Hamidah melarang Alea menelepon ibunya. Dengan sengaja ingin membuat kejutan antara ibu dan anak itu.
Sekitar satu jam perjalanan, mereka tiba di rumah Alea, setelah sebelumnya membeli banyak makanan juga oleh-oleh dan buah. Alea sampai berkali-kali menolak dan meminta tolong agar Hamidah tidak melakukan hal itu padanya, tapi tak sekalipun di gubris oleh wanita tua itu.
Mobil berhenti di depan rumah Alea yang memiliki halaman luas dan tidak dipagar. Mendengar suara mobil di luar, Ibunda Alea yang sedang memasak di belakang, mematikan api kompor dan berjalan tergopoh-gopoh ke bagian depan rumah. Tak biasanya ada tamu dengan mobil datang berkunjung.
“Assalamu’alaikum, Bunda!” seru Alea setengah berlari memeluk ibunda nya. Sang bunda balas memeluk anaknya dengan perasaan bingung.
Di belakang Alea, Hamidah berdiri bersama sopir pribadinya. Menyadari hal itu, Ibunda Alea melepas pelukann
“Kenapa?” tanya Asha, bunda Alea keheranan melihat reaksi anaknya. “Ya, enggak apa-apa sih, Bunda!” Alea meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu merasa mati kutu. Bagaimana bisa bunda nya dengan santai mengundang pria yang paling di hindarinya itu ke rumah mereka. “Kamu udah siapkan kamar depan buat Oma?” Bundanya lagi-lagi bertanya, hingga membuyarkan lamunan gadis itu. Diapun mengangguk mengiyakan, dengan kedua jempol terangkat ke depan. Hamidah dan Asha sama-sama tersenyum melihat tingkah gadis itu. “Pak Asep kemana ya?” Hamidah bertanya sambil melongokkan kepala mencari keberadaan sopir nya. “Tadi sepertinya di depan, sama ayahnya Alea. Kebetulan hari ini ayahnya pulang cepat. Habis rapat katanya.” Bunda Alea menjelaskan dengan panjang lebar, sambil tangannya tak henti merapikan berbungkus-bungkus makanan yang tadi dibawa Alea dan Hamidah. Menyusunnya ke dalam lema
Sebuah kepala muncul dari balik pintu. Ternyata OB yang bertemu dengan Alea di koridor tadi, datang membawa dua cangkir kopi yang tadi diminta Ferdi.“Ini, kopinya Pak Ferdi,” tutur OB itu sopan seraya membungkukkan badan.“Kamu itu bikin saya kaget aja! Sudah sana!” Ferdi menghardik OB tadi, padahal pria itu mungkin seusia ayahnya.OB itu kemudian berlalu setelah sebelumnya melempar senyum oada Alea. Gadis itu balas tersenyum, sambil menganggukkan kepala.“Mbak, kenal sama OB, itu?” Ferdi mengajukan pertanyaan menyelidik. Alea tersenyum sinis, kemudian menjawab. “Aku tidak harus kenal, hanya untuk membalas sebuah senyuman, bukan?” sindirnya, melirik ke arah Ferdi yang masih menunjukkan sikap curiga.“Aku hanya bertemu di koridor dengannya, tadi, sebelum ke ruangan ini!” tegas gadis itu, menjelaskan situasi yang terjadi.
Dengan nafas ngos-ngosan Alea berhenti di depan gedung perkantoran yang akan dia tuju. Gadis itu memegang dada nya dengan sebelah tangan, sedang tangan sebelahnya berada di pinggang. Dia mencoba merasakan detak jantung nya yang tidak karuan. “Huft! Hampir saja,” ucapnya lirih pada diri sendiri. Setelah menarik nafas dengan teratur, dia kemudian merapikan pakaiannya yang kusut karena berlari tadi, lalu berjalan -dengan penuh percaya diri- ke dalam gedung perkantoran itu. Sekarang dia perlu bertemu dengan bendahara perusahaan, guna meminta bukti transaksi keuangan, juga legalitasnya. Langkah kakinya tidak lagi berhenti di depan meja receptionist, melainkan langsung menuju lift, dan berhenti di lantai 13 sesuai arahan OB tadi pagi. Tak butuh waktu lama bagi Alea untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Bendahara yang di temuinya jauh lebih mudah diajak bekerja sama daripada manager keuangan tadi
