Al?” tanya Bagas pada gadis itu. Alea terdiam, tak ta
Pria itu kini berada di seberang jalan, rumah Alea. Dia mengamati dari jauh, tak berani untuk sekedar turun dari mobil. Wajahnya sekarang sudah lebih tenang, dengan nafas teratur, tidak seperti beberapa saat yang lalu sebelum dia sampai ketempat itu.Perubahan itu terjadi, saat netranya menangkap siluet Alea dr balik gorden. Kelihatan gadis itu sedang mondar-mandir di dalam sebuah ruangan, yang ditebak Leon sebagai kamarnya. Ah, melihat bayangan dirimu saja, hatiku sudah kembali membaik! Sekuat itukah pengaruh dirimu dalam kehidupanku, Alea? Bjsik Leon lirih. Wajah murungnya, tak lepas memandang ke arah kamar gadis itu.Ddrrrtttt ...Getar ponsel di dalam saku celana, membuat pria itu sedikit terlonjak. Dikeluarkannya benda pipih itu, lalu mengusap layar. Muncul nama Alea di sana. Seketika wajah murung itu, jadi berseri melihat sebuah pesan masuk dari gadis itu. Buru-buru dia membuka aplikasi hijau bergambar gag