Setelah melihat mobil yang membawa Alea benar-benar menghilang dari depan rumah, Leon kembali menutup tirai jendela dan perlahan berjalan keluar kamar menemui nenek nya.“Alea sudah pulang, Nek?” tanya Leon bersandiwara. Hamidah memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa pria itu artikan. Yang pasti, saat itu dia merasa dikasihani, dan dia tidak suka.“Kok, ngeliatnya gitu amat, Nek?” Leon mendengus seraya menjatuhkan bobot tubuhnya kesamping Hamidah.“Emang, Nenek kenapa?” Hamidah mencibir ke arah cucunya itu, kemudian menyerahkan berkas yang tadi baru selesai di kerjakan oleh Alea. “Nih, kelakuan Tante mu! Bikin Nenek pusing. Entah bagaimana lagi harus bersikap pada mereka. Kalau bukan karena Bagus, anak nenek, pasti sudah lama Nenek penjarakan Tante mu itu!”Leon menerima berkas yang disodorkan oleh neneknya. Membaca lembar demi lembar kertas itu de
“Kok, pergi gitu aja? Kan belum habis gelangnya dicoba,” seru Bagas membujuk gadis itu. Dia tahu Alea sedang kesal. Yang di tanya tak menjawab, hanya berjalan lurus tanpa melihat kiri kanan.“Eh, itu ada boneka beruang besar banget!” Alea langsung menoleh le arah jari telunjuk Bagas. Benar saja, di salah satu stand dipajang sebuah boneka beruang seukuran manusia. Disana tertulis, jika bisa menembak dengan tepat tiga kali berturut-turut, bisa memperoleh boneka itu.Seketika mata gadis itu membola, memancarkan binar yang lebih terang. Langkah kakinya berbelok ke arah stand boneka itu.“Bang, aku mau main,” ucap Alea pada penjaga stand. Pria yang sedang menjaga stand itu menghampiri Alea dan menyerahkan senjata panah, tidak terlalu besar.Awalnya Alea kebingungan memakainya, tapi setelah memperhatikan pengunjung lain yang sedang memainkannya, Alea langsu
Pagi yang cerah, memancarkan sinar lembut, yang menyeruak dari balik tirai jendela. Alea mengucek mata, masih enggan untuk bangkit dari ranjang empuknya. Bersyukur dia adalah seorang wanita, dengan keistimewaan dari Tuhan, jadi punya saat-saat dimana dia bisa bangun lebih lama.Gadis itu melirik jam di atas nakas, 06.30 WIB. Perlahan dia bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Membersihkan tubuh adalah ritual pertama di pagi hari, agar badan menjadi segar untuk memulai aktifitas. Hari ini ada jadwal ke perusahaan Leon, bersama Oma.Seharusnya gadis itu kesal, seharusnya dia tidak suka ke sana, karena pasti akan bertemu dengan Leon, tapi entah kenapa mood nya malah naik hari ini, dan dia sangat bersemangat. Membuka lemari, lalu menatap pada deretan baju yang tersusun rapi, dilipat dan di gantung. Mata gadis itu bergerak dari satu sudut ke sudut satunya lagi. Sepertinya tidak ada yang menarik perhatiannya. Tiba-tiba gadis itu merasa semua pakaia
“Saya tidak ingin berdebat!” Suara Leon sangat datar, dingin dan penuh tekanan.“Apa maksudmu dengan tidak ingin berdebat! Kau ...,”“Sudah, Ma! Hentikan!” Bagas menyela ucapan ibunya. Pria itu bergerak bangkit dari duduk, dan menyeret ibunya keluar dari ruangan rapat. Soraya meronta, tidak terima di perlakukan demikian oleh Bagas.“Lepasin! Mama mau ngasih pelajaran sama anak tidak tahu diri itu. Dia sama saja dengan ayahnya, si tukang rebut hak orang.” Soraya menghempaskan cekakan tangan putranya, lalu berjalan menghampiri Leon. “Jangan harap, kamu akan selamanya duduk di kursi itu!” jari telunjuk wanita paruh baya itu menuding tepat di depan wajah Leon.“Plak!”Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Soraya. Wanita itu terkesiap, pun orang-orang yang ada di sana. Hamidah kini berdiri tegak diantara Leon da
Drrtt ....Ponsel di dalam tas Alea bergetar. Gadis itu merogoh ke dalam dan mengeluarkan benda pipih itu dari sana. Sekilas ada pancaran kelegaan di wajahnya yang cantik.[Aku dan Mama baik-baik saja][Terima kasih, sudah mengkhawatirkan ku.]Isi pesan chat di aplikasi berwarna hijau dari Bagas. Balasan dari chat nya dua hari yang lalu.Alea menyimpan ponselnya, lalu kembali fokus pada pembicaraan Lukman dan Hamidah, juga pengacara Hamdidah yang juga hadir di sana.“Kau tahu bagaimana sikap ku tentang itu, Lukman!” desis Hamidah tajam. Sorot matanya seolah ingin menelan Lukman hidup-hidup karena membicarakan hal yang sangat tidak di sukainya.“Maaf, Nyonya ...,” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Lukman. Pria itu terlalu hafal sifat majikannya.“Silahkan, Pak Setyo! Sepertinya semua sudah di putusk